Oleh: Syamsul Kurniawan
Pagi ini, warung kopi tempat saya biasa ngopi
tampak lebih lengang dari biasanya. Sebelum jam kantor, tempat ini biasanya
penuh dengan percakapan—obrolan ringan tentang politik, bisnis, hingga
cerita-cerita kehidupan yang tidak jarang mengalir begitu saja, tanpa beban.
Namun kali ini, suasana agak berbeda. Mungkin karena hari ini Jumat, hari yang
dimanfaatkan oleh banyak pekerja untuk bekerja dari rumah, sesuai dengan
kebijakan WFA (Work from Anywhere) yang diberlakukan sejak kepemimpinan
Presiden Prabowo Subianto. Meski demikian, meski tak seramai biasa, warung kopi
ini tetap menjadi ruang diskusi yang hidup, sebuah ruang publik tempat berbagai
wacana tentang "kebenaran" dipertukarkan, layaknya ruang publik yang
dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Di sini, kebenaran diproduksi, diuji, dan
diperiksa dalam aliran obrolan yang kadang ringan, kadang berat. Namun, kita
harus bertanya: apakah yang mereka sebut "kebenaran" itu benar
adanya? Dan apakah kita benar-benar dapat memisahkan "kebenaran" dari
"kepalsuan"?
Marilah kita merenungkan sebuah analogi yang
menarik: mungkinkah sekolah-sekolah kita belajar dari "kebebasan bertukar
perspektif tentang kebenaran di warung kopi?" Di warung kopi, tanpa
batasan formal, tiap orang bebas berbicara, bertukar ide, dan mempertanyakan
segala sesuatu tanpa rasa takut atau cemas. Dalam suasana yang santai dan
akrab, perbedaan pendapat menjadi bahan diskusi yang kaya, mengarah pada
pemahaman yang lebih luas dan beragam. Di sana, tak ada yang terlalu berhak
untuk menentukan kebenaran tunggal, karena setiap orang membawa perspektif yang
dipengaruhi oleh pengalaman hidup mereka masing-masing.
Di sekolah-sekolah kita, pendidikan sering kali
terjebak dalam sistem formal yang kaku, di mana kebenaran disampaikan
seolah-olah ia adalah satu-satunya yang dapat diterima. Apa yang dianggap
"benar" terkadang tak pernah dipertanyakan, dan siswa hanya diajarkan
untuk menerima, bukan untuk menggali lebih dalam. Padahal, pendidikan, pada
dasarnya, adalah ruang di mana kebenaran dibentuk. Lebih dari itu, pendidikan
adalah proses yang membentuk karakter bangsa. Pendidikan seharusnya menjadi
ruang untuk membuka kesadaran kritis, mendorong individu untuk mempersoalkan
segala sesuatu, dan bukan hanya menerima pengetahuan sebagai kebenaran yang
telah ditentukan. Dengan kebebasan untuk mempertanyakan segala hal, sebagaimana
yang terjadi di warung kopi, kita dapat membangun sebuah pendidikan yang lebih
hidup, dinamis, dan membentuk generasi yang berpikir kritis dan terbuka.
Pendidikan yang baik bukanlah pendidikan yang
mengikat individu dalam struktur kekuasaan yang ada, melainkan pendidikan yang
membebaskan mereka untuk memahami dan mengelola kekuasaan tersebut demi
kepentingan orang lain. Kita dapat memahaminya bahwa kita adalah bagian dari
mekanisme kekuasaan yang membentuk kebenaran, namun dengan kesadaran akan hal
ini, kita bisa bertindak lebih bijaksana, tidak sekadar sebagai penerima pasif
pengetahuan, tetapi sebagai agen aktif yang turut membentuk dunia ini.
Peran Diskursus dalam Pembentukan Kebenaran
Kebenaran, menurut Foucault, bukanlah sesuatu
yang bersifat objektif atau turun dari langit, melainkan sebuah konstruksi
sosial yang dibentuk oleh kekuasaan. Ia berpendapat bahwa setiap era memiliki
"episteme" atau cara berpikir yang berbeda, yang membentuk cara
pandang masyarakat terhadap kebenaran. Proses pembentukan kebenaran ini terjadi
melalui apa yang disebut sebagai formasi diskursif—wacana atau pengetahuan yang
tersebar melalui berbagai saluran seperti institusi, media, dan kebijakan publik.
Kebenaran ini diproduksi oleh kekuasaan dan, dengan demikian, tidak bebas dari
kontrol atau seleksi. Wacana yang disebarkan oleh institusi pendidikan adalah
bagian dari kekuasaan yang lebih besar dan harus dipahami sebagai sebuah
struktur yang tidak netral.
Di dalam pendidikan, proses ini sangat jelas
terlihat. Materi yang diajarkan di sekolah bukanlah pengetahuan yang bebas dari
kepentingan politik atau ideologi tertentu. Apa yang dianggap sebagai
pengetahuan "benar" atau "penting" dalam kurikulum
pendidikan sering kali adalah produk dari wacana yang didominasi oleh kekuasaan
yang ada. Di sini, Foucault mengingatkan kita bahwa pendidikan tidak boleh
hanya menerima begitu saja "kebenaran" yang ada, tetapi harus
memberikan ruang bagi siswa untuk mempertanyakan dan mengkritisi pengetahuan
yang disajikan. Diskursus yang ada dalam dunia pendidikan harus mampu membuka
ruang untuk keberagaman ide dan perspektif, sehingga menciptakan individu yang
kritis dan mandiri.
Seperti yang sering terjadi dalam diskusi di
warung kopi pagi itu, di mana kebenaran dipertukarkan dan diperiksa, pendidikan
harus menciptakan ruang yang sama untuk siswa. Ruang di mana mereka tidak hanya
menjadi penerima pengetahuan, tetapi juga menjadi agen yang aktif dalam
memproduksi pengetahuan itu sendiri, dengan kesadaran penuh akan posisi mereka
dalam struktur kekuasaan. Pendidikan, dalam hal ini, bukan hanya mengenai
transfer pengetahuan, tetapi juga mengenai bagaimana pengetahuan itu membentuk
identitas sosial dan politik individu.
Pendidikan dan Rezim Kebenaran dalam Masyarakat
Dalam pandangan Foucault, kekuasaan tidak hanya
terbatas pada individu atau institusi tertentu, tetapi tersebar luas dalam
setiap relasi sosial. Kekuasaan beroperasi melalui berbagai bentuk pengetahuan
dan institusi yang ada, dan dalam hal ini, pendidikan berperan sebagai salah
satu agen yang menyebarkan dan memelihara wacana kebenaran tertentu. Oleh
karena itu, kita harus kritis terhadap pengetahuan yang diajarkan di sekolah,
apakah pengetahuan tersebut bebas dari kepentingan kekuasaan atau apakah ia dirancang
untuk mempertahankan status quo.
Foucault mengidentifikasi bahwa ada empat
domain diskursus yang dapat berbahaya: politik, seksualitas, kegilaan, dan
kebenaran itu sendiri. Dalam pendidikan, kita sering dihadapkan pada dilema
mengenai apakah pengetahuan yang diajarkan benar-benar bebas dari pengaruh
politik atau ideologi tertentu. Misalnya, kurikulum pendidikan di Indonesia
sering kali didominasi oleh ideologi negara yang menekankan keseragaman dan
kepatuhan, bukannya kebebasan berpikir dan keberagaman pandangan. Oleh karena
itu, pendidikan harus mampu memfasilitasi diskusi kritis dan membuka ruang bagi
keberagaman ide yang dapat memajukan masyarakat.
Kebenaran dalam pendidikan, dengan demikian,
tidak hanya harus dilihat dari sudut pandang epistemologi atau ilmu
pengetahuan, tetapi juga harus dipertanyakan dalam konteks kekuasaan dan
kontrol yang ada. Pendidikan harus memberikan ruang bagi siswa untuk memahami
bagaimana wacana tentang kebenaran dibentuk, siapa yang memiliki kontrol atas
wacana tersebut, dan bagaimana wacana ini mempengaruhi kehidupan sosial dan
politik mereka.
Kekuatan Wacana dalam Pembentukan Kebenaran
Foucault menunjukkan bahwa wacana bukanlah
sesuatu yang dapat dipisahkan dari kekuasaan. Setiap pengetahuan yang
diproduksi dalam masyarakat, termasuk dalam pendidikan, selalu terkait dengan
kekuasaan yang ada. Pengetahuan yang diajarkan di sekolah bukanlah sesuatu yang
netral, tetapi merupakan produk dari formasi diskursif yang dipengaruhi oleh
struktur kekuasaan yang ada. Dalam hal ini, wacana pendidikan tidak hanya
tentang memberikan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan itu
dikontrol dan disebarkan.
Sebagai contoh, dalam pembelajaran sejarah,
sangat penting untuk tidak hanya memaparkan satu versi dari peristiwa sejarah
yang diajarkan oleh negara, tetapi juga memberikan ruang bagi siswa untuk
memahami berbagai perspektif yang ada. Ini adalah bagian dari menciptakan
individu yang mandiri dan kritis, yang tidak hanya menerima pengetahuan sebagai
sesuatu yang sudah baku, tetapi juga mampu memproses dan mengkritisinya dengan
kesadaran penuh akan struktur kekuasaan yang membentuk pengetahuan tersebut.
Pendidikan, dalam pandangan Foucault, harus
menjadi ruang di mana siswa tidak hanya menerima pengetahuan yang ada, tetapi
juga mempertanyakan dan mengkritisi pengetahuan tersebut. Kebenaran dalam
pendidikan harus selalu dipertanyakan, dan pendidikan harus memberikan ruang
bagi siswa untuk menggali berbagai pandangan tentang dunia. Pengetahuan yang
diajarkan di sekolah harus selalu disertai dengan kesadaran akan siapa yang
memiliki kekuasaan untuk memproduksi pengetahuan tersebut dan bagaimana
pengetahuan itu digunakan dalam kehidupan sosial dan politik.
Foucault mengajarkan kita bahwa kekuasaan dan
pengetahuan memiliki hubungan timbal balik. Pengetahuan selalu berfungsi
sebagai alat kekuasaan, dan kekuasaan selalu menciptakan bentuk pengetahuan
tertentu. Oleh karena itu, penting bagi pendidikan untuk mengajarkan siswa
bahwa pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang terus
berkembang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kekuasaan. Dengan
memberikan ruang bagi siswa untuk mempertanyakan dan mengkritisi pengetahuan,
pendidikan dapat menciptakan individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga
memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Batasan kebenaran dalam pendidikan adalah
sebuah konstruksi yang dipengaruhi oleh kekuasaan. Foucault mengingatkan kita
bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang statis atau objektif, tetapi sesuatu yang
dibentuk oleh kekuasaan dan wacana yang ada dalam masyarakat. Pendidikan harus
mampu membuka ruang bagi siswa untuk mempertanyakan kebenaran yang ada, agar
mereka tidak hanya menjadi penerima pengetahuan, tetapi juga menjadi agen
perubahan yang aktif dalam masyarakat. Dengan kesadaran ini, pendidikan dapat menjadi
alat yang sangat kuat untuk mengubah dunia, bukan hanya dalam aspek akademis,
tetapi juga dalam aspek sosial dan politik. Dalam konteks ini, wacana yang
berkembang di ruang-ruang publik seperti warung kopi dapat menjadi arena untuk
memproduksi dan mengkritisi kebenaran, yang pada gilirannya dapat memperkuat
peran pendidikan dalam membentuk karakter dan kesadaran sosial bangsa.***