Oleh: Syamsul Kurniawan
Di tengah hiruk-pikuk zaman yang semakin cepat, Al-Quran tetap menjadi cahaya abadi yang menerangi hati dan jiwa umat. Namun cahaya itu tidak akan menyala tanpa perawatan yang telaten, yakni melalui kebiasaan-kebiasaan kecil yang secara konsisten dirajut dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) hadir sebagai pembina dan penjaga api suci itu, bukan sekadar mengajarkan teknik bacaan, tapi membentuk kebiasaan yang membumi dan lestari.
Pembina dan pengurus LPTQ memiliki tanggung jawab yang tak ringan. Mereka adalah arsitek kebiasaan yang menentukan apakah umat hanya membaca Al-Quran sebagai ritual sesaat atau menjadikannya bagian tak terpisahkan dari hidup. Peran ini melampaui batas-batas formal; ia adalah seni menanamkan benih kebiasaan yang tumbuh menjadi pohon kebaikan berbuah kesejahteraan spiritual dan sosial.
James Clear dalam Atomic Habits (2018) menegaskan bahwa perubahan besar lahir dari rutinitas kecil yang dilakukan secara berulang. Prinsip ini sangat relevan dalam pembinaan literasi Al-Quran. Bukan dengan paksaan, tetapi melalui rutinitas sederhana seperti membaca sepuluh ayat setiap pagi, berdiskusi tafsir mingguan, atau mengikuti pengajian rutin, kebiasaan baik itu menjadi nafas yang mengalir.
Namun kebiasaan tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia lahir dan berkembang di dalam interaksi sosial yang dinamis, penuh warna dan keragaman. Di sinilah perspektif ruang publik dari Jurgen Habermas (1991) menyuguhkan kerangka penting. LPTQ bukan hanya institusi pembelajaran, melainkan ruang publik demokratis yang menjadi arena dialog dan interaksi kolektif umat.
Dalam ruang publik LPTQ, wacana tentang Al-Quran tidak hanya ditransmisikan secara satu arah, tapi dilahirkan melalui dialog yang demokratis dan inklusif. Semua suara mendapat ruang untuk didengar, kritik menjadi bahan refleksi, dan ide-ide baru menguatkan makna kitab suci. Pembina bertindak sebagai fasilitator yang menjaga agar diskursus ini berjalan sehat dan produktif.
Ruang publik semacam ini tidak hanya memperkaya pemahaman, tetapi juga membangun kebiasaan sosial yang inklusif. Melalui dialog yang terbuka dan saling menghargai, komunitas LPTQ dapat membentuk kebiasaan membaca dan memahami Al-Quran yang merakyat, bukan eksklusif. Dengan demikian, literasi Al-Quran menjadi praktik sosial yang menguatkan persaudaraan dan toleransi.
Peran pembina menjadi sangat strategis dalam menciptakan dan memelihara lingkungan pembelajaran yang kondusif. Mereka harus mampu merancang program yang menyenangkan dan memotivasi, memadukan metode tradisional dengan teknologi modern agar akses pembelajaran tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Penggunaan aplikasi baca Al-Quran, forum diskusi daring, hingga kelas online adalah langkah konkret untuk memperluas ruang publik.
Namun, mengelola ruang publik yang hidup dan demokratis bukan tanpa tantangan. Pembina harus piawai menjaga agar tidak ada suara yang mendominasi secara sepihak, sehingga dialog tetap berlangsung seimbang dan inklusif. Mereka dituntut untuk memfasilitasi suasana yang mengajak peserta berpartisipasi aktif, sekaligus saling menghormati perbedaan pandangan.
Membangun kebiasaan kecil adalah proses panjang yang membutuhkan ketekunan dan kesabaran. Pembina LPTQ harus mengajak umat untuk memulai dari langkah sederhana yang dapat mereka lakukan sehari-hari. Misalnya, mengajak peserta membaca Al-Quran sesudah shalat, menulis catatan tafsir kecil, atau saling berbagi ayat favorit dalam komunitas kecil.
Teknik habit stacking yang diajarkan James Clear (2018) dapat diterapkan untuk memudahkan adopsi kebiasaan baru. Dengan menggabungkan rutinitas membaca Al-Quran ke dalam aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan lama, masyarakat akan lebih mudah mengintegrasikannya tanpa merasa terbebani. Pembina perlu memberikan contoh konkret dan membimbing proses ini dengan sabar.
Lebih dari sekadar rutinitas membaca, pembina juga harus menanamkan pemahaman bahwa Al-Quran adalah sumber nilai dan petunjuk hidup yang relevan dengan tantangan zaman. Dengan membangun kesadaran ini, peserta tidak hanya menghafal, tapi juga menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sosial dan kultural.
Pembinaan literasi Al-Quran yang efektif harus menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. LPTQ wajib merancang program yang inklusif, menjangkau anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, dari perkotaan hingga pelosok desa. Inklusivitas ini memastikan kebiasaan positif menjadi milik bersama, bukan milik segelintir kelompok.
Dalam ruang publik yang dikelola LPTQ, peserta diajak berdiskusi, bertukar pemikiran, bahkan mempertanyakan tafsir dalam suasana yang aman dan penuh hormat. Pembina berperan sebagai moderator yang mengarahkan diskursus agar tetap produktif dan membangun, bukan menghakimi atau memecah belah.
Dialog semacam ini membangun kebiasaan reflektif dan kritis yang penting bagi generasi muda. Mereka diajarkan untuk tidak menerima teks suci secara dogmatis, tetapi mengaitkannya dengan konteks sosial dan kemanusiaan yang berkembang. Dengan begitu, literasi Al-Quran menjadi dinamis dan hidup.
Kebiasaan positif yang tumbuh dalam ruang publik LPTQ bukan hanya soal pembelajaran individu, tapi pembentukan karakter sosial. Ia memperkuat rasa solidaritas, mengajarkan saling menghormati perbedaan, dan membangun budaya damai. Pembina harus memfasilitasi pembelajaran yang menekankan nilai-nilai ini secara konsisten.
Pemanfaatan teknologi digital memegang peranan penting dalam mengembangkan ruang publik ini. Aplikasi membaca Al-Quran, video pengajaran, forum diskusi daring, dan media sosial harus dimanfaatkan secara maksimal agar kebiasaan positif tidak berhenti pada ruang fisik saja. Pembina perlu menguasai dan mengarahkan penggunaan teknologi demi tujuan mulia ini.
Namun teknologi bukanlah tujuan akhir. Pembina harus memastikan teknologi menjadi jembatan, bukan penghalang. Dialog dan kebiasaan sosial harus tetap terjaga kualitasnya agar tidak terjebak pada komunikasi dangkal atau sekadar eksposur tanpa makna.
Pembinaan literasi Al-Quran juga perlu menguatkan aspek emosional dan spiritual. Kebiasaan membaca dengan penghayatan dan cinta akan menumbuhkan ketulusan dan kesungguhan, bukan sekadar formalitas. Pembina harus mampu menumbuhkan ikatan batin peserta dengan Al-Quran melalui pendekatan personal dan penuh empati.
Keberhasilan membangun kebiasaan ini membutuhkan kolaborasi erat dengan keluarga dan lingkungan sosial. Pembina LPTQ dapat melibatkan orang tua dan tokoh masyarakat agar kebiasaan baik tidak hanya terjadi dalam lingkup lembaga, tetapi merasuk ke ruang privat dan sosial.
Proses pembinaan kebiasaan tidak boleh dianggap selesai setelah satu atau dua program. Ia adalah perjalanan panjang yang harus dirawat dan dikembangkan secara berkelanjutan. Pembina harus memantau perkembangan, memberikan motivasi, dan menyesuaikan metode agar peserta tetap antusias dan terlibat.
Dalam merawat literasi Al-Quran, pembina juga ditantang untuk menjadi pembawa perubahan sosial yang lembut. Kebiasaan membaca dan memahami Al-Quran yang tumbuh perlahan akan melahirkan masyarakat yang lebih harmonis dan toleran, sekaligus mampu menjawab tantangan sosial dan budaya masa kini.
Kesadaran akan pentingnya ruang publik demokratis harus menjadi landasan setiap aktivitas pembinaan. Dengan ruang publik yang sehat, masyarakat dapat membangun kebiasaan bersama yang menguatkan ikatan sosial dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Pembina LPTQ harus menjadi pelopor yang tidak hanya cakap secara teknis, tapi juga piawai membangun komunitas yang hidup dan dinamis. Komunitas yang tidak hanya membaca Al-Quran, tetapi juga berdiskusi dan merenungkan maknanya dalam konteks keseharian.
Setiap kebiasaan kecil yang dihidupkan oleh pembina adalah investasi sosial dan spiritual jangka panjang. Kekuatan kebiasaan itu, ketika terakumulasi, mampu menghasilkan perubahan besar yang berdampak pada kualitas kehidupan umat.
Dengan menjadikan literasi Al-Quran sebagai budaya, LPTQ mampu menguatkan peran Al-Quran sebagai pilar kebudayaan dan peradaban yang membangun kedamaian dan kemajuan bangsa.
Akhirnya, pembina dan pengurus LPTQ bukan hanya guru atau fasilitator, tapi penjaga cahaya dan penggerak perubahan. Mereka adalah pilar yang memastikan agar Al-Quran tidak sekadar terjaga dalam buku, tapi hidup dalam jiwa dan perilaku umat.
Kebiasaan-kebiasaan kecil yang mereka tanamkan akan menjadi jalan menuju masyarakat yang lebih beradab, bijak, dan penuh kasih. Inilah tugas mulia yang harus dijalankan dengan cinta dan ketulusan, agar cahaya Al-Quran terus bersinar tanpa henti.
Mari kita dukung dan sambut peran pembina LPTQ sebagai penjaga tradisi luhur sekaligus agen perubahan yang membangun kebiasaan positif merawat literasi Al-Quran. Karena dari kebiasaan kecil itulah, lahir masa depan besar bagi umat.***