Cerpen: Syamsul Kurniawan
Jakarta tak pernah sama sejak Fatimah dan kakaknya, Ismail,
tiba di kota itu. Lima tahun lalu, di Bekasi, ibu mereka meninggal tragis
ditabrak truk pengemudi mabuk saat hendak pergi ke ladang. Luka itu menganga
dalam ingatan mereka, menjadi bayang-bayang yang membayangi setiap langkah.
Ayah mereka, kepala desa yang dulu dihormati di Bekasi,
menjadi korban pengkhianatan. Teman dekatnya menjebak dia dengan tuduhan
korupsi palsu. Ia dipenjara dan meninggal dunia setelah dianiaya oleh teman
satu sel. Kepergian ayah dan ibu memaksa mereka merantau, menanggung hidup
tanpa sandaran.
Ismail, meski masih muda, bertekad menjadi kepala keluarga.
Ia bekerja keras sebagai buruh kasar di proyek bangunan, mengaduk semen dari
pagi hingga petang demi menghidupi Fatimah dan dirinya. Mira, adik kecil
mereka, membantu menjaga warung kecil peninggalan ibu mereka, menutupi luka
batin yang dalam.
***
Hari Buruh tiba, dan Ismail bergabung dalam demonstrasi
menuntut keadilan bagi para pekerja. Massa penuh harapan dan semangat. Namun
harapan itu luluh lantak saat anak bos perusahaan hadir dan seorang teman
Ismail menusuk anak itu. Dalam kekacauan itu, Ismail ditangkap dan menjadi
kambing hitam.
Fatimah datang menjenguk Ismail di penjara. Mata mereka
bertemu, penuh luka dan harapan. “Is, kau harus kuat,” ucap Fatimah.
Ismail meraih tangan adiknya dengan lembut, suaranya
bergetar namun penuh keyakinan, “Jangan biarkan kebencian tumbuh untuk ayah dan
ibu kita. Meski mereka tak meninggalkan harta atau warisan materi, mereka
memberimu kenangan dan cobaan yang membentuk kita hari ini.”
***
Malam yang dingin itu, Fatimah bertemu pria tua yang mengaku
teman lama ayah mereka. “Ayahmu bukan seperti yang kau kira,” katanya. “Dia
bayang-bayang yang mengendalikan kuasa.”
Fatimah terdiam, “Apa maksud bapak?”
Pria itu menjelaskan bahwa ayah mereka adalah pengendali
permainan yang rumit, yang memasukkan mereka ke dalam pusaran itu sendiri. Ia
bukan korban biasa, melainkan dalang yang cerdik.
Mata Fatimah melebar. “Jadi selama ini kita bagian dari rencana ayah?”
***
Beberapa hari kemudian, Ismail dibebaskan secara misterius.
Fatimah masih menunggu di rumah sederhana mereka yang sudah mulai usang.
Ketukan pintu tiba-tiba membuka lembaran baru hidup mereka. Seorang pria berjas
hitam dengan koper berisi dokumen warisan datang mengungkap rumah besar di
Serpong dan aset bernilai ratusan miliar.
***
Mereka terpana, berdiri di ambang pintu rumah yang selama
ini tak pernah mereka bayangkan—megah dan menjulang di kawasan elit Serpong.
Rumah yang dulu mereka kira hanya remah-remah miskin, kini berubah menjadi
simbol misteri dan kekuasaan.
Fatimah memandang sekeliling dengan mata penuh tanya.
“Mengapa kami tak pernah tahu tentang ini?”
Pengacara itu menjawab dengan tenang, “Itu bagian dari
strategi ayahmu. Ia ingin menjaga keluarga tetap aman, tersembunyi dari ancaman
yang tak terlihat.”
Ismail menarik napas dalam, lalu berkata lirih, “Ayah kita
adalah bayang-bayang yang selama ini belum kita mengerti.”
Fatimah, dengan nada getir, memaki bayang-bayang penderitaan
yang selama ini menjerat mereka. Perlahan, kesadaran merayapi mereka—bahwa
bayang-bayang itu bukanlah kesengsaraan yang murni, melainkan ciptaan ayah
mereka sendiri.
Dalam keheningan tersebut, Fatimah menggumam dalam hati: “Siapa
yang sebenarnya jadi Bayang-Bayang?”
Ismail menundukkan kepala, tenggelam dalam beban yang hampir
meremukkan hatinya. Namun di balik itu semua, sebuah tekad membara: mereka
harus mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan yang melingkupi.
***
Malam itu, hujan turun lembut membasahi Serpong. Fatimah
sudah terlelap dalam tidurnya, sementara Ismail masih duduk termenung di balkon
rumah baru mereka. Ia menghisap sebatang rokok—sesuatu yang tak pernah ia coba
selama masa-masa sulit—seraya menelusuri kenangan masa lalu yang penuh misteri
dan menatap masa depan yang sarat teka-teki.
Meski lelah, Ismail tak mampu memejamkan mata. Dalam
heningnya malam, samar-samar bayangan sosok berpakaian serba hitam muncul di
balik pagar, memandang rumah mereka dengan tatapan yang menusuk jiwa. Sosok itu
menatap Ismail sejenak, lalu perlahan menghilang dalam kegelapan. Wajahnya tak
asing, sosok yang selama ini dikabarkan telah tewas di penjara itu. Ayah??.***