Iklan

Cendekiawan di Persimpangan Jalan Hampa

syamsul kurniawan
Friday, May 30, 2025
Last Updated 2025-05-31T01:33:09Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Dalam mitologi Yunani, kisah Raja Sisyphus menyimpan pelajaran tentang perjuangan tanpa akhir yang penuh keputusasaan. Sisyphus dihukum oleh Zeus untuk menggulirkan batu besar ke puncak gunung, namun batu itu selalu terguling kembali tepat sebelum mencapai puncak. Perjuangan ini tampak sia-sia dan tanpa harapan, menjadi simbol penderitaan tanpa tujuan yang jelas.

 

Cerita tersebut terasa sangat relevan ketika melihat kondisi kecendekiawanan kita saat ini. Akademisi yang seharusnya menjadi penggerak ilmu pengetahuan dan pencerahan justru terjebak dalam lingkaran kebohongan dan politisasi yang tiada henti. Mereka seolah menggulirkan batu pengetahuan, tapi tak kunjung sampai pada puncak pengetahuan yang lebih tinggi. Mungkinkah kecendekiawanan yang selama ini kita kenal telah kehilangan maknanya?

 

Fenomena yang makin meresahkan di perguruan tinggi adalah obral gelar akademis yang semakin marak. Gelar magister dan doktor seolah menjadi barang dagangan yang mudah diperoleh tanpa menghiraukan kualitas pendidikan dan penelitian. Di tengah persaingan karier dan jabatan, gelar-gelar itu hanya menjadi simbol status, bukan cermin kedalaman ilmu dan kontribusi intelektual yang nyata.

 

Kondisi ini tak hanya merusak citra perguruan tinggi, tapi juga mengurangi makna gelar akademik itu sendiri. Seharusnya, gelar adalah buah dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh komitmen. Namun yang terjadi justru penurunan kualitas pendidikan, di mana gelar dianggap alat meraih posisi dan pengaruh, bukan sebagai pencapaian ilmiah yang sahih.

 

Lebih memprihatinkan lagi, praktik penumpangan nama di artikel ilmiah demi memenuhi syarat kenaikan pangkat atau jabatan guru besar juga semakin lazim. Ini bukan sekadar soal formalitas administratif, melainkan penghinaan terhadap esensi riset dan pencarian kebenaran. Penelitian yang seharusnya menjadi wahana menggali kebenaran, kini malah dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan pribadi, seperti status akademik.

 

Para akademisi ini lebih mengutamakan pencapaian pribadi daripada kontribusi nyata pada ilmu pengetahuan. Mereka menulis artikel bukan untuk menggali ilmu, melainkan memenuhi tuntutan administratif atau mendongkrak karier. Inilah gambaran nyata kematian kecendekiawanan, saat ilmu dikorbankan demi politik dan ambisi pribadi.

 

Di ruang kelas, mahasiswa kerap menjadi korban. Mereka diajarkan oleh dosen yang lebih sibuk mengejar pencapaian pribadi daripada kebenaran ilmiah. Opini yang disampaikan seolah fakta tak terbantahkan, padahal di baliknya tersembunyi manipulasi dan ketidakjujuran. Mahasiswa, yang seharusnya dibimbing berpikir kritis dan mandiri, malah terperangkap dalam kebohongan yang diajarkan.

 

Akademisi seharusnya menjadi teladan integritas dan pencarian kebenaran. Namun ketika mereka menyampaikan pendapat pribadi tanpa dasar ilmiah kuat, mereka gagal memenuhi fungsi utama sebagai pengajar dan pembimbing. Ini tragedi besar, karena mahasiswa yang belum berpengalaman menerima apa adanya tanpa mempertanyakan kebenaran.

 

Faktor politik juga sangat berperan dalam merusak kecendekiawanan. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat mencari kebenaran malah berubah menjadi arena perebutan kekuasaan. Posisi-posisi penting sering diperoleh melalui politik, bukan kemampuan atau integritas ilmiah.

 

Akademisi yang terjebak dalam politik ini lupa akan perannya sebagai penjaga ilmu pengetahuan. Mereka lebih mementingkan posisi dan pengaruh daripada menjaga nilai kecendekiawanan yang seharusnya dijunjung tinggi. Ketika politik merasuk ke dunia akademik, integritas dan kualitas pendidikan pun ikut terkikis.

 

Kondisi ini diperkuat oleh analisis Tom Nichols dalam buku The Death of Expertise (2017). Nichols mengungkap bagaimana masyarakat modern meremehkan peran para ahli. Teknologi dan kemudahan informasi membuat orang percaya bahwa semua dapat menjadi ahli hanya dengan mengakses data, padahal hal ini justru memperparah ketidakpahaman akan pentingnya kepakaran.

 

Masyarakat kini lebih percaya pada opini populer daripada pandangan para ahli. Dalam dunia akademik, hal ini tercermin dalam sikap meremehkan gelar dan reputasi ilmiah. Gelar dianggap formalitas belaka, alat untuk keuntungan pribadi, bukan indikator kualitas ilmu yang diperoleh.

 

Ironisnya, banyak akademisi pun terjebak dalam tren ini. Mereka mengadopsi pandangan yang tidak berbasis keahlian memadai, lalu menyebarkan kebohongan yang mereka anggap sebagai ilmu. Ini menciptakan lingkaran setan pembelajaran tidak bermutu di ranah akademik.

 

Bagaimana jika dosen-dosen yang mestinya garda terdepan mencari kebenaran justru terperangkap kepentingan pribadi? Dunia akademik kita akan kehilangan arah dan harapan. Tanpa kejujuran dan integritas, ilmu pengetahuan tak akan berkembang. Kepercayaan publik terhadap perguruan tinggi pun akan terus memudar.

 

Seorang akademisi sejati harus bertanggung jawab tidak hanya terhadap ilmu, tapi juga masyarakat. Mereka memegang amanah besar agar pengetahuan yang dikembangkan dipergunakan untuk tujuan baik, bukan disalahgunakan untuk politik atau kepentingan pribadi. Namun, ketika kecendekiawanan dibayangi ambisi pribadi, nilai-nilai luhur mulai tergerus. Gelar, jabatan, dan pengakuan pribadi lebih diutamakan, sementara kejujuran ilmiah dipinggirkan.

 

Fenomena ini memperlihatkan jauhnya jarak antara idealisme kecendekiawanan dan kenyataan di lapangan. Akademisi yang sejati adalah penjaga kebenaran dan moralitas ilmu, bukan alat permainan kekuasaan. Mereka harus mengingat bahwa tanggung jawabnya tidak hanya pada diri sendiri, melainkan pada masyarakat luas yang mengandalkan integritas dan kejujuran. Ini panggilan kembali untuk berkomitmen pada ilmu dan masyarakat.

 

Peran seorang akademisi sejati bukan sekadar mengajar atau meneliti demi keuntungan pribadi, tetapi menjadi penjaga moral dan kebenaran ilmu pengetahuan. Mereka harus berani berjalan di jalan yang benar, meski bertentangan dengan kepentingan pribadi atau politik. Jika gagal menjalankan tugas mulia ini, seseorang tidak lagi pantas disebut cendekiawan. Ia hanyalah bagian dari sistem yang mengedepankan keuntungan pribadi di atas kebenaran ilmiah.

 

Tragedi terbesar dunia akademik kita adalah kematian kecendekiawanan sejati yang menjadi pilar utama kemajuan ilmu dan masyarakat.

 

Kembali ke Nilai Kecendekiawanan Sejati

 

Untuk mengatasi kematian kecendekiawanan, kita harus kembali pada nilai-nilai dasar dunia akademik. Pendidikan tinggi mesti menjadi tempat pencarian kebenaran, tempat mahasiswa dididik berpikir kritis, dan tempat akademisi menjunjung tinggi integritas.

 

Mahasiswa perlu dibimbing agar mandiri dan kritis, akademisi harus mengedepankan kejujuran dan integritas dalam karya dan sikapnya. Perguruan tinggi bukan arena mencari gelar dan jabatan, melainkan ladang pengembangan ilmu dan karakter.

 

Jika kita terus terjebak dalam politik dan ambisi pribadi, pendidikan tinggi kehilangan makna. Tidak ada yang lebih penting daripada menjaga integritas dan kejujuran akademik. Tanpa nilai-nilai ini, pendidikan gagal menciptakan masyarakat cerdas dan terbuka. Kita akan semakin jauh dari tujuan sejati pendidikan.

 

Masa depan kecendekiawanan bergantung pada kemampuan kita menjaga integritas dan komitmen pada ilmu. Akademisi harus selalu ingat mereka penjaga kebenaran, bukan sekadar pengajar. Mereka harus melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, menjauhi godaan politik dan ambisi yang merusak esensi kecendekiawanan.

 

Jika kejujuran bisa dijaga, kecendekiawanan sejati akan hidup kembali. Ini satu-satunya jalan mengembalikan perguruan tinggi pada fungsinya yang mulia. Pendidikan tinggi harus menjadi mercusuar kebenaran dan intelektualitas tulus, menciptakan masyarakat lebih baik lewat ilmu yang jujur dan bermakna.

 

Kembali pada nilai-nilai ini akan memulihkan kepercayaan publik pada dunia akademik. Akademisi akan mendapat tempat sejati sebagai pelita ilmu dan pencerahan. Mari kita songsong masa depan kecendekiawanan yang mampu menjaga integritas dan memperkuat peradaban bangsa. Ini tanggung jawab bersama demi dunia pendidikan dan masyarakat luas.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now