Oleh: Syamsul Kurniawan
Dalam mitologi Yunani, kisah Raja Sisyphus menyimpan
pelajaran tentang perjuangan tanpa akhir yang penuh keputusasaan. Sisyphus
dihukum oleh Zeus untuk menggulirkan batu besar ke puncak gunung, namun batu
itu selalu terguling kembali tepat sebelum mencapai puncak. Perjuangan ini
tampak sia-sia dan tanpa harapan, menjadi simbol penderitaan tanpa tujuan yang
jelas.
Cerita tersebut terasa sangat relevan ketika melihat
kondisi kecendekiawanan kita saat ini. Akademisi yang seharusnya menjadi
penggerak ilmu pengetahuan dan pencerahan justru terjebak dalam lingkaran
kebohongan dan politisasi yang tiada henti. Mereka seolah menggulirkan batu
pengetahuan, tapi tak kunjung sampai pada puncak pengetahuan yang lebih tinggi.
Mungkinkah kecendekiawanan yang selama ini kita kenal telah kehilangan
maknanya?
Fenomena yang makin meresahkan di perguruan tinggi
adalah obral gelar akademis yang semakin marak. Gelar magister dan doktor
seolah menjadi barang dagangan yang mudah diperoleh tanpa menghiraukan kualitas
pendidikan dan penelitian. Di tengah persaingan karier dan jabatan, gelar-gelar
itu hanya menjadi simbol status, bukan cermin kedalaman ilmu dan kontribusi
intelektual yang nyata.
Kondisi ini tak hanya merusak citra perguruan tinggi,
tapi juga mengurangi makna gelar akademik itu sendiri. Seharusnya, gelar adalah
buah dari perjalanan intelektual yang panjang dan penuh komitmen. Namun yang
terjadi justru penurunan kualitas pendidikan, di mana gelar dianggap alat
meraih posisi dan pengaruh, bukan sebagai pencapaian ilmiah yang sahih.
Lebih memprihatinkan lagi, praktik penumpangan nama di
artikel ilmiah demi memenuhi syarat kenaikan pangkat atau jabatan guru besar
juga semakin lazim. Ini bukan sekadar soal formalitas administratif, melainkan
penghinaan terhadap esensi riset dan pencarian kebenaran. Penelitian yang
seharusnya menjadi wahana menggali kebenaran, kini malah dijadikan alat untuk
mendapatkan keuntungan pribadi, seperti status akademik.
Para akademisi ini lebih mengutamakan pencapaian
pribadi daripada kontribusi nyata pada ilmu pengetahuan. Mereka menulis artikel
bukan untuk menggali ilmu, melainkan memenuhi tuntutan administratif atau
mendongkrak karier. Inilah gambaran nyata kematian kecendekiawanan, saat ilmu
dikorbankan demi politik dan ambisi pribadi.
Di ruang kelas, mahasiswa kerap menjadi korban. Mereka
diajarkan oleh dosen yang lebih sibuk mengejar pencapaian pribadi daripada
kebenaran ilmiah. Opini yang disampaikan seolah fakta tak terbantahkan, padahal
di baliknya tersembunyi manipulasi dan ketidakjujuran. Mahasiswa, yang
seharusnya dibimbing berpikir kritis dan mandiri, malah terperangkap dalam
kebohongan yang diajarkan.
Akademisi seharusnya menjadi teladan integritas dan
pencarian kebenaran. Namun ketika mereka menyampaikan pendapat pribadi tanpa
dasar ilmiah kuat, mereka gagal memenuhi fungsi utama sebagai pengajar dan
pembimbing. Ini tragedi besar, karena mahasiswa yang belum berpengalaman
menerima apa adanya tanpa mempertanyakan kebenaran.
Faktor politik juga sangat berperan dalam merusak
kecendekiawanan. Perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tempat mencari
kebenaran malah berubah menjadi arena perebutan kekuasaan. Posisi-posisi
penting sering diperoleh melalui politik, bukan kemampuan atau integritas
ilmiah.
Akademisi yang terjebak dalam politik ini lupa akan
perannya sebagai penjaga ilmu pengetahuan. Mereka lebih mementingkan posisi dan
pengaruh daripada menjaga nilai kecendekiawanan yang seharusnya dijunjung
tinggi. Ketika politik merasuk ke dunia akademik, integritas dan kualitas
pendidikan pun ikut terkikis.
Kondisi ini diperkuat oleh analisis Tom Nichols dalam
buku The Death of Expertise (2017). Nichols mengungkap bagaimana
masyarakat modern meremehkan peran para ahli. Teknologi dan kemudahan informasi
membuat orang percaya bahwa semua dapat menjadi ahli hanya dengan mengakses
data, padahal hal ini justru memperparah ketidakpahaman akan pentingnya
kepakaran.
Masyarakat kini lebih percaya pada opini populer
daripada pandangan para ahli. Dalam dunia akademik, hal ini tercermin dalam
sikap meremehkan gelar dan reputasi ilmiah. Gelar dianggap formalitas belaka,
alat untuk keuntungan pribadi, bukan indikator kualitas ilmu yang diperoleh.
Ironisnya, banyak akademisi pun terjebak dalam tren
ini. Mereka mengadopsi pandangan yang tidak berbasis keahlian memadai, lalu
menyebarkan kebohongan yang mereka anggap sebagai ilmu. Ini menciptakan
lingkaran setan pembelajaran tidak bermutu di ranah akademik.
Bagaimana jika dosen-dosen yang mestinya garda
terdepan mencari kebenaran justru terperangkap kepentingan pribadi? Dunia
akademik kita akan kehilangan arah dan harapan. Tanpa kejujuran dan integritas,
ilmu pengetahuan tak akan berkembang. Kepercayaan publik terhadap perguruan
tinggi pun akan terus memudar.
Seorang akademisi sejati harus bertanggung jawab tidak
hanya terhadap ilmu, tapi juga masyarakat. Mereka memegang amanah besar agar
pengetahuan yang dikembangkan dipergunakan untuk tujuan baik, bukan
disalahgunakan untuk politik atau kepentingan pribadi. Namun, ketika
kecendekiawanan dibayangi ambisi pribadi, nilai-nilai luhur mulai tergerus.
Gelar, jabatan, dan pengakuan pribadi lebih diutamakan, sementara kejujuran
ilmiah dipinggirkan.
Fenomena ini memperlihatkan jauhnya jarak antara
idealisme kecendekiawanan dan kenyataan di lapangan. Akademisi yang sejati
adalah penjaga kebenaran dan moralitas ilmu, bukan alat permainan kekuasaan. Mereka
harus mengingat bahwa tanggung jawabnya tidak hanya pada diri sendiri,
melainkan pada masyarakat luas yang mengandalkan integritas dan kejujuran. Ini
panggilan kembali untuk berkomitmen pada ilmu dan masyarakat.
Peran seorang akademisi sejati bukan sekadar mengajar
atau meneliti demi keuntungan pribadi, tetapi menjadi penjaga moral dan
kebenaran ilmu pengetahuan. Mereka harus berani berjalan di jalan yang benar,
meski bertentangan dengan kepentingan pribadi atau politik. Jika gagal
menjalankan tugas mulia ini, seseorang tidak lagi pantas disebut cendekiawan.
Ia hanyalah bagian dari sistem yang mengedepankan keuntungan pribadi di atas
kebenaran ilmiah.
Tragedi terbesar dunia akademik kita adalah kematian
kecendekiawanan sejati yang menjadi pilar utama kemajuan ilmu dan masyarakat.
Kembali ke Nilai Kecendekiawanan Sejati
Untuk mengatasi kematian kecendekiawanan, kita harus
kembali pada nilai-nilai dasar dunia akademik. Pendidikan tinggi mesti menjadi
tempat pencarian kebenaran, tempat mahasiswa dididik berpikir kritis, dan
tempat akademisi menjunjung tinggi integritas.
Mahasiswa perlu dibimbing agar mandiri dan kritis,
akademisi harus mengedepankan kejujuran dan integritas dalam karya dan
sikapnya. Perguruan tinggi bukan arena mencari gelar dan jabatan, melainkan
ladang pengembangan ilmu dan karakter.
Jika kita terus terjebak dalam politik dan ambisi
pribadi, pendidikan tinggi kehilangan makna. Tidak ada yang lebih penting
daripada menjaga integritas dan kejujuran akademik. Tanpa nilai-nilai ini,
pendidikan gagal menciptakan masyarakat cerdas dan terbuka. Kita akan semakin
jauh dari tujuan sejati pendidikan.
Masa depan kecendekiawanan bergantung pada kemampuan
kita menjaga integritas dan komitmen pada ilmu. Akademisi harus selalu ingat
mereka penjaga kebenaran, bukan sekadar pengajar. Mereka harus melaksanakan
tugas dengan penuh tanggung jawab, menjauhi godaan politik dan ambisi yang
merusak esensi kecendekiawanan.
Jika kejujuran bisa dijaga, kecendekiawanan sejati
akan hidup kembali. Ini satu-satunya jalan mengembalikan perguruan tinggi pada
fungsinya yang mulia. Pendidikan tinggi harus menjadi mercusuar kebenaran dan
intelektualitas tulus, menciptakan masyarakat lebih baik lewat ilmu yang jujur
dan bermakna.
Kembali pada nilai-nilai ini akan memulihkan
kepercayaan publik pada dunia akademik. Akademisi akan mendapat tempat sejati
sebagai pelita ilmu dan pencerahan. Mari kita songsong masa depan
kecendekiawanan yang mampu menjaga integritas dan memperkuat peradaban bangsa.
Ini tanggung jawab bersama demi dunia pendidikan dan masyarakat luas.