Oleh: Syamsul Kurniawan
Sumpah adalah sebuah bentuk ikrar yang mengandung unsur penguatan dalam
setiap perkataan yang diucapkan. Dalam Islam, sumpah tidak hanya berfungsi
sebagai alat penguat pernyataan, tetapi juga merupakan cerminan kesungguhan dan
komitmen terhadap kebenaran. Namun, ada saatnya ketika sumpah diucapkan tanpa
niat atau tujuan yang jelas, sehingga menjadi sebuah perbuatan yang sia-sia.
Menghindari sumpah yang sia-sia ini penting, bukan hanya untuk menjaga
integritas, tetapi juga untuk menghindari perbuatan yang dapat menjerumuskan
kita pada kesalahan.
Sebagai agama yang sangat mendetail dalam mengatur tata cara kehidupan
umatnya, Islam memberikan pedoman yang jelas tentang bagaimana seharusnya kita
bersumpah. Sumpah yang diucapkan dengan niat dan kesungguhan akan memiliki
nilai hukum tertentu, sedangkan sumpah yang diucapkan dengan tanpa kesadaran
atau tanpa maksud yang jelas bisa dianggap sebagai sumpah yang tidak dihukum,
atau bahkan menjadi sebuah kesalahan.
Al-Qur'an mengingatkan kita dalam Surah al-Baqarah [2:225], "Allah
tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak kamu
maksudkan..." Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak menganggap sumpah
yang diucapkan secara sembarangan, tanpa niat, sebagai sumpah yang sah. Hal ini
mengingatkan kita bahwa perkataan yang keluar dari mulut kita hendaknya tidak
hanya sekedar formalitas, tetapi harus diiringi dengan kesungguhan dan niat
yang jelas.
Sebagaimana Aisyah radhiyallahu ‘anha menjelaskan, sumpah yang tidak
dimaksudkan sebagai sumpah tidak akan dihukum, dan ini seringkali terjadi dalam
percakapan sehari-hari. Kita mungkin sering mendengar kalimat seperti
"Demi Allah, saya tidak tahu," atau "Benar, demi Allah,"
tanpa benar-benar bermaksud bersumpah. Kalimat-kalimat semacam ini, meskipun
terucap dari mulut kita, tidaklah sah sebagai sumpah menurut syariat, karena
tidak ada niat untuk bersumpah.
Namun, sumpah yang tidak bermakna atau yang disebut laghwul yamiin
(sumpah yang sia-sia) tetap dapat berdampak pada kehidupan kita. Meskipun tidak
dihukum, perilaku ini menandakan ketidakpastian dalam setiap perkataan yang
kita ucapkan. Dalam kehidupan sosial, sumpah yang demikian bisa merusak
kredibilitas seseorang, membuat orang lain ragu, dan memperburuk hubungan
interpersonal. Ketika seseorang mengucapkan sumpah tanpa niat yang jelas, ia
sebenarnya sedang mengurangi nilai kata-katanya sendiri, merusak integritas dan
kepercayaan orang lain.
Dalam konteks hukum Islam, sumpah juga berkaitan dengan kesungguhan
hati. Seseorang yang mengucapkan sumpah harus memiliki niat yang kuat, dan
tidak boleh terpaksa. Islam dengan tegas menegaskan bahwa hanya orang yang
sudah mukallaf (baligh dan berakal) yang dapat dikenai kewajiban bersumpah. Hal
ini menunjukkan bahwa sumpah bukanlah sebuah tindakan sembarangan, melainkan
sebuah keputusan yang memerlukan kesadaran penuh dari individu yang
mengucapkannya.
Lebih lanjut, sumpah juga harus dilakukan dengan menyebut nama Allah,
karena hanya Allah-lah yang patut diagungkan dalam setiap sumpah yang kita
ucapkan. Ini mengingatkan kita bahwa sumpah adalah bentuk pengagungan terhadap
Allah, bukan terhadap makhluk-Nya atau apapun selain-Nya. Dalam banyak hadis,
Rasulullah SAW mengingatkan kita untuk tidak bersumpah dengan selain nama
Allah, karena hal tersebut dapat mengarah pada kesyirikan. Hal ini adalah
pengingat bahwa sumpah bukan hanya soal kata-kata, tetapi tentang makna
spiritual yang terkandung di dalamnya.
Menghindari sumpah yang sia-sia juga berarti menjaga diri agar tidak
terlalu sering mengucapkan sumpah. Dalam al-Qur'an, Allah berfirman, "Jagalah
sumpah-sumpah kalian..." (QS. al-Maidah [5]: 89). Hal ini menunjukkan
bahwa bersumpah, meskipun dibolehkan, sebaiknya tidak dilakukan dengan
terburu-buru atau tanpa pertimbangan yang matang. Sering bersumpah dapat
membuat makna sumpah itu sendiri menjadi tereduksi. Sumpah yang sering
diucapkan bisa kehilangan bobotnya dan menjadi hanya sekedar formalitas belaka.
Maka, menjaga keseriusan dan keikhlasan dalam setiap sumpah sangat penting.
Di sisi lain, para ulama menjelaskan bahwa ada jenis-jenis sumpah yang
dibenarkan dalam Islam, seperti sumpah yang wajib, sunnah, mubah, haram, dan
makruh. Sumpah yang wajib, misalnya, adalah sumpah yang diperlukan untuk
membela kebenaran, seperti saat bersaksi di pengadilan untuk mencegah
kedzaliman. Sumpah yang sunnah bisa dilakukan untuk meneguhkan niat berbuat
baik, seperti berpuasa pada hari-hari tertentu. Sumpah yang haram terjadi
ketika seseorang bersumpah untuk melakukan perbuatan haram atau untuk meninggalkan
kewajiban. Sumpah yang makruh juga bisa terjadi jika kita bersumpah untuk
melakukan hal-hal yang tidak dianjurkan, seperti begadang semalam suntuk.
Sumpah yang tidak bermakna, atau yang kita sebut sebagai laghwul
yamiin, bisa dilihat sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri. Meskipun
tidak dihukum secara langsung, sumpah seperti ini menandakan kita tidak cukup
berhati-hati dalam berbicara. Dalam hidup bermasyarakat, kredibilitas adalah
salah satu nilai yang sangat penting, dan sumpah yang tidak berarti hanya akan
mengikis kepercayaan orang lain terhadap kita.
Selain itu, sumpah yang tidak dihargai juga berpotensi untuk menjadi
pemicu dari sumpah ghomus. Sumpah ghomus adalah sumpah yang diucapkan dengan
niat untuk berdusta, sehingga dapat menyebabkan seseorang terjerumus dalam dosa
besar. Sumpah ini, yang seringkali digunakan untuk mengambil hak orang lain,
menenggelamkan pelakunya dalam dosa yang besar, bahkan bisa mengantarkan
seseorang ke dalam neraka. Sumpah semacam ini adalah bentuk pelanggaran yang
sangat serius, dan bagi mereka yang melakukannya, tidak ada jalan keluar
kecuali dengan bertobat kepada Allah.
Melanggar sumpah juga memiliki konsekuensi yang jelas dalam Islam. Jika
seseorang melanggar sumpah yang telah diucapkan, maka dia wajib membayar
kafaroh (tebusan sumpah). Kafaroh sumpah ini dapat berupa memberi makan sepuluh
orang miskin, memberikan pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang
budak. Jika seseorang tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal tersebut,
maka dia harus berpuasa selama tiga hari berturut-turut. Hal ini menunjukkan
bahwa sumpah bukan hanya sebuah ucapan kosong, tetapi sebuah komitmen yang
harus dihargai dan dipenuhi.
Kehidupan sehari-hari kita sering kali dipenuhi dengan kata-kata yang
mudah terucap begitu saja, termasuk sumpah. Namun, kita harus ingat bahwa
setiap perkataan kita memiliki makna dan dampaknya. Sumpah yang diucapkan tanpa
kesungguhan atau hanya sebagai kebiasaan bisa mengarah pada kelalaian dan
kesalahan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kita untuk berbicara dengan penuh
kesadaran dan kejujuran, serta untuk menjaga sumpah dengan hati yang tulus.
Sumpah yang sia-sia sering kali disebabkan oleh ketidaksadaran atau
kebiasaan berbicara tanpa pertimbangan. Oleh karena itu, kita perlu menjaga
diri dari kecenderungan untuk bersumpah secara berlebihan atau tanpa tujuan
yang jelas. Dalam berinteraksi dengan orang lain, kejujuran dan kesungguhan
harus menjadi dasar dari setiap ucapan, bukan sekedar sumpah yang tidak
bermakna.
Pada akhirnya, sumpah adalah alat untuk menguatkan kebenaran dan
menunjukkan keseriusan. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak menjadikannya
sebagai alat yang merusak integritas kita. Menghindari sumpah yang sia-sia
adalah bentuk penghormatan terhadap kebenaran dan kepercayaan yang dibangun
antara kita dengan sesama. Sumpah seharusnya tidak hanya menjadi ungkapan yang
terucap begitu saja, tetapi harus mencerminkan niat yang tulus dan komitmen
terhadap kebenaran.
Dengan demikian, sumpah adalah sebuah konsep yang tidak bisa dianggap
enteng. Setiap sumpah yang kita ucapkan memiliki makna dan konsekuensi, baik
secara hukum maupun moral. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam
menggunakannya, dan menghindari sumpah yang sia-sia yang hanya akan merugikan
diri kita sendiri.
***
Setelah membahas sumpah dalam konteks agama, penting juga untuk
mencermati bagaimana kebiasaan seseorang dalam berbicara, terutama terkait
dengan sumpah, dapat berkembang dan menjadi kebiasaan yang merusak
integritasnya. Dalam perspektif Atomic Habits, yang diuraikan dalam buku karya
James Clear (2018), kebiasaan adalah hasil dari proses berulang yang terjadi
seiring waktu, yang bisa membentuk karakter dan perilaku seseorang. Perubahan
kecil yang terjadi dalam kebiasaan sehari-hari ternyata dapat membawa dampak
yang luar biasa.
Jika kita melihat fenomena orang yang berdusta dengan sumpahnya, bisa
jadi ini adalah akibat dari kebiasaan buruk yang terbentuk seiring waktu.
Misalnya, seseorang yang terbiasa menggunakan kata-kata seperti "Demi
Allah, saya tidak tahu," atau "Demi Allah, saya pasti akan
melakukannya," meskipun mereka tahu bahwa pernyataan tersebut tidak
sepenuhnya benar. Kebiasaan ini mungkin dimulai dengan ucapan yang tidak
berarti, yang kemudian menjadi lebih sering dan lebih mudah terucap. Lama-kelamaan,
ucapan ini bisa menjadi bagian dari kebiasaan, sehingga mereka tidak lagi
merasa berat untuk mengucapkan sumpah palsu, atau bahkan berbohong saat
bersumpah.
Dalam Atomic Habits, James Clear menjelaskan bahwa kebiasaan terbentuk
melalui tiga komponen utama: isyarat, rutinitas, dan penghargaan. Isyarat
adalah pemicu yang membuat seseorang melakukan suatu tindakan, rutinitas adalah
tindakan yang dilakukan, dan penghargaan adalah hasil yang didapat dari
tindakan tersebut. Dalam konteks kebiasaan berdusta dengan sumpah, isyarat bisa
berupa situasi di mana seseorang merasa tertekan untuk membuktikan kebenaran
ucapan mereka, atau merasa bahwa mereka harus membenarkan sesuatu untuk
menghindari rasa malu atau canggung. Rutinitasnya adalah bersumpah dengan
menyebut nama Allah atau menggunakan ungkapan-ungkapan sakral untuk menguatkan
kebohongan mereka. Penghargaan yang mereka rasakan bisa berupa rasa lega
sementara karena mereka berhasil menghindari masalah atau rasa canggung yang
lebih besar.
Namun, kebiasaan buruk ini bisa sangat merusak jika dibiarkan
terus-menerus. Kebiasaan berdusta, terutama ketika diikat dengan sumpah, dapat
menghancurkan integritas seseorang dalam jangka panjang. Apalagi, sumpah yang
berbohong, yang dalam ajaran Islam disebut sebagai sumpah ghomus, tidak hanya
merusak moral tetapi juga mendatangkan dosa besar yang sulit ditebus tanpa
pertobatan yang tulus.
Atomic Habits juga menawarkan solusi untuk mengubah kebiasaan buruk
menjadi kebiasaan baik melalui perubahan kecil yang konsisten. Salah satu
caranya adalah dengan mengganti kebiasaan lama dengan kebiasaan baru yang lebih
positif. Misalnya, seseorang bisa mulai dengan memperhatikan kata-katanya dan
berusaha untuk lebih jujur, bahkan dalam hal-hal kecil. Menggunakan sistem
penghargaan positif yang sehat, seperti merasa puas dan bangga karena bisa
mengatakan kebenaran, dapat menjadi langkah awal untuk menggantikan kebiasaan
berdusta dengan sumpah.
Dalam konteks sumpah, kebiasaan berbicara dengan kesungguhan dan
integritas perlu dibangun. Setiap kali seseorang bertekad untuk berkata jujur
dan menghindari berbohong, mereka memperkuat kebiasaan tersebut. Menggunakan
kalimat seperti "Insya Allah," yang berarti menggantungkan takdir
pada kehendak Allah, bisa menjadi kebiasaan yang lebih bijak daripada sekadar
bersumpah demi menunjukkan kebenaran. Dengan demikian, melalui kebiasaan kecil
yang konsisten, seseorang dapat membangun karakter yang lebih kuat dan jujur
dalam perkataan dan perbuatan, yang pada akhirnya mengarah pada kehidupan yang
lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Penting untuk diingat bahwa setiap kebiasaan dimulai dari langkah kecil.
Jika kita ingin menghindari sumpah yang sia-sia atau berbohong dalam sumpah,
kita harus mulai dengan kebiasaan memperhatikan kata-kata kita, serta menjaga
komitmen untuk selalu berkata jujur, walau terkadang itu sulit. Dengan
menerapkan prinsip-prinsip perubahan kebiasaan dari Atomic Habits, kita dapat
mengembangkan kebiasaan berbicara dengan kesungguhan dan menghindari kebiasaan
buruk yang merusak integritas kita.***