Iklan

Kegilaan Zaman dan "Hari Pertama di Neraka”

syamsul kurniawan
Saturday, June 14, 2025
Last Updated 2025-06-14T09:41:49Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pernahkah kita berpikir tentang betapa mudahnya masyarakat, terutama di era digital ini, menerima segala sesuatu yang datang dalam bentuk hiburan atau informasi? Kehadiran video viral berjudul Hari Pertama di Neraka, yang menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk menggambarkan sebuah narasi kehidupan setelah mati, mengingatkan kita pada potret kegilaan zaman yang seolah melupakan kebijaksanaan Pancasila. Video ini, yang menciptakan geger di media sosial, seakan menjadi pengingat bagi kita semua tentang bagaimana kegilaan sosial terbentuk dan berkembang di tengah kegemparan informasi yang tak terkontrol.

 

Di balik video tersebut, bukan hanya soal teknik pembuatan konten atau kecanggihan AI. Lebih dari itu, terdapat fenomena sosial yang menggambarkan ketidakmampuan masyarakat dalam menangani informasi dengan bijak dan kritis. Banyak pihak, terutama para agamawan, yang dalam kritik mereka terhadap video ini, menyoroti potensi penyesatan yang dapat memengaruhi pandangan moral masyarakat, terutama ketika nilai-nilai agama dan kebangsaan dipertaruhkan. Video tersebut menampilkan gambaran suram yang bertentangan dengan prinsip moral, serta menyimpang dari akal sehat dan tradisi budaya bangsa yang telah lama terbentuk.

 

Kegilaan Sosial dan Teknologi

 
Fenomena ini bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Michel Foucault dalam Madness and Civilization (1964), kegilaan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga merupakan konstruk sosial yang dibuat dan dipelihara oleh kekuasaan. Dalam konteks ini, kita sedang menyaksikan sebuah fenomena kegilaan sosial yang dipelihara oleh kemajuan teknologi yang seharusnya bisa digunakan untuk kebaikan, tetapi justru dimanfaatkan untuk menciptakan distorsi dalam realitas. Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi, terkhusus dalam bidang kecerdasan buatan (AI), kita berada dalam dunia simulakra yang telah menggantikan realitas yang sesungguhnya.

 

Teknologi seperti AI memungkinkan terciptanya gambaran-gambaran yang sangat realistis, tetapi bukan kenyataan. Dunia yang semula dibangun oleh nilai dan prinsip sosial kini digantikan dengan hiperrealitas—sebuah dunia yang lebih kuat citranya dibandingkan kenyataan itu sendiri. Video seperti Hari Pertama di Neraka hanya salah satu contoh bagaimana gambaran semu ini dapat membentuk persepsi publik dan mengubah pemahaman kita tentang apa yang benar dan salah.

 

Pancasila, yang seharusnya menjadi kompas moral bangsa ini, juga menghadapi tantangan besar di tengah kegilaan zaman ini. Sebagai dasar negara, Pancasila harus mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial. Namun, dalam dunia di mana opini dan informasi mudah diproduksi tanpa pengawasan yang memadai, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila semakin terpinggirkan. Ketika nilai kebersamaan dan keadilan sosial tidak lagi diterjemahkan dalam tindakan nyata, kita terancam kehilangan arah.


Inilah yang membuat pentingnya membicarakan Pancasila di bulan Juni. Bulan ini bukan sekadar waktu yang berlalu begitu saja, melainkan sebuah bulan yang mengandung makna mendalam bagi bangsa Indonesia. Pada 1 Juni, kita memperingati Hari Lahirnya Pancasila, sebuah momentum yang seharusnya mengingatkan kita untuk kembali menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Pancasila lahir sebagai dasar negara dan ideologi bangsa, bukan sebagai simbol kosong yang hanya dilantunkan dalam upacara seremonial, tetapi untuk diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, sepanjang bulan ini, refleksi tersebut tetap relevan untuk terus dibicarakan.

 

Di tengah kemajuan teknologi yang menciptakan realitas virtual yang semakin jauh dari kenyataan, kita harus memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi pedoman hidup yang menuntun kita untuk menghargai perbedaan, menjunjung keadilan, dan membangun persatuan. Dengan demikian, relevansi Pancasila di bulan Juni ini seharusnya menjadi refleksi bersama tentang bagaimana kita menghadapi tantangan zaman, yang kerap kali menciptakan distorsi nilai-nilai luhur dalam masyarakat.

 

Mendalami Kembali Esensi Pancasila, Mengapa Penting?


Di tengah arus informasi yang semakin mengalir deras dan tak terkontrol, kita harus ingat kembali pada esensi nilai Pancasila. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", mengingatkan kita tentang pentingnya spiritualitas dan moralitas yang tidak bisa digantikan dengan simbol semata. Begitu juga sila-sila lainnya, yang menggarisbawahi pentingnya kebersamaan dalam keberagaman, persatuan dalam perbedaan, dan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.

 

Pendidikan dan literasi media menjadi kunci untuk menghadapi fenomena seperti video Hari Pertama di Neraka. Seharusnya, pendidikan tidak hanya mengajarkan kita tentang pengetahuan akademis, tetapi juga membekali kita dengan kemampuan untuk berpikir kritis, mengenali hoaks, dan menjaga nilai-nilai moral yang menjadi fondasi kehidupan bersama. Jika tidak, kita berisiko menjadi masyarakat yang terjebak dalam dunia simulakra, di mana gambaran yang tampak lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

 

Peran media, khususnya media sosial, juga harus diakui. Di satu sisi, media sosial memberikan platform untuk setiap individu berbicara dan mengekspresikan pendapatnya. Namun, di sisi lain, media sosial sering kali menjadi medan penyebaran hoaks dan informasi yang tidak terverifikasi, yang memperburuk polarisasi sosial. Dengan literasi digital yang memadai, masyarakat akan mampu menyaring informasi dengan lebih bijaksana, serta menjadikan media sosial sebagai alat yang lebih konstruktif dalam membangun diskursus yang sehat dan beradab.

 

Sebagai penutup, kita harus menegaskan kembali bahwa Pancasila bukan hanya sebuah simbol yang dikumandangkan dalam setiap upacara, tetapi harus hidup dalam praktik sehari-hari. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dijadikan pedoman dalam mengambil keputusan, membangun kesadaran sosial, dan menjaga harmoni dalam keberagaman. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau elit politik, tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara.

 

Jika kita membiarkan video seperti Hari Pertama di Neraka hanya menjadi sebuah viralitas tanpa makna, kita bisa jatuh ke dalam kegilaan sosial yang lebih besar—yaitu ketidakpedulian terhadap nilai-nilai moral yang telah memperkuat bangsa ini sejak dulu. Di tengah kegilaan zaman yang terus berkembang, mari kita kembali menghidupkan suara Pancasila sebagai pengingat bahwa kebebasan berpendapat dan keberagaman harus dihargai, namun tetap dalam kerangka yang mencerminkan rasa tanggung jawab terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal.


Pada akhirnya, kita seolah-olah berada di persimpangan antara dua dunia: satu yang bergerak cepat dengan kemajuan teknologi, dan satu lagi yang berakar pada nilai-nilai moral, kebersamaan, dan keadilan. Kegilaan zaman ini bukan sekadar soal banjirnya informasi, tetapi bagaimana kita memutuskan untuk memproses dan menggunakannya dengan bijak. Dalam menghadapi perubahan yang terus bergerak, kita tidak boleh melupakan bahwa Pancasila, dengan segala kearifannya, tetap menjadi dasar yang mengikat kita sebagai bangsa yang beragam untuk tetap melangkah di jalan yang benar. Lalu, dalam dunia yang terus berkembang ini, apakah kita masih mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab?.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now