Oleh: Syamsul Kurniawan
Pernahkah kita berpikir
tentang betapa mudahnya masyarakat, terutama di era digital ini, menerima
segala sesuatu yang datang dalam bentuk hiburan atau informasi? Kehadiran video
viral berjudul Hari Pertama di Neraka, yang menggunakan teknologi
kecerdasan buatan (AI) untuk menggambarkan sebuah narasi kehidupan setelah
mati, mengingatkan kita pada potret kegilaan zaman yang seolah melupakan
kebijaksanaan Pancasila. Video ini, yang menciptakan geger di media sosial, seakan
menjadi pengingat bagi kita semua tentang bagaimana kegilaan sosial terbentuk
dan berkembang di tengah kegemparan informasi yang tak terkontrol.
Di balik video
tersebut, bukan hanya soal teknik pembuatan konten atau kecanggihan AI. Lebih
dari itu, terdapat fenomena sosial yang menggambarkan ketidakmampuan masyarakat
dalam menangani informasi dengan bijak dan kritis. Banyak pihak, terutama para
agamawan, yang dalam kritik mereka terhadap video ini, menyoroti potensi
penyesatan yang dapat memengaruhi pandangan moral masyarakat, terutama ketika
nilai-nilai agama dan kebangsaan dipertaruhkan. Video tersebut menampilkan
gambaran suram yang bertentangan dengan prinsip moral, serta menyimpang dari
akal sehat dan tradisi budaya bangsa yang telah lama terbentuk.
Kegilaan Sosial dan
Teknologi
 
Fenomena ini bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Seperti yang
diungkapkan oleh Michel Foucault dalam Madness and Civilization (1964),
kegilaan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga merupakan konstruk sosial
yang dibuat dan dipelihara oleh kekuasaan. Dalam konteks ini, kita sedang
menyaksikan sebuah fenomena kegilaan sosial yang dipelihara oleh kemajuan
teknologi yang seharusnya bisa digunakan untuk kebaikan, tetapi justru
dimanfaatkan untuk menciptakan distorsi dalam realitas. Seiring dengan pesatnya
perkembangan teknologi, terkhusus dalam bidang kecerdasan buatan (AI), kita
berada dalam dunia simulakra yang telah menggantikan realitas yang
sesungguhnya.
Teknologi seperti AI
memungkinkan terciptanya gambaran-gambaran yang sangat realistis, tetapi bukan
kenyataan. Dunia yang semula dibangun oleh nilai dan prinsip sosial kini
digantikan dengan hiperrealitas—sebuah dunia yang lebih kuat citranya
dibandingkan kenyataan itu sendiri. Video seperti Hari Pertama di Neraka
hanya salah satu contoh bagaimana gambaran semu ini dapat membentuk persepsi
publik dan mengubah pemahaman kita tentang apa yang benar dan salah.
Pancasila, yang
seharusnya menjadi kompas moral bangsa ini, juga menghadapi tantangan besar di
tengah kegilaan zaman ini. Sebagai dasar negara, Pancasila harus mampu menjaga
keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial. Namun, dalam dunia di
mana opini dan informasi mudah diproduksi tanpa pengawasan yang memadai,
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila semakin terpinggirkan. Ketika
nilai kebersamaan dan keadilan sosial tidak lagi diterjemahkan dalam tindakan
nyata, kita terancam kehilangan arah.
Inilah yang membuat pentingnya membicarakan Pancasila
di bulan Juni. Bulan ini bukan sekadar waktu yang berlalu begitu saja,
melainkan sebuah bulan yang mengandung makna mendalam bagi bangsa Indonesia.
Pada 1 Juni, kita memperingati Hari Lahirnya Pancasila, sebuah momentum yang
seharusnya mengingatkan kita untuk kembali menghayati nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya. Pancasila lahir sebagai dasar negara dan ideologi
bangsa, bukan sebagai simbol kosong yang hanya dilantunkan dalam upacara seremonial,
tetapi untuk diterapkan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, sepanjang bulan ini, refleksi tersebut tetap relevan untuk
terus dibicarakan.
Di tengah kemajuan
teknologi yang menciptakan realitas virtual yang semakin jauh dari kenyataan,
kita harus memastikan bahwa Pancasila tetap menjadi pedoman hidup yang menuntun
kita untuk menghargai perbedaan, menjunjung keadilan, dan membangun persatuan.
Dengan demikian, relevansi Pancasila di bulan Juni ini seharusnya menjadi
refleksi bersama tentang bagaimana kita menghadapi tantangan zaman, yang kerap
kali menciptakan distorsi nilai-nilai luhur dalam masyarakat.
Mendalami Kembali
Esensi Pancasila, Mengapa Penting?
Di tengah arus informasi yang semakin mengalir deras dan tak terkontrol, kita
harus ingat kembali pada esensi nilai Pancasila. Sila pertama, "Ketuhanan
Yang Maha Esa", mengingatkan kita tentang pentingnya spiritualitas dan
moralitas yang tidak bisa digantikan dengan simbol semata. Begitu juga
sila-sila lainnya, yang menggarisbawahi pentingnya kebersamaan dalam
keberagaman, persatuan dalam perbedaan, dan keadilan sosial untuk seluruh
rakyat Indonesia.
Pendidikan dan literasi
media menjadi kunci untuk menghadapi fenomena seperti video Hari Pertama di
Neraka. Seharusnya, pendidikan tidak hanya mengajarkan kita tentang
pengetahuan akademis, tetapi juga membekali kita dengan kemampuan untuk
berpikir kritis, mengenali hoaks, dan menjaga nilai-nilai moral yang menjadi
fondasi kehidupan bersama. Jika tidak, kita berisiko menjadi masyarakat yang
terjebak dalam dunia simulakra, di mana gambaran yang tampak lebih nyata
daripada kenyataan itu sendiri.
Peran media, khususnya
media sosial, juga harus diakui. Di satu sisi, media sosial memberikan platform
untuk setiap individu berbicara dan mengekspresikan pendapatnya. Namun, di sisi
lain, media sosial sering kali menjadi medan penyebaran hoaks dan informasi
yang tidak terverifikasi, yang memperburuk polarisasi sosial. Dengan literasi
digital yang memadai, masyarakat akan mampu menyaring informasi dengan lebih
bijaksana, serta menjadikan media sosial sebagai alat yang lebih konstruktif
dalam membangun diskursus yang sehat dan beradab.
Sebagai penutup, kita
harus menegaskan kembali bahwa Pancasila bukan hanya sebuah simbol yang
dikumandangkan dalam setiap upacara, tetapi harus hidup dalam praktik
sehari-hari. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila harus dijadikan
pedoman dalam mengambil keputusan, membangun kesadaran sosial, dan menjaga
harmoni dalam keberagaman. Ini bukan hanya tugas pemerintah atau elit politik,
tetapi juga tanggung jawab kita semua sebagai warga negara.
Jika kita membiarkan
video seperti Hari Pertama di Neraka hanya menjadi sebuah viralitas
tanpa makna, kita bisa jatuh ke dalam kegilaan sosial yang lebih besar—yaitu
ketidakpedulian terhadap nilai-nilai moral yang telah memperkuat bangsa ini
sejak dulu. Di tengah kegilaan zaman yang terus berkembang, mari kita kembali
menghidupkan suara Pancasila sebagai pengingat bahwa kebebasan berpendapat dan
keberagaman harus dihargai, namun tetap dalam kerangka yang mencerminkan rasa
tanggung jawab terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
Pada akhirnya, kita seolah-olah berada di persimpangan
antara dua dunia: satu yang bergerak cepat dengan kemajuan teknologi, dan satu
lagi yang berakar pada nilai-nilai moral, kebersamaan, dan keadilan. Kegilaan
zaman ini bukan sekadar soal banjirnya informasi, tetapi bagaimana kita
memutuskan untuk memproses dan menggunakannya dengan bijak. Dalam menghadapi
perubahan yang terus bergerak, kita tidak boleh melupakan bahwa Pancasila,
dengan segala kearifannya, tetap menjadi dasar yang mengikat kita sebagai bangsa
yang beragam untuk tetap melangkah di jalan yang benar. Lalu, dalam dunia yang
terus berkembang ini, apakah kita masih mampu menjaga keseimbangan antara
kebebasan dan tanggung jawab?.***


