Oleh: Syamsul
Kurniawan
KOTA-kota
besar di Indonesia selalu dipenuhi dengan pemandangan yang tidak pernah
berubah: anak-anak yang mencari nafkah di jalan, menjual barang-barang kecil,
atau mengemis dari satu mobil ke mobil lain. Setiap kali lampu merah menyala,
mereka datang, mengetuk kaca mobil dengan harapan bisa mendapatkan sedikit
perhatian, uang, atau makanan. Mereka yang dikenal sebagai anak jalanan, sering
kali menjadi simbol dari masalah sosial yang terus berlarut-larut. Selama
bertahun-tahun, anak jalanan telah menjadi bagian dari narasi yang tidak pernah
berakhir. Dan di setiap musim pemilu, mereka kembali dipamerkan dalam narasi
politik sebagai objek simpati, seolah-olah hanya dengan sedikit perhatian dari
pemerintah atau masyarakat, nasib mereka akan berubah. Namun kenyataannya,
mereka tetap terperangkap dalam realitas yang keras, berulang setiap tahunnya.
Politisi,
dalam peran mereka sebagai aktor utama dalam drama ini, sering kali memainkan
peran yang hampir sama: menjanjikan perubahan dan memperjuangkan kesejahteraan
anak jalanan. Panggung depan, dalam pandangan Erving Goffman (1956), adalah tempat di
mana aktor—baik itu politisi atau pejabat—berusaha menunjukkan citra terbaik
mereka di hadapan publik. Janji-janji indah tentang perbaikan kehidupan anak
jalanan diungkapkan dengan penuh keyakinan. Namun, seperti yang dicontohkan
oleh Goffman, apa yang terlihat di panggung depan seringkali tidak mencerminkan
kenyataan yang terjadi di belakang layar. Di balik janji-janji tersebut,
kebijakan-kebijakan sering kali tidak menyentuh akar permasalahan yang
sebenarnya. Anak-anak ini tetap terpinggirkan dalam kehidupan yang keras, tanpa
perubahan yang berarti dalam kebijakan pemerintah. Mereka hanyalah komoditas
politik, digunakan untuk meraih simpati pemilih tanpa adanya upaya konkret
untuk mengubah keadaan mereka.
Panggung
belakang adalah tempat di mana peran yang sesungguhnya dimainkan. Di sinilah
kebijakan-kebijakan besar dirancang, namun sering kali diabaikan demi
kepentingan lain. Anak jalanan yang menjadi perhatian utama di panggung depan,
di panggung belakang justru terlupakan. Meskipun berbagai kebijakan dan program
sosial telah diperkenalkan untuk membantu mereka, pada kenyataannya, mereka
masih tetap terpinggirkan. Ini adalah sebuah permainan di mana anak-anak yang
seharusnya mendapatkan perhatian utama justru menjadi bagian dari narasi
politik yang tidak pernah berakhir. Mereka terpinggirkan dalam sistem sosial
yang lebih fokus pada citra daripada pada masalah yang sebenarnya. Anak-anak
ini bukan hanya korban dari ketidakadilan sosial, tetapi juga dari ketidakpedulian
yang tersembunyi di balik kemegahan panggung politik.
Tiga Wajah
Anak Jalanan
Ketika
membicarakan anak jalanan, kita sering kali mendengar tentang tiga kategori
yang membedakan kondisi mereka. Pertama, ada children on the street,
yaitu anak-anak yang meskipun hidup di jalan, masih memiliki ikatan dengan
keluarga mereka, di mana orang tua mereka masih memberikan perhatian dan mereka
tetap bisa pulang ke rumah. Kedua, ada children of the street, anak-anak
yang sepenuhnya hidup di jalan, terlibat dalam segala aktivitas yang ada di
jalanan, baik itu secara ekonomi maupun sosial, tanpa memiliki tempat tinggal
yang tetap. Terakhir, ada children from families of the street, yakni
anak-anak yang berasal dari keluarga yang juga hidup di jalanan, hidup dalam
kondisi yang sangat terabaikan, dan bertahan hidup dengan cara yang tidak
lazim. Ketiga kategori ini menggambarkan seberapa kompleks dan dalamnya masalah
yang dihadapi oleh anak jalanan. Meskipun mereka memiliki kondisi yang berbeda,
semuanya terhubung dengan ketimpangan sosial yang terus berkembang. Mereka
terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung terputus, menjadi bagian
dari jalanan yang seakan tidak pernah bisa mereka tinggalkan.
Sementara itu,
anak-anak yang berada dalam situasi ini dipaksa untuk bekerja lebih keras
daripada anak-anak seusia mereka. Mereka bukan hanya anak-anak yang bermain dan
belajar, tetapi mereka adalah pekerja yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka dan keluarga mereka. Mereka mengemis, menjual barang, atau
melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya mereka lakukan pada usia mereka. Pada
kenyataannya, seharusnya masalah ekonomi keluarga menjadi tanggung jawab orang
tua, bukan anak-anak. Namun kenyataan berkata lain, mereka justru terpaksa
bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang miskin. Dengan begitu,
mereka kehilangan hak mereka untuk menikmati masa kanak-kanak, yang seharusnya
diisi dengan belajar, bermain, dan tumbuh dalam kasih sayang. Mereka tidak
memiliki kesempatan untuk merasakan kebebasan yang seharusnya dimiliki oleh
setiap anak, bahkan mereka harus menjadi dewasa sebelum waktunya.
Tidak jarang,
anak-anak jalanan ini menjadi korban kekerasan, baik yang bersifat fisik maupun
psikologis. Kekerasan ini datang dari berbagai pihak: masyarakat sekitar yang
menganggap mereka sebagai gangguan, polisi yang sering kali tidak menunjukkan
empati, atau bahkan sesama anak jalanan yang juga terperangkap dalam kehidupan
keras ini. Perlakuan diskriminatif terhadap mereka sering kali tidak disadari,
namun jelas terlihat dalam sikap dan perlakuan orang-orang terhadap mereka.
Suyanto menjelaskan bahwa anak jalanan adalah bagian dari kelompok yang
terpinggirkan dalam masyarakat, sebuah kelompok yang tidak dianggap memiliki
tempat di dalam struktur sosial yang ada. Mereka adalah kelompok yang sering
kali diabaikan, diperlakukan dengan tidak adil, dan dipandang sebagai beban
bagi masyarakat. Namun, mereka bukanlah beban, melainkan hasil dari
ketidakadilan sistemik yang terus berlangsung.
Kehidupan anak
jalanan bukan hanya dipengaruhi oleh ketidakadilan sosial, tetapi juga oleh
ketidakpedulian yang terkadang datang dari pihak yang seharusnya melindungi
mereka: pemerintah. Mereka sering kali dianggap sebagai masalah yang harus
diselesaikan, bukan sebagai individu yang membutuhkan perhatian dan
perlindungan. Pemerintah, dalam banyak hal, lebih sibuk merancang kebijakan
pembangunan kota dan memelihara citra yang baik, daripada memberikan solusi
nyata untuk masalah anak jalanan. Mereka lebih peduli dengan pencitraan, dengan
menggencarkan kampanye yang hanya terjadi pada saat-saat tertentu. Program
sosial sering kali terabaikan setelah kampanye selesai, dan anak-anak jalanan
kembali terabaikan. Mereka kembali ke jalan, menjadi bagian dari latar belakang
kota yang sibuk, tanpa ada yang benar-benar peduli terhadap masa depan mereka.
Dalam konteks
ini, teori dramaturgi Goffman memberikan perspektif yang menarik. Di panggung
depan, pemerintah dan politisi berusaha untuk menunjukkan citra peduli terhadap
anak-anak jalanan, dengan berbagai program bantuan dan kebijakan yang terlihat
mulus di depan publik. Namun, di panggung belakang, keputusan-keputusan yang
diambil sering kali tidak menyentuh inti masalah. Anak-anak ini tetap
terabaikan, karena mereka bukan bagian dari prioritas utama dalam kebijakan
negara. Mereka hanya menjadi properti dalam narasi besar yang dimainkan oleh
para aktor politik, yang hanya peduli dengan citra dan keuntungan jangka
pendek. Padahal, untuk mengatasi masalah anak jalanan, diperlukan kebijakan
yang tidak hanya berfokus pada solusi instan, tetapi juga pada perubahan
struktural yang mendalam.
Mengapa
Solusi yang Ada Tidak Pernah Berhasil
Masalah anak
jalanan ini tidak pernah benar-benar terselesaikan, karena solusi yang ada
sering kali tidak komprehensif. Pemerintah, dengan segala kebijakan sosial yang
dicanangkan, tidak pernah benar-benar menanggulangi akar permasalahan. Anak
jalanan selalu dipandang sebagai masalah sampingan yang harus segera
diselesaikan tanpa memahami kondisi sosial-ekonomi yang mendasari mereka.
Pemerintah sering kali mengambil langkah-langkah jangka pendek, seperti razia
anak jalanan, atau memberikan bantuan sementara yang tidak dapat menyelesaikan
masalah mendasar. Anak-anak ini membutuhkan akses yang lebih besar terhadap
pendidikan, perlindungan sosial, dan peluang yang setara dengan anak-anak
lainnya. Tanpa kebijakan yang lebih berfokus pada pemberdayaan keluarga,
terutama orang tua yang miskin, masalah anak jalanan ini tidak akan pernah
selesai.
Anak-anak
jalanan harus diberi kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan yang mendukung,
dengan pendidikan yang layak dan kehidupan yang stabil. Namun, untuk itu,
perubahan harus dimulai dari sistem yang lebih adil dan inklusif. Kebijakan
yang ada harus memperhatikan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan, bukan
hanya anak-anak itu sendiri. Anak jalanan bukan hanya hasil dari
ketidakpedulian masyarakat, tetapi juga akibat dari ketidakmampuan pemerintah
dalam menyusun kebijakan yang menyentuh akar masalah. Hanya dengan kebijakan
yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, masalah ini dapat mulai diatasi.
Dalam
menghadapi masalah anak jalanan, kita tidak bisa terus-terusan hanya
mengandalkan teori atau sekadar janji-janji politik yang sering kali hanya
sekadar kosmetik. Anak-anak jalanan bukanlah objek penderitaan yang bisa
dipamerkan untuk meraih simpati semata. Mereka adalah bagian yang tak
terpisahkan dari masyarakat kita, individu-individu dengan hak yang sama untuk
hidup layak, untuk memiliki masa depan yang cerah dan penuh harapan. Ketika
kita terus memandang mereka sebagai masalah yang harus “dibersihkan” atau
sekadar dipindahkan dari jalanan, kita justru sedang menutup mata terhadap akar
permasalahan yang sesungguhnya. Masalah ini tidak akan pernah terselesaikan
hanya dengan pendekatan permukaan atau kebijakan yang hanya bersifat sementara.
Sebagai masyarakat yang peduli, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar
berusaha menyelesaikan masalah ini, atau justru mengabaikan kenyataan yang
lebih mendalam?
Erving Goffman
dalam teori dramaturginya mengingatkan kita untuk tidak hanya terjebak dalam
tampilan luar, di panggung depan yang hanya memperlihatkan gambaran yang ideal.
Sebagai penonton dalam drama sosial ini, kita harus berani melihat lebih dalam
ke panggung belakang—di mana keputusan-keputusan penting dibuat dan siapa saja
yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Panggung
belakang adalah tempat di mana kepentingan politik, ekonomi, dan sosial sering
kali bertemu, dan kita jarang diberi kesempatan untuk melihat siapa yang
sebenarnya mendapat keuntungan. Jika kita hanya fokus pada citra yang
ditampilkan di depan publik, kita akan terus dikelabui oleh narasi yang
dangkal, sementara masalah anak jalanan tetap dibiarkan terabaikan.
Maka, mungkin
saatnya kita bertanya dengan lebih kritis: siapa yang sesungguhnya diberi peran
dalam drama kehidupan sosial dan politik yang terjadi di tengah kita ini? Siapa
yang mendikte naskahnya? Dan apakah kita sebagai penonton—atau lebih tepatnya,
sebagai bagian dari masyarakat—akan terus membiarkan anak-anak ini menjadi
figuran dalam cerita yang tak pernah benar-benar mereka pilih? Kita harus sadar
bahwa drama ini bukan hanya tentang mereka, tetapi juga tentang kita semua. Dan
jika kita terus membiarkan ketidakadilan ini berlanjut, kita tidak hanya
mengabaikan hak anak-anak jalanan, tetapi juga merusak struktur sosial yang
seharusnya berfungsi untuk melindungi semua lapisan masyarakat. Ini adalah
kenyataan yang memprihatinkan—dan tak bisa dibiarkan terus berlarut-larut.***