Rabu 30 Juli 2025

Iklan

Anak Jalanan: Drama Kehidupan yang Tak Pernah Usai

syamsul kurniawan
Thursday, June 19, 2025
Last Updated 2025-06-20T06:03:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

KOTA-kota besar di Indonesia selalu dipenuhi dengan pemandangan yang tidak pernah berubah: anak-anak yang mencari nafkah di jalan, menjual barang-barang kecil, atau mengemis dari satu mobil ke mobil lain. Setiap kali lampu merah menyala, mereka datang, mengetuk kaca mobil dengan harapan bisa mendapatkan sedikit perhatian, uang, atau makanan. Mereka yang dikenal sebagai anak jalanan, sering kali menjadi simbol dari masalah sosial yang terus berlarut-larut. Selama bertahun-tahun, anak jalanan telah menjadi bagian dari narasi yang tidak pernah berakhir. Dan di setiap musim pemilu, mereka kembali dipamerkan dalam narasi politik sebagai objek simpati, seolah-olah hanya dengan sedikit perhatian dari pemerintah atau masyarakat, nasib mereka akan berubah. Namun kenyataannya, mereka tetap terperangkap dalam realitas yang keras, berulang setiap tahunnya.

 

Politisi, dalam peran mereka sebagai aktor utama dalam drama ini, sering kali memainkan peran yang hampir sama: menjanjikan perubahan dan memperjuangkan kesejahteraan anak jalanan. Panggung depan, dalam pandangan Erving Goffman (1956), adalah tempat di mana aktor—baik itu politisi atau pejabat—berusaha menunjukkan citra terbaik mereka di hadapan publik. Janji-janji indah tentang perbaikan kehidupan anak jalanan diungkapkan dengan penuh keyakinan. Namun, seperti yang dicontohkan oleh Goffman, apa yang terlihat di panggung depan seringkali tidak mencerminkan kenyataan yang terjadi di belakang layar. Di balik janji-janji tersebut, kebijakan-kebijakan sering kali tidak menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Anak-anak ini tetap terpinggirkan dalam kehidupan yang keras, tanpa perubahan yang berarti dalam kebijakan pemerintah. Mereka hanyalah komoditas politik, digunakan untuk meraih simpati pemilih tanpa adanya upaya konkret untuk mengubah keadaan mereka.

 

Panggung belakang adalah tempat di mana peran yang sesungguhnya dimainkan. Di sinilah kebijakan-kebijakan besar dirancang, namun sering kali diabaikan demi kepentingan lain. Anak jalanan yang menjadi perhatian utama di panggung depan, di panggung belakang justru terlupakan. Meskipun berbagai kebijakan dan program sosial telah diperkenalkan untuk membantu mereka, pada kenyataannya, mereka masih tetap terpinggirkan. Ini adalah sebuah permainan di mana anak-anak yang seharusnya mendapatkan perhatian utama justru menjadi bagian dari narasi politik yang tidak pernah berakhir. Mereka terpinggirkan dalam sistem sosial yang lebih fokus pada citra daripada pada masalah yang sebenarnya. Anak-anak ini bukan hanya korban dari ketidakadilan sosial, tetapi juga dari ketidakpedulian yang tersembunyi di balik kemegahan panggung politik.

 

Tiga Wajah Anak Jalanan

 

Ketika membicarakan anak jalanan, kita sering kali mendengar tentang tiga kategori yang membedakan kondisi mereka. Pertama, ada children on the street, yaitu anak-anak yang meskipun hidup di jalan, masih memiliki ikatan dengan keluarga mereka, di mana orang tua mereka masih memberikan perhatian dan mereka tetap bisa pulang ke rumah. Kedua, ada children of the street, anak-anak yang sepenuhnya hidup di jalan, terlibat dalam segala aktivitas yang ada di jalanan, baik itu secara ekonomi maupun sosial, tanpa memiliki tempat tinggal yang tetap. Terakhir, ada children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari keluarga yang juga hidup di jalanan, hidup dalam kondisi yang sangat terabaikan, dan bertahan hidup dengan cara yang tidak lazim. Ketiga kategori ini menggambarkan seberapa kompleks dan dalamnya masalah yang dihadapi oleh anak jalanan. Meskipun mereka memiliki kondisi yang berbeda, semuanya terhubung dengan ketimpangan sosial yang terus berkembang. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak kunjung terputus, menjadi bagian dari jalanan yang seakan tidak pernah bisa mereka tinggalkan.

 

Sementara itu, anak-anak yang berada dalam situasi ini dipaksa untuk bekerja lebih keras daripada anak-anak seusia mereka. Mereka bukan hanya anak-anak yang bermain dan belajar, tetapi mereka adalah pekerja yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dan keluarga mereka. Mereka mengemis, menjual barang, atau melakukan pekerjaan yang tidak seharusnya mereka lakukan pada usia mereka. Pada kenyataannya, seharusnya masalah ekonomi keluarga menjadi tanggung jawab orang tua, bukan anak-anak. Namun kenyataan berkata lain, mereka justru terpaksa bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga mereka yang miskin. Dengan begitu, mereka kehilangan hak mereka untuk menikmati masa kanak-kanak, yang seharusnya diisi dengan belajar, bermain, dan tumbuh dalam kasih sayang. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk merasakan kebebasan yang seharusnya dimiliki oleh setiap anak, bahkan mereka harus menjadi dewasa sebelum waktunya.

 

Tidak jarang, anak-anak jalanan ini menjadi korban kekerasan, baik yang bersifat fisik maupun psikologis. Kekerasan ini datang dari berbagai pihak: masyarakat sekitar yang menganggap mereka sebagai gangguan, polisi yang sering kali tidak menunjukkan empati, atau bahkan sesama anak jalanan yang juga terperangkap dalam kehidupan keras ini. Perlakuan diskriminatif terhadap mereka sering kali tidak disadari, namun jelas terlihat dalam sikap dan perlakuan orang-orang terhadap mereka. Suyanto menjelaskan bahwa anak jalanan adalah bagian dari kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat, sebuah kelompok yang tidak dianggap memiliki tempat di dalam struktur sosial yang ada. Mereka adalah kelompok yang sering kali diabaikan, diperlakukan dengan tidak adil, dan dipandang sebagai beban bagi masyarakat. Namun, mereka bukanlah beban, melainkan hasil dari ketidakadilan sistemik yang terus berlangsung.

 

Kehidupan anak jalanan bukan hanya dipengaruhi oleh ketidakadilan sosial, tetapi juga oleh ketidakpedulian yang terkadang datang dari pihak yang seharusnya melindungi mereka: pemerintah. Mereka sering kali dianggap sebagai masalah yang harus diselesaikan, bukan sebagai individu yang membutuhkan perhatian dan perlindungan. Pemerintah, dalam banyak hal, lebih sibuk merancang kebijakan pembangunan kota dan memelihara citra yang baik, daripada memberikan solusi nyata untuk masalah anak jalanan. Mereka lebih peduli dengan pencitraan, dengan menggencarkan kampanye yang hanya terjadi pada saat-saat tertentu. Program sosial sering kali terabaikan setelah kampanye selesai, dan anak-anak jalanan kembali terabaikan. Mereka kembali ke jalan, menjadi bagian dari latar belakang kota yang sibuk, tanpa ada yang benar-benar peduli terhadap masa depan mereka.

 

Dalam konteks ini, teori dramaturgi Goffman memberikan perspektif yang menarik. Di panggung depan, pemerintah dan politisi berusaha untuk menunjukkan citra peduli terhadap anak-anak jalanan, dengan berbagai program bantuan dan kebijakan yang terlihat mulus di depan publik. Namun, di panggung belakang, keputusan-keputusan yang diambil sering kali tidak menyentuh inti masalah. Anak-anak ini tetap terabaikan, karena mereka bukan bagian dari prioritas utama dalam kebijakan negara. Mereka hanya menjadi properti dalam narasi besar yang dimainkan oleh para aktor politik, yang hanya peduli dengan citra dan keuntungan jangka pendek. Padahal, untuk mengatasi masalah anak jalanan, diperlukan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada solusi instan, tetapi juga pada perubahan struktural yang mendalam.

 

Mengapa Solusi yang Ada Tidak Pernah Berhasil

 

Masalah anak jalanan ini tidak pernah benar-benar terselesaikan, karena solusi yang ada sering kali tidak komprehensif. Pemerintah, dengan segala kebijakan sosial yang dicanangkan, tidak pernah benar-benar menanggulangi akar permasalahan. Anak jalanan selalu dipandang sebagai masalah sampingan yang harus segera diselesaikan tanpa memahami kondisi sosial-ekonomi yang mendasari mereka. Pemerintah sering kali mengambil langkah-langkah jangka pendek, seperti razia anak jalanan, atau memberikan bantuan sementara yang tidak dapat menyelesaikan masalah mendasar. Anak-anak ini membutuhkan akses yang lebih besar terhadap pendidikan, perlindungan sosial, dan peluang yang setara dengan anak-anak lainnya. Tanpa kebijakan yang lebih berfokus pada pemberdayaan keluarga, terutama orang tua yang miskin, masalah anak jalanan ini tidak akan pernah selesai.

 

Anak-anak jalanan harus diberi kesempatan untuk tumbuh dalam lingkungan yang mendukung, dengan pendidikan yang layak dan kehidupan yang stabil. Namun, untuk itu, perubahan harus dimulai dari sistem yang lebih adil dan inklusif. Kebijakan yang ada harus memperhatikan kesejahteraan keluarga secara keseluruhan, bukan hanya anak-anak itu sendiri. Anak jalanan bukan hanya hasil dari ketidakpedulian masyarakat, tetapi juga akibat dari ketidakmampuan pemerintah dalam menyusun kebijakan yang menyentuh akar masalah. Hanya dengan kebijakan yang lebih komprehensif dan berkelanjutan, masalah ini dapat mulai diatasi.

 

Dalam menghadapi masalah anak jalanan, kita tidak bisa terus-terusan hanya mengandalkan teori atau sekadar janji-janji politik yang sering kali hanya sekadar kosmetik. Anak-anak jalanan bukanlah objek penderitaan yang bisa dipamerkan untuk meraih simpati semata. Mereka adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kita, individu-individu dengan hak yang sama untuk hidup layak, untuk memiliki masa depan yang cerah dan penuh harapan. Ketika kita terus memandang mereka sebagai masalah yang harus “dibersihkan” atau sekadar dipindahkan dari jalanan, kita justru sedang menutup mata terhadap akar permasalahan yang sesungguhnya. Masalah ini tidak akan pernah terselesaikan hanya dengan pendekatan permukaan atau kebijakan yang hanya bersifat sementara. Sebagai masyarakat yang peduli, kita harus bertanya: apakah kita benar-benar berusaha menyelesaikan masalah ini, atau justru mengabaikan kenyataan yang lebih mendalam?

 

Erving Goffman dalam teori dramaturginya mengingatkan kita untuk tidak hanya terjebak dalam tampilan luar, di panggung depan yang hanya memperlihatkan gambaran yang ideal. Sebagai penonton dalam drama sosial ini, kita harus berani melihat lebih dalam ke panggung belakang—di mana keputusan-keputusan penting dibuat dan siapa saja yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Panggung belakang adalah tempat di mana kepentingan politik, ekonomi, dan sosial sering kali bertemu, dan kita jarang diberi kesempatan untuk melihat siapa yang sebenarnya mendapat keuntungan. Jika kita hanya fokus pada citra yang ditampilkan di depan publik, kita akan terus dikelabui oleh narasi yang dangkal, sementara masalah anak jalanan tetap dibiarkan terabaikan.

 

Maka, mungkin saatnya kita bertanya dengan lebih kritis: siapa yang sesungguhnya diberi peran dalam drama kehidupan sosial dan politik yang terjadi di tengah kita ini? Siapa yang mendikte naskahnya? Dan apakah kita sebagai penonton—atau lebih tepatnya, sebagai bagian dari masyarakat—akan terus membiarkan anak-anak ini menjadi figuran dalam cerita yang tak pernah benar-benar mereka pilih? Kita harus sadar bahwa drama ini bukan hanya tentang mereka, tetapi juga tentang kita semua. Dan jika kita terus membiarkan ketidakadilan ini berlanjut, kita tidak hanya mengabaikan hak anak-anak jalanan, tetapi juga merusak struktur sosial yang seharusnya berfungsi untuk melindungi semua lapisan masyarakat. Ini adalah kenyataan yang memprihatinkan—dan tak bisa dibiarkan terus berlarut-larut.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now