Oleh: Syamsul Kurniawan
Bulan lalu, bangsa kita memperingati Hari
Pendidikan Nasional. Momen ini mengajak kita untuk merenungkan kembali kemajuan
pendidikan di Indonesia, terutama dalam menghadapi arus teknologi yang semakin
mendominasi kehidupan sehari-hari. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr.
Abdul Mu'ti, M.Ed., menghadirkan gagasan deep learning sebagai langkah
strategis untuk mentransformasi pendidikan agama Islam di era digital.
Deep learning yang dimaksud bukan sekadar tentang kecerdasan buatan atau teknologi
canggih. Pendekatan ini mengajak siswa untuk memahami materi secara mendalam,
aktif berpikir kritis, dan merenungkan makna ajaran agama secara kontekstual.
Dengan cara ini, siswa tidak hanya sekadar menghafal teks, melainkan
menginternalisasi nilai-nilai agama yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan
mereka.
Peran gawai kini semakin sentral dalam proses
pembelajaran. Ia menjadi alat utama bagi siswa untuk mengakses ruang digital
dan berbagai sumber ilmu. Namun, sering kali pemanfaatan gawai terbatas pada
konsumsi pasif yang kurang mendalam. Hal ini memunculkan pertanyaan besar
tentang kesiapan pengguna gawai untuk menjadikan perangkat tersebut sumber
belajar yang kritis dan bermakna.
Edukasi literasi digital sangat penting untuk
menjawab tantangan tersebut. Literasi ini harus mencakup kemampuan menyeleksi,
menganalisis, dan memahami informasi dalam konteks sosial budaya. Tanpa edukasi
yang memadai, pengguna gawai rentan terjebak dalam simulasi informasi tanpa
realitas yang sesungguhnya.
Jean Baudrillard (1994) dalam teori simulacra
dan hiperrealitas memberikan pandangan mendalam mengenai fenomena ini.
Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat postmodern, batas antara realitas dan
representasi menjadi kabur. Bahkan, representasi digital dapat menggantikan
realitas asli sehingga membentuk dunia maya yang tampak nyata namun tidak
autentik.
Fenomena simulakra ini sangat terlihat dalam
ruang religi digital. Representasi ajaran agama kerap berulang dan dimodifikasi
sehingga terlepas dari makna aslinya. Akibatnya, banyak pengguna gawai yang
menerima simulasi agama yang kosong makna namun tampak meyakinkan.
Hal ini menimbulkan risiko besar bagi kualitas
pemahaman agama di era digital. Pengguna yang belum memiliki literasi kritis
mudah terperangkap dalam hiperrealitas yang membingungkan realitas dan
representasi. Oleh sebab itu, deep learning harus berfungsi sebagai
benteng untuk melatih siswa membedakan antara realitas otentik dan simulasi
digital.
Namun, benteng intelektual ini tak akan kuat
tanpa dukungan edukasi literasi digital yang memadai. Pendidikan perlu
mengajarkan keterampilan analisis kritis dan kemampuan memilah informasi secara
selektif. Dengan begitu, siswa dapat berperan aktif sebagai subjek pembelajaran
yang cerdas dan kritis.
Ruang Publik Digital: Tantangan dan Peluang
dalam Pendidikan Agama Islam
Perkembangan pesat media sosial dan platform
digital telah membuka ruang publik baru untuk pertukaran informasi keagamaan.
Ruang ini sangat terbuka dan memungkinkan siapa saja mengakses serta
mendiskusikan isu agama secara luas. Namun, ruang publik digital juga
menghadirkan tantangan serius berupa penyebaran informasi yang keliru dan
tafsir ekstrem.
Dalam situasi tersebut, pendekatan deep
learning menjadi metode efektif untuk mendorong siswa melakukan verifikasi
dan refleksi kritis terhadap informasi. Siswa didorong untuk aktif menilai
relevansi dan kebenaran ajaran yang mereka terima. Hal ini menjaga agar
pendidikan agama tetap moderat, kontekstual, dan relevan.
Selain itu, deep learning memungkinkan
siswa menggali berbagai tafsir, baik klasik maupun kontemporer. Mereka diajak
mengaitkan nilai-nilai agama dengan kondisi sosial dan politik yang sedang
berkembang. Dengan demikian, pendidikan agama menjadi pengalaman yang hidup dan
aplikatif, bukan hanya teori kaku.
Ruang digital juga memungkinkan pembelajaran
yang inklusif dan interaktif. Siswa dapat berdialog, bertukar gagasan, dan
mengakses berbagai sumber ilmu dari berbagai perspektif. Proses belajar pun
menjadi dinamis dan beragam sesuai kebutuhan zaman.
Mencegah Radikalisasi dengan Pembelajaran
Mendalam
Salah satu ancaman serius di ruang digital
adalah munculnya ideologi ekstrem yang dapat mengancam keberagaman. Deep
learning memainkan peran strategis dengan menanamkan pemahaman agama yang
moderat dan damai. Melalui pendekatan ini, siswa dilatih berpikir kritis agar
tidak mudah terpengaruh narasi radikal.
Teknologi digital juga dapat digunakan untuk
memfilter materi yang berbahaya. Ini memastikan bahwa informasi yang tersebar
tetap sesuai dengan prinsip moderasi dan keaslian ajaran. Namun, peran guru
tetap sangat penting untuk membimbing siswa agar proses belajar tetap sehat dan
konstruktif.
Pembelajaran berbasis deep learning
mengubah siswa dari penerima pasif menjadi peserta aktif yang terlibat dalam
refleksi dan diskusi. Mereka belajar bagaimana menerapkan nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari secara kritis dan bertanggung jawab.
Di tengah keberagaman Indonesia, pendidikan
agama yang inklusif menjadi kebutuhan mendesak. Deep learning dapat
membantu menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghormati. Siswa dari
berbagai latar belakang dapat merasa dihargai dan diterima dalam proses
pembelajaran.
Pendidikan agama berbasis deep learning
tidak hanya menyampaikan isi ajaran, tetapi juga membentuk karakter yang
harmonis dan terbuka terhadap perbedaan. Ajaran agama menjadi relevan dan hidup
di tengah masyarakat yang plural.
Transformasi pendidikan agama digital membawa
pengalaman belajar yang interaktif, adaptif, dan relevan dengan perkembangan
zaman. Nilai moderasi dan inklusivitas menjadi fondasi yang kuat dalam
membangun pendidikan masa depan.
Generasi muda yang dibekali deep learning
dan literasi digital akan menjadi pribadi yang cerdas agama sekaligus toleran
dan kritis. Mereka siap menghadapi kompleksitas dunia modern dengan kepala
dingin dan hati terbuka.
Edukasi Gawai sebagai Sumber Belajar
Agar pendekatan deep learning dalam
pendidikan agama dapat berjalan secara efektif, edukasi gawai sebagai sumber
belajar harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan
nasional. Literasi digital kini bukan sekadar pelengkap, melainkan kompetensi
dasar yang wajib dimiliki oleh setiap siswa dan guru. Tanpa kemampuan ini,
mereka berisiko tersesat dalam arus informasi digital yang begitu deras dan
kompleks.
Edukasi literasi digital mencakup beragam
kemampuan penting, mulai dari menilai kredibilitas sumber informasi, memahami
bias yang melekat dalam media digital, hingga menggunakan teknologi secara etis
dan bertanggung jawab. Keterampilan tersebut bukan hanya menghindarkan siswa
dari penyebaran informasi keliru, tetapi juga mengajarkan mereka cara berpikir
kritis ketika menghadapi berbagai konten digital yang beredar luas. Pendidikan
literasi digital haruslah membekali siswa dengan kemampuan memilah dan memilih,
bukan sekadar menerima segala sesuatu secara mentah.
Peran guru dalam proses ini tidak kalah penting
dan justru sangat strategis. Para pendidik harus mendapat pelatihan dan
dukungan agar bisa menjadi fasilitator yang mampu membimbing siswa memanfaatkan
gawai sebagai alat pembelajaran yang produktif dan mendalam. Guru bukan hanya
mengajarkan materi, tetapi juga mengarahkan agar gawai tidak hanya digunakan
sebagai media hiburan atau konsumsi pasif semata.
Ketika edukasi literasi digital dan deep
learning berjalan secara sinergis, ruang religi digital dapat menjadi
tempat belajar yang aman, sehat, dan penuh makna. Ruang ini berpotensi menjadi
fondasi bagi pembangunan pendidikan agama yang inklusif dan berwawasan
multikultural, di mana perbedaan dihargai dan pemahaman agama semakin
diperkaya.
Generasi muda yang tumbuh dengan bekal literasi
digital dan kemampuan pembelajaran mendalam akan lebih siap menghadapi
tantangan dunia digital yang terus berkembang pesat. Mereka tidak hanya mampu
menggunakan teknologi, tetapi juga mampu menjaga keseimbangan antara kecerdasan
spiritual dan intelektual secara harmonis.
Persepsi bahwa gawai adalah ancaman atau sumber
gangguan pun dapat berubah secara signifikan. Dengan pendidikan yang tepat dan
menyeluruh, gawai justru bisa menjadi jendela pembelajaran yang memberdayakan
dan memperluas wawasan keagamaan serta pemahaman hidup.
Sebagai penutup, kita perlu memandang gawai
bukan semata perangkat teknologi biasa, melainkan jembatan yang membuka
cakrawala intelektual dan spiritual baru bagi generasi muda. Melalui integrasi deep
learning dan edukasi literasi digital, ruang religi digital bisa
bertransformasi dari dunia simulasi kosong menjadi arena realitas bermakna yang
memperkaya pemahaman agama.
Kita dihadapkan pada tantangan sekaligus
peluang besar untuk mentransformasi pendidikan agama dalam era digital ini.
Tugas kita bersama adalah memastikan teknologi dan pendidikan berjalan seiring,
membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dan kritis, tetapi juga beriman dan
toleran.
Di tengah dunia postmodern yang dipenuhi oleh simulacra,
pendidikan harus mengajarkan anak-anak kita untuk mengenali realitas di balik
representasi digital. Dengan bekal ini, mereka tidak akan mudah terjebak dalam
hiperrealitas yang hanya menghasilkan ilusi tanpa substansi.
Melalui pendidikan mendalam dan literasi
digital yang kuat, mereka dapat menyelami makna agama dengan penuh kesadaran
serta berpijak pada realitas autentik. Ini menjadi kunci agar ruang religi
digital benar-benar menjadi medan transformasi spiritual dan intelektual
sejati, bukan sekadar panggung ilusi kosong.
Marilah kita sambut masa depan pendidikan agama
yang terbuka, teknologi yang bermakna, dan generasi yang siap menghadapi
kompleksitas zaman dengan penuh percaya diri dan harapan.***