Iklan

Agama, Gawai, dan Realitas di Dunia Digital

syamsul kurniawan
Thursday, May 29, 2025
Last Updated 2025-05-31T01:33:20Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Bulan lalu, bangsa kita memperingati Hari Pendidikan Nasional. Momen ini mengajak kita untuk merenungkan kembali kemajuan pendidikan di Indonesia, terutama dalam menghadapi arus teknologi yang semakin mendominasi kehidupan sehari-hari. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed., menghadirkan gagasan deep learning sebagai langkah strategis untuk mentransformasi pendidikan agama Islam di era digital.

 

Deep learning yang dimaksud bukan sekadar tentang kecerdasan buatan atau teknologi canggih. Pendekatan ini mengajak siswa untuk memahami materi secara mendalam, aktif berpikir kritis, dan merenungkan makna ajaran agama secara kontekstual. Dengan cara ini, siswa tidak hanya sekadar menghafal teks, melainkan menginternalisasi nilai-nilai agama yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan mereka.

 

Peran gawai kini semakin sentral dalam proses pembelajaran. Ia menjadi alat utama bagi siswa untuk mengakses ruang digital dan berbagai sumber ilmu. Namun, sering kali pemanfaatan gawai terbatas pada konsumsi pasif yang kurang mendalam. Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang kesiapan pengguna gawai untuk menjadikan perangkat tersebut sumber belajar yang kritis dan bermakna.

 

Edukasi literasi digital sangat penting untuk menjawab tantangan tersebut. Literasi ini harus mencakup kemampuan menyeleksi, menganalisis, dan memahami informasi dalam konteks sosial budaya. Tanpa edukasi yang memadai, pengguna gawai rentan terjebak dalam simulasi informasi tanpa realitas yang sesungguhnya.

 

Jean Baudrillard (1994) dalam teori simulacra dan hiperrealitas memberikan pandangan mendalam mengenai fenomena ini. Ia menyatakan bahwa dalam masyarakat postmodern, batas antara realitas dan representasi menjadi kabur. Bahkan, representasi digital dapat menggantikan realitas asli sehingga membentuk dunia maya yang tampak nyata namun tidak autentik.

 

Fenomena simulakra ini sangat terlihat dalam ruang religi digital. Representasi ajaran agama kerap berulang dan dimodifikasi sehingga terlepas dari makna aslinya. Akibatnya, banyak pengguna gawai yang menerima simulasi agama yang kosong makna namun tampak meyakinkan.

 

Hal ini menimbulkan risiko besar bagi kualitas pemahaman agama di era digital. Pengguna yang belum memiliki literasi kritis mudah terperangkap dalam hiperrealitas yang membingungkan realitas dan representasi. Oleh sebab itu, deep learning harus berfungsi sebagai benteng untuk melatih siswa membedakan antara realitas otentik dan simulasi digital.

 

Namun, benteng intelektual ini tak akan kuat tanpa dukungan edukasi literasi digital yang memadai. Pendidikan perlu mengajarkan keterampilan analisis kritis dan kemampuan memilah informasi secara selektif. Dengan begitu, siswa dapat berperan aktif sebagai subjek pembelajaran yang cerdas dan kritis.

 

Ruang Publik Digital: Tantangan dan Peluang dalam Pendidikan Agama Islam

 

Perkembangan pesat media sosial dan platform digital telah membuka ruang publik baru untuk pertukaran informasi keagamaan. Ruang ini sangat terbuka dan memungkinkan siapa saja mengakses serta mendiskusikan isu agama secara luas. Namun, ruang publik digital juga menghadirkan tantangan serius berupa penyebaran informasi yang keliru dan tafsir ekstrem.

 

Dalam situasi tersebut, pendekatan deep learning menjadi metode efektif untuk mendorong siswa melakukan verifikasi dan refleksi kritis terhadap informasi. Siswa didorong untuk aktif menilai relevansi dan kebenaran ajaran yang mereka terima. Hal ini menjaga agar pendidikan agama tetap moderat, kontekstual, dan relevan.

 

Selain itu, deep learning memungkinkan siswa menggali berbagai tafsir, baik klasik maupun kontemporer. Mereka diajak mengaitkan nilai-nilai agama dengan kondisi sosial dan politik yang sedang berkembang. Dengan demikian, pendidikan agama menjadi pengalaman yang hidup dan aplikatif, bukan hanya teori kaku.

 

Ruang digital juga memungkinkan pembelajaran yang inklusif dan interaktif. Siswa dapat berdialog, bertukar gagasan, dan mengakses berbagai sumber ilmu dari berbagai perspektif. Proses belajar pun menjadi dinamis dan beragam sesuai kebutuhan zaman.

 

Mencegah Radikalisasi dengan Pembelajaran Mendalam

 

Salah satu ancaman serius di ruang digital adalah munculnya ideologi ekstrem yang dapat mengancam keberagaman. Deep learning memainkan peran strategis dengan menanamkan pemahaman agama yang moderat dan damai. Melalui pendekatan ini, siswa dilatih berpikir kritis agar tidak mudah terpengaruh narasi radikal.

 

Teknologi digital juga dapat digunakan untuk memfilter materi yang berbahaya. Ini memastikan bahwa informasi yang tersebar tetap sesuai dengan prinsip moderasi dan keaslian ajaran. Namun, peran guru tetap sangat penting untuk membimbing siswa agar proses belajar tetap sehat dan konstruktif.

 

Pembelajaran berbasis deep learning mengubah siswa dari penerima pasif menjadi peserta aktif yang terlibat dalam refleksi dan diskusi. Mereka belajar bagaimana menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari secara kritis dan bertanggung jawab.

 

Di tengah keberagaman Indonesia, pendidikan agama yang inklusif menjadi kebutuhan mendesak. Deep learning dapat membantu menumbuhkan sikap toleransi dan saling menghormati. Siswa dari berbagai latar belakang dapat merasa dihargai dan diterima dalam proses pembelajaran.

 

Pendidikan agama berbasis deep learning tidak hanya menyampaikan isi ajaran, tetapi juga membentuk karakter yang harmonis dan terbuka terhadap perbedaan. Ajaran agama menjadi relevan dan hidup di tengah masyarakat yang plural.

 

Transformasi pendidikan agama digital membawa pengalaman belajar yang interaktif, adaptif, dan relevan dengan perkembangan zaman. Nilai moderasi dan inklusivitas menjadi fondasi yang kuat dalam membangun pendidikan masa depan.

 

Generasi muda yang dibekali deep learning dan literasi digital akan menjadi pribadi yang cerdas agama sekaligus toleran dan kritis. Mereka siap menghadapi kompleksitas dunia modern dengan kepala dingin dan hati terbuka.

 

Edukasi Gawai sebagai Sumber Belajar

 

Agar pendekatan deep learning dalam pendidikan agama dapat berjalan secara efektif, edukasi gawai sebagai sumber belajar harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kurikulum pendidikan nasional. Literasi digital kini bukan sekadar pelengkap, melainkan kompetensi dasar yang wajib dimiliki oleh setiap siswa dan guru. Tanpa kemampuan ini, mereka berisiko tersesat dalam arus informasi digital yang begitu deras dan kompleks.

 

Edukasi literasi digital mencakup beragam kemampuan penting, mulai dari menilai kredibilitas sumber informasi, memahami bias yang melekat dalam media digital, hingga menggunakan teknologi secara etis dan bertanggung jawab. Keterampilan tersebut bukan hanya menghindarkan siswa dari penyebaran informasi keliru, tetapi juga mengajarkan mereka cara berpikir kritis ketika menghadapi berbagai konten digital yang beredar luas. Pendidikan literasi digital haruslah membekali siswa dengan kemampuan memilah dan memilih, bukan sekadar menerima segala sesuatu secara mentah.

 

Peran guru dalam proses ini tidak kalah penting dan justru sangat strategis. Para pendidik harus mendapat pelatihan dan dukungan agar bisa menjadi fasilitator yang mampu membimbing siswa memanfaatkan gawai sebagai alat pembelajaran yang produktif dan mendalam. Guru bukan hanya mengajarkan materi, tetapi juga mengarahkan agar gawai tidak hanya digunakan sebagai media hiburan atau konsumsi pasif semata.

 

Ketika edukasi literasi digital dan deep learning berjalan secara sinergis, ruang religi digital dapat menjadi tempat belajar yang aman, sehat, dan penuh makna. Ruang ini berpotensi menjadi fondasi bagi pembangunan pendidikan agama yang inklusif dan berwawasan multikultural, di mana perbedaan dihargai dan pemahaman agama semakin diperkaya.

 

Generasi muda yang tumbuh dengan bekal literasi digital dan kemampuan pembelajaran mendalam akan lebih siap menghadapi tantangan dunia digital yang terus berkembang pesat. Mereka tidak hanya mampu menggunakan teknologi, tetapi juga mampu menjaga keseimbangan antara kecerdasan spiritual dan intelektual secara harmonis.

 

Persepsi bahwa gawai adalah ancaman atau sumber gangguan pun dapat berubah secara signifikan. Dengan pendidikan yang tepat dan menyeluruh, gawai justru bisa menjadi jendela pembelajaran yang memberdayakan dan memperluas wawasan keagamaan serta pemahaman hidup.

 

Sebagai penutup, kita perlu memandang gawai bukan semata perangkat teknologi biasa, melainkan jembatan yang membuka cakrawala intelektual dan spiritual baru bagi generasi muda. Melalui integrasi deep learning dan edukasi literasi digital, ruang religi digital bisa bertransformasi dari dunia simulasi kosong menjadi arena realitas bermakna yang memperkaya pemahaman agama.

 

Kita dihadapkan pada tantangan sekaligus peluang besar untuk mentransformasi pendidikan agama dalam era digital ini. Tugas kita bersama adalah memastikan teknologi dan pendidikan berjalan seiring, membentuk generasi yang tidak hanya cerdas dan kritis, tetapi juga beriman dan toleran.

 

Di tengah dunia postmodern yang dipenuhi oleh simulacra, pendidikan harus mengajarkan anak-anak kita untuk mengenali realitas di balik representasi digital. Dengan bekal ini, mereka tidak akan mudah terjebak dalam hiperrealitas yang hanya menghasilkan ilusi tanpa substansi.

 

Melalui pendidikan mendalam dan literasi digital yang kuat, mereka dapat menyelami makna agama dengan penuh kesadaran serta berpijak pada realitas autentik. Ini menjadi kunci agar ruang religi digital benar-benar menjadi medan transformasi spiritual dan intelektual sejati, bukan sekadar panggung ilusi kosong.

 

Marilah kita sambut masa depan pendidikan agama yang terbuka, teknologi yang bermakna, dan generasi yang siap menghadapi kompleksitas zaman dengan penuh percaya diri dan harapan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now