Oleh: Syamsul Kurniawan
Di ruang aula yang dipenuhi cahaya sore yang jatuh
dari sela-sela jendela kaca tinggi, tampak wajah-wajah sumringah para staf dan
dosen. Mereka duduk rapi, mengenakan batik terbaiknya, dengan mata yang
sesekali menatap ke layar proyektor tempat wajah Menteri Agama Republik
Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, muncul dalam bingkai Zoom
Meeting.
Mereka baru saja dilantik. Status mereka kini resmi
berubah: dari pegawai kontrak biasa menjadi Pegawai Pemerintah dengan
Perjanjian Kerja, sebuah bentuk baru dari Aparatur Sipil Negara. Berbeda dengan
Pegawai Negeri Sipil, PPPK adalah sebuah status yang disematkan atas nama
pengabdian yang tak kekal, tapi penuh makna. Seolah jabatan itu tidak melekat
selamanya, tapi menuntut pembaruan cinta dalam bentuk kerja yang terus-menerus.
Tak ada prosesi mewah. Tapi justru di situlah
kesakralannya terletak. Dalam kesederhanaan yang jernih, ada yang menyala di
mata para peserta. Mungkin harapan. Mungkin kesungguhan.
Lalu, dalam suasana yang penuh perhatian itu, Menteri
Agama bicara tentang sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang dalam. Ia
menyebutnya: Kurikulum Cinta.
Tentang Cinta
Bukan cinta yang kita kenal dari puisi remaja atau
lirik lagu pop. Bukan pula cinta dalam bentuk manja yang menempel di dinding
Instagram. Yang dimaksud Menteri Agama adalah cinta yang lebih purba, lebih
luas, dan lebih tak terbantahkan. Cinta kepada Tuhan. Cinta kepada sesama
manusia, melampaui sekat dan identitas. Cinta kepada alam, tempat kita
berpijak.
Saya tertegun.
Cinta, dalam dunia pendidikan agama? Ini bukan
kurikulum hafalan. Ini bukan sekadar soal kompetensi dasar atau indikator
pencapaian. Ini adalah keberanian untuk mengubah arah. Untuk menolak agama
sebagai alat legitimasi. Untuk menjadikannya pelita yang menerangi ruang-ruang
gelap kehidupan.
Tapi, bisakah cinta diajarkan?
Michel Foucault (1977), filsuf Prancis yang kerap
gelisah pada institusi-institusi modern, menulis tentang Panopticon: sistem
pengawasan yang membuat orang patuh karena mereka merasa selalu diawasi. Tanpa
rantai. Tanpa bentakan.
Begitulah sistem pendidikan agama kita selama ini. Ia
menciptakan kepatuhan, bukan pemahaman. Ia menyebar aturan, tapi membatasi
perenungan. Anak-anak belajar agama seperti menghafal jadwal bus. Kapan shalat,
apa yang haram, bagaimana bersuci. Tapi, kapan mereka diajak bertanya tentang
makna? Tentang mengapa?
Kurikulum Cinta, jika benar-benar diterapkan, bisa
jadi adalah jalan keluar dari sistem yang membelenggu itu. Ia akan menuntut
ruang dialog. Ia akan membuka jalan bagi diskusi, perbedaan, dan bahkan
ketidaksetujuan.
Sementara itu, Jonathan Haidt (2012), psikolog sosial
asal Amerika, pernah menulis bahwa moralitas manusia lebih banyak dipengaruhi
intuisi daripada logika. Kita merasa sesuatu itu benar atau salah dulu, baru
mencari alasan untuk membenarkannya.
Kalau begitu, pendidikan agama seharusnya menyentuh
intuisi. Ia harus menyentuh hati, bukan hanya kepala. Maka, cinta adalah bahasa
terbaiknya. Anak-anak tidak butuh dibanjiri dalil. Mereka butuh ditunjukkan
bagaimana kasih bekerja. Bagaimana toleransi hidup. Bagaimana orang-orang
berbeda masih bisa duduk semeja dan tersenyum tulus.
Dalam bangsa seperti Indonesia, pluralitas adalah
takdir sekaligus anugerah. Tapi seringkali, anugerah itu terasa seperti beban.
Kita mencurigai yang lain. Kita mendidik anak-anak agar membedakan, bukan
merangkul.
Kurikulum Cinta bisa menjadi jembatan. Ia tidak akan
menyamakan semua agama. Tapi ia akan mengajarkan bahwa semua manusia, apapun
agamanya, adalah "anak cucu Adam". Sebuah frasa indah yang digunakan
Menteri Agama, dan yang seharusnya menggugah ingatan kolektif kita.
Namun, kurikulum ini hanya akan berhasil jika ia
diajarkan dengan cara yang juga penuh cinta. Guru tidak lagi menjadi hakim
kebenaran. Ia harus menjadi fasilitator, pembuka jalan, penjaga diskusi.
Sebagai Penumbuh, Bukan Pengendali
Saya teringat seorang guru agama di kampung saya. Ia
tidak banyak bicara tentang surga dan neraka. Tapi ia selalu hadir saat ada
yang kesusahan. Ia menolong dengan diam-diam. Ia mencintai murid-muridnya tanpa
pamrih.
Mungkin, dialah wajah dari Kurikulum Cinta itu
sendiri.
Apalagi di kampus Islam, Dosen yang memproduksi guru-guru agama ini bukan lagi sekadar
pengulang ayat. Ia adalah penyemai empati. Ia bukan pelatih hafalan, tapi
pembentuk nurani. Kurikulum cinta hanya mungkin hidup jika para guru atau dosen
hidup di dalamnya.
Jurgen Habermas (1991) bicara tentang "ruang
publik": tempat di mana warga bisa berdiskusi tanpa tekanan. Jika sekolah
adalah cerminan masyarakat, maka kelas agama harus menjadi ruang publik kecil
itu.
Di sana, anak-anak boleh bertanya. Boleh ragu. Boleh
tidak setuju. Karena dari ketidaksepakatan itulah cinta tumbuh. Ia bukan
kesamaan. Ia adalah kemampuan untuk tetap bersama meski berbeda.
Di era Society 5.0, teknologi bukan lagi pilihan. Ia
adalah bagian dari hidup. Tapi seperti pisau, ia bisa menjadi alat membangun
atau merobek.
Kurikulum Cinta harus memanfaatkan teknologi untuk
memperluas cakrawala. Bukan untuk menyebar kebencian. Bukan untuk memperkuat
polarisasi. Siswa harus diajak menjelajahi dunia. Melihat keberagaman.
Menghargai perbedaan.
Ekoteologi: Cinta yang Meluas ke Alam
Dalam pelantikan tadi, saya sempat berpikir:
mungkinkah cinta kepada sesama manusia juga menuntun kita untuk mencintai alam?
Jawabannya: ya.
Kurikulum Cinta, jika ia sungguh-sungguh cinta, tidak
akan melupakan bumi. Ia akan mengajarkan ekoteologi: kecerdasan spiritual yang
berpihak pada kelestarian. Alam bukan objek. Ia adalah subjek. Ia adalah
saudara tua yang harus dihormati.
Menghormati pohon adalah bentuk lain dari salat.
Menjaga air adalah zikir tanpa suara. Mengurangi sampah adalah ibadah.
Saya keluar dari aula dengan dada yang hangat. Mungkin
bukan karena wejangannya, tapi karena harapan yang perlahan tumbuh.
Kurikulum Cinta tak sepatutnya dipandang semata-mata
sebagai sebuah dokumen administratif. Ia harus dimaknai sebagai sebuah
sikap—cara kita menyentuh jiwa anak-anak, menyapa masa depan dengan kelembutan
dan harapan. Ia bukan proyek sesaat, melainkan perjalanan panjang yang menuntut
kesabaran, ketekunan, dan kasih.
Jika ia dilaksanakan hanya karena perintah, ia akan
mati. Tapi jika ia dihidupkan dengan cinta, ia akan tumbuh. Seperti pohon.
Seperti manusia.
Dan hari ini, saya percaya, setidaknya satu benih
telah ditanam di hati mereka yang baru saja dilantik.
Selamat datang, Kurikulum Cinta.
Selamat datang, generasi pengasih yang kita rindukan.***