Iklan

Ketika Negara Mengabar Cinta

syamsul kurniawan
Monday, May 26, 2025
Last Updated 2025-05-26T11:34:53Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 



 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di ruang aula yang dipenuhi cahaya sore yang jatuh dari sela-sela jendela kaca tinggi, tampak wajah-wajah sumringah para staf dan dosen. Mereka duduk rapi, mengenakan batik terbaiknya, dengan mata yang sesekali menatap ke layar proyektor tempat wajah Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA, muncul dalam bingkai Zoom Meeting.

 

Mereka baru saja dilantik. Status mereka kini resmi berubah: dari pegawai kontrak biasa menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja, sebuah bentuk baru dari Aparatur Sipil Negara. Berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil, PPPK adalah sebuah status yang disematkan atas nama pengabdian yang tak kekal, tapi penuh makna. Seolah jabatan itu tidak melekat selamanya, tapi menuntut pembaruan cinta dalam bentuk kerja yang terus-menerus.

 

Tak ada prosesi mewah. Tapi justru di situlah kesakralannya terletak. Dalam kesederhanaan yang jernih, ada yang menyala di mata para peserta. Mungkin harapan. Mungkin kesungguhan.

 

Lalu, dalam suasana yang penuh perhatian itu, Menteri Agama bicara tentang sesuatu yang mengejutkan. Sesuatu yang dalam. Ia menyebutnya: Kurikulum Cinta.

 

Tentang Cinta

 

Bukan cinta yang kita kenal dari puisi remaja atau lirik lagu pop. Bukan pula cinta dalam bentuk manja yang menempel di dinding Instagram. Yang dimaksud Menteri Agama adalah cinta yang lebih purba, lebih luas, dan lebih tak terbantahkan. Cinta kepada Tuhan. Cinta kepada sesama manusia, melampaui sekat dan identitas. Cinta kepada alam, tempat kita berpijak.

 

Saya tertegun.

 

Cinta, dalam dunia pendidikan agama? Ini bukan kurikulum hafalan. Ini bukan sekadar soal kompetensi dasar atau indikator pencapaian. Ini adalah keberanian untuk mengubah arah. Untuk menolak agama sebagai alat legitimasi. Untuk menjadikannya pelita yang menerangi ruang-ruang gelap kehidupan.

 

Tapi, bisakah cinta diajarkan?

 

Michel Foucault (1977), filsuf Prancis yang kerap gelisah pada institusi-institusi modern, menulis tentang Panopticon: sistem pengawasan yang membuat orang patuh karena mereka merasa selalu diawasi. Tanpa rantai. Tanpa bentakan.

 

Begitulah sistem pendidikan agama kita selama ini. Ia menciptakan kepatuhan, bukan pemahaman. Ia menyebar aturan, tapi membatasi perenungan. Anak-anak belajar agama seperti menghafal jadwal bus. Kapan shalat, apa yang haram, bagaimana bersuci. Tapi, kapan mereka diajak bertanya tentang makna? Tentang mengapa?

 

Kurikulum Cinta, jika benar-benar diterapkan, bisa jadi adalah jalan keluar dari sistem yang membelenggu itu. Ia akan menuntut ruang dialog. Ia akan membuka jalan bagi diskusi, perbedaan, dan bahkan ketidaksetujuan.

 

Sementara itu, Jonathan Haidt (2012), psikolog sosial asal Amerika, pernah menulis bahwa moralitas manusia lebih banyak dipengaruhi intuisi daripada logika. Kita merasa sesuatu itu benar atau salah dulu, baru mencari alasan untuk membenarkannya.

 

Kalau begitu, pendidikan agama seharusnya menyentuh intuisi. Ia harus menyentuh hati, bukan hanya kepala. Maka, cinta adalah bahasa terbaiknya. Anak-anak tidak butuh dibanjiri dalil. Mereka butuh ditunjukkan bagaimana kasih bekerja. Bagaimana toleransi hidup. Bagaimana orang-orang berbeda masih bisa duduk semeja dan tersenyum tulus.

 

Dalam bangsa seperti Indonesia, pluralitas adalah takdir sekaligus anugerah. Tapi seringkali, anugerah itu terasa seperti beban. Kita mencurigai yang lain. Kita mendidik anak-anak agar membedakan, bukan merangkul.

 

Kurikulum Cinta bisa menjadi jembatan. Ia tidak akan menyamakan semua agama. Tapi ia akan mengajarkan bahwa semua manusia, apapun agamanya, adalah "anak cucu Adam". Sebuah frasa indah yang digunakan Menteri Agama, dan yang seharusnya menggugah ingatan kolektif kita.

Namun, kurikulum ini hanya akan berhasil jika ia diajarkan dengan cara yang juga penuh cinta. Guru tidak lagi menjadi hakim kebenaran. Ia harus menjadi fasilitator, pembuka jalan, penjaga diskusi.

 

Sebagai Penumbuh, Bukan Pengendali

 

Saya teringat seorang guru agama di kampung saya. Ia tidak banyak bicara tentang surga dan neraka. Tapi ia selalu hadir saat ada yang kesusahan. Ia menolong dengan diam-diam. Ia mencintai murid-muridnya tanpa pamrih.

 

Mungkin, dialah wajah dari Kurikulum Cinta itu sendiri.

 

Apalagi di kampus Islam, Dosen yang memproduksi guru-guru agama ini bukan lagi sekadar pengulang ayat. Ia adalah penyemai empati. Ia bukan pelatih hafalan, tapi pembentuk nurani. Kurikulum cinta hanya mungkin hidup jika para guru atau dosen hidup di dalamnya.

 

Jurgen Habermas (1991) bicara tentang "ruang publik": tempat di mana warga bisa berdiskusi tanpa tekanan. Jika sekolah adalah cerminan masyarakat, maka kelas agama harus menjadi ruang publik kecil itu.

 

Di sana, anak-anak boleh bertanya. Boleh ragu. Boleh tidak setuju. Karena dari ketidaksepakatan itulah cinta tumbuh. Ia bukan kesamaan. Ia adalah kemampuan untuk tetap bersama meski berbeda.

 

Di era Society 5.0, teknologi bukan lagi pilihan. Ia adalah bagian dari hidup. Tapi seperti pisau, ia bisa menjadi alat membangun atau merobek.

 

Kurikulum Cinta harus memanfaatkan teknologi untuk memperluas cakrawala. Bukan untuk menyebar kebencian. Bukan untuk memperkuat polarisasi. Siswa harus diajak menjelajahi dunia. Melihat keberagaman. Menghargai perbedaan.

 

Ekoteologi: Cinta yang Meluas ke Alam

 

Dalam pelantikan tadi, saya sempat berpikir: mungkinkah cinta kepada sesama manusia juga menuntun kita untuk mencintai alam?

 

Jawabannya: ya.

 

Kurikulum Cinta, jika ia sungguh-sungguh cinta, tidak akan melupakan bumi. Ia akan mengajarkan ekoteologi: kecerdasan spiritual yang berpihak pada kelestarian. Alam bukan objek. Ia adalah subjek. Ia adalah saudara tua yang harus dihormati.

 

Menghormati pohon adalah bentuk lain dari salat. Menjaga air adalah zikir tanpa suara. Mengurangi sampah adalah ibadah.

 

Saya keluar dari aula dengan dada yang hangat. Mungkin bukan karena wejangannya, tapi karena harapan yang perlahan tumbuh.

 

Kurikulum Cinta tak sepatutnya dipandang semata-mata sebagai sebuah dokumen administratif. Ia harus dimaknai sebagai sebuah sikap—cara kita menyentuh jiwa anak-anak, menyapa masa depan dengan kelembutan dan harapan. Ia bukan proyek sesaat, melainkan perjalanan panjang yang menuntut kesabaran, ketekunan, dan kasih.

 

Jika ia dilaksanakan hanya karena perintah, ia akan mati. Tapi jika ia dihidupkan dengan cinta, ia akan tumbuh. Seperti pohon. Seperti manusia.

 

Dan hari ini, saya percaya, setidaknya satu benih telah ditanam di hati mereka yang baru saja dilantik.

 

Selamat datang, Kurikulum Cinta.

 

Selamat datang, generasi pengasih yang kita rindukan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now