Iklan

Tantangan Pesantren: Dari Menyambut Modernisasi Hingga Menyelamatkan Alam

syamsul kurniawan
Wednesday, May 28, 2025
Last Updated 2025-05-29T05:17:29Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

PESANTREN adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan tersendiri, berbeda dari lembaga lain di Indonesia. Secara historis, pesantren merupakan lembaga pribumi tertua yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Sejak Islam masuk ke nusantara, pesantren tumbuh dan berkembang seiring dinamika dunia pendidikan, berperan besar dalam membentuk manusia Indonesia yang religius dan berakhlak mulia.

Sebagai komunitas yang tersebar luas hingga pelosok negeri, pesantren telah melahirkan banyak tokoh bangsa, termasuk pemimpin masa lalu, kini, dan masa depan. Tidak hanya itu, lulusan pesantren juga aktif memberikan kontribusi dalam pembangunan sosial dan keagamaan Indonesia. Peran pesantren ini bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga pembentukan karakter dan kepemimpinan.

Pada masa penjajahan, pesantren sangat menonjol dalam menggerakkan perjuangan rakyat melawan penjajah. Kyai dan santri menjadi garda terdepan dalam memimpin dan mengorganisasi perlawanan. Peran itu kini bergeser, tetapi pesantren tetap menjadi mitra strategis pemerintah, terutama dalam menyosialisasikan program-program pembangunan kepada masyarakat.

Di kalangan umat Islam, pesantren dikenal sebagai model institusi pendidikan dengan keunggulan tradisi keilmuan yang mendalam. Pesantren menjadi salah satu tradisi agung yang menjaga transmisi ilmu dan moralitas umat Islam secara efektif. Dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia, pesantren adalah local genius yang berhasil memadukan tradisi dan inovasi.

Pesantren juga merupakan subkultur yang lahir dan berkembang seiring perubahan sosial global. Konsep asketisme atau kesufian yang dianut pesantren menjadi pilihan ideal bagi masyarakat yang menghadapi krisis eksistensi. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa subkultur inilah ciri utama pesantren—sebuah ruang budaya yang mandiri namun tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

Berdasarkan sejarah, pesantren diduga pertama kali berdiri di Jawa pada masa Walisongo, dengan tokoh seperti Sheikh Malik Ibrahim yang dianggap sebagai pendiri pesantren pertama. Menariknya, pesantren mengadopsi sistem pendidikan Hindu-Buddha yang telah lama ada, lalu mengubahnya menjadi sistem pendidikan Islam. Kata ‘pesantren’ sendiri berasal dari ‘santri’ yang berarti ilmuwan Hindu, dan ‘funduq’ dalam bahasa Arab yang berarti penginapan.

Kehadiran kyai sangat menentukan dalam berdirinya pesantren. Kyai biasanya telah belajar lama di Makkah, Madinah, atau pada ulama tanah air, menguasai ilmu agama dan keahlian tertentu. Mereka kemudian mendirikan pesantren sebagai pusat pengajian dan pembinaan moral di desanya.

Kyai memulai dengan membangun langgar atau surau sebagai tempat salat berjamaah dan pengajian. Pengajian rutin yang meliputi rukun iman, rukun Islam, dan akhlak menjadi inti aktivitas, yang kemudian menarik masyarakat untuk bergabung dan belajar. Pesantren tumbuh sebagai pusat pendidikan sekaligus pusat spiritual desa.

***

Di Indonesia, pesantren umumnya terbagi menjadi dua kelompok besar: pesantren Salafi yang mengajarkan kitab klasik dengan sistem sorogan, dan pesantren Khalafi yang mengadopsi sistem madrasah modern dengan kurikulum yang mencakup ilmu umum. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi pesantren terhadap tuntutan zaman.

Metode pengajaran pesantren pun beragam. Ada sistem wetonan, di mana santri bebas hadir tanpa ujian; sorogan, yang menuntut pembacaan kitab di depan kyai; muhawarah, percakapan dalam bahasa Arab; mudzakarah, diskusi ilmiah; dan majelis ta’lim, pengajian terbuka bagi masyarakat umum. Kelima metode ini menunjukkan fleksibilitas pendidikan pesantren.

Metode tersebut termasuk sistem non-klasikal yang menjadi ciri khas pesantren tradisional. Selain itu, pesantren modern juga menerapkan sistem pendidikan klasikal yang lebih terstruktur. Kombinasi keduanya memungkinkan pesantren menjangkau berbagai kebutuhan pendidikan umat.

Pada konteks ini, fungsi pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan ilmu tradisional Islam, tapi juga sebagai penjaga tradisi dan sumber reproduksi otoritas keislaman di masyarakat Muslim. Pesantren adalah benteng budaya dan agama yang menjaga identitas keislaman Indonesia.

Di era sekarang, modernisasi pesantren menjadi keniscayaan agar lembaga ini tetap relevan. Modernisasi menyasar tiga aspek utama: kelembagaan, kurikulum, dan metodologi. Transformasi ini harus dilakukan tanpa mengikis nilai-nilai dan identitas pesantren yang sudah diwariskan secara turun-temurun.

Reformasi kelembagaan pesantren perlu diarahkan pada tata kelola yang lebih profesional dan transparan. Dengan manajemen yang baik, pesantren dapat mengelola sumber daya secara efektif dan memperluas jaringan kerja sama, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Kurikulum pesantren juga harus diadaptasi untuk memasukkan pendidikan umum dan nilai-nilai kontemporer. Salah satu aspek penting yang sedang digalakkan Kementerian Agama adalah ekoteologi—pendidikan yang menggabungkan kesadaran ekologis dengan ajaran agama.

Metodologi pengajaran pesantren pun perlu diperbarui dengan memanfaatkan teknologi dan pendekatan pedagogis modern. Metode yang mendorong diskusi, kolaborasi, dan pembelajaran aktif dapat menguatkan pemahaman dan kemampuan santri untuk menghadapi tantangan global.

***

Selain menyambut modernitas, pesantren juga harus siap menghadapi tantangan besar di tengah krisis ekologis yang melanda bumi saat ini. Pesantren selayaknya mengambil peran aktif dalam mengemban misi mulia untuk menyelamatkan alam semesta. Ekoteologi hadir sebagai perspektif teologis yang memandang alam bukan sekadar lingkungan fisik, melainkan sebagai ciptaan Tuhan yang sakral dan wajib dijaga keberlangsungannya. Melalui ekoteologi, umat diajak untuk memahami bahwa merawat lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dari tanggung jawab spiritual dan sosial yang harus dijalankan dengan penuh kesadaran dan kesungguhan.

Gerakan masif yang dilakukan Kementerian Agama untuk mengintegrasikan ekoteologi dalam pendidikan agama, termasuk pesantren, merupakan langkah strategis. Hal ini menegaskan pesantren sebagai tempat yang tepat untuk menanamkan kesadaran ekologis yang berpijak pada nilai keagamaan.

Pesantren, dengan tradisi moral dan spiritual yang kuat, mampu menjadi pusat pembelajaran ekoteologi yang autentik. Pendidikan ini bukan hanya soal pelestarian lingkungan, tapi membentuk karakter manusia yang sadar akan hubungan antar makhluk dan tugas menjaga keseimbangan alam.

Pemerintah mendorong agar nilai-nilai ekoteologi masuk dalam kurikulum pendidikan agama. Ini sekaligus menanggapi tantangan global seperti perubahan iklim dan krisis lingkungan hidup yang sudah tidak bisa diabaikan lagi.

Pesantren juga merupakan ruang publik keagamaan yang strategis. Kyai dan santri di berbagai daerah dapat menjadi agen perubahan, menyebarkan kesadaran ekologis dan mendorong praktik pelestarian alam di komunitasnya masing-masing.

Fungsi sosial dan moral pesantren semakin luas. Melalui integrasi ekoteologi, pesantren dapat menjadi pusat transformasi yang menghubungkan iman, moralitas, dan tanggung jawab ekologis secara holistik.

***

Namun, modernisasi pesantren menghadapi tantangan seperti keterbatasan sumber daya, resistensi terhadap perubahan, dan kebutuhan pelatihan bagi pendidik. Dukungan dari pemerintah dan masyarakat menjadi sangat penting agar proses transformasi berjalan optimal.

Kolaborasi antara pesantren, pemerintah, dan masyarakat harus diperkuat. Hanya dengan sinergi ini pesantren bisa menjalankan fungsinya secara maksimal dalam pendidikan dan pelestarian lingkungan.

Pesantren yang terbuka pada perubahan akan mampu menjaga tradisi sekaligus menjadi pelopor inovasi. Adaptasi ini penting agar pesantren relevan di abad ke-21 tanpa kehilangan identitasnya.

Pandangan Jurgen Habermas (1991) tentang ruang publik memberi kita perspektif penting untuk memahami modernisasi pesantren. Ruang publik adalah arena komunikasi rasional untuk membangun opini dan kesadaran bersama.

Pesantren sebagai ruang publik keagamaan perlu membuka diri untuk dialog yang inklusif. Partisipasi perempuan, santri, dan masyarakat luas harus diperluas agar ruang publik ini hidup dan demokratis.

Reformasi kelembagaan pesantren harus mendorong partisipasi yang lebih luas dan tidak bersifat hierarkis semata. Keterbukaan ini memperkaya diskursus dan kreativitas dalam komunitas pesantren.

Dalam kurikulum modern, pesantren harus menggabungkan ilmu agama dengan pengetahuan umum dan kontemporer. Ini memungkinkan lahirnya pemikiran kritis dan solusi inovatif untuk masalah sosial dan ekologis.

Metode pengajaran harus mendukung dialog terbuka dan komunikasi kritis, sehingga pesantren menjadi ruang publik yang hidup dan sesuai cita-cita Habermas.

Modernisasi pesantren bukan hanya transformasi teknis, tetapi perubahan budaya dan sosial. Pesantren harus mampu menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi agar tetap relevan.

Pemerintah dan masyarakat harus mendukung proses modernisasi dengan penghormatan terhadap nilai-nilai pesantren. Transformasi bukan untuk menghapus akar, tapi memperkuat dan memperluas pengaruhnya.

Sementara itu, gerakan ekoteologi oleh Kementerian Agama adalah momentum untuk mengaktifkan fungsi sosial dan moral pesantren secara lebih luas. Pesantren dapat menjadi pusat pembelajaran yang mengintegrasikan iman dan tanggung jawab ekologis.

Pesantren masa depan adalah lembaga holistik yang mengajarkan agama, moral, dan kesadaran ekologis. Ia menyiapkan insan yang tidak hanya cerdas dan beriman, tetapi juga bertanggung jawab menjaga bumi.

Pesantren dan ekoteologi adalah dua wajah masa depan yang saling melengkapi. Mereka menyulam masa lalu dan masa depan dalam harmoni kehidupan yang berkelanjutan.

Kini saatnya pesantren tidak hanya bertahan, tapi menjadi pelopor dalam menghadapi krisis ekologis dan spiritual dunia. Ia harus berani membuka ruang publik, mengadopsi modernisasi, dan menjadikan ekoteologi inti pembelajaran.

Pesantren adalah denyut nadi sejarah Indonesia yang kini dipanggil menjadi garda depan perubahan. Ia harapan bangsa yang lestari dan bermartabat.

Kita belajar dari Habermas bahwa pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi membuka ruang dialog, kritis, dan inklusif. Pesantren memiliki modal besar untuk itu.

Saatnya melangkah maju dengan gagasan modernisasi dan ekoteologi sebagai panduan. Pesantren bukan hanya warisan masa lalu, tapi harapan masa depan bangsa.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now