Oleh: Syamsul Kurniawan
PESANTREN adalah salah satu lembaga pendidikan yang memiliki kekhasan
tersendiri, berbeda dari lembaga lain di Indonesia. Secara historis, pesantren
merupakan lembaga pribumi tertua yang telah ada jauh sebelum kemerdekaan
Indonesia. Sejak Islam masuk ke nusantara, pesantren tumbuh dan berkembang
seiring dinamika dunia pendidikan, berperan besar dalam membentuk manusia
Indonesia yang religius dan berakhlak mulia.
Sebagai komunitas yang tersebar luas hingga pelosok
negeri, pesantren telah melahirkan banyak tokoh bangsa, termasuk pemimpin masa
lalu, kini, dan masa depan. Tidak hanya itu, lulusan pesantren juga aktif
memberikan kontribusi dalam pembangunan sosial dan keagamaan Indonesia. Peran
pesantren ini bukan hanya soal pendidikan, tetapi juga pembentukan karakter dan
kepemimpinan.
Pada masa penjajahan, pesantren sangat menonjol dalam
menggerakkan perjuangan rakyat melawan penjajah. Kyai dan santri menjadi garda
terdepan dalam memimpin dan mengorganisasi perlawanan. Peran itu kini bergeser,
tetapi pesantren tetap menjadi mitra strategis pemerintah, terutama dalam
menyosialisasikan program-program pembangunan kepada masyarakat.
Di kalangan umat Islam, pesantren dikenal sebagai
model institusi pendidikan dengan keunggulan tradisi keilmuan yang mendalam.
Pesantren menjadi salah satu tradisi agung yang menjaga transmisi ilmu dan
moralitas umat Islam secara efektif. Dalam sejarah pendidikan Islam Indonesia,
pesantren adalah local genius yang berhasil memadukan tradisi dan inovasi.
Pesantren juga merupakan subkultur yang lahir dan
berkembang seiring perubahan sosial global. Konsep asketisme atau kesufian yang
dianut pesantren menjadi pilihan ideal bagi masyarakat yang menghadapi krisis
eksistensi. Abdurrahman Wahid menegaskan bahwa subkultur inilah ciri utama
pesantren—sebuah ruang budaya yang mandiri namun tetap menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat.
Berdasarkan sejarah, pesantren diduga pertama kali
berdiri di Jawa pada masa Walisongo, dengan tokoh seperti Sheikh Malik Ibrahim
yang dianggap sebagai pendiri pesantren pertama. Menariknya, pesantren
mengadopsi sistem pendidikan Hindu-Buddha yang telah lama ada, lalu mengubahnya
menjadi sistem pendidikan Islam. Kata ‘pesantren’ sendiri berasal dari ‘santri’
yang berarti ilmuwan Hindu, dan ‘funduq’ dalam bahasa Arab yang berarti
penginapan.
Kehadiran kyai sangat menentukan dalam berdirinya
pesantren. Kyai biasanya telah belajar lama di Makkah, Madinah, atau pada ulama
tanah air, menguasai ilmu agama dan keahlian tertentu. Mereka kemudian
mendirikan pesantren sebagai pusat pengajian dan pembinaan moral di desanya.
Kyai memulai dengan membangun langgar atau surau
sebagai tempat salat berjamaah dan pengajian. Pengajian rutin yang meliputi
rukun iman, rukun Islam, dan akhlak menjadi inti aktivitas, yang kemudian
menarik masyarakat untuk bergabung dan belajar. Pesantren tumbuh sebagai pusat
pendidikan sekaligus pusat spiritual desa.
***
Di Indonesia, pesantren umumnya terbagi menjadi dua
kelompok besar: pesantren Salafi yang mengajarkan kitab klasik dengan sistem
sorogan, dan pesantren Khalafi yang mengadopsi sistem madrasah modern dengan
kurikulum yang mencakup ilmu umum. Perbedaan ini mencerminkan adaptasi pesantren
terhadap tuntutan zaman.
Metode pengajaran pesantren pun beragam. Ada sistem
wetonan, di mana santri bebas hadir tanpa ujian; sorogan, yang menuntut
pembacaan kitab di depan kyai; muhawarah, percakapan dalam bahasa Arab;
mudzakarah, diskusi ilmiah; dan majelis ta’lim, pengajian terbuka bagi
masyarakat umum. Kelima metode ini menunjukkan fleksibilitas pendidikan
pesantren.
Metode tersebut termasuk sistem non-klasikal yang
menjadi ciri khas pesantren tradisional. Selain itu, pesantren modern juga
menerapkan sistem pendidikan klasikal yang lebih terstruktur. Kombinasi
keduanya memungkinkan pesantren menjangkau berbagai kebutuhan pendidikan umat.
Pada konteks ini, fungsi pesantren tidak hanya
sebagai lembaga pendidikan ilmu tradisional Islam, tapi juga sebagai penjaga
tradisi dan sumber reproduksi otoritas keislaman di masyarakat Muslim.
Pesantren adalah benteng budaya dan agama yang menjaga identitas keislaman Indonesia.
Di era sekarang, modernisasi pesantren menjadi
keniscayaan agar lembaga ini tetap relevan. Modernisasi menyasar tiga aspek
utama: kelembagaan, kurikulum, dan metodologi. Transformasi ini harus dilakukan
tanpa mengikis nilai-nilai dan identitas pesantren yang sudah diwariskan secara
turun-temurun.
Reformasi kelembagaan pesantren perlu diarahkan pada
tata kelola yang lebih profesional dan transparan. Dengan manajemen yang baik,
pesantren dapat mengelola sumber daya secara efektif dan memperluas jaringan
kerja sama, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kurikulum pesantren juga harus diadaptasi untuk
memasukkan pendidikan umum dan nilai-nilai kontemporer. Salah satu aspek
penting yang sedang digalakkan Kementerian Agama adalah ekoteologi—pendidikan
yang menggabungkan kesadaran ekologis dengan ajaran agama.
Metodologi pengajaran pesantren pun perlu diperbarui
dengan memanfaatkan teknologi dan pendekatan pedagogis modern. Metode yang
mendorong diskusi, kolaborasi, dan pembelajaran aktif dapat menguatkan
pemahaman dan kemampuan santri untuk menghadapi tantangan global.
***
Selain menyambut modernitas, pesantren juga harus
siap menghadapi tantangan besar di tengah krisis ekologis yang melanda bumi
saat ini. Pesantren selayaknya mengambil peran aktif dalam mengemban misi mulia
untuk menyelamatkan alam semesta. Ekoteologi hadir sebagai perspektif teologis
yang memandang alam bukan sekadar lingkungan fisik, melainkan sebagai ciptaan
Tuhan yang sakral dan wajib dijaga keberlangsungannya. Melalui ekoteologi, umat
diajak untuk memahami bahwa merawat lingkungan adalah bagian tak terpisahkan
dari tanggung jawab spiritual dan sosial yang harus dijalankan dengan penuh
kesadaran dan kesungguhan.
Gerakan masif yang dilakukan Kementerian Agama untuk
mengintegrasikan ekoteologi dalam pendidikan agama, termasuk pesantren,
merupakan langkah strategis. Hal ini menegaskan pesantren sebagai tempat yang
tepat untuk menanamkan kesadaran ekologis yang berpijak pada nilai keagamaan.
Pesantren, dengan tradisi moral dan spiritual yang
kuat, mampu menjadi pusat pembelajaran ekoteologi yang autentik. Pendidikan ini
bukan hanya soal pelestarian lingkungan, tapi membentuk karakter manusia yang
sadar akan hubungan antar makhluk dan tugas menjaga keseimbangan alam.
Pemerintah mendorong agar nilai-nilai ekoteologi
masuk dalam kurikulum pendidikan agama. Ini sekaligus menanggapi tantangan
global seperti perubahan iklim dan krisis lingkungan hidup yang sudah tidak
bisa diabaikan lagi.
Pesantren juga merupakan ruang publik keagamaan yang
strategis. Kyai dan santri di berbagai daerah dapat menjadi agen perubahan,
menyebarkan kesadaran ekologis dan mendorong praktik pelestarian alam di
komunitasnya masing-masing.
Fungsi sosial dan moral pesantren semakin luas.
Melalui integrasi ekoteologi, pesantren dapat menjadi pusat transformasi yang
menghubungkan iman, moralitas, dan tanggung jawab ekologis secara holistik.
***
Namun, modernisasi pesantren menghadapi tantangan
seperti keterbatasan sumber daya, resistensi terhadap perubahan, dan kebutuhan
pelatihan bagi pendidik. Dukungan dari pemerintah dan masyarakat menjadi sangat
penting agar proses transformasi berjalan optimal.
Kolaborasi antara pesantren, pemerintah, dan
masyarakat harus diperkuat. Hanya dengan sinergi ini pesantren bisa menjalankan
fungsinya secara maksimal dalam pendidikan dan pelestarian lingkungan.
Pesantren yang terbuka pada perubahan akan mampu
menjaga tradisi sekaligus menjadi pelopor inovasi. Adaptasi ini penting agar
pesantren relevan di abad ke-21 tanpa kehilangan identitasnya.
Pandangan Jurgen Habermas (1991) tentang ruang publik
memberi kita perspektif penting untuk memahami modernisasi pesantren. Ruang
publik adalah arena komunikasi rasional untuk membangun opini dan kesadaran
bersama.
Pesantren sebagai ruang publik keagamaan perlu
membuka diri untuk dialog yang inklusif. Partisipasi perempuan, santri, dan
masyarakat luas harus diperluas agar ruang publik ini hidup dan demokratis.
Reformasi kelembagaan pesantren harus mendorong
partisipasi yang lebih luas dan tidak bersifat hierarkis semata. Keterbukaan
ini memperkaya diskursus dan kreativitas dalam komunitas pesantren.
Dalam kurikulum modern, pesantren harus menggabungkan
ilmu agama dengan pengetahuan umum dan kontemporer. Ini memungkinkan lahirnya
pemikiran kritis dan solusi inovatif untuk masalah sosial dan ekologis.
Metode pengajaran harus mendukung dialog terbuka dan
komunikasi kritis, sehingga pesantren menjadi ruang publik yang hidup dan
sesuai cita-cita Habermas.
Modernisasi pesantren bukan hanya transformasi
teknis, tetapi perubahan budaya dan sosial. Pesantren harus mampu menjaga
keseimbangan antara tradisi dan inovasi agar tetap relevan.
Pemerintah dan masyarakat harus mendukung proses
modernisasi dengan penghormatan terhadap nilai-nilai pesantren. Transformasi
bukan untuk menghapus akar, tapi memperkuat dan memperluas pengaruhnya.
Sementara itu, gerakan ekoteologi oleh Kementerian
Agama adalah momentum untuk mengaktifkan fungsi sosial dan moral pesantren
secara lebih luas. Pesantren dapat menjadi pusat pembelajaran yang
mengintegrasikan iman dan tanggung jawab ekologis.
Pesantren masa depan adalah lembaga holistik yang
mengajarkan agama, moral, dan kesadaran ekologis. Ia menyiapkan insan yang
tidak hanya cerdas dan beriman, tetapi juga bertanggung jawab menjaga bumi.
Pesantren dan ekoteologi adalah dua wajah masa depan
yang saling melengkapi. Mereka menyulam masa lalu dan masa depan dalam harmoni
kehidupan yang berkelanjutan.
Kini saatnya pesantren tidak hanya bertahan, tapi
menjadi pelopor dalam menghadapi krisis ekologis dan spiritual dunia. Ia harus
berani membuka ruang publik, mengadopsi modernisasi, dan menjadikan ekoteologi
inti pembelajaran.
Pesantren adalah denyut nadi sejarah Indonesia yang
kini dipanggil menjadi garda depan perubahan. Ia harapan bangsa yang lestari
dan bermartabat.
Kita belajar dari Habermas bahwa pendidikan bukan
sekadar transfer ilmu, tapi membuka ruang dialog, kritis, dan inklusif.
Pesantren memiliki modal besar untuk itu.
Saatnya melangkah maju dengan gagasan modernisasi dan
ekoteologi sebagai panduan. Pesantren bukan hanya warisan masa lalu, tapi
harapan masa depan bangsa.***