Oleh: Syamsul Kurniawan
DI DALAM ranah
pengalaman manusia, seni tumbuh dan berkembang sebagai sebuah kemampuan untuk
meresapi, mencipta, dan mengagas sesuatu yang bermakna. Seni bukan hanya karya
indah yang terpajang, melainkan meliputi segala sesuatu yang lahir dari
kedalaman pengalaman hidup manusia. Dari situ, seni menjadi medan di mana tubuh
dan pikiran saling berinteraksi, membentuk sebuah wujud nyata yang penuh makna
dan fungsi.
Seni
pendisiplinan tubuh hadir sebagai suatu metode yang sistematis dan terstruktur.
Metode ini merangkum empat elemen penting: seni penyebaran ruang, pengaturan
waktu yang ketat atau time table, strategi penambahan kegunaan waktu, serta
kekuatan yang tersusun secara geometris dan terorganisasi. Keempat metode
tersebut bekerja secara bersinergi membentuk tubuh yang patuh sekaligus
efisien, dalam jaringan kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia (Foucault,
1975).
Seni
penyebaran ruang menjadi fondasi pertama dari pendisiplinan tubuh. Pembagian
ruang-ruang yang jelas dan terpisah bertujuan untuk memaksimalkan kegunaan
setiap sudut dan menghindari potensi timbulnya kejahatan. Bangunan-bangunan
didirikan sebagai pembatas antara individu, mengisolasi mereka satu sama lain
demi kemudahan pengawasan. Para gelandangan dan pengemis dikumpulkan dalam satu
tempat, tentara dikonsentrasikan dalam barak militer, membentuk ruang-ruang
yang tersegmentasi.
Namun,
sekadar pengurungan dalam ruang tidak cukup untuk membentuk disiplin yang
sejati. Tubuh individu harus ditempatkan dalam jaringan relasi yang kompleks,
bukan hanya di ruang fisik yang cocok. Disiplin mengindividualisasikan tubuh
melalui posisi-posisi yang saling berhubungan dalam sistem, menciptakan kontrol
yang lebih halus dan efektif. Tubuh tidak lagi berdiri sendiri, tapi menjadi
bagian dari jaringan yang lebih besar.
Pengaturan
waktu menjadi aspek kedua yang tak kalah penting dalam seni pendisiplinan.
Melalui sistem time table, institusi mengatur aktivitas individu secara ketat.
Setiap tindakan dikontrol oleh waktu, menciptakan harmoni antara gerak dan
waktu yang terukur. Tubuh diarahkan untuk menjadi seefisien mungkin, membangun
hubungan yang optimal antara tubuh dan alat, serta mengupayakan penggunaan
waktu tanpa ada yang terbuang.
Menurut
Foucault, prinsip utama dalam pengorganisasian waktu ini adalah prinsip
“exhaustive use.” Tidak boleh ada waktu yang sia-sia atau terbuang percuma.
Setiap momen harus digunakan secara optimal, baik dalam hal kecepatan maupun
efisiensi. Orang didik dilatih untuk mengisi waktu seefektif mungkin, bahkan
dalam tempo yang sangat pendek sekalipun, menjadikan waktu sebagai komoditas
yang tak ternilai.
Foucault
juga menegaskan bahwa melalui time table terdapat sebuah konstanta, yaitu gerak
tubuh sekecil apa pun harus mampu menempatkan tubuh dalam posisi yang efektif
dan berguna. Tubuh yang didisiplinkan adalah tubuh yang setiap gerakannya,
sekecil apa pun, tetap berada dalam kondisi operasional maksimal. Gerakan
paling ringan pun harus berarti dan membawa fungsi.
Beranjak
dari pengaturan waktu, strategi penambahan waktu adalah cara lain untuk
memperluas kontrol terhadap tubuh. Foucault menyebutnya sebagai kontrol
genetis, yang memantau perkembangan kumulatif keterampilan tubuh individu.
Melalui kontrol ini, kemampuan tubuh terus berkembang dan diperbaiki agar lebih
efisien dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Metode
terakhir dalam seni pendisiplinan adalah kekuatan yang tersusun, yang menjadi
kritik Foucault terhadap pandangan ilmuwan fisika. Mereka menganggap hukum
fisika sulit diterapkan dalam teknik penyusunan kekuatan pasukan, namun
Foucault mengusulkan prinsip geometri sebagai strategi utama. Tentara dibagi
dalam divisi-divisi yang mudah bergerak, mengerahkan seluruh keterampilan,
perlengkapan, dan senjata dengan koordinasi yang tinggi.
Setiap
tentara diumpamakan sebagai “mesin” yang tanggap terhadap keadaan di kanan dan
kiri, sehingga dapat beradaptasi dengan unit lain di sekitarnya. Ia menjadi
bagian dari mesin yang multi-segmentasi, menyatu dan bergerak secara kolektif
tanpa ruang kebebasan individual. Tidak ada tentara yang bebas dari kekuasaan
disiplin yang memaksa dan mengarahkan.
Dalam
ranah pendidikan, Foucault menemukan praktik yang mirip dengan sistem komando
militer. Tanda ketukan diberikan saat murid membaca atau mengucapkan kata,
huruf, dan suku kata sebagai penanda yang membedakan antara yang benar dan yang
salah. Ketukan itu menjadi bahasa tubuh yang fungsional, memberikan isyarat
tanpa perlu penjelasan verbal.
Cukup
dengan ketukan tersebut, murid menyadari kesalahannya dan harus mengulang dari
awal. Proses ini bukan hanya soal belajar membaca, tetapi juga pendisiplinan
tubuh yang menuntut kepatuhan dan ketepatan tanpa celah. Tubuh murid terus
diprogram ulang, berulang kali, membentuk pola yang teratur dan terkontrol.
Seni
pendisiplinan, dalam perspektif Foucault, adalah seni mengubah tubuh menjadi
alat yang patuh dan produktif. Tubuh tidak lagi menjadi ruang kebebasan,
melainkan medan kuasa yang dibentuk melalui ruang, waktu, dan relasi yang
tersusun rapi. Tubuh adalah subjek sekaligus objek dari kekuasaan yang
terus-menerus bekerja.
Begitulah
Sisyphus yang terus-menerus mendorong batu besar dalam mitosnya. Tubuhnya
menjadi simbol tubuh yang dikuasai oleh disiplin yang tidak pernah berhenti,
yang melatihnya untuk menjadi mesin yang selalu siap dan taat. Hukuman yang
berulang itu sesungguhnya adalah latihan tanpa akhir untuk menciptakan tubuh
yang tak kenal lelah.
Setiap
dorongan batu adalah gerakan yang sangat terukur, di mana tidak ada ruang untuk
kelalaian. Tubuh Sisyphus diawasi oleh aturan yang tak tertulis, mengatur waktu
dan tenaga agar tetap seefisien mungkin. Tubuhnya berada dalam jaringan relasi
kuasa yang tak terlihat, tetapi sangat nyata dan mengikat.
Dalam
keletihan dan pengulangan itu, tubuh tidak hanya terbentuk secara fisik, tapi
juga mental dan moral. Tubuh dilatih untuk patuh, efisien, dan selalu siap
melakukan tugas yang diberikan. Sisyphus menjadi subjek disiplin yang memadukan
seni pengendalian ruang, waktu, dan kekuatan.
Namun,
di balik semua itu, muncul pertanyaan yang membekas: Apakah seni pendisiplinan
ini membebaskan atau justru memperbudak tubuh? Apakah tubuh yang telah dibentuk
oleh disiplin adalah tubuh yang utuh dan bebas, ataukah tubuh yang tersekat dan
terkungkung dalam jaringan kuasa?
Sisyphus,
dalam penderitaannya, mengajarkan kita tentang paradoks tersebut. Tubuhnya
adalah simbol manusia modern yang hidup dalam jalinan disiplin yang mengatur
segala aspek hidupnya. Tubuh yang terorganisasi dan diprogram, sekaligus tubuh
yang terkekang dan terperangkap.
Ketika
batu terguling kembali ke bawah, tubuhnya pun harus bersiap mengulang tugas
yang sama. Siklus tanpa henti itu menjadi metafora bagi kehidupan yang dibentuk
oleh seni pendisiplinan—yang memaksa tubuh untuk terus menerus beradaptasi dan
patuh.
Maka,
seni pendisiplinan bukan sekadar teknik pengendalian, melainkan juga sebuah
medan pertempuran antara kuasa dan kebebasan, antara kepatuhan dan
pemberontakan. Tubuh yang didisiplinkan adalah tubuh yang berada dalam
ketegangan konstan antara dua kutub tersebut.
Seni Mendisiplinkan Anak
Bermasalah Tanpa Luka
Di
tengah dinamika pendidikan, kita sering dihadapkan pada kenyataan bahwa ada
anak-anak yang melakukan kekerasan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa tindakan
kekerasan tersebut adalah bagian dari pencarian jati diri, sehingga seolah
perlu dimaklumi sebagai proses alami. Namun, dampak kekerasan yang mereka
lakukan sering kali sangat serius dan tidak bisa dianggap remeh. Kasus-kasus
ini bahkan masuk dalam ranah kriminal karena menyebabkan luka berat dan
terkadang kehilangan nyawa.
Memahami
akar penyebab kekerasan sangat penting untuk mencari solusi yang tepat.
Standish (2015) menyoroti bagaimana budaya sekolah bisa menjadi tempat tumbuh
suburnya perilaku kekerasan. Kebiasaan kecil seperti saling mengejek dan
membiarkan bullying berlangsung tanpa tindakan menjadi pemicu benih kekerasan
yang berbahaya. Lingkungan yang tidak responsif terhadap tanda-tanda awal akan
memperparah situasi.
Namun,
sekolah juga berpotensi menjadi tempat harapan untuk membentuk siswa yang
anti-kekerasan. Davies (2009) berpendapat bahwa bila siswa
diberikan pendidikan yang well-informed mengenai pentingnya perdamaian dan
bahaya kekerasan, mereka dapat tumbuh menjadi individu yang kritis dan
bertanggung jawab. Dengan kemampuan berpikir kritis, siswa menjadi lebih kuat untuk
menolak budaya kekerasan dan ekstremisme. Pendidikan yang demikian menjadi
modal positif dalam membangun karakter yang damai.
Sayangnya,
budaya anti-kekerasan belum menjadi bagian utama dalam kehidupan sekolah.
Lewsader dan Myers-Walls (2017) merekomendasikan agar nilai perdamaian
diintegrasikan secara menyeluruh ke dalam kurikulum dan budaya sekolah. Ini
tidak hanya soal materi pelajaran, melainkan juga pengkondisian perilaku dan
interaksi antar siswa. Dengan cara ini, sekolah dapat menjadi lingkungan yang
mendorong sikap damai secara berkelanjutan.
Sikap
anti-kekerasan harus menjadi kebiasaan yang terbentuk dari pengalaman nyata,
bukan hanya teori yang tertulis di buku. Pendekatan ini mendorong siswa
mengalami langsung nilai-nilai damai dalam interaksi sehari-hari. Ralph Tyler
(2009) memberikan sudut pandang penting dengan menyarankan untuk mengutamakan
“pengalaman belajar” daripada sekadar materi belajar. Artinya, pendidikan
anti-kekerasan harus melibatkan aktivitas dan pengalaman konkret yang mengasah
keterampilan hidup damai. Siswa tidak hanya mempelajari konsep, tapi juga
mempraktikkannya secara nyata dalam keseharian.
Dengan
demikian, tujuan pendidikan bukan hanya menanamkan teori, tetapi membentuk
keterampilan nyata seperti afirmasi, komunikasi, kerjasama, dan resolusi
konflik. Keempat keterampilan ini menjadi fondasi untuk hidup bersama secara
damai dan menghindari kekerasan. Melalui pengalaman ini, siswa belajar
bagaimana berinteraksi secara positif dan membangun.
Afirmasi
membantu siswa mengembangkan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri
sendiri serta orang lain. Ketika siswa mampu mengafirmasi dirinya dan
sesamanya, mereka cenderung menolak kekerasan sebagai solusi. Komunikasi
efektif menjadi jembatan penting agar siswa dapat menyampaikan perasaan dan
pikiran tanpa kekerasan. Dengan komunikasi yang baik, konflik dapat diredakan
sebelum berkembang menjadi tindakan agresif.
Kerjasama
menjadi kunci dalam membangun solidaritas dan tanggung jawab bersama. Melalui
kerja sama, siswa merasakan pentingnya harmoni dalam komunitas. Sementara itu,
resolusi konflik memberikan keterampilan praktis untuk menyelesaikan masalah
tanpa kekerasan, mengubah potensi perselisihan menjadi peluang belajar dan
rekonsiliasi.
Pendisiplinan
terhadap anak-anak pelaku kekerasan harus mengutamakan seni yang membebaskan,
bukan yang menimbulkan luka. Disiplin yang keras dan penuh kekerasan justru
memperburuk trauma dan melanggengkan siklus kekerasan. Tubuh dan jiwa anak
perlu dididik agar mampu mengendalikan diri, bukan dijadikan korban kekerasan
yang memperdalam luka batin.
Pendekatan
pendisiplinan yang efektif mengakui bahwa anak pelaku kekerasan sering
bertindak demikian karena pengalaman trauma, tekanan lingkungan, atau kurangnya
pemahaman dalam mengelola emosi. Sekolah dan keluarga harus menjadi ruang aman
yang mendukung pemulihan dan pembentukan kontrol diri. Disiplin yang baik
mengombinasikan pengawasan dan pembelajaran dalam suasana penuh pengertian.
Sistem
pendisiplinan yang humanis menempatkan pembentukan empati dan kendali diri
sebagai fokus utama, bukan sekadar penghukuman. Anak perlu diajak memahami
dampak tindakannya dan diberikan alat untuk berubah. Kerjasama antara guru,
orang tua, psikolog, dan anak sangat penting untuk menciptakan jaringan
dukungan yang efektif.
Penting
pula untuk meminimalkan penggunaan kekerasan fisik dan verbal dalam proses
disiplin. Pendekatan yang lebih mengandalkan dialog, konseling, dan pembinaan
karakter akan lebih efektif dan tidak meninggalkan trauma. Anak butuh ruang
untuk belajar dan tumbuh tanpa rasa takut, agar perubahan perilaku bisa terjadi
secara alami.
Pengaturan
waktu (time table) dapat dimanfaatkan untuk memberikan struktur dan rutinitas
yang stabil bagi anak bermasalah. Dengan jadwal yang jelas, anak belajar
mengelola waktu dan energinya secara positif. Rutinitas yang teratur memberi
rasa aman dan mengurangi kecenderungan impulsif yang bisa berujung pada
kekerasan.
Strategi
penambahan kegunaan waktu melatih anak untuk mengembangkan keterampilan sosial
dan emosional secara bertahap. Setiap pengalaman menjadi kesempatan belajar
yang memperkaya kematangan emosional dan sosial anak. Dengan demikian, waktu
yang mereka jalani penuh makna dan pertumbuhan.
Kekuatan
yang tersusun dalam konteks pendisiplinan adalah membangun jaringan dukungan
yang terorganisasi, di mana anak tidak merasa sendirian. Komunitas yang
inklusif dan suportif menjadi laboratorium ideal untuk belajar hidup damai.
Anak belajar bahwa kekerasan bukan solusi, melainkan dialog dan kerja sama.
Proses
pendisiplinan memerlukan kesabaran dan ketekunan. Tidak ada hasil instan,
melainkan perjalanan panjang membentuk tubuh dan jiwa yang sehat dan damai.
Pengalaman konkret di sekolah dan rumah menjadi arena penting bagi pembentukan
karakter dan sikap anti-kekerasan.
Pengalaman
belajar nyata membuat anak memahami betul nilai perdamaian dan menumbuhkan
keterampilan sosial yang konstruktif. Hal ini memperkuat pemahaman mereka
tentang pentingnya hidup tanpa kekerasan. Pendidikan bukan sekadar transfer
ilmu, tapi membangun kesadaran dan karakter.
Seni
pendisiplinan yang efektif menghormati martabat anak sebagai manusia yang
berhak mendapatkan kesempatan kedua. Pendekatan humanis membuka ruang bagi anak
untuk tumbuh dan berubah tanpa tekanan berlebihan. Anak menjadi subjek
perubahan, bukan objek hukuman.
Seni
pendisiplinan juga harus menolak stigma yang memperparah rendah diri anak.
Sebaliknya, menumbuhkan keyakinan bahwa perubahan positif adalah mungkin dan
pantas diperjuangkan. Sikap ini menjadi fondasi kuat untuk membangun
kepercayaan diri dan motivasi anak.
Dalam
kerangka pemikiran Foucault, seni pendisiplinan adalah jaringan kuasa yang
tidak hanya memaksa, tapi juga membebaskan. Kuasa yang sehat adalah kuasa yang
membangun, bukan merusak. Pendekatan ini mengedepankan pembentukan individu
yang mandiri dan bertanggung jawab.
Pendekatan
disiplin harus bertransformasi dari alat penghukuman menjadi seni pembebasan
yang menguatkan tubuh dan jiwa tanpa bekas luka. Dengan begitu, anak pelaku
kekerasan dapat berubah menjadi individu yang berdaya dan damai. Pendidikan
menjadi sarana transformasi, bukan pengekangan.
Sekolah
yang berhasil menciptakan budaya perdamaian dan pengertian menjadi tempat
terbaik untuk melatih seni pendisiplinan ini. Anak-anak belajar bertanggung
jawab tanpa rasa takut, tetapi dengan pengertian dan kasih sayang. Budaya ini
menjadi benteng yang melindungi dan membangun karakter.
Perjalanan
menciptakan seni pendisiplinan yang membebaskan memang tidak mudah. Diperlukan
kesadaran kolektif dan keberanian untuk meninggalkan paradigma lama yang
mengandalkan kekerasan. Transformasi ini adalah langkah krusial dalam
mewujudkan lingkungan pendidikan yang sehat.
Tantangan
terbesar adalah menghapus sisa-sisa kekerasan yang melekat dan menggantinya
dengan budaya baru yang menjunjung tinggi kemanusiaan dan perdamaian. Proses
ini harus melibatkan seluruh elemen masyarakat pendidikan, dari guru hingga
orang tua dan pemangku kebijakan.
Seni
pendisiplinan yang membebaskan adalah seni yang terus berkembang, menyesuaikan
dengan kebutuhan dan karakter anak tanpa meninggalkan trauma. Ini adalah seni
hidup yang mengintegrasikan kuasa dengan kemanusiaan. Pendekatan ini membuka
jalan bagi anak-anak bermasalah untuk bangkit dan berubah.
Pada
titik ini, kita menemukan bahwa seni pendisiplinan bukan hanya soal mengatur
tubuh dan perilaku, tapi juga membentuk jiwa yang mampu merespons dengan
kedamaian dan kesadaran. Tubuh dan jiwa menjadi satu kesatuan yang utuh,
dididik untuk hidup harmonis.
Ketika
seni pendisiplinan itu benar-benar ditemukan dan diterapkan, kita tidak lagi
melihat anak-anak pelaku kekerasan sebagai beban atau musuh. Mereka adalah
insan yang sedang melalui proses pembebasan, yang berhak mendapatkan kesempatan
dan harapan baru.
Perjalanan
pendisiplinan ini mengajak kita untuk menggeser paradigma dari hukuman tanpa
akhir seperti Sisyphus, menuju sebuah perjalanan pembebasan yang bermakna dan
penuh harapan. Seni yang mengajak anak-anak menjadi pemenang dalam kehidupannya
sendiri.
Seni
Pendisiplinan yang Berakar pada Habitus
Sikap
dan perilaku manusia terbentuk dari kebiasaan yang telah melekat dan
terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan ini, dalam teori Pierre
Bourdieu (1977, 1979, 1984) dikenal sebagai habitus, bukan sekadar
rutinitas biasa, melainkan pola disposisi yang membentuk cara pandang, sikap,
dan tindakan seseorang secara otomatis. Dengan memahami habitus, seni
pendisiplinan dapat dirancang tidak hanya sebagai aturan eksternal, melainkan
sebagai bagian alami dari kehidupan sosial yang terintegrasi dengan kebiasaan
lokal.
Habitus
berfungsi sebagai fondasi utama dalam pembentukan sikap dan perilaku disiplin.
Disiplin yang efektif tidak boleh bertentangan dengan habitus masyarakat atau
individu yang bersangkutan, karena hal ini akan memicu resistensi dan kegagalan
dalam penerapan disiplin. Oleh sebab itu, seni pendisiplinan harus mampu
menyatu dengan kebiasaan dan nilai-nilai yang sudah ada, membentuk pola
tindakan yang konsisten dan bermakna bagi individu dan komunitas.
Budaya
sekolah menjadi ruang utama di mana habitus dapat dibangun dan diarahkan menuju
sikap positif. Penguatan moral dan budi pekerti dalam pendidikan bukan sekadar
menanamkan teori, melainkan sebuah proses yang mengubah kebiasaan buruk menjadi
karakter yang bertanggung jawab dan bermartabat. Pendidikan yang sukses akan
‘merubuhkan’ kebodohan dan menggantikannya dengan kebiasaan yang lebih baik,
menjadikan disiplin sebagai sesuatu yang alami dan melekat.
Integrasi
kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ) menjadi sangat
relevan dalam pengembangan budaya sekolah, di mana budaya tersebut tidak hanya
dirancang untuk mengasah kemampuan akademik semata, tetapi juga membentuk watak
siswa secara holistik. Melalui pembiasaan nilai-nilai positif secara konsisten,
siswa diajak menginternalisasi sikap jujur, disiplin, kreatif, dan berani yang
berkelanjutan. Pembiasaan ini tidak terbatas pada ranah pribadi saja, melainkan
meluas pada interaksi sosial, di mana siswa dibekali dengan sikap toleransi,
demokrasi, cinta tanah air, dan kerja sama—semua merupakan bagian penting dari
habitus sosial yang perlu mereka kembangkan. Dengan pendekatan ini, seni
pendisiplinan tidak sekadar mengatur perilaku, melainkan menjadi proses
pembentukan karakter yang berakar kuat dalam budaya lokal dan kehidupan
bermasyarakat.
Pierre
Bourdieu menegaskan bahwa habitus bukan entitas statis, melainkan dapat berubah
dan berkembang melalui pengalaman dan refleksi sosial. Seni pendisiplinan yang
peka terhadap habitus mampu memfasilitasi perubahan ini secara halus dan
efektif, tanpa memaksa individu untuk melepaskan identitas budayanya.
Pendekatan ini menjadikan disiplin lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Memperhatikan
kebiasaan lokal berarti juga menghargai tradisi dan norma yang menjadi bagian
dari identitas masyarakat. Disiplin yang berakar pada nilai-nilai lokal
membangun jembatan antara aturan modern dan kearifan tradisional. Ini
memungkinkan anak-anak dan individu untuk tumbuh dan berkembang dalam kerangka
budaya mereka, tanpa merasa terasing atau kehilangan jati diri.
Dalam
konteks keberagaman budaya Indonesia yang sangat luas, seni pendisiplinan yang
fleksibel dan adaptif sangat penting. Pendekatan yang menghormati habitus dan
keberagaman ini membuat disiplin mampu diterima oleh berbagai komunitas,
sekaligus menjaga tujuan pembentukan karakter yang positif dan bertanggung
jawab. Ini memperkuat kohesi sosial dan mendorong persatuan dalam keragaman.
Peran
guru dan pendidik sangat vital dalam memahami habitus siswa sebagai titik awal
penerapan disiplin. Mereka harus memiliki kemampuan reflektif dan empati agar
dapat melihat dunia dari perspektif anak dan komunitasnya. Dengan pemahaman
ini, strategi pendisiplinan dapat dipilih dan dikembangkan secara kontekstual,
efektif, dan bermakna.
Pembangunan
habitus positif melalui pendidikan menghasilkan generasi yang tidak hanya
cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki karakter kuat dan mampu menolak
pengaruh negatif seperti kekerasan. Seni pendisiplinan yang berakar pada
habitus adalah seni membentuk manusia seutuhnya, yang tumbuh dalam harmoni
dengan nilai budaya dan sosial.
Seni
pendisiplinan bukanlah satu formula yang dapat diterapkan secara seragam. Ia
merupakan praktik sosial yang dinamis, harus mampu menyesuaikan dengan kondisi
budaya, sosial, dan individual. Pendekatan yang menghormati habitus sekaligus
mendorong perubahan positif menjadi kunci keberhasilan pendisiplinan yang
bermakna.
Pengalaman
empiris membuktikan bahwa pendisiplinan yang mengabaikan habitus berpotensi
menimbulkan konflik dan resistensi dari anak-anak maupun komunitas. Sebaliknya,
disiplin yang berakar dan menghargai kebiasaan lokal menumbuhkan rasa percaya,
keterlibatan, dan kepemilikan terhadap proses pendisiplinan itu sendiri.
Seni
pendisiplinan yang berorientasi habitus membangun sinergi kuat antara individu
dan masyarakat. Ia menciptakan ikatan emosional dan sosial yang sehat, sehingga
disiplin menjadi panggilan hati, bukan sekadar kewajiban. Ini memperkuat
fondasi komunitas yang harmonis dan beradab.
Banyak
nilai budaya lokal yang sejalan dengan prinsip disiplin modern, seperti gotong
royong, rasa hormat, dan tanggung jawab sosial. Seni pendisiplinan bisa
menggali dan mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut, memperkuat pembentukan
perilaku positif yang sesuai dengan konteks sosial budaya masyarakat.
Pendidikan
berbasis budaya lokal mempermudah proses internalisasi disiplin oleh siswa.
Ketika anak belajar dalam konteks yang mereka pahami dan alami sehari-hari,
disiplin menjadi sesuatu yang dekat dan relevan. Hal ini memperkuat efektivitas
pembiasaan dan perubahan perilaku yang diharapkan.
Secara
sosiologis, habitus adalah mediator antara struktur sosial dan tindakan
individu. Disiplin yang mengabaikan habitus berarti mengabaikan aspek
fundamental pembentukan perilaku manusia. Seni pendisiplinan harus menjadi
jembatan yang menghubungkan keduanya agar menghasilkan perubahan yang efektif
dan bermakna.
Foucault
menegaskan bahwa disiplin adalah seni kekuasaan yang tersebar dalam jaringan
sosial secara halus. Ketika disiplin diaplikasikan dengan memperhatikan
habitus, ia menjadi alat kekuasaan yang membangun dan memberdayakan, bukan alat
represi yang menghancurkan. Ini adalah bentuk kuasa yang sehat.
Dengan
memperhatikan habitus, disiplin menghindari pendekatan represif dan mekanistik
yang sering kali hanya memaksa kepatuhan tanpa membangun kesadaran. Anak-anak
dipandang sebagai subjek aktif dalam proses pendisiplinan, bukan sekadar objek
yang tunduk pada perintah.
Seni
pendisiplinan yang menghormati kebiasaan dan budaya lokal adalah seni yang
paling manusiawi dan inklusif. Ia memadukan kekuatan aturan dengan kelembutan
pemahaman budaya, menjadikan disiplin bermakna dan bertahan lama dalam
kehidupan sosial dan individu.
Pendidik
harus dilatih untuk memahami keberagaman habitus dan mengembangkan strategi
disiplin yang sesuai dengan konteks sosial budaya. Pelatihan ini sangat penting
agar mereka dapat menjadi agen perubahan yang efektif dan sensitif terhadap
kebutuhan siswa.
Melibatkan
komunitas lokal dalam perumusan dan pelaksanaan disiplin memperkuat legitimasi
dan keberlanjutan. Partisipasi aktif masyarakat dalam seni pendisiplinan
membuatnya lebih diterima dan berhasil, serta menumbuhkan rasa memiliki dan
tanggung jawab bersama.
Kebiasaan
lokal yang positif dapat diperkuat melalui kegiatan budaya dan ekstrakurikuler
yang berakar pada tradisi masyarakat. Ini menjadikan seni pendisiplinan bagian
dari pengalaman sosial yang menyenangkan dan bermakna bagi anak-anak dan
komunitas.
Pendekatan
pendisiplinan yang adaptif memudahkan anak menginternalisasi nilai sosial yang
beragam dan kompleks. Ini sangat penting di Indonesia yang kaya akan pluralitas
budaya dan agama. Anak diajarkan untuk menghargai perbedaan sebagai bagian dari
identitas dan kehidupan bersama.
Ketika
seni pendisiplinan mengintegrasikan habitus lokal, ia menjadi fondasi kuat bagi
terciptanya masyarakat yang harmonis dan beradab. Anak-anak yang tumbuh dalam
sistem ini mampu menghargai perbedaan dan menjaga persatuan dengan tulus dan
penuh kesadaran. Maka demikian pula, seni pendisiplinan, harus selalu melihat
kebiasaan dan nilai lokal sebagai sumber kekuatan, bukan sebagai hambatan.
Dengan demikian, disiplin bukan sekadar aturan kaku, melainkan bagian dari
identitas sosial dan budaya yang membentuk manusia seutuhnya dalam
komunitasnya.
Seni
Pendisiplinan: Dari Kebiasaan ke Karakter
Sikap
dan perilaku seseorang, termasuk yang mendukung kekerasan maupun
anti-kekerasan, sejatinya merupakan buah dari kebiasaan yang terbentuk dalam
keseharian. Kebiasaan kecil yang sering dianggap remeh ternyata mampu
memberikan dampak besar bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam
pembentukan karakter dan pengendalian diri. (Clear, 2018) Proses ini
menunjukkan betapa pentingnya pembiasaan dalam seni pendisiplinan yang efektif
dan berkelanjutan.
Budaya
sekolah menjadi fondasi utama dalam membentuk kebiasaan positif yang melahirkan
karakter baik. Penguatan moral dan budi pekerti di lingkungan sekolah memiliki
dampak mendasar dalam perubahan individu. Pendidikan idealnya mampu
“merubuhkan” kebodohan, membersihkan diri dari sikap negatif, dan
menggantikannya dengan karakter yang lebih bertanggung jawab dan bermartabat.
Budaya
sekolah yang kuat harus berlandaskan visi dan misi yang tidak hanya
mengembangkan kecerdasan intelektual siswa, tetapi juga mampu membentuk watak
mereka secara holistik. Sebelumnya telah disinggung bagaimana integrasi
kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ) menjadi kunci
utama dalam mewujudkan proses tersebut.
Pembiasaan
nilai-nilai positif di sekolah membuat siswa secara personal menginternalisasi
sikap jujur, disiplin, kreatif, dan berani secara berkelanjutan. Tidak hanya
itu, dalam konteks sosial, siswa juga belajar bertoleransi, berdemokrasi,
mencintai tanah air, bekerja sama, serta mengembangkan sopan santun. Pembiasaan
ini menjadi pondasi karakter yang kuat dan bagian dari habitus sosial yang
harus dikembangkan secara sistematis.
Namun,
pembentukan budaya dan kebiasaan positif di sekolah tidak dapat berjalan
efektif tanpa intervensi kepemimpinan yang konsisten dan visioner. Kepala
sekolah atau madrasah memiliki peran strategis dalam menyukseskan visi, misi,
dan tujuan pembentukan budaya sekolah. Kepemimpinan yang kuat mampu
menggerakkan seluruh komponen sekolah ke arah budaya yang positif.
Seorang
pemimpin pendidikan yang profesional harus senantiasa mencari terobosan dan
perubahan menuju perbaikan. Dalam konteks budaya sekolah, kepala sekolah harus
berani mengambil keputusan untuk mengembangkan dan menyempurnakan budaya yang
ada. Ini termasuk menegakkan disiplin melalui pembiasaan dan keteladanan yang
dapat diikuti oleh seluruh warga sekolah.
Selain
kepemimpinan, guru-guru sebagai teladan utama di kelas harus mampu konsisten
mencontohkan perilaku dan sikap yang baik. Keteladanan guru menjadi kunci agar
pembiasaan nilai-nilai positif bisa diterima dan diikuti siswa secara alami.
Ketika guru mampu menjadi panutan, maka pembiasaan positif dapat tumbuh dan
mengakar dengan lebih kuat.
Ketika
ada siswa bermasalah, peran guru Bimbingan dan Konseling (BK) sangat vital
sebagai pendamping dan pengarah. Guru BK membantu mengatasi kendala emosional
dan sosial siswa, sehingga pembiasaan dan disiplin dapat berjalan lebih
efektif. Pendampingan ini menumbuhkan kesadaran diri siswa untuk berubah dan
memperbaiki sikap melalui pendekatan yang humanis.
Peran
orang tua juga tidak kalah penting dalam mendukung pembiasaan di sekolah.
Kebiasaan yang dibentuk di rumah akan memperkuat atau bahkan melemahkan upaya
pembiasaan sekolah. Oleh karena itu, sinergi antara sekolah dan keluarga dalam
membentuk kebiasaan positif merupakan kunci keberhasilan pendidikan karakter.
Lingkungan
masyarakat yang suportif turut menentukan keberhasilan pembiasaan. Komunitas
yang menjunjung nilai positif dan memberikan contoh sikap serta perilaku yang
baik memperkuat pembentukan kebiasaan pada anak. Dengan lingkungan sosial yang
kondusif, seni pendisiplinan dapat berjalan berkesinambungan dan efektif.
Sikap
toleransi dan anti-kekerasan merupakan buah dari pembiasaan kecil yang berulang
dan diperkuat di berbagai ranah kehidupan, termasuk sekolah, rumah, dan
masyarakat. Kebiasaan ini harus disusun secara sistematis agar dapat menguatkan
karakter dan menghindarkan perilaku destruktif.
Budaya
sekolah yang menanamkan nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesetaraan sangat
relevan untuk mendukung pembentukan karakter multikultural. Hal ini tidak hanya
mempersiapkan siswa untuk berprestasi secara akademis, tetapi juga untuk
menjadi warga negara yang berkeadilan dan menghargai keberagaman.
Pembiasaan
dalam pendidikan agama Islam perlu diselaraskan dengan prinsip-prinsip
multikulturalisme. Pendidikan agama tidak hanya mengajarkan ritual dan dogma,
tetapi juga nilai-nilai sosial seperti toleransi, saling menghargai, dan hidup
berdampingan dengan perbedaan. Pembiasaan nilai-nilai ini harus menjadi bagian
rutin pembelajaran.
Guru
pendidikan agama Islam harus mampu menyeimbangkan antara pengajaran agama dan
pembentukan sikap sosial yang inklusif. Hal ini menuntut inovasi dalam
pendekatan pembelajaran agar materi agama tidak terisolasi dari kebutuhan nyata
siswa dan konteks sosialnya yang beragam.
Pembiasaan
dalam pengajaran agama yang dilandasi multikulturalisme akan membantu siswa
menginternalisasi nilai-nilai toleransi dan kesetaraan sejak dini. Ini
menjadikan pendidikan agama Islam relevan dan kontekstual dengan tantangan
sosial saat ini, termasuk tantangan pluralitas dan globalisasi.
Kepemimpinan
sekolah harus mendorong implementasi pendidikan multikultural yang inklusif
melalui kebijakan dan budaya yang mendukung. Kepala sekolah dan guru perlu
diberdayakan untuk menciptakan lingkungan belajar yang ramah dan terbuka
terhadap keberagaman.
Kerjasama
antar guru pendidikan agama Islam dan guru BK perlu diperkuat agar pembiasaan
disiplin berjalan holistik. Pendampingan siswa secara emosional dan akademis
melalui sinergi ini akan meningkatkan efektivitas pembentukan karakter dan
disiplin.
Orang
tua harus dilibatkan dalam proses pendidikan karakter dan disiplin. Pembiasaan
di rumah yang sejalan dengan nilai-nilai sekolah akan memperkuat pengaruh
positif dan mempercepat perubahan perilaku anak menjadi lebih baik.
Lingkungan
masyarakat yang suportif, termasuk tetangga dan tokoh komunitas, dapat membantu
meneguhkan kebiasaan positif anak. Dukungan sosial ini penting agar pembiasaan
disiplin tidak hanya berhenti di sekolah, tetapi menyatu dalam kehidupan
sehari-hari.
Latihan
dan praktikum keagamaan menjadi sarana efektif membiasakan nilai-nilai
spiritual dan sosial. Pengamalan nilai-nilai tersebut secara konsisten
menjadikan disiplin sebagai bagian dari rutinitas dan identitas siswa.
Perintah
dan larangan yang disampaikan guru harus diterapkan dengan adil dan persuasif.
Pendekatan ini menjamin pembiasaan nilai-nilai moral tanpa menimbulkan
ketakutan atau penolakan yang kontraproduktif.
Nasehat
yang tulus dan berkelanjutan menjadi bagian penting dari pembiasaan.
Keteladanan guru dan orang tua memperkuat efektivitas nasehat sehingga anak
lebih mudah menginternalisasi nilai-nilai positif.
Ganjaran
berupa penghargaan dan pujian harus diterapkan secara adil untuk memotivasi
siswa mempertahankan perilaku baik. Prinsip kesetaraan dan keadilan harus
dijunjung agar penghargaan tidak menjadi sumber konflik.
Hukuman,
jika diperlukan, harus digunakan secara bijaksana dan proporsional untuk
memperbaiki perilaku. Prinsip demokrasi dan keadilan harus memastikan bahwa
hukuman tidak diskriminatif dan tidak merusak harga diri siswa.
Pelibatan
aktif guru BK dalam proses pembiasaan karakter sangat diperlukan. Guru BK
berperan sebagai mediator dan pendamping yang membantu siswa mengatasi
kesulitan emosional dan sosial.
Kepala
sekolah sebagai pemimpin bertanggung jawab menciptakan kultur pembiasaan yang
kondusif dan konsisten. Kepemimpinan yang visioner akan memacu seluruh warga
sekolah untuk menerapkan disiplin yang berakar pada kebiasaan positif.
Keterlibatan
semua elemen sekolah, termasuk tenaga kependidikan dan orang tua, memperkuat
kesinambungan pembiasaan. Sinergi ini menjadikan proses pembentukan karakter
tidak fragmentaris, tetapi terpadu.
Pembiasaan
disiplin yang terbangun dengan baik akan membentuk karakter yang kuat, mandiri,
dan bertanggung jawab. Ini adalah tujuan utama seni pendisiplinan yang
bertransformasi menjadi karakter yang melekat.
Kebiasaan
yang sudah tertanam akan menjadi refleks yang membimbing sikap dan tindakan
siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, disiplin bukan lagi beban,
melainkan bagian dari identitas dan cara hidup.
Budaya
sekolah yang menerapkan pembiasaan positif juga menjadi sumber inspirasi bagi
masyarakat luas. Anak-anak yang dibentuk di sekolah menjadi agen perubahan yang
membawa nilai-nilai baik ke lingkungan sekitarnya.
Pendidikan
yang mengintegrasikan pembiasaan, kepemimpinan, keteladanan, dan dukungan
sosial akan menghasilkan generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman. Seni
pendisiplinan ini membuka ruang bagi pertumbuhan karakter yang holistik dan
kontekstual.
Sebagai
kesimpulan, seni pendisiplinan yang berakar pada kebiasaan kecil dan didukung
oleh kepemimpinan, guru, orang tua, serta lingkungan masyarakat, adalah kunci
pembentukan karakter. Pembiasaan ini membangun fondasi kuat bagi perilaku
positif yang berkelanjutan dan bermakna dalam kehidupan siswa.
Seni
pendisiplinan yang berakar pada kebiasaan bukan sekadar soal aturan dan
hukuman, melainkan sebuah proses yang membentuk karakter dan identitas
seseorang secara menyeluruh. Dalam konteks itu, kita dapat melihat bagaimana
tokoh mitologis Sisyphus menjalani pendisiplinan yang unik—dengan terus-menerus
mendorong batu besar naik ke puncak bukit, sebuah tugas tanpa akhir yang
tampaknya sia-sia. Namun, disiplin yang
dijalani Sisyphus bukanlah beban yang menghinakan, melainkan proses pembentukan
makna dan kebahagiaan yang muncul dari kesadaran dan penerimaan dirinya.
Sisyphus
menemukan kebahagiaan dalam pendisiplinan yang konsisten, di mana setiap
dorongan batu menjadi latihan kesabaran, kekuatan, dan keteguhan hati. Ia tidak
melawan nasib, melainkan menghayati tugas itu dengan sepenuh hati, menjadikan
pembiasaan terus-menerus sebagai sumber kekuatan batin. Dalam hal ini, seni
pendisiplinan yang berakar pada kebiasaan kecil yang berulang-ulang menciptakan
sebuah ruang bagi individu untuk menemukan makna dan kebahagiaan dalam proses
pembentukan dirinya.
Seperti
Sisyphus, kita diajak untuk melihat pendisiplinan bukan sebagai paksaan yang
memenjarakan, tetapi sebagai seni membangun karakter yang berkelanjutan dan
bermakna. Pembiasaan yang diulang secara konsisten, didukung oleh kepemimpinan
yang bijak, keteladanan guru, peran guru bimbingan dan konseling, serta
dukungan keluarga dan masyarakat, mampu mengubah proses pendisiplinan menjadi
perjalanan yang penuh kesadaran dan kebahagiaan. Dengan demikian, disiplin menjadi
bukan hanya alat pengendalian, tetapi juga sumber kekuatan dan kebahagiaan
dalam perjalanan hidup manusia.***