Oleh: Syamsul Kurniawan
IBADAH haji, sebagai rukun Islam kelima, bukan
sekadar sebuah perjalanan fisik menuju tanah suci, tetapi lebih dari itu, ia
merupakan perjalanan spiritual yang mendalam bagi setiap umat Islam. Setiap
tahunnya, jutaan umat Islam berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah ini,
dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kuota jamaah terbesar. Meskipun
biaya yang dibutuhkan tidaklah murah, banyak umat Islam yang dengan tekad yang
kuat tetap berusaha untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Haji memiliki daya
tarik yang luar biasa, dan di balik setiap keberangkatan, terdapat niat yang
tulus untuk mendapatkan predikat haji mabrur, yaitu haji yang diterima Allah
SWT, dengan imbalan surga.
Namun, lebih dari sekadar niat untuk menunaikan
kewajiban, haji mengandung nilai-nilai kesederhanaan yang dalam. Salah satu
simbol paling mencolok dari kesederhanaan dalam ibadah haji adalah pakaian
ihram yang dikenakan oleh setiap jamaah. Pakaian ihram yang sederhana, tanpa
jahitan, tanpa perbedaan status sosial, menjadi simbol kesetaraan di hadapan
Allah. Dalam konteks ini, tidak ada yang lebih penting selain kedekatan dengan
Allah, tanpa memandang kekayaan atau kedudukan sosial. Hal ini menjadi simbol
bahwa kesederhanaan harus diterapkan tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga
dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan ini tidak hanya terlihat dalam
bentuk pakaian, tetapi juga dalam sikap dan perilaku yang harus diinternalisasi
oleh setiap jamaah haji. Dalam setiap ritual haji, seperti thawaf, sa’i, dan
wuquf, terdapat pesan moral yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan
pengorbanan. Thawaf, misalnya, mengajarkan keterikatan kepada Tuhan dengan
mengelilingi Ka’bah sebagai simbol keharmonisan dengan Sang Pencipta. Sa’i
antara Shafa dan Marwah, yang dilakukan dengan berlari-lari kecil, menjadi
simbol ikhtiar yang tidak kenal putus asa, diiringi dengan keyakinan bahwa
Allah SWT akan memberikan pertolongan bagi siapa saja yang berusaha dengan
tulus.
Namun, jika kita melihat fenomena ini dalam
konteks ruang publik dan simulakra menurut Jean Baudrillard (1994), kita dapat
melihat bahwa ibadah haji dalam dunia modern ini seringkali terjebak dalam
perwujudan yang lebih bersifat konsumtif. Dalam konteks simulakra, realitas
ibadah haji yang sesungguhnya menjadi terdistorsi oleh gambaran ideal yang
terbentuk oleh media dan representasi sosial. Haji, yang seharusnya menjadi
perjalanan spiritual untuk memperbaiki diri, kadang-kadang terjebak dalam
persepsi sosial yang mengedepankan status dan prestise, bukan pada tujuan
spiritual murni.
Hal ini sangat terkait dengan konsep
"simulakra" dalam masyarakat postmodern, di mana nilai-nilai yang
seharusnya bersifat asli dan murni menjadi terdistorsi oleh citra dan harapan
sosial yang dibangun oleh masyarakat. Jamaah haji yang berangkat dengan niat
tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam kenyataannya, seringkali
menghadapi tekanan sosial yang mengarah pada pencapaian status tertentu dalam
masyarakat. Dalam hal ini, haji tidak lagi sekadar perjalanan spiritual, tetapi
menjadi bagian dari citra sosial yang harus diperoleh untuk memperkuat status
individu.
Simulakra ini tercipta dalam ruang publik
melalui narasi yang dibangun oleh media dan masyarakat. Seiring berkembangnya
teknologi dan media sosial, citra tentang haji sering kali dipengaruhi oleh
representasi yang menunjukkan haji sebagai simbol status sosial. Hal ini
tercermin dalam ekspektasi masyarakat terhadap mereka yang baru pulang dari
haji, yang sering kali diidentikkan dengan kesuksesan dan kemuliaan. Padahal,
sesungguhnya, kemuliaan haji seharusnya diukur dari kualitas spiritual dan
perubahan positif dalam perilaku seorang jamaah, bukan dari pengakuan sosial
yang diterima di ruang publik.
Menurut Baudrillard, dalam masyarakat
postmodern, representasi ini menciptakan suatu hiperrealitas, di mana persepsi
masyarakat tentang haji lebih didasarkan pada citra yang dibangun melalui media
dan budaya populer, bukan pada pengalaman nyata dan tujuan spiritual ibadah itu
sendiri. Dalam hiperrealitas ini, perbedaan antara yang asli dan yang
direpresentasikan menjadi kabur. Haji, yang seharusnya menjadi perjalanan untuk
mencapai kedekatan dengan Allah, dalam banyak kasus, malah menjadi ajang untuk
memperoleh status sosial, yang pada akhirnya mengaburkan esensi sejati dari
ibadah ini.
***
Dengan memahami simulakra dan hiperrealitas,
kita bisa melihat bahwa ada ketegangan antara makna sejati haji yang
berlandaskan spiritualitas dan realitas sosial yang terdistorsi oleh simbolisme
dan citra yang dibangun oleh masyarakat. Dalam hal ini, haji yang seharusnya
menjadi alat untuk menanamkan kesederhanaan dan ketulusan, sering kali
disalahartikan menjadi simbol status dan prestise. Oleh karena itu, penting
bagi setiap jamaah haji untuk kembali ke esensi haji yang sebenarnya, yaitu
untuk memperoleh haji mabrur, yang ditandai dengan peningkatan kualitas
spiritual dan sosial yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Kesederhanaan yang diajarkan oleh haji harus
dapat mengatasi tekanan sosial yang mengarah pada pencapaian status, dan
menggantikannya dengan kesadaran akan pentingnya amal soleh dan perubahan
positif dalam perilaku. Haji, sebagai ibadah yang sangat sakral, harus kembali
pada niat tulus karena Allah, tanpa terganggu oleh harapan duniawi atau citra
sosial yang dibangun oleh masyarakat. Hanya dengan cara ini, haji dapat menjadi
sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna, baik secara
vertikal maupun horizontal, dalam ruang publik dan kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa
haji yang mabrur adalah haji yang tidak hanya sekadar melaksanakan ritual
dengan sempurna, tetapi juga mampu menghasilkan perubahan positif dalam diri
jamaah, yang tercermin dalam kesederhanaan hidup, keikhlasan dalam beramal, dan
kepedulian sosial yang tinggi. Haji yang mabrur bukanlah haji yang dipenuhi
dengan pencapaian status atau pengakuan dari orang lain, melainkan haji yang
mampu membawa perubahan spiritual yang mendalam, yang berdampak positif pada kehidupan
masyarakat luas.***