Minggu 29 Juni 2025

Iklan

Makna Kesederhanaan Haji dalam Ruang Publik

syamsul kurniawan
Wednesday, June 4, 2025
Last Updated 2025-06-05T01:28:11Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

IBADAH haji, sebagai rukun Islam kelima, bukan sekadar sebuah perjalanan fisik menuju tanah suci, tetapi lebih dari itu, ia merupakan perjalanan spiritual yang mendalam bagi setiap umat Islam. Setiap tahunnya, jutaan umat Islam berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah ini, dan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kuota jamaah terbesar. Meskipun biaya yang dibutuhkan tidaklah murah, banyak umat Islam yang dengan tekad yang kuat tetap berusaha untuk memenuhi panggilan Allah SWT. Haji memiliki daya tarik yang luar biasa, dan di balik setiap keberangkatan, terdapat niat yang tulus untuk mendapatkan predikat haji mabrur, yaitu haji yang diterima Allah SWT, dengan imbalan surga.

 

Namun, lebih dari sekadar niat untuk menunaikan kewajiban, haji mengandung nilai-nilai kesederhanaan yang dalam. Salah satu simbol paling mencolok dari kesederhanaan dalam ibadah haji adalah pakaian ihram yang dikenakan oleh setiap jamaah. Pakaian ihram yang sederhana, tanpa jahitan, tanpa perbedaan status sosial, menjadi simbol kesetaraan di hadapan Allah. Dalam konteks ini, tidak ada yang lebih penting selain kedekatan dengan Allah, tanpa memandang kekayaan atau kedudukan sosial. Hal ini menjadi simbol bahwa kesederhanaan harus diterapkan tidak hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kesederhanaan ini tidak hanya terlihat dalam bentuk pakaian, tetapi juga dalam sikap dan perilaku yang harus diinternalisasi oleh setiap jamaah haji. Dalam setiap ritual haji, seperti thawaf, sa’i, dan wuquf, terdapat pesan moral yang mengajarkan ketulusan, kesabaran, dan pengorbanan. Thawaf, misalnya, mengajarkan keterikatan kepada Tuhan dengan mengelilingi Ka’bah sebagai simbol keharmonisan dengan Sang Pencipta. Sa’i antara Shafa dan Marwah, yang dilakukan dengan berlari-lari kecil, menjadi simbol ikhtiar yang tidak kenal putus asa, diiringi dengan keyakinan bahwa Allah SWT akan memberikan pertolongan bagi siapa saja yang berusaha dengan tulus.

 

Namun, jika kita melihat fenomena ini dalam konteks ruang publik dan simulakra menurut Jean Baudrillard (1994), kita dapat melihat bahwa ibadah haji dalam dunia modern ini seringkali terjebak dalam perwujudan yang lebih bersifat konsumtif. Dalam konteks simulakra, realitas ibadah haji yang sesungguhnya menjadi terdistorsi oleh gambaran ideal yang terbentuk oleh media dan representasi sosial. Haji, yang seharusnya menjadi perjalanan spiritual untuk memperbaiki diri, kadang-kadang terjebak dalam persepsi sosial yang mengedepankan status dan prestise, bukan pada tujuan spiritual murni.

 

Hal ini sangat terkait dengan konsep "simulakra" dalam masyarakat postmodern, di mana nilai-nilai yang seharusnya bersifat asli dan murni menjadi terdistorsi oleh citra dan harapan sosial yang dibangun oleh masyarakat. Jamaah haji yang berangkat dengan niat tulus untuk mendekatkan diri kepada Allah, dalam kenyataannya, seringkali menghadapi tekanan sosial yang mengarah pada pencapaian status tertentu dalam masyarakat. Dalam hal ini, haji tidak lagi sekadar perjalanan spiritual, tetapi menjadi bagian dari citra sosial yang harus diperoleh untuk memperkuat status individu.

 

Simulakra ini tercipta dalam ruang publik melalui narasi yang dibangun oleh media dan masyarakat. Seiring berkembangnya teknologi dan media sosial, citra tentang haji sering kali dipengaruhi oleh representasi yang menunjukkan haji sebagai simbol status sosial. Hal ini tercermin dalam ekspektasi masyarakat terhadap mereka yang baru pulang dari haji, yang sering kali diidentikkan dengan kesuksesan dan kemuliaan. Padahal, sesungguhnya, kemuliaan haji seharusnya diukur dari kualitas spiritual dan perubahan positif dalam perilaku seorang jamaah, bukan dari pengakuan sosial yang diterima di ruang publik.

 

Menurut Baudrillard, dalam masyarakat postmodern, representasi ini menciptakan suatu hiperrealitas, di mana persepsi masyarakat tentang haji lebih didasarkan pada citra yang dibangun melalui media dan budaya populer, bukan pada pengalaman nyata dan tujuan spiritual ibadah itu sendiri. Dalam hiperrealitas ini, perbedaan antara yang asli dan yang direpresentasikan menjadi kabur. Haji, yang seharusnya menjadi perjalanan untuk mencapai kedekatan dengan Allah, dalam banyak kasus, malah menjadi ajang untuk memperoleh status sosial, yang pada akhirnya mengaburkan esensi sejati dari ibadah ini.

 

***

 

Dengan memahami simulakra dan hiperrealitas, kita bisa melihat bahwa ada ketegangan antara makna sejati haji yang berlandaskan spiritualitas dan realitas sosial yang terdistorsi oleh simbolisme dan citra yang dibangun oleh masyarakat. Dalam hal ini, haji yang seharusnya menjadi alat untuk menanamkan kesederhanaan dan ketulusan, sering kali disalahartikan menjadi simbol status dan prestise. Oleh karena itu, penting bagi setiap jamaah haji untuk kembali ke esensi haji yang sebenarnya, yaitu untuk memperoleh haji mabrur, yang ditandai dengan peningkatan kualitas spiritual dan sosial yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.

 

Kesederhanaan yang diajarkan oleh haji harus dapat mengatasi tekanan sosial yang mengarah pada pencapaian status, dan menggantikannya dengan kesadaran akan pentingnya amal soleh dan perubahan positif dalam perilaku. Haji, sebagai ibadah yang sangat sakral, harus kembali pada niat tulus karena Allah, tanpa terganggu oleh harapan duniawi atau citra sosial yang dibangun oleh masyarakat. Hanya dengan cara ini, haji dapat menjadi sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan lebih bermakna, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam ruang publik dan kehidupan sehari-hari.

 

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa haji yang mabrur adalah haji yang tidak hanya sekadar melaksanakan ritual dengan sempurna, tetapi juga mampu menghasilkan perubahan positif dalam diri jamaah, yang tercermin dalam kesederhanaan hidup, keikhlasan dalam beramal, dan kepedulian sosial yang tinggi. Haji yang mabrur bukanlah haji yang dipenuhi dengan pencapaian status atau pengakuan dari orang lain, melainkan haji yang mampu membawa perubahan spiritual yang mendalam, yang berdampak positif pada kehidupan masyarakat luas.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now