Oleh: Syamsul Kurniawan
Kita hidup di dunia yang kerap kali tidak lagi menghubungkan kenyataan
dengan apa yang kita lihat. Dunia kita telah bertransformasi menjadi sebuah
arena di mana simulacra—gambaran yang lebih nyata daripada kenyataan itu
sendiri—menguasai hampir setiap aspek kehidupan. Setiap detik kita disuguhi
tayangan yang disaring dan dikemas dengan rapi oleh dunia digital. Masyarakat
dihadapkan pada representasi kehidupan yang sempurna, yang tampak lebih baik,
lebih cepat, lebih terorganisir. Realitas yang sebenarnya, dengan segala
kekurangannya, sering kali terlupakan di balik kilau citra ini.
Namun, ada kisah kuno yang tetap relevan meskipun dunia kita semakin
jauh dari makna dan keaslian. Kisah Ismail, yang rela dikorbankan oleh ayahnya,
Ibrahim, adalah salah satu yang tidak terpengaruh oleh zaman. Pengorbanan
Ismail bukanlah untuk ditampilkan atau dipertontonkan, melainkan merupakan
tindakan yang penuh dengan ketulusan dan keikhlasan. Ia adalah antitesis dari
masyarakat modern yang cenderung mengejar pengakuan, citra, dan kesempurnaan.
Dalam dunia digital yang terobsesi dengan pencapaian dan pengakuan,
kita sering kali terjebak dalam pencitraan diri. Media sosial memaksa kita
untuk menampilkan kehidupan yang tampak sempurna—baik itu tentang diri kita,
amal yang kita lakukan, atau pengorbanan yang kita pilih. Tetapi pengorbanan
sejati tidak terletak pada apa yang terlihat, melainkan pada apa yang dilakukan
dengan tulus, meskipun tidak ada yang melihat. Ismail mengajarkan kita bahwa
pengorbanan yang paling mulia justru dilakukan dalam diam, tanpa berharap
pujian atau perhatian dunia.
Kisah Ismail bukan hanya tentang pengorbanan tubuh, tetapi juga tentang
pengorbanan jiwa. Dalam setiap langkah yang kita ambil di dunia yang serba
cepat ini, kita sering kali bertindak bukan untuk kebaikan sejati, tetapi untuk
citra yang dapat diterima masyarakat. Dengan adanya sosial media, pengorbanan,
yang seharusnya bersifat pribadi dan penuh makna, kini menjadi bagian dari
pencitraan yang dikonsumsi oleh publik. Setiap tindakan kita, setiap amal,
sering kali dinilai bukan berdasarkan keikhlasan, tetapi berdasarkan seberapa
banyak kita dapat memperlihatkannya.
Ismail dan Ibrahim memberikan pelajaran yang sangat sederhana namun
mendalam: pengorbanan sejati adalah pengorbanan yang tidak perlu diperlihatkan.
Di dunia yang diliputi oleh ekspektasi sosial ini, kita cenderung lupa bahwa
pengorbanan yang tidak tampak jauh lebih kuat dan berharga daripada yang kita
pamerkan. Ketulusan Ismail dalam menghadapi takdir yang dihadapi ayahnya adalah
contoh yang jauh dari konsep dunia maya kita yang dipenuhi oleh citra-citra
palsu.
Pengorbanan dalam Dunia Simulacra
Sebagai masyarakat yang semakin terjerat dalam dunia teknologi, kita
cenderung kehilangan koneksi dengan esensi hidup. Kehidupan kini dipenuhi
dengan kecepatan yang menuntut kita untuk terus bergerak, berbicara, dan
menunjukkan diri. Namun, dalam dunia yang semakin terobsesi dengan pengakuan
ini, apakah kita benar-benar memahami makna dari setiap tindakan kita? Apakah
kita masih mampu memberikan tanpa harapan, beramal tanpa pamrih, atau kita
hanya melakukannya untuk mendapatkan perhatian?
Baudrillard (1994) menggambarkan dunia kita sebagai dunia simulacra, di
mana realitas telah digantikan oleh representasi. Kita tidak lagi berurusan
dengan kenyataan murni, tetapi dengan gambaran yang telah disaring dan
dimodifikasi agar sesuai dengan standar sosial. Setiap hal, dari tindakan
sosial hingga pengorbanan, sering kali hanya menjadi simbol—sebuah representasi
yang lebih besar dari kenyataan yang sebenarnya. Kita semakin terhubung dengan
dunia maya yang penuh dengan gambaran dan citra, namun semakin jauh dari makna
sejati.
Dunia sosial media memberikan kesan bahwa kehidupan yang dibagikan di
sana adalah kehidupan yang ideal, bahagia, dan penuh prestasi. Tetapi kehidupan
yang tampak sempurna itu hanyalah sebuah tiruan—sebuah bentuk hiperrealitas
yang tidak mencerminkan kenyataan yang sesungguhnya. Ismail, yang dalam
kisahnya menunjukkan ketulusan pengorbanan, mengingatkan kita bahwa dalam dunia
penuh citra ini, kita perlu berhenti sejenak untuk kembali ke makna yang lebih
dalam. Pengorbanan sejati bukanlah untuk dilihat, tetapi untuk dirasakan dalam
hati.
Di dunia yang semakin terperangkap dalam simulacra ini, kita sering
kali lupa bahwa kehidupan yang otentik datang dari tindakan yang sederhana dan
tidak dipertontonkan. Ismail mengajarkan kita bahwa kebaikan yang sejati tidak
membutuhkan sorotan kamera atau perhatian publik. Ketulusan datang dari
kesadaran batin bahwa kita berbuat baik bukan untuk dipuji, tetapi karena itu
adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Dengan media sosial dan teknologi yang mengontrol hampir setiap aspek
hidup kita, kita perlu bertanya: apakah kita masih bisa melakukan sesuatu tanpa
harapan akan imbalan atau pengakuan? Ismail memberikan jawaban atas pertanyaan
itu melalui pengorbanannya yang tulus. Ia memberi kita pelajaran bahwa tindakan
kita, ketika dilakukan dengan niat yang murni, tidak hanya memberikan manfaat
bagi diri kita sendiri, tetapi juga memberi makna yang lebih besar di luar
penglihatan dunia. Pengorbanan bukanlah alat untuk mendapatkan pengakuan,
tetapi cara untuk menyatukan diri dengan nilai yang lebih tinggi.
Dengan kehidupan yang semakin dipenuhi oleh representasi dan citra,
kita dihadapkan pada tantangan untuk menemukan kembali makna pengorbanan yang
sejati. Dalam dunia yang menuntut segalanya serba cepat dan terukur, apakah
kita masih mampu untuk meluangkan waktu untuk memberi tanpa berharap? Di
sinilah ketulusan Ismail kembali memberikan kita petunjuk: pengorbanan sejati
terletak pada kemampuan untuk melepaskan tanpa melihat apakah orang lain
menyaksikan atau tidak.
Kisah Ismail mengingatkan kita bahwa pengorbanan yang tulus adalah hal
yang tidak terukur dan tidak dapat disimulasikan. Ia adalah pengorbanan yang
datang dari hati yang ikhlas, tanpa pamrih, tanpa syarat. Di tengah dunia yang
terobsesi dengan citra dan representasi, kita harus menemukan kembali kebiasaan
untuk bertindak dengan ketulusan dan bukan hanya untuk mendapatkan pengakuan.
Seperti Ismail, kita harus mampu berbuat baik tanpa menunggu pujian atau
balasan.
Mengubah Kebiasaan dalam Era Hiperrealitas
Di dunia yang terjebak dalam simulacra ini, kita perlu mengubah
kebiasaan kita. Kebiasaan untuk menunjukkan diri yang sempurna, kebiasaan untuk
selalu terlihat bahagia, dan kebiasaan untuk mengejar pengakuan dari orang
lain. Kita perlu mengganti kebiasaan itu dengan kebiasaan yang lebih tulus,
kebiasaan untuk memberi tanpa berharap mendapatkan sesuatu sebagai balasannya.
Seperti yang ditunjukkan oleh Ismail, pengorbanan sejati datang bukan karena
untuk dilihat, tetapi karena kita tahu bahwa itu adalah hal yang benar untuk
dilakukan.
Mari kita mulai bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita
benar-benar hidup untuk kita sendiri, ataukah kita hidup hanya untuk memenuhi
ekspektasi dunia yang ada di sekitar kita? Ismail mengajarkan kita bahwa
pengorbanan sejati tidak perlu diperlihatkan, dan ketulusan adalah nilai yang
tak tergantikan oleh dunia digital. Di tengah segala citra dan simulacra ini,
apakah kita masih mampu berbuat baik karena itu adalah hal yang benar, bukan
karena ingin mendapatkan perhatian atau pengakuan?
Akhirnya, refleksi yang paling penting adalah: apakah kita masih bisa
menemukan makna dalam tindakan kita di dunia yang terperangkap dalam citra dan
representasi ini? Apakah kita masih mampu berkorban, memberi, dan bertindak
dengan ketulusan tanpa berpikir tentang bagaimana kita akan dilihat? Ataukah
kita telah kehilangan kemampuan itu, terjebak dalam dunia yang mengukur setiap
langkah kita dengan standar yang tak pernah cukup?.***