Syamsul Kurniawan
Tren perceraian di kalangan artis Indonesia belakangan ini semakin
meningkat dan menjadi sorotan publik. Tidak hanya di kalangan selebritas,
fenomena ini juga merefleksikan perubahan dalam dinamika masyarakat yang lebih
luas. Kehidupan yang selalu diikuti oleh publik, ditambah dengan tekanan dari
dunia hiburan, menjadi medan yang tidak mudah bagi banyak pasangan untuk
bertahan. Dalam tulisan ini, kita akan mengupas penyebab utama perceraian
artis, baik dari segi psikologis, pengaruh media sosial, maupun pandangan agama
Islam yang dapat memberikan perspektif berbeda tentang pernikahan yang ideal.
Pernikahan artis, yang sering kali dijadikan sebagai contoh dalam
masyarakat, tidak luput dari tantangan berat. Salah satu faktor utama yang
menyebabkan perceraian adalah perselisihan yang berkepanjangan antara pasangan.
Banyak pasangan artis yang terjebak dalam ketidakmampuan untuk mengelola
konflik, dan tidak jarang, perselisihan yang sederhana menjadi lebih besar
karena pengaruh media sosial yang semakin mendominasi kehidupan mereka.
Perbedaan nilai dan ekspektasi dalam menjalani hubungan juga berperan besar
dalam ketidakharmonisan rumah tangga.
Selain itu, perselingkuhan menjadi salah satu penyebab perceraian yang
sangat umum, apalagi di era digital ini. Media sosial yang memudahkan
komunikasi dengan orang lain terkadang menjadi sarana untuk pengkhianatan, yang
akhirnya mengarah pada keretakan hubungan rumah tangga. Berbeda dengan zaman
dahulu, di mana privasi dan ruang pribadi lebih terjaga, kini publik dan
kehidupan pribadi pasangan artis sulit dipisahkan, dan ini sering kali menjadi
faktor pemicu perceraian.
Satu, Media Sosial. Tidak
dapat dipungkiri bahwa media sosial berperan sangat besar dalam membentuk
persepsi masyarakat terhadap artis, serta dalam kehidupan pribadi mereka. Media
sosial sering kali memperlihatkan kehidupan yang tampak sempurna, namun ini
hanyalah sebuah gambaran yang tidak sepenuhnya nyata. Jean Baudrillard, dalam
teori simulacra dan hiperrealitasnya, berpendapat bahwa
masyarakat kini lebih mengonsumsi representasi atau gambaran tentang sesuatu,
bukan realitas itu sendiri. Dalam konteks ini, kehidupan rumah tangga artis
yang dipublikasikan ke media sosial adalah sebuah simulacrum, sebuah
gambaran yang lebih penting daripada kenyataan yang sesungguhnya.
Bagi sebagian pasangan, pengaruh media sosial ini bisa memicu
ketidakpuasan terhadap kehidupan pribadi mereka. Masyarakat semakin terbiasa
melihat kehidupan yang sempurna dari selebritas, dan ketika kehidupan pribadi
mereka tidak sesuai dengan gambaran tersebut, kekecewaan pun muncul. Ini bisa
menyebabkan ketegangan dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian.
Keinginan untuk mempertahankan citra dalam dunia maya kadang mengorbankan
keharmonisan hubungan yang nyata, menciptakan ketegangan yang mendalam dalam
rumah tangga mereka.
Dua, Komunikasi. Salah
satu masalah yang sering kali muncul dalam pernikahan artis adalah
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dengan efektif. Sebagai individu yang hidup
di bawah sorotan publik, pasangan artis sering kali merasa tertekan dan
kesulitan dalam membuka diri satu sama lain. Komunikasi yang buruk dalam
hubungan adalah salah satu faktor utama yang memicu perpecahan. Di sisi lain,
komunikasi yang jujur dan terbuka dapat membantu memperkuat hubungan dan
menyelesaikan masalah yang ada.
Sigmund Freud, dalam teori psikoanalisisnya, menekankan pentingnya
hubungan awal seseorang dengan orang tua mereka, yang kemudian berpengaruh pada
pola hubungan mereka di masa dewasa. Dalam konteks ini, pernikahan yang penuh
dengan ketegangan bisa jadi mencerminkan ketidakmampuan pasangan untuk
mengelola perasaan mereka, yang mungkin berakar pada pengalaman masa kecil.
Bagi sebagian orang, ketidaksadaran mereka terhadap masalah ini menyebabkan
mereka kesulitan untuk menghadapi masalah hubungan mereka dengan cara yang
sehat, dan akhirnya memilih jalan perceraian.
Tiga, Perbedaan Nilai. Selain
masalah komunikasi, perbedaan nilai dan ekspektasi juga seringkali menjadi
penyebab perceraian. Banyak pasangan artis yang memiliki pandangan hidup yang
sangat berbeda, terutama terkait dengan karier, agama, dan keluarga.
Perbedaan-perbedaan ini, yang sebelumnya tidak tampak, akhirnya menjadi masalah
besar dalam hubungan mereka.
Sebagai contoh, artis yang memiliki ambisi besar untuk berkarier dan
terus tampil di layar kaca mungkin merasa tidak dihargai oleh pasangan mereka
yang menginginkan perhatian lebih di rumah. Ketika ekspektasi terhadap pasangan
tidak sesuai, maka perasaan kecewa dan tidak puas mulai tumbuh, yang jika tidak
segera diatasi, dapat berujung pada perceraian.
Selain itu, perubahan sosial yang pesat juga berpengaruh terhadap
kehidupan pernikahan, termasuk pernikahan artis. Dalam masyarakat yang semakin
individualistis, banyak pasangan yang merasa bahwa kebutuhan pribadi mereka
lebih penting daripada kebutuhan untuk mempertahankan hubungan. Artis, yang
sering kali dikelilingi oleh dunia yang penuh perhatian dan pujian, kadang lupa
bahwa pernikahan mereka membutuhkan perhatian yang lebih dalam dan lebih jujur.
Ketika mereka tidak lagi merasa puas dalam hubungan, atau ketika hubungan
tersebut tidak memenuhi kebutuhan emosional mereka, perceraian menjadi solusi
yang mereka pilih.
Islam: Memandang Pernikahan Sebagai Jalan Ketaatan kepada Allah
Di sisi lain, dalam pandangan Islam, pernikahan adalah sebuah ikatan
yang tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisik atau emosional,
tetapi lebih dari itu, pernikahan dalam Islam berlandaskan pada ketaatan kepada
Allah Swt. Dalam Islam, hubungan suami istri bukanlah sesuatu yang
transaksional atau berdasarkan pada harapan mendapatkan balasan. Sebaliknya,
segala yang dilakukan dalam pernikahan haruslah berdasarkan niat untuk mencari
ridha Allah, dan bukan untuk mendapatkan sesuatu dari pasangan.
Islam mengajarkan bahwa kebahagiaan pernikahan terletak pada orientasi
yang kuat. Semakin kuat orientasi pernikahan pada ketaatan kepada Allah,
semakin besar peluang pernikahan itu bertahan lama dan bahagia. Hal ini berbeda
dengan pernikahan yang dilandasi oleh harapan-harapan duniawi yang sering kali
membawa kekecewaan. Misalnya, seorang suami yang menikahi istri dengan harapan
bahwa ia akan selalu mendukung kariernya atau mengurus rumah tangga dengan
sempurna. Ketika harapan ini tidak terpenuhi, perasaan kecewa bisa muncul, yang
akhirnya memicu perpecahan.
Islam juga mengajarkan pentingnya kesetimbangan dalam pernikahan, di
mana suami dan istri saling memahami hak dan kewajiban masing-masing. Sebuah
pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang berjalan dengan penuh kesadaran
akan hak dan kewajiban, di mana suami berorientasi pada pemenuhan hak istri,
dan sebaliknya. Ini menciptakan keharmonisan dan saling pengertian dalam
hubungan tersebut.
Pernikahan yang dilandasi oleh ketaatan kepada Allah akan lebih kuat dan
lebih tahan terhadap godaan-godaan eksternal, seperti pengaruh media sosial
atau tekanan dari dunia hiburan. Sebaliknya, pernikahan yang berfokus pada
harapan-harapan duniawi sering kali berujung pada kekecewaan, karena manusia
sering kali tidak dapat memenuhi harapan yang sangat tinggi tersebut.
Dalam Islam, tujuan utama pernikahan adalah untuk membentuk rumah tangga
yang islami, yang berorientasi pada ketaatan kepada Allah dan pendidikan
anak-anak yang shalih dan shalihah. Pernikahan adalah sarana untuk melindungi
ahlak dan martabat manusia dari perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Rasulullah Saw. mengajarkan bahwa pernikahan adalah cara untuk
menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan diri. Dalam konteks ini,
pernikahan menjadi lebih dari sekadar hubungan antara dua individu, tetapi juga
bagian dari amal ibadah yang lebih besar.
Pernikahan yang islami adalah pernikahan yang tidak hanya menjaga
hak-hak fisik pasangan, tetapi juga membentuk keluarga yang dapat mendidik
generasi yang akan datang dengan nilai-nilai Islam yang benar. Dengan demikian,
pernikahan dalam Islam bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau
emosional, tetapi juga untuk mencapai tujuan yang lebih luhur, yaitu
mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam perspektif Islam, perceraian dibenarkan hanya ketika pasangan
sudah tidak mampu lagi memenuhi batas-batas Allah dalam pernikahan mereka.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Baqarah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali,
setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara
yang baik.” Ini menunjukkan bahwa perceraian dalam Islam adalah jalan terakhir
yang harus diambil setelah segala upaya untuk memperbaiki hubungan gagal.
Islam mengajarkan bahwa pernikahan yang bahagia dan langgeng adalah
pernikahan yang berlandaskan pada niat yang tulus untuk memenuhi kewajiban
kepada Allah, bukan untuk mendapatkan balasan atau hadiah duniawi. Jika setiap
pasangan memahami dan mengamalkan ajaran ini, maka mereka akan mampu menghadapi
segala rintangan dalam pernikahan dengan lebih sabar dan penuh pengertian.
Menutup tulisan ini, tren perceraian di kalangan artis Indonesia dapat
dilihat sebagai fenomena sosial yang mencerminkan pergeseran nilai dalam
masyarakat. Pengaruh media sosial, ketidakmampuan mengelola konflik, dan
perbedaan ekspektasi merupakan faktor-faktor yang memicu perceraian. Namun,
dalam perspektif Islam, pernikahan yang bahagia adalah pernikahan yang
berlandaskan pada ketaatan kepada Allah, di mana setiap pasangan berusaha untuk
memenuhi hak dan kewajiban mereka dengan penuh pengertian. Dengan orientasi
yang kuat dan komitmen untuk saling menjaga, pernikahan dapat bertahan lama,
bahkan di tengah tekanan dunia yang semakin kompleks.***