Iklan

Dari Sunyi Teks, Menuju Riuh Zaman

syamsul kurniawan
Friday, July 4, 2025
Last Updated 2025-07-04T11:59:42Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di tengah perhelatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), muncul sebuah cabang baru yang dalam beberapa tahun belakangan mulai diperkenalkan: Karya Tulis Ilmiah Al-Qur’an (KTIQ). Sebuah istilah yang barangkali terdengar sunyi di tengah riuh lantunan tilawah. Tapi justru dari kesunyian itulah, pikiran yang hidup mungkin menemukan ruangnya.

 

KTIQ tidak menggaungkan suara, melainkan menggugah nalar. Ia tidak berpijak pada hafalan, melainkan pada kegelisahan. Bahwa Al-Qur'an bukan hanya untuk dibaca, tetapi juga untuk dipikirkan, ditafsirkan, dipertanyakan.

 

Namun ketika ajang itu berlangsung, karya-karya yang lahir justru memunculkan tanya yang lain. Mengapa begitu banyak naskah yang terasa menjauh dari inti Al-Qur’an? Mengapa ayat-ayat hanya muncul sebagai pelengkap, bukan sebagai pusat?

 

Tema sudah disiapkan, ayat baru dicari. Narasi sudah dibentuk, teks suci hanya dikutip untuk membenarkan. Maka mengemuka sebuah pendekatan yang—meskipun tak lazim diakui secara terbuka dalam dunia akademik, namun kerap digunakan—dan dalam konteks ini, terasa dangkal: "cocokologi".

 

KTIQ, yang seharusnya menjadi ruang hidup bagi pemikiran yang bersumber dari Al-Qur’an, berubah menjadi cermin dari kebiasaan lama: menjadikan teks suci sebagai dekorasi akademik. Kata-kata suci tidak lagi mengguncang. Ia diseret ke dalam logika birokrasi ilmu.

 

Tak masalah sebenarnya, membahas tema seperti krisis lingkungan, pergeseran keberagamaan, atau ketahanan keluarga. Tapi seperti doa yang dilafalkan tanpa hati, tema-tema ini kehilangan denyut jika tidak dibaca dengan sungguh-sungguh.

 

Tulisan menjadi datar. Tidak menggugah. Tidak menyisakan ruang untuk kegelisahan atau bahkan perdebatan. Ia hadir sebagai kepatuhan yang rapi, bukan sebagai keberanian yang resah.

 

Dalam sejumlah naskah yang ditulis, naskah yang mengangkat hukum Islam justru lebih banyak mengutip UU dan pasal-pasal negara. Ayat Al-Qur’an datang belakangan. Ia hadir bukan sebagai pemantik, tetapi sebagai formalitas. Hal serupa terjadi pada naskah-naskah yang membahas isu kearifan lokal. Dalam beberapa tulisan, kearifan lokal digambarkan seolah begitu dekat dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Namun bagaimana kedekatan itu dibangun, dari mana kesesuaiannya diperoleh, dan apa dasar validitas pembuktiannya—tidak dijelaskan secara memadai. Akhirnya, yang tampak bukan sintesis yang kokoh, melainkan jembatan rapuh yang dipaksakan. Ia hadir bukan sebagai pemantik, tetapi sebagai formalitas.

 

Barangkali ini bukan salah penulis sepenuhnya. Barangkali kita memang belum cukup membiasakan cara berpikir yang menjadikan Al-Qur’an sebagai ruang dialog. Bukan menara gading yang harus disembah, tetapi ruang kosong yang harus dihuni.

 

Tulisan-tulisan itu belum sepenuhnya menyadari: bahwa karya ilmiah yang berangkat dari Al-Qur’an seharusnya menantang. Bukan hanya menjelaskan apa yang sudah diketahui, tetapi mengusik kenyamanan apa yang kita kira sudah benar.

 

Dalam ruang itulah, gagasan Habermas (1991) menjadi relevan. Ia membayangkan ruang publik sebagai arena rasional. Tempat argumen diadu, bukan dipoles. Tempat otoritas diganti nalar.

 

Jika Al-Qur’an dibawa ke ruang itu, maka ia pun harus tahan diuji. Ayat tak bisa hanya dikutip. Ia harus dihadirkan: dalam konflik makna, dalam lapisan tafsir, dalam konteks sosial yang rumit.

 

KTIQ seharusnya menghidupkan itu. Bukan sebagai ajang lomba biasa, melainkan sebagai bentuk keterlibatan pemikiran terhadap Al-Qur’an dengan denyut zaman. Tapi untuk itu, dibutuhkan keberanian berpikir. Dan ketelitian membaca.

 

Diperlukan Novelty

 

Novelty bukan jargon. Ia adalah nafas dari sebuah pemikiran. Ia bukan soal berbeda, tapi soal berani. Berani bertanya dengan cara yang tak biasa. Berani membaca dengan kecurigaan yang sehat.

 

Namun pada beberapa naskah, tema-tema yang diangkat terasa terlalu akrab. Ketahanan keluarga, transformasi digital—topik-topik yang seharusnya menggugah, justru menjadi pengulangan.

 

Mereka ditulis bukan karena kegelisahan, tetapi karena kedekatannya dengan tema populer. Maka, apa yang ditawarkan menjadi lemah. Perspektif segar hilang. Tafsir baru tidak hadir.

 

Padahal novelty bisa lahir dari sudut yang sederhana. Seperti bertanya, bukan “apa ayat tentang keluarga”, tetapi “bagaimana keluarga ideal menurut Al-Qur’an hidup dalam masyarakat yang cair?”

 

Atau “mengapa ayat waris terasa asing dalam logika keadilan gender masa kini?”

 

Kebaruan muncul bukan karena ayatnya baru, tapi karena cara pandangnya lain. Seperti cermin yang sama, tapi sudut pantulnya berbeda.

 

Howard Becker menulis dalam Tricks of the Trade (1998), bahwa pertanyaan yang baik sering kali bukan “mengapa”, tapi “bagaimana”. Karena “bagaimana” membuka narasi, sedang “mengapa” menutupnya dengan penjelasan prematur.

 

Becker menyarankan agar kita menggali celah antara dasein dan dassollen. Antara yang ada dan yang seharusnya ada. Di sanalah letak keilmuan: di antara yang belum selesai.

 

Maka KTIQ pun bisa bergerak di celah itu. Menyigi apa yang tak terlihat. Menggugat yang terlalu mapan. Meragukan yang terlalu diamini.

 

Bagaimana ayat-ayat tentang amanah diterapkan di tengah krisis integritas? Bagaimana makna keluarga tetap bertahan dalam generasi fatherless?

 

Semua itu adalah pintu masuk. Bukan ke surga jawaban, tetapi ke neraka pertanyaan. Dan di situlah ilmu seharusnya tumbuh.

 

Namun novelty tak lahir dari kemauan saja. Ia butuh metode. Ia butuh kejujuran berpikir. Dan yang lebih sulit: ia butuh kesediaan untuk tidak selalu tampak pintar.

 

Istilah seperti “episteme profetik” kadang muncul, tapi hanya sebagai kosmetik. Indah di lidah, kosong di makna. Kata-kata menjadi pertunjukan, bukan pengungkapan.

 

Habermas menekankan, bahwa dalam ruang publik, argumenlah yang berdaulat. Maka dalam KTIQ pun, bukan jumlah ayat yang menentukan, tapi kekuatan mengaitkannya dengan kenyataan.

 

Ayat-ayat suci tidak pernah kehabisan tafsir. Tapi tafsir bisa kehabisan nyali. Dan karya tulis yang menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber utama gagasan, adalah yang memiliki keberanian itu.

 

KTIQ bukan panggung. Ia mestinya menjadi percakapan. Antara teks dan konteks. Antara nalar dan wahyu. Antara zaman dan zikir.

 

Ia bukan ajang adu pintar. Ia adalah ruang untuk jeda. Untuk berpikir ulang. Untuk bertanya pelan-pelan.

 

Sebab di balik ayat, selalu ada dunia. Dan di balik dunia, selalu ada ayat.

 

Menulis karya ilmiah dengan dasar Al-Qur’an bukan perkara mencari jawaban. Tapi memelihara kegelisahan. Agar kita tak terlalu cepat percaya. Agar kita tak terlalu lama diam.

 

Al-Qur’an bukan benda mati. Ia hidup sejauh kita membacanya sebagai yang belum selesai.

 

Dan dari yang belum selesai itulah, karya-karya baru bisa lahir. Tak harus sempurna. Cukup jujur.

 

Mungkin itulah jeda yang kita perlukan. Sebelum kita kembali melangkah.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now