Oleh: Syamsul
Kurniawan
Indonesia,
tanah yang kaya akan keanekaragaman hayati, sudah seharusnya menjadi ladang
kehidupan bagi seluruh makhluk hidup yang menghuni bumi. Dari Sabang hingga
Merauke, dari Aceh hingga Papua, Indonesia memiliki alam yang melimpah: hutan
tropis, sungai yang mengalir deras, lautan yang kaya akan hasil bumi, serta
tanah yang subur. Namun, tanah air yang begitu kaya ini kini terancam oleh berbagai
aktivitas manusia, yang kerap kali berbenturan antara kepentingan ekonomi dan
kelestarian alam. Kekayaan alam ini yang semestinya dipelihara, justru menjadi
medan pertempuran antara keberlanjutan alam dan pembangunan yang tidak
terkontrol.
Krisis
ekologis yang dihadapi Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Walhi,
sebagai lembaga yang berfokus pada isu lingkungan, telah mencatat adanya
penurunan kualitas alam yang signifikan, khususnya terkait hilangnya hutan,
penurunan kualitas air, dan kerusakan ekosistem yang meluas. Penambangan yang
semakin masif—baik legal maupun ilegal—mengakibatkan kerusakan yang parah,
mulai dari pencemaran sungai, degradasi tanah, hingga perubahan iklim yang
semakin ekstrem. Tidak hanya itu, penebangan liar yang terjadi hampir di setiap
sudut hutan juga semakin memperburuk keadaan. Hutan yang semula menjadi
paru-paru dunia, kini beralih fungsi menjadi ladang keuntungan sesaat.
Kerusakan yang terjadi mempengaruhi berbagai spesies yang bergantung pada hutan
untuk hidup, dan tentu saja, manusia juga terdampak.
Kehilangan
hutan dan degradasi lahan menyebabkan bencana alam yang semakin sering terjadi,
seperti banjir dan tanah longsor. Masyarakat yang bergantung pada alam untuk
bertani dan mencari nafkah menjadi kelompok yang paling terdampak. Akibatnya,
selain kerusakan fisik pada alam, krisis ini juga menyentuh sisi sosial dan
ekonomi masyarakat yang terperangkap dalam bencana ekologis yang semakin
meluas. Jika tidak segera ditangani, Indonesia akan menghadapi ancaman besar
yang tidak hanya mengancam alam, tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat yang
bergantung pada ekosistem tersebut.
Di tengah
semakin gencarnya isu krisis lingkungan, muncul polemik yang menggugah banyak
pihak. Ulil Abshar Abdalla, dalam sebuah cuitannya di akun X, menyampaikan
pendapat yang cukup kontroversial terkait aktivisme lingkungan. Ulil menyebut
aktivis lingkungan yang ekstrem dengan sebutan “wahabi lingkungan”. Bagi Ulil,
ada sebuah perbedaan mendasar antara peduli lingkungan dan menjadi “wahabi
lingkungan”, yang hanya menggaungkan “wokisme dan alarmisme global” dalam
bidang lingkungan. Kritik Ulil ini tentunya menimbulkan banyak pro dan kontra,
terutama dalam kalangan aktivis dan masyarakat yang peduli terhadap kelestarian
alam.
Menurut Ulil,
pandangan ekstrem yang menolak segala bentuk aktivitas pertambangan dan
pembangunan demi kelestarian alam—termasuk penambangan nikel di Raja
Ampat—merupakan sebuah pandangan yang tidak realistis dan berbahaya. Namun,
apakah pandangan ini hanya sekadar kritik terhadap radikalisasi gerakan
lingkungan, ataukah mencerminkan ketidaktahuan terhadap urgensi penyelamatan
lingkungan yang semakin kritis?
Sebagai bangsa
yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia menghadapi dilema besar dalam
mengelola kekayaan alamnya. Di satu sisi, negara ini membutuhkan pembangunan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama melalui sektor pertambangan
yang menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan negara. Namun di sisi
lain, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang berlebihan tidak bisa
diabaikan begitu saja. Menurut pemahaman agama, alam merupakan amanah yang
diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk dijaga dan dipelihara. Setiap
eksploitasi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi keseimbangan
alam, akan berujung pada kerusakan yang bisa merugikan umat manusia itu
sendiri.
Berbicara
tentang kelestarian alam, kita tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama yang
mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan. Dalam pandangan agama, alam
bukanlah milik kita untuk dieksploitasi semau kita, tetapi merupakan amanah
yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Seperti dalam kisah pohon khuldi
dalam Al-Qur'an, yang menjadi simbol dari larangan untuk melanggar batasan alam
yang telah ditetapkan oleh Tuhan, kita diajarkan untuk tidak merusak
keseimbangan yang ada.
Pohon khuldi
dalam kisah Adam dan Hawa bukan sekadar simbol pelanggaran moral, tetapi juga
lambang dari hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Dalam cerita
tersebut, Tuhan memberikan perintah untuk tidak mendekati pohon tertentu
sebagai tanda batasan dalam interaksi manusia dengan alam. Ketika manusia
melanggar batasan ini, kerusakan dan penderitaan muncul. Dalam konteks modern,
kita juga melihat bagaimana eksploitasi alam yang berlebihan membawa kerusakan
yang tidak hanya merusak fisik alam, tetapi juga keseimbangan ekologis yang
ada.
Ketika pohon
khuldi dipahami melalui perspektif spiritual, kita dapat melihatnya sebagai
sebuah peringatan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan alam.
Kehilangan keharmonisan ini, seperti yang terjadi dalam kisah Adam dan Hawa,
akan berujung pada kerusakan yang meluas. Dalam konteks ini, penting bagi kita
untuk memahami bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga
spiritual. Agama mengajarkan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang harus
dihormati dan dijaga, bukan untuk dieksploitasi tanpa batas.
Memandang
Alam Melalui Mata Iman
Sachiko
Murata, dalam bukunya The Tao of Islam (1992), menawarkan pemahaman yang
lebih dalam tentang hubungan manusia dengan alam. Dalam pemahaman Murata, baik
dalam Taoisme maupun Islam, ada konsep harmoni dan keseimbangan antara manusia
dan alam yang harus dijaga. Dalam Islam, alam diciptakan dengan keseimbangan
yang sempurna, dan manusia diberi tugas sebagai khalifah untuk merawatnya.
Dalam pemahaman ini, manusia tidak boleh memisahkan dirinya dari alam, tetapi
harus berinteraksi dengan alam secara penuh kehati-hatian dan rasa tanggung
jawab.
Menurut
Murata, alam tidak hanya dilihat sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi
untuk keuntungan manusia, tetapi sebagai entitas yang saling terhubung dan
membutuhkan perlakuan yang adil. Ketika kita melanggar batasan alam, kita bukan
hanya merusak ekosistem, tetapi juga merusak keseimbangan spiritual yang telah
Tuhan tetapkan. Seperti halnya manusia yang harus menjaga keharmonisan hubungan
dengan Tuhan dan sesama, hubungan dengan alam juga harus dijaga agar tetap
seimbang.
Di tengah
krisis lingkungan ini, gerakan ekoteologi yang digagas oleh Kementerian Agama
RI menawarkan sebuah perspektif yang sangat relevan. Ekoteologi adalah
perspektif yang mencoba menggabungkan nilai-nilai agama dengan kepedulian
terhadap lingkungan. Ini bukan hanya tentang memelihara alam untuk alasan
moral, tetapi juga tentang memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari
ibadah. Dalam ekoteologi, setiap tindakan yang merusak alam, seperti penebangan
hutan atau polusi, tidak hanya merupakan pelanggaran ekologis, tetapi juga
pelanggaran spiritual.
Dalam
pandangan ini, menjaga alam menjadi sebuah kewajiban agama yang harus
dijalankan oleh umat. Setiap perusakan alam, termasuk aktivitas pertambangan
yang merusak ekosistem, harus dilihat sebagai sebuah pelanggaran terhadap
ajaran agama. Oleh karena itu, agama harus terlibat aktif dalam menyuarakan
pentingnya kelestarian alam. Dan di sini, ormas-ormas keagamaan memainkan peran
yang sangat penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan gerakan ekoteologi
ini. Melalui dakwah dan program pelestarian alam, ormas-ormas ini bisa menjadi
jembatan yang menghubungkan ajaran agama dengan gerakan ekologis yang lebih
luas.
Ruang
Publik: Tempat Dialog Terbuka?
Dalam
perspektif ruang publik Jurgen Habermas (1991), diskursus lingkungan harus
dibangun di atas dasar dialog terbuka yang menghargai keberagaman pandangan.
Dalam ruang publik yang ideal, setiap pihak—baik aktivis lingkungan,
pemerintah, maupun sektor ekonomi—seharusnya bisa duduk bersama untuk menemukan
solusi bersama. Pola komunikasi yang terbuka dan inklusif memungkinkan
perdebatan yang konstruktif. Bahkan polemik yang muncul, seperti yang
disuarakan oleh Ulil Abshar Abdalla yang menyebut aktivisme lingkungan sebagai
"wahabi lingkungan", seharusnya tidak memutuskan komunikasi.
Sebaliknya, ini bisa menjadi peluang untuk memperkaya diskursus dengan beragam
perspektif. Sebuah ruang publik yang sehat justru memberi ruang bagi beragam
pandangan untuk diuji dan dibahas bersama, bukan menjadikan perbedaan sebagai
alasan untuk berpisah.
Pada titik
ini, kita harus menyadari bahwa agama bukan sekadar pedoman moral, tetapi juga
pedoman untuk menjaga keseimbangan alam. Alam bukanlah milik kita untuk
dieksploitasi sekehendak hati, tetapi amanah yang harus dijaga dengan penuh
tanggung jawab. Dengan menjaga alam, kita juga menjaga hubungan kita dengan
Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan-Nya. Dalam tradisi Islam, kita dikenal
sebagai khalifah di bumi, dengan kewajiban untuk merawat dan menjaga alam ini
agar tetap memberi kehidupan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu,
dengan perspektif ekoteologi dan dialog publik yang terbuka, kita seharusnya
dapat menemukan jalan tengah yang menghargai kepentingan manusia dan
kelestarian alam, serta membangun kehidupan berkelanjutan untuk masa depan.
Namun,
meskipun dialog dan perdebatan tetap diperlukan, dalam konteks eksploitasi alam
yang semakin tidak terkendali, seharusnya sudah tidak ada lagi ruang untuk
perdebatan yang tak berujung. Tentu saja, perbedaan pandangan mengenai
bagaimana memanfaatkan alam secara adil dan berkelanjutan adalah hal yang
wajar. Tetapi ketika berbicara tentang eksploitasi yang berlebihan—seperti
penambangan yang merusak ekosistem atau polusi yang merusak kualitas air—kita
tidak sedang membicarakan teori atau ideologi, tetapi ancaman nyata terhadap
masa depan kita. Tindakan yang merusak hutan, mencemari air, dan menguras
sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian, tidak bisa dipandang
sebelah mata. Jika kita terus terjebak dalam perdebatan apakah kita harus
berhenti atau tidak berhenti, suatu hari nanti kita akan menemukan bahwa kita
sudah kehabisan alam untuk diperdebatkan.
Krisis
lingkungan yang kita hadapi bukan sekadar masalah moral atau ideologi, tetapi
sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari lagi. Dampaknya sudah begitu
nyata dan terasa: perubahan iklim yang semakin ekstrim, bencana alam yang
semakin sering terjadi, serta ketidakpastian yang akan dihadapi oleh generasi
mendatang. Sudah saatnya kita meletakkan kepentingan bersama di atas ego
sektoral. Tidak ada yang akan menang dalam perdebatan ini jika kita hanya
berbicara tanpa tindakan. Keputusan untuk menjaga keseimbangan alam bukan
sekadar pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak untuk kelangsungan hidup
kita dan generasi yang akan datang.
Maka, kita
seharusnya bisa sepakat tentang satu hal: kerusakan alam mengancam kita semua,
tanpa terkecuali. Mungkin kita tidak sepakat mengenai cara terbaik untuk
memperbaikinya, tetapi dalam hal dampak kerusakan alam ini, tidak ada ruang
untuk perbedaan pendapat. Setiap individu, setiap generasi, akan merasakan
akibatnya. Jika kita terus menerus memperdebatkan hal yang jelas-jelas
merugikan, kita bisa jadi akan berakhir seperti burung yang sibuk bertengger di
pohon, padahal pohon itu sendiri sudah hampir tumbang. Tidak ada lagi waktu
untuk berlarut-larut dalam perdebatan yang tidak mengarah pada aksi nyata.
Jika kita
terus mencari-cari alasan untuk tidak bertindak, marilah kita renungkan
sejenak: "Bumi bukan warisan nenek moyang kita, tetapi pinjaman dari anak
cucu kita." Namun, jika kita terus begini, jangan khawatir, anak cucu kita
mungkin akan lebih sibuk mencari jalan keluar daripada mencari warisan yang
sudah hilang.***