Iklan

Munculnya Polemik: Wahabi Lingkungan

syamsul kurniawan
Saturday, June 28, 2025
Last Updated 2025-06-29T02:14:50Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Indonesia, tanah yang kaya akan keanekaragaman hayati, sudah seharusnya menjadi ladang kehidupan bagi seluruh makhluk hidup yang menghuni bumi. Dari Sabang hingga Merauke, dari Aceh hingga Papua, Indonesia memiliki alam yang melimpah: hutan tropis, sungai yang mengalir deras, lautan yang kaya akan hasil bumi, serta tanah yang subur. Namun, tanah air yang begitu kaya ini kini terancam oleh berbagai aktivitas manusia, yang kerap kali berbenturan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian alam. Kekayaan alam ini yang semestinya dipelihara, justru menjadi medan pertempuran antara keberlanjutan alam dan pembangunan yang tidak terkontrol.

 

Krisis ekologis yang dihadapi Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan. Walhi, sebagai lembaga yang berfokus pada isu lingkungan, telah mencatat adanya penurunan kualitas alam yang signifikan, khususnya terkait hilangnya hutan, penurunan kualitas air, dan kerusakan ekosistem yang meluas. Penambangan yang semakin masif—baik legal maupun ilegal—mengakibatkan kerusakan yang parah, mulai dari pencemaran sungai, degradasi tanah, hingga perubahan iklim yang semakin ekstrem. Tidak hanya itu, penebangan liar yang terjadi hampir di setiap sudut hutan juga semakin memperburuk keadaan. Hutan yang semula menjadi paru-paru dunia, kini beralih fungsi menjadi ladang keuntungan sesaat. Kerusakan yang terjadi mempengaruhi berbagai spesies yang bergantung pada hutan untuk hidup, dan tentu saja, manusia juga terdampak.

 

Kehilangan hutan dan degradasi lahan menyebabkan bencana alam yang semakin sering terjadi, seperti banjir dan tanah longsor. Masyarakat yang bergantung pada alam untuk bertani dan mencari nafkah menjadi kelompok yang paling terdampak. Akibatnya, selain kerusakan fisik pada alam, krisis ini juga menyentuh sisi sosial dan ekonomi masyarakat yang terperangkap dalam bencana ekologis yang semakin meluas. Jika tidak segera ditangani, Indonesia akan menghadapi ancaman besar yang tidak hanya mengancam alam, tetapi juga kelangsungan hidup masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut.

 

Di tengah semakin gencarnya isu krisis lingkungan, muncul polemik yang menggugah banyak pihak. Ulil Abshar Abdalla, dalam sebuah cuitannya di akun X, menyampaikan pendapat yang cukup kontroversial terkait aktivisme lingkungan. Ulil menyebut aktivis lingkungan yang ekstrem dengan sebutan “wahabi lingkungan”. Bagi Ulil, ada sebuah perbedaan mendasar antara peduli lingkungan dan menjadi “wahabi lingkungan”, yang hanya menggaungkan “wokisme dan alarmisme global” dalam bidang lingkungan. Kritik Ulil ini tentunya menimbulkan banyak pro dan kontra, terutama dalam kalangan aktivis dan masyarakat yang peduli terhadap kelestarian alam.

 

Menurut Ulil, pandangan ekstrem yang menolak segala bentuk aktivitas pertambangan dan pembangunan demi kelestarian alam—termasuk penambangan nikel di Raja Ampat—merupakan sebuah pandangan yang tidak realistis dan berbahaya. Namun, apakah pandangan ini hanya sekadar kritik terhadap radikalisasi gerakan lingkungan, ataukah mencerminkan ketidaktahuan terhadap urgensi penyelamatan lingkungan yang semakin kritis?

 

Sebagai bangsa yang kaya akan sumber daya alam, Indonesia menghadapi dilema besar dalam mengelola kekayaan alamnya. Di satu sisi, negara ini membutuhkan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama melalui sektor pertambangan yang menyediakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan negara. Namun di sisi lain, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam yang berlebihan tidak bisa diabaikan begitu saja. Menurut pemahaman agama, alam merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada umat manusia untuk dijaga dan dipelihara. Setiap eksploitasi yang dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi keseimbangan alam, akan berujung pada kerusakan yang bisa merugikan umat manusia itu sendiri.

 

Berbicara tentang kelestarian alam, kita tidak bisa lepas dari nilai-nilai agama yang mengajarkan kita untuk menjaga keseimbangan. Dalam pandangan agama, alam bukanlah milik kita untuk dieksploitasi semau kita, tetapi merupakan amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Seperti dalam kisah pohon khuldi dalam Al-Qur'an, yang menjadi simbol dari larangan untuk melanggar batasan alam yang telah ditetapkan oleh Tuhan, kita diajarkan untuk tidak merusak keseimbangan yang ada.

 

Pohon khuldi dalam kisah Adam dan Hawa bukan sekadar simbol pelanggaran moral, tetapi juga lambang dari hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Dalam cerita tersebut, Tuhan memberikan perintah untuk tidak mendekati pohon tertentu sebagai tanda batasan dalam interaksi manusia dengan alam. Ketika manusia melanggar batasan ini, kerusakan dan penderitaan muncul. Dalam konteks modern, kita juga melihat bagaimana eksploitasi alam yang berlebihan membawa kerusakan yang tidak hanya merusak fisik alam, tetapi juga keseimbangan ekologis yang ada.

 

Ketika pohon khuldi dipahami melalui perspektif spiritual, kita dapat melihatnya sebagai sebuah peringatan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan dengan alam. Kehilangan keharmonisan ini, seperti yang terjadi dalam kisah Adam dan Hawa, akan berujung pada kerusakan yang meluas. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk memahami bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga spiritual. Agama mengajarkan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dijaga, bukan untuk dieksploitasi tanpa batas.

 

Memandang Alam Melalui Mata Iman

 

Sachiko Murata, dalam bukunya The Tao of Islam (1992), menawarkan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan manusia dengan alam. Dalam pemahaman Murata, baik dalam Taoisme maupun Islam, ada konsep harmoni dan keseimbangan antara manusia dan alam yang harus dijaga. Dalam Islam, alam diciptakan dengan keseimbangan yang sempurna, dan manusia diberi tugas sebagai khalifah untuk merawatnya. Dalam pemahaman ini, manusia tidak boleh memisahkan dirinya dari alam, tetapi harus berinteraksi dengan alam secara penuh kehati-hatian dan rasa tanggung jawab.

 

Menurut Murata, alam tidak hanya dilihat sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi untuk keuntungan manusia, tetapi sebagai entitas yang saling terhubung dan membutuhkan perlakuan yang adil. Ketika kita melanggar batasan alam, kita bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga merusak keseimbangan spiritual yang telah Tuhan tetapkan. Seperti halnya manusia yang harus menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan dan sesama, hubungan dengan alam juga harus dijaga agar tetap seimbang.

 

Di tengah krisis lingkungan ini, gerakan ekoteologi yang digagas oleh Kementerian Agama RI menawarkan sebuah perspektif yang sangat relevan. Ekoteologi adalah perspektif yang mencoba menggabungkan nilai-nilai agama dengan kepedulian terhadap lingkungan. Ini bukan hanya tentang memelihara alam untuk alasan moral, tetapi juga tentang memahami bahwa menjaga alam adalah bagian dari ibadah. Dalam ekoteologi, setiap tindakan yang merusak alam, seperti penebangan hutan atau polusi, tidak hanya merupakan pelanggaran ekologis, tetapi juga pelanggaran spiritual.

 

Dalam pandangan ini, menjaga alam menjadi sebuah kewajiban agama yang harus dijalankan oleh umat. Setiap perusakan alam, termasuk aktivitas pertambangan yang merusak ekosistem, harus dilihat sebagai sebuah pelanggaran terhadap ajaran agama. Oleh karena itu, agama harus terlibat aktif dalam menyuarakan pentingnya kelestarian alam. Dan di sini, ormas-ormas keagamaan memainkan peran yang sangat penting dalam memperkenalkan dan mengembangkan gerakan ekoteologi ini. Melalui dakwah dan program pelestarian alam, ormas-ormas ini bisa menjadi jembatan yang menghubungkan ajaran agama dengan gerakan ekologis yang lebih luas.

 

Ruang Publik: Tempat Dialog Terbuka?

 

Dalam perspektif ruang publik Jurgen Habermas (1991), diskursus lingkungan harus dibangun di atas dasar dialog terbuka yang menghargai keberagaman pandangan. Dalam ruang publik yang ideal, setiap pihak—baik aktivis lingkungan, pemerintah, maupun sektor ekonomi—seharusnya bisa duduk bersama untuk menemukan solusi bersama. Pola komunikasi yang terbuka dan inklusif memungkinkan perdebatan yang konstruktif. Bahkan polemik yang muncul, seperti yang disuarakan oleh Ulil Abshar Abdalla yang menyebut aktivisme lingkungan sebagai "wahabi lingkungan", seharusnya tidak memutuskan komunikasi. Sebaliknya, ini bisa menjadi peluang untuk memperkaya diskursus dengan beragam perspektif. Sebuah ruang publik yang sehat justru memberi ruang bagi beragam pandangan untuk diuji dan dibahas bersama, bukan menjadikan perbedaan sebagai alasan untuk berpisah.

 

Pada titik ini, kita harus menyadari bahwa agama bukan sekadar pedoman moral, tetapi juga pedoman untuk menjaga keseimbangan alam. Alam bukanlah milik kita untuk dieksploitasi sekehendak hati, tetapi amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Dengan menjaga alam, kita juga menjaga hubungan kita dengan Tuhan, sesama, dan seluruh ciptaan-Nya. Dalam tradisi Islam, kita dikenal sebagai khalifah di bumi, dengan kewajiban untuk merawat dan menjaga alam ini agar tetap memberi kehidupan bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, dengan perspektif ekoteologi dan dialog publik yang terbuka, kita seharusnya dapat menemukan jalan tengah yang menghargai kepentingan manusia dan kelestarian alam, serta membangun kehidupan berkelanjutan untuk masa depan.

 

Namun, meskipun dialog dan perdebatan tetap diperlukan, dalam konteks eksploitasi alam yang semakin tidak terkendali, seharusnya sudah tidak ada lagi ruang untuk perdebatan yang tak berujung. Tentu saja, perbedaan pandangan mengenai bagaimana memanfaatkan alam secara adil dan berkelanjutan adalah hal yang wajar. Tetapi ketika berbicara tentang eksploitasi yang berlebihan—seperti penambangan yang merusak ekosistem atau polusi yang merusak kualitas air—kita tidak sedang membicarakan teori atau ideologi, tetapi ancaman nyata terhadap masa depan kita. Tindakan yang merusak hutan, mencemari air, dan menguras sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kelestarian, tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika kita terus terjebak dalam perdebatan apakah kita harus berhenti atau tidak berhenti, suatu hari nanti kita akan menemukan bahwa kita sudah kehabisan alam untuk diperdebatkan.

 

Krisis lingkungan yang kita hadapi bukan sekadar masalah moral atau ideologi, tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita hindari lagi. Dampaknya sudah begitu nyata dan terasa: perubahan iklim yang semakin ekstrim, bencana alam yang semakin sering terjadi, serta ketidakpastian yang akan dihadapi oleh generasi mendatang. Sudah saatnya kita meletakkan kepentingan bersama di atas ego sektoral. Tidak ada yang akan menang dalam perdebatan ini jika kita hanya berbicara tanpa tindakan. Keputusan untuk menjaga keseimbangan alam bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan yang mendesak untuk kelangsungan hidup kita dan generasi yang akan datang.

 

Maka, kita seharusnya bisa sepakat tentang satu hal: kerusakan alam mengancam kita semua, tanpa terkecuali. Mungkin kita tidak sepakat mengenai cara terbaik untuk memperbaikinya, tetapi dalam hal dampak kerusakan alam ini, tidak ada ruang untuk perbedaan pendapat. Setiap individu, setiap generasi, akan merasakan akibatnya. Jika kita terus menerus memperdebatkan hal yang jelas-jelas merugikan, kita bisa jadi akan berakhir seperti burung yang sibuk bertengger di pohon, padahal pohon itu sendiri sudah hampir tumbang. Tidak ada lagi waktu untuk berlarut-larut dalam perdebatan yang tidak mengarah pada aksi nyata.

 

Jika kita terus mencari-cari alasan untuk tidak bertindak, marilah kita renungkan sejenak: "Bumi bukan warisan nenek moyang kita, tetapi pinjaman dari anak cucu kita." Namun, jika kita terus begini, jangan khawatir, anak cucu kita mungkin akan lebih sibuk mencari jalan keluar daripada mencari warisan yang sudah hilang.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now