Oleh: Syamsul Kurniawan
Kebudayaan adalah cara
manusia menertibkan waktu, menyulam ruang, dan memberi makna pada apa yang
berlangsung. Di Kalimantan Barat, di mana sungai mengalir lebih dahulu daripada
jalan raya, budaya bukan sekadar warisan, tapi cara hidup yang bernapas dari
pagi hingga malam. Ia hadir dalam keseharian, dalam sapaan orang tua kepada
anaknya, dalam racikan bumbu yang tak pernah ditakar dengan angka. Budaya bukan
hal yang ditulis, ia adalah yang dijalani.
Saya lahir di sebuah
kota kecil di mana anak-anak diajari nama-nama pohon sebelum nama-nama pejabat.
Kami mengenali rotan bukan sebagai barang dagangan, tetapi sebagai penanda
musim. Lalu waktu bergerak, dan kita mulai melupakan. Yang dahulu menjadi pengetahuan
bersama, kini menjadi artefak yang nyaris asing.
Budaya di Kalimantan
Barat bukan satu wajah, tapi mozaik: ada Melayu di pesisir, Dayak di hulu,
Tionghoa di tengah kota, Madura di pasar-pasar. Keberagaman itu bukan hasil
rekayasa, melainkan hasil perjumpaan yang panjang. Tapi justru karena itu ia
rapuh, mudah tersingkir saat satu wajah dominan ditampilkan sebagai standar
budaya baru. Dan yang paling sering terjadi: yang sederhana ditertawakan, yang
berakar diabaikan.
Di pasar-pasar
Pontianak, dulu kita mendengar bahasa Melayu bercampur Hakka dan Sambas. Kini,
suara-suara itu kian pelan—digantikan bunyi notifikasi dari ponsel pintar.
Anak-anak lebih fasih mengucap “subscribe” ketimbang salam sopan kepada tetua.
Teknologi telah mengubah bunyi kehidupan.
Kita tahu, bukan hanya
Kalimantan Barat yang berubah. Seluruh dunia sedang bergerak cepat. Yang
perlahan ditinggalkan. Yang mendalam dikalahkan oleh yang viral.
Budaya Kalimantan
Barat—yang mestinya diajarkan di sekolah-sekolah dan dipentaskan di halaman
rumah—justru kini jadi tontonan musiman. Disambut saat festival, lalu ditinggal
begitu saja. Ia menjadi selebrasi sesaat, bukan napas yang menyatu dalam
kehidupan sehari-hari. Budaya menjadi pengisi waktu luang, bukan landasan cara
hidup.
Anak-anak kita lebih
kenal BTS ketimbang pantun Melayu. Mereka lebih hafal menu McD daripada bahan
dasar bubur pedas atau sayur gulai keladi. Ini bukan salah mereka. Ini kesalahan kita bersama: terlalu
percaya bahwa budaya bisa tumbuh tanpa dikenalkan secara sadar.
Teknologi tidak harus
menjadi musuh. Tapi jika tak dikendalikan, ia bisa mengubah cara kita berpikir,
cara kita merasa, bahkan cara kita mengingat. Yang semula adalah nilai kini
tinggal tampilan. Yang dulu dipercaya, kini sekadar konten.
Baudrillard (1994) menyebut
ini sebagai "simulakra"—ketika yang palsu lebih dipercaya daripada
yang nyata. Ketika pakaian tradisional hanya dianggap kostum. Ketika kampung
halaman dianggap spot Instagram. Yang tampil bukan makna, melainkan kemasan.
Kita hidup di zaman di
mana realitas digantikan oleh representasi. Budaya menjadi simbol kosong:
ditampilkan tanpa dihidupi, dipromosikan tanpa dipahami. Gambar rumah Betang
menjadi ikon, tapi siapa lagi yang mengerti fungsinya?
Di sebuah kafe di pusat
kota, saya melihat seorang anak perempuan ditemani ibunya berfoto dengan latar kain tenun. "Lokal
banget," tulisnya di caption. Tapi dia tidak tahu siapa penenunnya, dari
mana motif itu berasal. Ia tahu tampilannya, tapi tidak mengenal akarnya.
Di sinilah letak ironi
budaya hari ini: antara etalase dan identitas, antara konsumsi dan keyakinan.
Kita mengaku cinta budaya, tapi hanya dalam bentuk yang bisa diunggah. Kita
kehilangan kedalaman demi citra.
Habermas (1991) berbicara
tentang ruang publik: sebuah tempat di mana warga bertukar gagasan secara
rasional dan setara. Tapi bagaimana jika ruang itu sudah dikapling oleh
algoritma? Kita berbicara, tapi hanya kepada yang sependapat. Budaya jadi gema,
bukan diskusi.
Media sosial, yang
mestinya menjadi ruang publik baru, justru menjadikan budaya sebagai komoditas:
cepat, cetek, dan bisa diganti kapan saja. Yang dulu lahir dari refleksi kini
lahir dari rating. Yang dahulu warisan, kini dagangan.
Maka budaya kita—yang
dahulu lahir dari tafsir dan pengalaman—kini ditentukan oleh tren dan filter.
Nilai-nilai kita kehilangan akar karena kita tidak lagi merawat tanahnya. Kita
mengganti makna dengan likes.
Sementara itu, generasi
muda Kalimantan Barat tumbuh di antara dua dunia: satu yang nyata namun pudar,
satu yang semu namun mencolok. Mereka lebih bangga memakai hoodie bermerek
daripada baju telok belanga. Mereka lebih percaya rating YouTube daripada nasihat
kakeknya. Dan kita membiarkannya.
Dan pelan-pelan,
nilai-nilai budaya yang membentuk karakter kita—tata krama, kebersamaan,
kesabaran—tergerus oleh nilai baru: kecepatan, tampilan, dan keviralan. Semua
serba instan. Semua harus bisa dibagikan.
Bukan berarti kita
harus menolak perubahan. Tapi perubahan yang tidak berpijak akan membuat kita
hanyut. Kita butuh jangkar. Dan budaya adalah jangkar itu.
Membayangkan Masa Depan
Masa depan kebudayaan
Kalimantan Barat, jika kita tak hati-hati, adalah masa depan yang asing. Kita
bisa menjadi tamu di tanah sendiri. Kita bisa bicara tentang rumah adat tanpa
pernah masuk ke dalamnya. Kita bisa mengaku Melayu atau Dayak tanpa tahu perbedaan
raut dan makna motif kain yang kita pakai.
Tapi masa depan juga
bisa jadi ruang perlawanan. Ruang di mana budaya lokal tidak hanya
dipertontonkan, tapi diajarkan. Tidak hanya difoto, tapi dipahami. Tidak hanya
dikoleksi, tapi dihidupi.
Mari bayangkan
sekolah-sekolah yang mengajarkan pantun, bukan hanya puisi kontemporer. Mari
bayangkan aplikasi digital yang mengenalkan cerita rakyat, bukan hanya game
online. Mari bayangkan anak-anak yang bangga memakai busana Melayu ke sekolah,
bukan karena diwajibkan, tapi karena merasa itu bagian dari siapa dirinya.
Masa depan bisa
ditentukan dari sekarang, dari rumah-rumah yang mulai kembali menyajikan
makanan tradisional, dari guru-guru yang tak lelah menjelaskan asal-usul tanah
ini. Masa depan bukan sesuatu yang menunggu, tapi sesuatu yang dibentuk. Dan ia
dibentuk dari pilihan-pilihan kecil hari ini.
Tapi untuk itu, kita
perlu mengubah cara berpikir. Kita perlu memahami budaya bukan sebagai beban
masa lalu, tapi sebagai modal masa depan. Kita perlu menjadikan budaya bukan
sebagai topeng, tapi wajah. Kita butuh kesadaran, bukan sekadar kebanggaan.
Kita perlu komunitas,
bukan sekadar institusi. Kita perlu keluarga yang bercerita, bukan hanya
sekolah yang memberi nilai. Kita perlu ruang-ruang kecil di mana budaya tidak
diajarkan seperti teori, tetapi dibagikan seperti cerita.
Karakter bangsa
dibentuk dari nilai-nilai budaya. Dan tanpa karakter, kita hanya menjadi
peniru. Kita bisa punya teknologi mutakhir, tapi jika tidak tahu dari mana kita
berasal, kita akan kehilangan arah.
Jika kita ingin tetap
menjadi Indonesia—dan Kalimantan Barat sebagai bagian darinya—maka kita harus
berani merawat keaslian di tengah derasnya kemasan. Kita harus percaya bahwa
yang tua bukan berarti usang. Yang lokal bukan berarti ketinggalan.
Dan budaya bukanlah
sekadar pelengkap. Ia adalah fondasi dari siapa kita sebagai bangsa. Budaya
adalah yang menyatukan perbedaan. Ia adalah tali pengikat yang tak terlihat
namun terasa.
Kita tidak bisa
menyerahkan masa depan budaya kepada pasar. Kita tidak bisa berharap algoritma
akan menyelamatkan kebudayaan. Yang bisa menyelamatkan hanya kita: orang tua
yang masih bercerita, guru yang masih menjelaskan, pemuda yang mau belajar.
Kalimantan Barat adalah
peristiwa yang belum selesai. Tapi ia tak akan selesai jika tidak dikenang. Dan
tak akan dikenang jika tak diajarkan. Warisan hanya bertahan jika ada yang
bersedia mewarisi.
Maka tulislah. Ajarkan.
Rayakan. Bukan karena kita anti modernitas, tapi karena kita ingin masa depan
punya akar. Kita ingin anak-anak kita berjalan jauh tanpa melupakan dari mana
mereka datang.
Budaya bukan milik masa
lalu. Ia adalah janji yang harus kita tepati. Kepada anak cucu kita. Dan kepada
tanah tempat kita berpijak.