Iklan

Membayangkan Kembali Masa Depan Budaya Kita

syamsul kurniawan
Thursday, July 17, 2025
Last Updated 2025-07-17T13:05:46Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Kebudayaan adalah cara manusia menertibkan waktu, menyulam ruang, dan memberi makna pada apa yang berlangsung. Di Kalimantan Barat, di mana sungai mengalir lebih dahulu daripada jalan raya, budaya bukan sekadar warisan, tapi cara hidup yang bernapas dari pagi hingga malam. Ia hadir dalam keseharian, dalam sapaan orang tua kepada anaknya, dalam racikan bumbu yang tak pernah ditakar dengan angka. Budaya bukan hal yang ditulis, ia adalah yang dijalani.

Saya lahir di sebuah kota kecil di mana anak-anak diajari nama-nama pohon sebelum nama-nama pejabat. Kami mengenali rotan bukan sebagai barang dagangan, tetapi sebagai penanda musim. Lalu waktu bergerak, dan kita mulai melupakan. Yang dahulu menjadi pengetahuan bersama, kini menjadi artefak yang nyaris asing.

Budaya di Kalimantan Barat bukan satu wajah, tapi mozaik: ada Melayu di pesisir, Dayak di hulu, Tionghoa di tengah kota, Madura di pasar-pasar. Keberagaman itu bukan hasil rekayasa, melainkan hasil perjumpaan yang panjang. Tapi justru karena itu ia rapuh, mudah tersingkir saat satu wajah dominan ditampilkan sebagai standar budaya baru. Dan yang paling sering terjadi: yang sederhana ditertawakan, yang berakar diabaikan.

Di pasar-pasar Pontianak, dulu kita mendengar bahasa Melayu bercampur Hakka dan Sambas. Kini, suara-suara itu kian pelan—digantikan bunyi notifikasi dari ponsel pintar. Anak-anak lebih fasih mengucap “subscribe” ketimbang salam sopan kepada tetua. Teknologi telah mengubah bunyi kehidupan.

Kita tahu, bukan hanya Kalimantan Barat yang berubah. Seluruh dunia sedang bergerak cepat. Yang perlahan ditinggalkan. Yang mendalam dikalahkan oleh yang viral.

Budaya Kalimantan Barat—yang mestinya diajarkan di sekolah-sekolah dan dipentaskan di halaman rumah—justru kini jadi tontonan musiman. Disambut saat festival, lalu ditinggal begitu saja. Ia menjadi selebrasi sesaat, bukan napas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Budaya menjadi pengisi waktu luang, bukan landasan cara hidup.

Anak-anak kita lebih kenal BTS ketimbang pantun Melayu. Mereka lebih hafal menu McD daripada bahan dasar bubur pedas atau sayur gulai keladi. Ini bukan salah mereka. Ini kesalahan kita bersama: terlalu percaya bahwa budaya bisa tumbuh tanpa dikenalkan secara sadar.

Teknologi tidak harus menjadi musuh. Tapi jika tak dikendalikan, ia bisa mengubah cara kita berpikir, cara kita merasa, bahkan cara kita mengingat. Yang semula adalah nilai kini tinggal tampilan. Yang dulu dipercaya, kini sekadar konten.

Baudrillard (1994) menyebut ini sebagai "simulakra"—ketika yang palsu lebih dipercaya daripada yang nyata. Ketika pakaian tradisional hanya dianggap kostum. Ketika kampung halaman dianggap spot Instagram. Yang tampil bukan makna, melainkan kemasan.

Kita hidup di zaman di mana realitas digantikan oleh representasi. Budaya menjadi simbol kosong: ditampilkan tanpa dihidupi, dipromosikan tanpa dipahami. Gambar rumah Betang menjadi ikon, tapi siapa lagi yang mengerti fungsinya?

Di sebuah kafe di pusat kota, saya melihat seorang anak perempuan ditemani ibunya berfoto dengan latar kain tenun. "Lokal banget," tulisnya di caption. Tapi dia tidak tahu siapa penenunnya, dari mana motif itu berasal. Ia tahu tampilannya, tapi tidak mengenal akarnya.

Di sinilah letak ironi budaya hari ini: antara etalase dan identitas, antara konsumsi dan keyakinan. Kita mengaku cinta budaya, tapi hanya dalam bentuk yang bisa diunggah. Kita kehilangan kedalaman demi citra.

Habermas (1991) berbicara tentang ruang publik: sebuah tempat di mana warga bertukar gagasan secara rasional dan setara. Tapi bagaimana jika ruang itu sudah dikapling oleh algoritma? Kita berbicara, tapi hanya kepada yang sependapat. Budaya jadi gema, bukan diskusi.

Media sosial, yang mestinya menjadi ruang publik baru, justru menjadikan budaya sebagai komoditas: cepat, cetek, dan bisa diganti kapan saja. Yang dulu lahir dari refleksi kini lahir dari rating. Yang dahulu warisan, kini dagangan.

Maka budaya kita—yang dahulu lahir dari tafsir dan pengalaman—kini ditentukan oleh tren dan filter. Nilai-nilai kita kehilangan akar karena kita tidak lagi merawat tanahnya. Kita mengganti makna dengan likes.

Sementara itu, generasi muda Kalimantan Barat tumbuh di antara dua dunia: satu yang nyata namun pudar, satu yang semu namun mencolok. Mereka lebih bangga memakai hoodie bermerek daripada baju telok belanga. Mereka lebih percaya rating YouTube daripada nasihat kakeknya. Dan kita membiarkannya.

Dan pelan-pelan, nilai-nilai budaya yang membentuk karakter kita—tata krama, kebersamaan, kesabaran—tergerus oleh nilai baru: kecepatan, tampilan, dan keviralan. Semua serba instan. Semua harus bisa dibagikan.

Bukan berarti kita harus menolak perubahan. Tapi perubahan yang tidak berpijak akan membuat kita hanyut. Kita butuh jangkar. Dan budaya adalah jangkar itu.

 

Membayangkan Masa Depan

Masa depan kebudayaan Kalimantan Barat, jika kita tak hati-hati, adalah masa depan yang asing. Kita bisa menjadi tamu di tanah sendiri. Kita bisa bicara tentang rumah adat tanpa pernah masuk ke dalamnya. Kita bisa mengaku Melayu atau Dayak tanpa tahu perbedaan raut dan makna motif kain yang kita pakai.

Tapi masa depan juga bisa jadi ruang perlawanan. Ruang di mana budaya lokal tidak hanya dipertontonkan, tapi diajarkan. Tidak hanya difoto, tapi dipahami. Tidak hanya dikoleksi, tapi dihidupi.

Mari bayangkan sekolah-sekolah yang mengajarkan pantun, bukan hanya puisi kontemporer. Mari bayangkan aplikasi digital yang mengenalkan cerita rakyat, bukan hanya game online. Mari bayangkan anak-anak yang bangga memakai busana Melayu ke sekolah, bukan karena diwajibkan, tapi karena merasa itu bagian dari siapa dirinya.

Masa depan bisa ditentukan dari sekarang, dari rumah-rumah yang mulai kembali menyajikan makanan tradisional, dari guru-guru yang tak lelah menjelaskan asal-usul tanah ini. Masa depan bukan sesuatu yang menunggu, tapi sesuatu yang dibentuk. Dan ia dibentuk dari pilihan-pilihan kecil hari ini.

Tapi untuk itu, kita perlu mengubah cara berpikir. Kita perlu memahami budaya bukan sebagai beban masa lalu, tapi sebagai modal masa depan. Kita perlu menjadikan budaya bukan sebagai topeng, tapi wajah. Kita butuh kesadaran, bukan sekadar kebanggaan.

Kita perlu komunitas, bukan sekadar institusi. Kita perlu keluarga yang bercerita, bukan hanya sekolah yang memberi nilai. Kita perlu ruang-ruang kecil di mana budaya tidak diajarkan seperti teori, tetapi dibagikan seperti cerita.

Karakter bangsa dibentuk dari nilai-nilai budaya. Dan tanpa karakter, kita hanya menjadi peniru. Kita bisa punya teknologi mutakhir, tapi jika tidak tahu dari mana kita berasal, kita akan kehilangan arah.

Jika kita ingin tetap menjadi Indonesia—dan Kalimantan Barat sebagai bagian darinya—maka kita harus berani merawat keaslian di tengah derasnya kemasan. Kita harus percaya bahwa yang tua bukan berarti usang. Yang lokal bukan berarti ketinggalan.

Dan budaya bukanlah sekadar pelengkap. Ia adalah fondasi dari siapa kita sebagai bangsa. Budaya adalah yang menyatukan perbedaan. Ia adalah tali pengikat yang tak terlihat namun terasa.

Kita tidak bisa menyerahkan masa depan budaya kepada pasar. Kita tidak bisa berharap algoritma akan menyelamatkan kebudayaan. Yang bisa menyelamatkan hanya kita: orang tua yang masih bercerita, guru yang masih menjelaskan, pemuda yang mau belajar.

Kalimantan Barat adalah peristiwa yang belum selesai. Tapi ia tak akan selesai jika tidak dikenang. Dan tak akan dikenang jika tak diajarkan. Warisan hanya bertahan jika ada yang bersedia mewarisi.

Maka tulislah. Ajarkan. Rayakan. Bukan karena kita anti modernitas, tapi karena kita ingin masa depan punya akar. Kita ingin anak-anak kita berjalan jauh tanpa melupakan dari mana mereka datang.

Budaya bukan milik masa lalu. Ia adalah janji yang harus kita tepati. Kepada anak cucu kita. Dan kepada tanah tempat kita berpijak.

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now