Oleh: Syamsul Kurniawan
Esei ini baru saja rampung ditulis pagi ini, sambil
ditemani secangkir kopi dan deru pelan dari halaman belakang kantor. Ia sengaja
disiapkan sebagai sumbangan kecil untuk PPPAII Lounge, sebuah ruang bincang
santai, ilmiah, dan inspiratif—tempat para pengurus, dosen, dan pegiat
pendidikan agama Islam dari berbagai penjuru Indonesia berbagi gagasan. Tulisan
ini tidak lahir dari rapat, bukan pula dari seminar resmi, melainkan dari
kegelisahan dan pengharapan. Harapannya sederhana: semoga ia bisa menjadi bahan
diskusi ringan, namun menggugah, tentang arah dan masa depan kurikulum kita—di
tengah negara yang seribu satu masalahnya, namun tetap tak kehabisan mimpi.
Karena pendidikan, meski ringkih dan lambat, masih bisa menjadi satu-satunya
jalan terang yang kita miliki.
Di hari-hari ini, kita melihat kata “nilai” dipakai
seperti amplop kosong: dikirim ke mana-mana, tapi tak berisi apa-apa. Ia tampil
dalam pernyataan visi, dalam spanduk seminar, dalam buku-buku panduan
kurikulum, namun nyaris tak terasa dalam atmosfer kelas, dalam relasi guru dan
murid, atau dalam keputusan-keputusan kecil yang diambil sekolah. Kita hidup
dalam masa ketika kata-kata kehilangan makna karena terlalu sering dilafalkan
tanpa keteladanan. Nilai tidak gagal karena ditolak, tapi karena dibosankan oleh
pengulangan tanpa permenungan. Dalam situasi seperti itu, pertanyaannya bukan
lagi bagaimana menanamkan nilai, melainkan bagaimana membuatnya kembali hidup.
Di sinilah kurikulum adaptif berbasis nilai hadir
sebagai upaya yang tampak menjanjikan. Ia bukan hanya menjanjikan keterhubungan
dengan kebutuhan zaman, tetapi juga ingin kembali mengakar pada karakter
peserta didik dan konteks sosialnya. Kita tak sedang membicarakan rumusan
tujuan pembelajaran, tapi upaya untuk membuat pendidikan terasa relevan,
bernyawa, dan bermakna. Namun, seperti semua hal yang bersifat sistemik,
keindahan ide sering kali kandas di tangan eksekusi. Kurikulum ini, bila hanya
diterjemahkan ke dalam dokumen, akan kehilangan ruh yang mestinya menjadikannya
hidup.
Lazimnya dalam diskusi pendidikan, kita mungkin saja
akan terburu-buru bicara isi, struktur, atau metode. Tapi pendekatan iceberg
analysis mengingatkan kita bahwa yang tampak—seperti proyek lintas mata
pelajaran, pembelajaran berdiferensiasi, atau fleksibilitas guru—hanyalah pucuk
dari gunung es besar yang tersembunyi. Di bawah permukaan, terdapat sistem
pelatihan guru, struktur insentif, cara sekolah dipantau, dan yang lebih dalam
lagi: pola pikir. Pola pikir inilah yang kerap luput disentuh. Padahal, tanpa
menggoyang fondasi cara pandang, tak satu pun inovasi kurikulum bisa tumbuh
utuh.
Ketika guru masih berpikir bahwa murid adalah wadah
kosong yang harus diisi, maka metode apapun—bahkan yang diklaim adaptif—akan
berujung pada ceramah satu arah. Ketika kepala sekolah lebih sibuk mengisi
laporan ketimbang membimbing kolega, maka “penguatan karakter” hanya menjadi
proyek tempelan. Dan ketika sistem evaluasi masih mengandalkan angka dan
peringkat, maka seluruh energi sekolah akan diarahkan ke hal-hal yang kasat
mata, bukan yang penting. Kita gagal melihat bahwa perubahan yang berarti selalu
terjadi di bagian yang tak terlihat, seperti kebiasaan.
James Clear (2019) menulis bahwa perubahan besar
selalu dimulai dari perubahan kecil. Kita tak berubah karena niat baik, tapi
karena sistem kebiasaan yang dibangun dan dibiarkan berjalan. Seperti cara kita
menyambut murid setiap pagi, cara kita menegur kesalahan tanpa menjatuhkan
martabat, cara kita berbicara tentang perbedaan tanpa menciptakan rasa takut.
Kurikulum berbasis nilai hanya akan hidup bila dijalani dengan cara-cara
seperti itu—bukan sebagai program, tapi sebagai kebudayaan. Dan budaya, seperti
gunung es, menjulang karena kekuatan yang tersembunyi di bawahnya.
Namun, dunia hari ini bergerak terlalu cepat.
Informasi datang lebih deras dari kemampuan menyaringnya. Di sinilah, menurut
Tom Nichols (2017), muncul gejala baru yang tak bisa diabaikan: the death of
expertise—matinya kepakaran. Ketika semua orang merasa paling tahu hanya
karena pernah membaca unggahan atau menonton video. Ketika argumen seorang guru
disamakan bobotnya dengan komentar anonim di media sosial.
Nichols menyebut ini sebagai krisis kepercayaan. Di
masa lalu, guru dihormati karena pengetahuannya. Hari ini, guru dipertanyakan
karena terlalu banyak orang merasa tahu lebih banyak. Pendidikan menjadi arena
rebutan opini, bukan tempat mempertemukan kebenaran. Di tengah kegaduhan itu,
siapa yang masih percaya pada proses?
Seorang guru tak hanya harus mengajar, tapi kini juga
harus bertahan dari kecurigaan. “Mengapa saya harus percaya Anda?” begitu
kira-kira pertanyaan yang terbit di benak murid dan orangtua yang lebih
mempercayai video viral daripada buku ajar. Ini bukan hanya soal metode, tapi
soal kehilangan otoritas simbolik. Bila guru tak lagi dipercaya, bagaimana
mungkin nilai bisa ditanamkan? Bila sekolah tak lagi dihormati, apa yang
tersisa dari sistem pendidikan?
Maka pendidikan hari ini bukan hanya tentang strategi,
tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan kepercayaan. Dan itu hanya bisa
dilakukan dengan keteladanan. Dengan kehadiran yang konsisten, bukan sekadar
kompetensi teknis. Dalam dunia yang memuja kecepatan, pendidikan harus memilih
jalan yang pelan—jalan yang menumbuhkan.
Di sinilah pentingnya kembali ke praktik. Praktik
kecil yang konsisten lebih bermakna ketimbang jargon yang megah. Kurikulum
berbasis nilai harus bekerja dengan cara-cara yang sederhana: konsistensi,
keterbukaan, dan keteladanan. Ini bukan agenda Kementerian semata, tapi urusan
sehari-hari di ruang kelas. Dan hanya dalam kesederhanaan seperti itu, nilai
bisa berakar dan tumbuh.
Kita menyaksikan sekolah-sekolah yang bangunannya
rapi, guru-gurunya disiplin, tetapi murid-muridnya kosong. Bukan karena mereka
bodoh, tetapi karena tidak merasa dimiliki. Mereka hadir, tapi tak terlibat.
Mereka mendengar, tapi tak merasa didengar. Pendidikan telah menjadi rutinitas
yang sunyi, bukan perjumpaan yang hangat.
Guru, dalam sistem seperti itu, bisa menjadi
profesional tanpa rasa. Ia menguasai silabus, tapi tidak menyentuh jiwa. Ia
memahami metode, tapi tak pernah menyapa anak-anaknya sebagai manusia utuh.
Maka, tak heran bila murid pun merasa sekolah tak lebih dari ruang tunggu.
Menunggu nilai. Menunggu lulus. Menunggu pergi.
Apa yang mesti didamaikan?
Ada ketegangan abadi antara struktur dan kebebasan.
Kurikulum sering dianggap sebagai batas, padahal bisa menjadi ruang gerak. Di
sisi lain, guru sering merindukan kebebasan, tapi tanpa sistem pendukung,
kebebasan bisa berubah jadi kebingungan. Maka, yang mesti didamaikan adalah
antara tuntutan kebijakan dan kebutuhan manusiawi. Bahwa pendidikan bukan mesin
produksi nilai, melainkan proses tumbuh bersama dalam kekayaan perbedaan dan
keunikan.
Kita juga harus mendamaikan antara modernitas dan akar
tradisi. Bahwa menjadikan murid mahir digital tidak berarti memotong akarnya
dari nilai-nilai lokal. Di pesantren, misalnya, nilai-nilai hidup sangat kuat:
keikhlasan, kesederhanaan, tanggung jawab. Tapi jika itu tidak
dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman, ia bisa menjadi nostalgia belaka.
Kurikulum adaptif yang sejati harus menjahit masa lalu dan masa depan dalam
satu kain pembelajaran yang bernyawa.
Lalu yang tak kalah penting: mendamaikan antara logika
sistem dan logika hati. Tak semua hal bisa dinilai dengan angka. Tak semua
proses bisa dibuktikan lewat indikator. Ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan:
rasa hormat, rasa ingin tahu, rasa peduli. Nilai hidup seperti itu tak bisa
dimasukkan ke rubrik penilaian, tapi justru itulah inti dari pendidikan.
Kita juga perlu mendamaikan antara cita-cita perubahan
dan kenyataan di lapangan. Tak semua guru siap. Tak semua sekolah punya
dukungan. Tapi bukan berarti perubahan harus menunggu semuanya sempurna. Justru
di dalam keterbatasan itu, kesadaran bisa mulai tumbuh—pelan, tapi pasti.
Dengan catatan: jangan memaksa perubahan, tapi menyuburkan syarat-syaratnya.
Kurikulum tak perlu dibuat sempurna. Ia hanya perlu
membuka ruang: untuk tumbuh, untuk gagal, untuk saling belajar. Pendidikan yang
baik bukan yang bebas dari kesalahan, tapi yang tak pernah berhenti memperbaiki
diri. Dan yang seperti itu, hanya bisa lahir dari keberanian untuk jujur pada
diri sendiri. Bahwa kita belum selesai. Tapi kita mau melangkah.
Nilai tak bisa diwariskan lewat pidato. Ia hanya bisa
ditanam lewat teladan. Dan teladan itu, bila ditopang sistem yang adil dan
dukungan yang wajar, bisa melahirkan generasi yang bukan hanya tahu, tapi
bijak. Bukan hanya pintar, tapi sadar. Dan bukan hanya hafal, tapi mampu
memilih.
Kurikulum berbasis nilai akan gagal bila guru merasa
sendiri. Bila sekolah merasa dipantau, tapi tidak dipercaya. Bila pelatihan
dirancang dari atas, tapi lupa mendengar suara dari bawah. Pendidikan adalah
relasi, dan relasi tak tumbuh dari perintah. Ia tumbuh dari kepercayaan.
Maka, tugas pertama kita mungkin bukan menyusun model
baru, tapi memperbaiki cara kita melihat. Melihat murid bukan sebagai objek.
Melihat guru bukan sebagai pelaksana. Melihat pendidikan bukan sebagai sistem,
tapi sebagai ruang bertemu.
Kurikulum adaptif berbasis nilai adalah peluang. Tapi
ia juga risiko. Risiko untuk gagal. Risiko untuk disalahpahami. Tapi juga
peluang untuk mengembalikan yang hilang: kepercayaan. Harapan. Dan mungkin,
cinta.
Sebab pendidikan, pada akhirnya, adalah pekerjaan
hati. Dan hati hanya bisa bergerak oleh yang jujur, bukan yang hebat.***