Iklan

Mendidik Nilai di Tengah Bising

syamsul kurniawan
Tuesday, July 15, 2025
Last Updated 2025-07-16T00:57:19Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Esei ini baru saja rampung ditulis pagi ini, sambil ditemani secangkir kopi dan deru pelan dari halaman belakang kantor. Ia sengaja disiapkan sebagai sumbangan kecil untuk PPPAII Lounge, sebuah ruang bincang santai, ilmiah, dan inspiratif—tempat para pengurus, dosen, dan pegiat pendidikan agama Islam dari berbagai penjuru Indonesia berbagi gagasan. Tulisan ini tidak lahir dari rapat, bukan pula dari seminar resmi, melainkan dari kegelisahan dan pengharapan. Harapannya sederhana: semoga ia bisa menjadi bahan diskusi ringan, namun menggugah, tentang arah dan masa depan kurikulum kita—di tengah negara yang seribu satu masalahnya, namun tetap tak kehabisan mimpi. Karena pendidikan, meski ringkih dan lambat, masih bisa menjadi satu-satunya jalan terang yang kita miliki.

 

Di hari-hari ini, kita melihat kata “nilai” dipakai seperti amplop kosong: dikirim ke mana-mana, tapi tak berisi apa-apa. Ia tampil dalam pernyataan visi, dalam spanduk seminar, dalam buku-buku panduan kurikulum, namun nyaris tak terasa dalam atmosfer kelas, dalam relasi guru dan murid, atau dalam keputusan-keputusan kecil yang diambil sekolah. Kita hidup dalam masa ketika kata-kata kehilangan makna karena terlalu sering dilafalkan tanpa keteladanan. Nilai tidak gagal karena ditolak, tapi karena dibosankan oleh pengulangan tanpa permenungan. Dalam situasi seperti itu, pertanyaannya bukan lagi bagaimana menanamkan nilai, melainkan bagaimana membuatnya kembali hidup.

 

Di sinilah kurikulum adaptif berbasis nilai hadir sebagai upaya yang tampak menjanjikan. Ia bukan hanya menjanjikan keterhubungan dengan kebutuhan zaman, tetapi juga ingin kembali mengakar pada karakter peserta didik dan konteks sosialnya. Kita tak sedang membicarakan rumusan tujuan pembelajaran, tapi upaya untuk membuat pendidikan terasa relevan, bernyawa, dan bermakna. Namun, seperti semua hal yang bersifat sistemik, keindahan ide sering kali kandas di tangan eksekusi. Kurikulum ini, bila hanya diterjemahkan ke dalam dokumen, akan kehilangan ruh yang mestinya menjadikannya hidup.

 

Lazimnya dalam diskusi pendidikan, kita mungkin saja akan terburu-buru bicara isi, struktur, atau metode. Tapi pendekatan iceberg analysis mengingatkan kita bahwa yang tampak—seperti proyek lintas mata pelajaran, pembelajaran berdiferensiasi, atau fleksibilitas guru—hanyalah pucuk dari gunung es besar yang tersembunyi. Di bawah permukaan, terdapat sistem pelatihan guru, struktur insentif, cara sekolah dipantau, dan yang lebih dalam lagi: pola pikir. Pola pikir inilah yang kerap luput disentuh. Padahal, tanpa menggoyang fondasi cara pandang, tak satu pun inovasi kurikulum bisa tumbuh utuh.

 

Ketika guru masih berpikir bahwa murid adalah wadah kosong yang harus diisi, maka metode apapun—bahkan yang diklaim adaptif—akan berujung pada ceramah satu arah. Ketika kepala sekolah lebih sibuk mengisi laporan ketimbang membimbing kolega, maka “penguatan karakter” hanya menjadi proyek tempelan. Dan ketika sistem evaluasi masih mengandalkan angka dan peringkat, maka seluruh energi sekolah akan diarahkan ke hal-hal yang kasat mata, bukan yang penting. Kita gagal melihat bahwa perubahan yang berarti selalu terjadi di bagian yang tak terlihat, seperti kebiasaan.

 

James Clear (2019) menulis bahwa perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil. Kita tak berubah karena niat baik, tapi karena sistem kebiasaan yang dibangun dan dibiarkan berjalan. Seperti cara kita menyambut murid setiap pagi, cara kita menegur kesalahan tanpa menjatuhkan martabat, cara kita berbicara tentang perbedaan tanpa menciptakan rasa takut. Kurikulum berbasis nilai hanya akan hidup bila dijalani dengan cara-cara seperti itu—bukan sebagai program, tapi sebagai kebudayaan. Dan budaya, seperti gunung es, menjulang karena kekuatan yang tersembunyi di bawahnya.

 

Namun, dunia hari ini bergerak terlalu cepat. Informasi datang lebih deras dari kemampuan menyaringnya. Di sinilah, menurut Tom Nichols (2017), muncul gejala baru yang tak bisa diabaikan: the death of expertise—matinya kepakaran. Ketika semua orang merasa paling tahu hanya karena pernah membaca unggahan atau menonton video. Ketika argumen seorang guru disamakan bobotnya dengan komentar anonim di media sosial.

 

Nichols menyebut ini sebagai krisis kepercayaan. Di masa lalu, guru dihormati karena pengetahuannya. Hari ini, guru dipertanyakan karena terlalu banyak orang merasa tahu lebih banyak. Pendidikan menjadi arena rebutan opini, bukan tempat mempertemukan kebenaran. Di tengah kegaduhan itu, siapa yang masih percaya pada proses?

 

Seorang guru tak hanya harus mengajar, tapi kini juga harus bertahan dari kecurigaan. “Mengapa saya harus percaya Anda?” begitu kira-kira pertanyaan yang terbit di benak murid dan orangtua yang lebih mempercayai video viral daripada buku ajar. Ini bukan hanya soal metode, tapi soal kehilangan otoritas simbolik. Bila guru tak lagi dipercaya, bagaimana mungkin nilai bisa ditanamkan? Bila sekolah tak lagi dihormati, apa yang tersisa dari sistem pendidikan?

 

Maka pendidikan hari ini bukan hanya tentang strategi, tetapi juga tentang bagaimana mempertahankan kepercayaan. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan keteladanan. Dengan kehadiran yang konsisten, bukan sekadar kompetensi teknis. Dalam dunia yang memuja kecepatan, pendidikan harus memilih jalan yang pelan—jalan yang menumbuhkan.

 

Di sinilah pentingnya kembali ke praktik. Praktik kecil yang konsisten lebih bermakna ketimbang jargon yang megah. Kurikulum berbasis nilai harus bekerja dengan cara-cara yang sederhana: konsistensi, keterbukaan, dan keteladanan. Ini bukan agenda Kementerian semata, tapi urusan sehari-hari di ruang kelas. Dan hanya dalam kesederhanaan seperti itu, nilai bisa berakar dan tumbuh.

 

Kita menyaksikan sekolah-sekolah yang bangunannya rapi, guru-gurunya disiplin, tetapi murid-muridnya kosong. Bukan karena mereka bodoh, tetapi karena tidak merasa dimiliki. Mereka hadir, tapi tak terlibat. Mereka mendengar, tapi tak merasa didengar. Pendidikan telah menjadi rutinitas yang sunyi, bukan perjumpaan yang hangat.

 

Guru, dalam sistem seperti itu, bisa menjadi profesional tanpa rasa. Ia menguasai silabus, tapi tidak menyentuh jiwa. Ia memahami metode, tapi tak pernah menyapa anak-anaknya sebagai manusia utuh. Maka, tak heran bila murid pun merasa sekolah tak lebih dari ruang tunggu. Menunggu nilai. Menunggu lulus. Menunggu pergi.

 

Apa yang mesti didamaikan?

 

Ada ketegangan abadi antara struktur dan kebebasan. Kurikulum sering dianggap sebagai batas, padahal bisa menjadi ruang gerak. Di sisi lain, guru sering merindukan kebebasan, tapi tanpa sistem pendukung, kebebasan bisa berubah jadi kebingungan. Maka, yang mesti didamaikan adalah antara tuntutan kebijakan dan kebutuhan manusiawi. Bahwa pendidikan bukan mesin produksi nilai, melainkan proses tumbuh bersama dalam kekayaan perbedaan dan keunikan.

 

Kita juga harus mendamaikan antara modernitas dan akar tradisi. Bahwa menjadikan murid mahir digital tidak berarti memotong akarnya dari nilai-nilai lokal. Di pesantren, misalnya, nilai-nilai hidup sangat kuat: keikhlasan, kesederhanaan, tanggung jawab. Tapi jika itu tidak dikontekstualisasikan dengan tantangan zaman, ia bisa menjadi nostalgia belaka. Kurikulum adaptif yang sejati harus menjahit masa lalu dan masa depan dalam satu kain pembelajaran yang bernyawa.

 

Lalu yang tak kalah penting: mendamaikan antara logika sistem dan logika hati. Tak semua hal bisa dinilai dengan angka. Tak semua proses bisa dibuktikan lewat indikator. Ada hal-hal yang hanya bisa dirasakan: rasa hormat, rasa ingin tahu, rasa peduli. Nilai hidup seperti itu tak bisa dimasukkan ke rubrik penilaian, tapi justru itulah inti dari pendidikan.

 

Kita juga perlu mendamaikan antara cita-cita perubahan dan kenyataan di lapangan. Tak semua guru siap. Tak semua sekolah punya dukungan. Tapi bukan berarti perubahan harus menunggu semuanya sempurna. Justru di dalam keterbatasan itu, kesadaran bisa mulai tumbuh—pelan, tapi pasti. Dengan catatan: jangan memaksa perubahan, tapi menyuburkan syarat-syaratnya.

 

Kurikulum tak perlu dibuat sempurna. Ia hanya perlu membuka ruang: untuk tumbuh, untuk gagal, untuk saling belajar. Pendidikan yang baik bukan yang bebas dari kesalahan, tapi yang tak pernah berhenti memperbaiki diri. Dan yang seperti itu, hanya bisa lahir dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Bahwa kita belum selesai. Tapi kita mau melangkah.

 

Nilai tak bisa diwariskan lewat pidato. Ia hanya bisa ditanam lewat teladan. Dan teladan itu, bila ditopang sistem yang adil dan dukungan yang wajar, bisa melahirkan generasi yang bukan hanya tahu, tapi bijak. Bukan hanya pintar, tapi sadar. Dan bukan hanya hafal, tapi mampu memilih.

 

Kurikulum berbasis nilai akan gagal bila guru merasa sendiri. Bila sekolah merasa dipantau, tapi tidak dipercaya. Bila pelatihan dirancang dari atas, tapi lupa mendengar suara dari bawah. Pendidikan adalah relasi, dan relasi tak tumbuh dari perintah. Ia tumbuh dari kepercayaan.

 

Maka, tugas pertama kita mungkin bukan menyusun model baru, tapi memperbaiki cara kita melihat. Melihat murid bukan sebagai objek. Melihat guru bukan sebagai pelaksana. Melihat pendidikan bukan sebagai sistem, tapi sebagai ruang bertemu.

 

Kurikulum adaptif berbasis nilai adalah peluang. Tapi ia juga risiko. Risiko untuk gagal. Risiko untuk disalahpahami. Tapi juga peluang untuk mengembalikan yang hilang: kepercayaan. Harapan. Dan mungkin, cinta.

 

Sebab pendidikan, pada akhirnya, adalah pekerjaan hati. Dan hati hanya bisa bergerak oleh yang jujur, bukan yang hebat.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now