![]() |
Oleh: Syamsul Kurniawan
Konflik antara Israel dan Iran sering kali dipandang hanya dari
perspektif kekuatan militer, dengan serangan udara, operasi militer, dan
diplomasi yang berfokus pada kekuasaan senjata. Namun, dalam dunia yang semakin
terhubung, pertempuran ini tidak terbatas pada medan perang fisik saja. Lebih
jauh lagi, ini adalah perang informasi, sebuah perang narasi, yang berlangsung
di ruang publik global yang semakin terfragmentasi.
Konflik ini juga terkait erat dengan siapa yang mampu mengendalikan
citra, representasi, dan simulasi. Dengan demikian, kita menyadari bahwa
konflik ini bukan sekadar tentang senjata, tetapi juga tentang siapa yang
berhasil menguasai narasi di ruang publik digital. Ini adalah perang yang
memaksa kita untuk mempertanyakan apa yang kita anggap sebagai
"kenyataan."
Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation (1994), menawarkan
pandangan yang tajam tentang bagaimana dunia modern telah menjadi tempat di
mana kenyataan semakin tergantikan oleh representasi. Baudrillard menyatakan
bahwa kita hidup dalam dunia simulakra, di mana apa yang kita sebut sebagai
kenyataan sesungguhnya adalah hasil konstruksi media dan simbol yang telah lama
kita terima sebagai "kebenaran."
Dalam konteks konflik Israel-Iran, ini berarti apa yang kita ketahui
tentang konflik ini—baik itu serangan, retorika politik, atau bahkan pernyataan
diplomatik—bukanlah hal yang murni berdasarkan kenyataan, tetapi hasil dari
penyaringan media dan narasi yang didorong oleh kepentingan tertentu. Media
sosial, televisi, dan laporan berita global berfungsi untuk menggambarkan
peristiwa dengan cara yang sangat selektif.
Mereka menciptakan gambaran yang dibentuk oleh persepsi tertentu, yang
pada gilirannya membentuk bagaimana kita memandang "musuh" atau
"pihak yang benar." Perang ini bukan hanya tentang adu kekuatan
fisik, tetapi juga tentang siapa yang bisa mengendalikan cara dunia melihat
peristiwa-peristiwa ini. Dalam dunia simulakra ini, gambar dan narasi lebih
nyata daripada kenyataan itu sendiri.
Mereka menciptakan "hiperrealitas" di mana kita tidak lagi
mampu membedakan antara kenyataan yang terjadi dan citra yang diciptakan. Lebih
jauh lagi, dalam dunia digital saat ini, narasi yang kita konsumsi bukan hanya
didorong oleh media tradisional, tetapi juga oleh algoritma yang ada di balik
platform-platform digital. Setiap klik, setiap like, dan setiap interaksi kita
dengan konten di media sosial membantu mengarahkan jenis informasi yang kita
lihat.
Algoritma ini, yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan, secara
efektif mengendalikan informasi yang kita konsumsi, menciptakan filter yang
memperkuat pandangan dan citra tertentu. Algoritma ini mengabaikan alternatif
yang mungkin memperkenalkan perspektif yang berbeda. Dalam konteks ini, konflik
Israel-Iran adalah contoh sempurna dari bagaimana perang informasi berlangsung.
Platform-platform besar seperti Facebook, Twitter, dan Instagram tidak
hanya menyajikan berita—mereka membentuknya. Algoritma ini menyaring dan
memilih narasi berdasarkan apa yang paling menarik bagi audiens mereka. Ini
menciptakan lingkaran umpan balik yang semakin memperdalam polarisasi.
Ini adalah perang narasi, di mana siapa yang bisa menguasai algoritma
dan menyebarkan pesan yang paling kuat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi
opini publik secara global. Jika kita memperluas pandangan ini, kita bisa
melihat konflik Israel-Iran bukan hanya sebagai pertikaian antara dua negara,
tetapi juga sebagai contoh nyata dari apa yang Samuel P. Huntington (1996) ramalkan
dalam teorinya tentang Clash of Civilizations.
Huntington berargumen bahwa setelah Perang Dingin, perbedaan budaya dan
agama akan menjadi sumber utama ketegangan global. Dalam hal ini, konflik
Israel-Iran menjadi manifestasi dari benturan antara dua peradaban besar:
peradaban Barat yang diwakili oleh Israel dan sekutunya, dan peradaban Islam
yang diwakili oleh Iran. Namun konflik ini tidak hanya terjadi di lapangan.
Ruang publik digital dan medan pertempuran naratif
Kecuali itu, konflik Israel-Iran juga berlangsung di ruang publik
digital, di mana narasi-narasi budaya dan ideologi ini diperjuangkan dengan
sengit. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, ini bukan hanya soal perbedaan
ideologi, tetapi juga soal siapa yang bisa lebih efektif dalam memanfaatkan
teknologi dan algoritma untuk menyebarkan pesan mereka. Apa yang tampak seperti
konflik geopolitik tradisional, dalam kenyataannya, adalah medan pertempuran
naratif.
Dalam ruang publik digital, narasi yang membentuk opini publik global
adalah hasil dari perjuangan antara berbagai aktor yang mencoba memanfaatkan
algoritma. Platform-platform digital telah menjadi ruang pertempuran baru, di
mana pengaruh dan hegemoni dibangun dengan mengendalikan narasi yang muncul di
timeline kita. Menurut Jurgen Habermas (1991), ruang publik seharusnya menjadi
tempat untuk diskusi rasional dan terbuka.
Namun, di ruang publik digital, hal ini semakin sulit terwujud.
Alih-alih menjadi tempat untuk diskusi yang saling mendengarkan, ruang ini kini
menjadi arena pertempuran di mana opini didorong oleh algoritma yang memperkuat
pandangan ekstrem. Habermas berargumen bahwa ruang publik harus bersifat
inklusif dan berbasis alasan bersama.
Namun, ruang publik digital saat ini lebih terfragmentasi. Dalam
konteks ini, ruang publik digital bukanlah tempat untuk bertukar pendapat
secara terbuka dan rasional, tetapi lebih merupakan medan pertempuran narasi.
Algoritma media sosial menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pribadi,
mengisolasi individu dalam "echo chambers". (Kathleen Hall Jamieson
& Joseph N. Capella, 2008)
Echo chambers ini memperkuat pandangan mereka sendiri. Ini mengarah
pada dunia yang terfragmentasi, di mana narasi yang saling bertentangan sulit
disatukan. Jika ketegangan ini terus berkembang tanpa pengendalian, konflik
Israel-Iran berpotensi menyebar lebih luas dan menjadi perang dunia ketiga.
Di dunia yang semakin terhubung, dampak dari konflik ini tidak hanya
akan terasa di satu wilayah. Ia bisa meluas ke seluruh dunia, terutama melalui
media sosial dan ruang publik digital. Efek domino dari ketegangan ini dapat
memperburuk polarisasi di negara-negara lain.
Masing-masing pihak akan membentuk narasi yang mendukung posisi mereka.
Dalam konteks ini, perang yang dulunya hanya melibatkan negara-negara tertentu
kini bisa berkembang menjadi sebuah konflik global. Ini akan menjadi perang
yang tidak hanya terjadi di medan fisik, tetapi juga di dunia digital.
Narasi, citra, dan representasi akan memainkan peran yang lebih besar
daripada yang kita bayangkan. Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia
simulakra, kita sering kali tidak bisa membedakan antara apa yang nyata dan apa
yang hanya representasi. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan
terpolarisasi, kita melihat bagaimana simulakra ini mengarah pada kehancuran
kolektif.
Jika kita tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan narasi yang
diciptakan, maka kita berisiko terjebak dalam sebuah dunia yang hanya berputar
pada citra dan ideologi. Dalam dunia ini, perang bukan hanya tentang senjata,
tetapi juga tentang siapa yang bisa mengendalikan persepsi global. Jika kita
melihat konflik Israel-Iran, kita bisa memahami bahwa konflik ini bukan hanya
soal dua negara.
Ini adalah cerminan dari pertarungan global yang lebih besar, di mana
narasi, identitas, dan nilai budaya diperebutkan dalam ruang publik digital.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan tergantung pada algoritma, kita
harus lebih bijaksana dalam memilih informasi yang kita konsumsi. Kita harus
memahami bahwa kenyataan tidak selalu seperti yang tampak di permukaan.
Membayangkan masa depan kita
Perang ini, jika tidak dikelola dengan bijaksana, bisa menghancurkan
masa depan umat manusia. Ia bisa mengarah pada perpecahan global yang lebih
besar dan lebih sulit untuk disembuhkan. Dalam situasi ini, bahkan bahasa pun
bisa kehilangan makna.
Dalam film "The Book of Eli", dunia pascaperang digambarkan
sebagai lanskap yang sunyi dan brutal. Buku menjadi simbol pengetahuan yang
terlupakan, dan manusia menjadi bayang-bayang dari dunia yang pernah ia bangun
sendiri. Jika kita tidak belajar dari narasi yang kita ciptakan hari ini, kita
bisa saja mengulang sejarah itu.
Masa depan umat manusia mungkin tidak akan hancur oleh senjata, tetapi
oleh narasi yang menyesatkan. Oleh algoritma yang tak terkendali. Oleh
kenyataan yang telah ditukar dengan simulakra tanpa kita sadari.
Dan barangkali, untuk menyelamatkan dunia, kita harus mulai dengan
mempertanyakan kenyataan yang kita terima begitu saja. Bukan dengan curiga,
tetapi dengan kesadaran. Bukan dengan menolak, tetapi dengan memahami.
Sebab di balik setiap narasi, selalu ada kemungkinan untuk berdamai.
Dan di balik setiap konflik, selalu ada ruang untuk mengingat bahwa kita
manusia. Bukan simulasi, bukan angka, bukan algoritma.
Hanya manusia. Yang bisa memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang
sama. Yang bisa memilih untuk mendengar, sebelum dunia benar-benar kehilangan
suara.***