Iklan

Narasi yang Membakar: Israel-Iran dan Ruang Digital

syamsul kurniawan
Saturday, June 21, 2025
Last Updated 2025-06-21T08:41:49Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Konflik antara Israel dan Iran sering kali dipandang hanya dari perspektif kekuatan militer, dengan serangan udara, operasi militer, dan diplomasi yang berfokus pada kekuasaan senjata. Namun, dalam dunia yang semakin terhubung, pertempuran ini tidak terbatas pada medan perang fisik saja. Lebih jauh lagi, ini adalah perang informasi, sebuah perang narasi, yang berlangsung di ruang publik global yang semakin terfragmentasi.

 

Konflik ini juga terkait erat dengan siapa yang mampu mengendalikan citra, representasi, dan simulasi. Dengan demikian, kita menyadari bahwa konflik ini bukan sekadar tentang senjata, tetapi juga tentang siapa yang berhasil menguasai narasi di ruang publik digital. Ini adalah perang yang memaksa kita untuk mempertanyakan apa yang kita anggap sebagai "kenyataan."

 

Jean Baudrillard, dalam Simulacra and Simulation (1994), menawarkan pandangan yang tajam tentang bagaimana dunia modern telah menjadi tempat di mana kenyataan semakin tergantikan oleh representasi. Baudrillard menyatakan bahwa kita hidup dalam dunia simulakra, di mana apa yang kita sebut sebagai kenyataan sesungguhnya adalah hasil konstruksi media dan simbol yang telah lama kita terima sebagai "kebenaran."

 

Dalam konteks konflik Israel-Iran, ini berarti apa yang kita ketahui tentang konflik ini—baik itu serangan, retorika politik, atau bahkan pernyataan diplomatik—bukanlah hal yang murni berdasarkan kenyataan, tetapi hasil dari penyaringan media dan narasi yang didorong oleh kepentingan tertentu. Media sosial, televisi, dan laporan berita global berfungsi untuk menggambarkan peristiwa dengan cara yang sangat selektif.

 

Mereka menciptakan gambaran yang dibentuk oleh persepsi tertentu, yang pada gilirannya membentuk bagaimana kita memandang "musuh" atau "pihak yang benar." Perang ini bukan hanya tentang adu kekuatan fisik, tetapi juga tentang siapa yang bisa mengendalikan cara dunia melihat peristiwa-peristiwa ini. Dalam dunia simulakra ini, gambar dan narasi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

 

Mereka menciptakan "hiperrealitas" di mana kita tidak lagi mampu membedakan antara kenyataan yang terjadi dan citra yang diciptakan. Lebih jauh lagi, dalam dunia digital saat ini, narasi yang kita konsumsi bukan hanya didorong oleh media tradisional, tetapi juga oleh algoritma yang ada di balik platform-platform digital. Setiap klik, setiap like, dan setiap interaksi kita dengan konten di media sosial membantu mengarahkan jenis informasi yang kita lihat.

 

Algoritma ini, yang dirancang untuk meningkatkan keterlibatan, secara efektif mengendalikan informasi yang kita konsumsi, menciptakan filter yang memperkuat pandangan dan citra tertentu. Algoritma ini mengabaikan alternatif yang mungkin memperkenalkan perspektif yang berbeda. Dalam konteks ini, konflik Israel-Iran adalah contoh sempurna dari bagaimana perang informasi berlangsung.

Platform-platform besar seperti Facebook, Twitter, dan Instagram tidak hanya menyajikan berita—mereka membentuknya. Algoritma ini menyaring dan memilih narasi berdasarkan apa yang paling menarik bagi audiens mereka. Ini menciptakan lingkaran umpan balik yang semakin memperdalam polarisasi.

 

Ini adalah perang narasi, di mana siapa yang bisa menguasai algoritma dan menyebarkan pesan yang paling kuat memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini publik secara global. Jika kita memperluas pandangan ini, kita bisa melihat konflik Israel-Iran bukan hanya sebagai pertikaian antara dua negara, tetapi juga sebagai contoh nyata dari apa yang Samuel P. Huntington (1996) ramalkan dalam teorinya tentang Clash of Civilizations.

 

Huntington berargumen bahwa setelah Perang Dingin, perbedaan budaya dan agama akan menjadi sumber utama ketegangan global. Dalam hal ini, konflik Israel-Iran menjadi manifestasi dari benturan antara dua peradaban besar: peradaban Barat yang diwakili oleh Israel dan sekutunya, dan peradaban Islam yang diwakili oleh Iran. Namun konflik ini tidak hanya terjadi di lapangan.

 

Ruang publik digital dan medan pertempuran naratif

 

Kecuali itu, konflik Israel-Iran juga berlangsung di ruang publik digital, di mana narasi-narasi budaya dan ideologi ini diperjuangkan dengan sengit. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, ini bukan hanya soal perbedaan ideologi, tetapi juga soal siapa yang bisa lebih efektif dalam memanfaatkan teknologi dan algoritma untuk menyebarkan pesan mereka. Apa yang tampak seperti konflik geopolitik tradisional, dalam kenyataannya, adalah medan pertempuran naratif.

 

Dalam ruang publik digital, narasi yang membentuk opini publik global adalah hasil dari perjuangan antara berbagai aktor yang mencoba memanfaatkan algoritma. Platform-platform digital telah menjadi ruang pertempuran baru, di mana pengaruh dan hegemoni dibangun dengan mengendalikan narasi yang muncul di timeline kita. Menurut Jurgen Habermas (1991), ruang publik seharusnya menjadi tempat untuk diskusi rasional dan terbuka.

 

Namun, di ruang publik digital, hal ini semakin sulit terwujud. Alih-alih menjadi tempat untuk diskusi yang saling mendengarkan, ruang ini kini menjadi arena pertempuran di mana opini didorong oleh algoritma yang memperkuat pandangan ekstrem. Habermas berargumen bahwa ruang publik harus bersifat inklusif dan berbasis alasan bersama.

 

Namun, ruang publik digital saat ini lebih terfragmentasi. Dalam konteks ini, ruang publik digital bukanlah tempat untuk bertukar pendapat secara terbuka dan rasional, tetapi lebih merupakan medan pertempuran narasi. Algoritma media sosial menyajikan konten yang sesuai dengan preferensi pribadi, mengisolasi individu dalam "echo chambers". (Kathleen Hall Jamieson & Joseph N. Capella, 2008)

 

Echo chambers ini memperkuat pandangan mereka sendiri. Ini mengarah pada dunia yang terfragmentasi, di mana narasi yang saling bertentangan sulit disatukan. Jika ketegangan ini terus berkembang tanpa pengendalian, konflik Israel-Iran berpotensi menyebar lebih luas dan menjadi perang dunia ketiga.

 

Di dunia yang semakin terhubung, dampak dari konflik ini tidak hanya akan terasa di satu wilayah. Ia bisa meluas ke seluruh dunia, terutama melalui media sosial dan ruang publik digital. Efek domino dari ketegangan ini dapat memperburuk polarisasi di negara-negara lain.

 

Masing-masing pihak akan membentuk narasi yang mendukung posisi mereka. Dalam konteks ini, perang yang dulunya hanya melibatkan negara-negara tertentu kini bisa berkembang menjadi sebuah konflik global. Ini akan menjadi perang yang tidak hanya terjadi di medan fisik, tetapi juga di dunia digital.

 

Narasi, citra, dan representasi akan memainkan peran yang lebih besar daripada yang kita bayangkan. Baudrillard mengingatkan kita bahwa dalam dunia simulakra, kita sering kali tidak bisa membedakan antara apa yang nyata dan apa yang hanya representasi. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan terpolarisasi, kita melihat bagaimana simulakra ini mengarah pada kehancuran kolektif.

Jika kita tidak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan narasi yang diciptakan, maka kita berisiko terjebak dalam sebuah dunia yang hanya berputar pada citra dan ideologi. Dalam dunia ini, perang bukan hanya tentang senjata, tetapi juga tentang siapa yang bisa mengendalikan persepsi global. Jika kita melihat konflik Israel-Iran, kita bisa memahami bahwa konflik ini bukan hanya soal dua negara.

Ini adalah cerminan dari pertarungan global yang lebih besar, di mana narasi, identitas, dan nilai budaya diperebutkan dalam ruang publik digital. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi dan tergantung pada algoritma, kita harus lebih bijaksana dalam memilih informasi yang kita konsumsi. Kita harus memahami bahwa kenyataan tidak selalu seperti yang tampak di permukaan.

 

Membayangkan masa depan kita

 

Perang ini, jika tidak dikelola dengan bijaksana, bisa menghancurkan masa depan umat manusia. Ia bisa mengarah pada perpecahan global yang lebih besar dan lebih sulit untuk disembuhkan. Dalam situasi ini, bahkan bahasa pun bisa kehilangan makna.

 

Dalam film "The Book of Eli", dunia pascaperang digambarkan sebagai lanskap yang sunyi dan brutal. Buku menjadi simbol pengetahuan yang terlupakan, dan manusia menjadi bayang-bayang dari dunia yang pernah ia bangun sendiri. Jika kita tidak belajar dari narasi yang kita ciptakan hari ini, kita bisa saja mengulang sejarah itu.

 

Masa depan umat manusia mungkin tidak akan hancur oleh senjata, tetapi oleh narasi yang menyesatkan. Oleh algoritma yang tak terkendali. Oleh kenyataan yang telah ditukar dengan simulakra tanpa kita sadari.

 

Dan barangkali, untuk menyelamatkan dunia, kita harus mulai dengan mempertanyakan kenyataan yang kita terima begitu saja. Bukan dengan curiga, tetapi dengan kesadaran. Bukan dengan menolak, tetapi dengan memahami.

 

Sebab di balik setiap narasi, selalu ada kemungkinan untuk berdamai. Dan di balik setiap konflik, selalu ada ruang untuk mengingat bahwa kita manusia. Bukan simulasi, bukan angka, bukan algoritma.

 

Hanya manusia. Yang bisa memilih untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Yang bisa memilih untuk mendengar, sebelum dunia benar-benar kehilangan suara.***


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now