Iklan

Syamsul Kurniawan Sampaikan Filosofi Air dalam Capacity Building IAIN Pontianak

syamsul kurniawan
Thursday, December 4, 2025
Last Updated 2025-12-04T15:42:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

KUBU RAYA, 04/12/2025 — Pagi kembali merekah di Qubu Resort, Kubu Raya, setelah hujan beberapa hari menahan sinar matahari dari kota Pontianak. Rumput yang masih menyimpan basah dan udara yang membawa aroma tanah seolah menegaskan bahwa setiap jeda selalu mengandung kesempatan untuk memulai ulang.

 

Di aula utama, ratusan tenaga pendidikan IAIN Pontianak telah mengambil tempat. Riuh suara yang semula memenuhi ruangan perlahan menipis, seperti gelombang yang sadar kapan harus kembali ke garis pantai.

 

Capacity Building tahun ini dibuka dengan format yang tidak bergantung pada protokol seremonial. Kepala Biro, Dr. H. Moh. Junaidin, MA, menegaskan sejak awal: para pimpinan diminta hadir bukan sebagai pemberi instruksi, melainkan sumber inspirasi.

 

Nama-nama penting hadir lengkap: Ketua Senat, Wakil Rektor, Kepala Biro, para Dekan—semuanya berdiri dalam satu posisi: memberi inspirasi, bukan sekadar instruksi. Tidak ada jarak hierarkis yang ditegaskan, yang ada hanyalah ruang untuk menyemai energi kolektif. Di antara deretan itu, Syamsul Kurniawan hadir sebagai Plh. Direktur Pascasarjana. Ia memasuki mimbar tanpa terburu-buru, seolah membiarkan langkah menyesuaikan irama ruangan.

 

Tatapannya mengitari aula. Tidak untuk memastikan siapa mendengar dan siapa tidak, melainkan untuk menyelaraskan jeda. Lalu seruannya mematahkan diam: “Semangat pagi!” Jawaban yang datang begitu cepat dan berlapis dari ratusan peserta menyatu seperti satu suara yang berkongsi napas: “Pagi… pagi… pagi!”

 

Syamsul membuka pesannya bukan dengan laporan program, bukan dengan daftar agenda, melainkan dengan adagium kuno Herakleitos: Panta Rhei Kai Uden Menei—segala sesuatu mengalir, tak satu pun menetap. Kalimat itu mengantar seluruh hadirin pada metafora purba: air.

 

Air, menurut Syamsul, adalah guru yang tidak pernah memaksa dunia tunduk kepada bentuknya. Ia mengalir, menyesuaikan, meresap, menunggu bila perlu, lalu bergerak kembali tanpa kehilangan hakikat dirinya.

 

Metafora itu tidak berhenti pada kelembutan. Air, katanya, mampu melubangi batu. Tanpa dentum, tanpa murka, tanpa gempita. Hanya tetes yang konsisten, kerja yang tekun, waktu yang sabar.



 

“Belajarlah dari air,” ucapnya pelan namun terukur. “Yang tampak lembut, tetapi mengalahkan kerasnya batu; yang memberi hidup pada semua tanpa menuntut kembali; yang bergerak tidak untuk menabrak, tetapi memahami arah.”

 

Ia lalu menghubungkan pelajaran itu dengan sejarah seorang ulama besar: Ibnu Hajar al-Asqalani. Bukan karena ketenarannya, tetapi karena prosesnya—yang ditempa bukan oleh tepuk tangan, melainkan oleh kegigihan sehari-hari.

 

Tetapan air pada batu itulah yang suatu ketika membungkam putus asa Ibnu Hajar. Bukan wahyu instan, melainkan ketekunan yang terus mengulirkan keyakinan bahwa perubahan tidak lahir dari gelegar, melainkan dari kontinuitas.

 

Suasana dalam ruangan berubah hening namun tidak kosong. Seakan metafora air menyusup perlahan dalam kesadaran tiap pendengar, mengoreksi cara pandang terhadap kerja: bahwa ketangguhan bukan selalu tampak di permukaan.

 

Menjelang penutup, Syamsul menggeser gambaran dari sungai ke langit. Pimpinan dan pelaksana, katanya, adalah dua sayap burung. Burung tidak mungkin terbang hanya dengan satu sayap yang lebih kuat.

 

Jika IAIN Pontianak ingin terbang lebih tinggi, ingin melintasi angin yang lebih keras, dua sayapnya harus digerakkan bersamaan, terlatih dalam ritme yang tidak saling mengungguli.

 

Sambutan usai, tepuk tangan mengalun panjang, menembus hening yang sejak awal menjaga suasana. Yang tertinggal bukan sekadar riuh seremonial, melainkan kesan yang mengalir utuh—seperti sungai yang akhirnya menemukan kembali hulu tempat ia bermula.

 

Kegiatan Capacity Building berlanjut sesuai susunan, tetapi pagi itu telah memberi sesuatu yang lebih dari sekadar pembekalan teknis. Pelajaran tentang air telah menetap, menandai bahwa dalam dunia kerja, ketekunan, adaptasi, dan arah tidak selayaknya dipisahkan.

 

Di luar, matahari mengeringkan sisa hujan. Di dalam, kata-kata Syamsul masih mengalir pelan—menjadikan air bukan sekadar unsur alam, tetapi cara memahami keberjalanan manusia dalam tugas.**

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now