BANTEN, 2 Desember 2025 – Di layar utama, Direktur Pascasarjana UIN SMH Banten, Prof. Wasehuddin, lebih dulu membuka kegiatan. Suaranya tenang, menyapa seluruh peserta sebelum menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaan Dr. Syamsul Kurniawan hadir sebagai narasumber.
“Kami menyambut baik,” ujarnya, “dan berharap materi ini
mampu memantik diskusi lebih jauh soal arah Program Studi Islam
Interdisipliner.” Ucapannya menjadi penanda bahwa forum ini sedang menyiapkan
langkah baru dalam pengembangan tradisi akademik kampus.
Sambutan berikutnya datang dari Korprodi Studi Islam
Interdisipliner, Dr. Ade Fakih Kurniawan, yang tampil dengan nada optimis. Ia
menegaskan bahwa program studi ini ingin berdiri sebagai barisan visioner di
tengah dinamika perubahan ilmu pengetahuan.
“Dengan orientasi interdisipliner,” katanya, “kajian-kajian
akan lebih adaptif terhadap isu-isu kontemporer.” Baginya, interdisipliner
bukan sekadar branding akademik, tetapi komitmen untuk bergerak seirama dengan
perkembangan zaman.
Setelah rangkaian sambutan itu, layar berpindah dan
menampilkan wajah Syamsul Kurniawan. Ia langsung mengawali materinya dengan
pertanyaan kunci: bagaimana umat beragama menyesuaikan diri dengan perubahan
sosial?
Pertanyaan itu, menurutnya, tidak sekadar menyasar doktrin
atau teks. Ia menyentuh kehidupan sehari-hari yang terus berubah secara cepat,
sering kali tanpa menunggu kesiapan komunitas keagamaan.
Dari pembukaan itu, Syamsul mengajak peserta menengok ulang
posisi agama di tengah masyarakat modern. Ia menyoroti bagaimana interaksi
manusia, teknologi, dan budaya membentuk ulang cara orang memahami
keberagamaan.
Ia memaparkan bahwa pendekatan interdisipliner justru
menjembatani kesenjangan antara teks dan konteks. Agama tidak hanya dipahami
secara normatif, tetapi juga melalui kacamata sosial, historis, dan
antropologis.
Syamsul menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki peran
penting dalam menjelaskan bagaimana praktik keagamaan berubah, bergeser, atau
beradaptasi dalam situasi tertentu. Di sinilah interdisipliner menemukan
relevansinya.
Ia menunjukkan beberapa contoh konkret situasi
kontemporer—dari isu perubahan iklim hingga migrasi digital—yang secara tidak
langsung mengubah cara umat beragama menafsirkan kewajiban dan nilai-nilai
hidup.
Menurut Syamsul, jika kajian keislaman tetap terjebak dalam
kotak disiplin tunggal, maka ia akan kesulitan menjawab problem-problem publik
yang bersifat kompleks. Masyarakat tidak lagi hidup dalam sekat-sekat keilmuan.
Ia kemudian menguraikan bagaimana tradisi akademik Islam
klasik sebenarnya kaya dengan pendekatan lintas ilmu. Para ulama masa lalu
menggabungkan teologi, filsafat, logika, hukum, dan sosiologi awal dalam satu
tarikan napas.
Namun, ujarnya, tantangan modern menuntut pembaruan cara
membaca contoh-contoh klasik tersebut. Interdisipliner bukan sekadar romantisme
sejarah, tetapi kerangka kerja baru yang disandarkan pada metodologi
kontemporer.
Dalam penjelasannya, ia menekankan pentingnya kemampuan
analisis yang terstruktur bagi mahasiswa. Interdisipliner tidak berarti
mencampur metode sembarangan, tetapi menggabungkan disiplin secara terukur dan
tepat fungsi.
Ia menawarkan pola kerja: mengawali kajian dari pertanyaan
sosial, menautkannya dengan perspektif keislaman, lalu memperkaya analisis
melalui teori-teori ilmu sosial dan humaniora. Pola ini menurutnya lebih
menghasilkan temuan yang berdampak.
Forum semakin hidup ketika beberapa peserta mulai mengajukan
pertanyaan. Ada yang menyinggung praktik interdisipliner di kampus lain, ada
pula yang meminta contoh konkret bagaimana penelitian interdisipliner
dilakukan.
Syamsul menjawab seluruh pertanyaan dengan merujuk pada
pengalaman empiris. Ia menggarisbawahi bahwa metode interdisipliner bukan tren
akademik, melainkan kebutuhan yang muncul dari realitas yang semakin rumit.
Ia pun menyinggung posisi UIN SMH Banten yang memiliki
peluang besar untuk menjadi penggerak perubahan dalam peta keilmuan Islam.
“Kuncinya ada di keberanian membangun tradisi baru,” ujarnya.
Acara memasuki sesi penutup dengan suasana yang tetap
intens. Para peserta tampak masih antusias menyimak, seolah percakapan baru
saja dimulai, bukan berakhir.
Pada akhirnya, diskusi itu meninggalkan gagasan penting:
bahwa Islam Interdisipliner bukan sekadar nama program studi, tetapi gerakan
intelektual yang ingin memastikan agama tetap relevan, hidup, dan hadir dalam
perubahan zaman. Dan di ruang virtual itu, Syamsul Kurniawan menjadi salah satu
pemantik utamanya.***


