Iklan

Di Ruang Virtual Akademik UIN SMH Banten, Syamsul Kurniawan Menggerakkan Gelombang Interdisipliner

syamsul kurniawan
Tuesday, December 2, 2025
Last Updated 2025-12-03T02:04:40Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

BANTEN, 2 Desember 2025 – Di layar utama, Direktur Pascasarjana UIN SMH Banten, Prof. Wasehuddin, lebih dulu membuka kegiatan. Suaranya tenang, menyapa seluruh peserta sebelum menyampaikan rasa terima kasih atas kesediaan Dr. Syamsul Kurniawan hadir sebagai narasumber.


“Kami menyambut baik,” ujarnya, “dan berharap materi ini mampu memantik diskusi lebih jauh soal arah Program Studi Islam Interdisipliner.” Ucapannya menjadi penanda bahwa forum ini sedang menyiapkan langkah baru dalam pengembangan tradisi akademik kampus.


Sambutan berikutnya datang dari Korprodi Studi Islam Interdisipliner, Dr. Ade Fakih Kurniawan, yang tampil dengan nada optimis. Ia menegaskan bahwa program studi ini ingin berdiri sebagai barisan visioner di tengah dinamika perubahan ilmu pengetahuan.


“Dengan orientasi interdisipliner,” katanya, “kajian-kajian akan lebih adaptif terhadap isu-isu kontemporer.” Baginya, interdisipliner bukan sekadar branding akademik, tetapi komitmen untuk bergerak seirama dengan perkembangan zaman.


Setelah rangkaian sambutan itu, layar berpindah dan menampilkan wajah Syamsul Kurniawan. Ia langsung mengawali materinya dengan pertanyaan kunci: bagaimana umat beragama menyesuaikan diri dengan perubahan sosial?


Pertanyaan itu, menurutnya, tidak sekadar menyasar doktrin atau teks. Ia menyentuh kehidupan sehari-hari yang terus berubah secara cepat, sering kali tanpa menunggu kesiapan komunitas keagamaan.


Dari pembukaan itu, Syamsul mengajak peserta menengok ulang posisi agama di tengah masyarakat modern. Ia menyoroti bagaimana interaksi manusia, teknologi, dan budaya membentuk ulang cara orang memahami keberagamaan.


Ia memaparkan bahwa pendekatan interdisipliner justru menjembatani kesenjangan antara teks dan konteks. Agama tidak hanya dipahami secara normatif, tetapi juga melalui kacamata sosial, historis, dan antropologis.


Syamsul menegaskan bahwa ilmu-ilmu sosial memiliki peran penting dalam menjelaskan bagaimana praktik keagamaan berubah, bergeser, atau beradaptasi dalam situasi tertentu. Di sinilah interdisipliner menemukan relevansinya.


Ia menunjukkan beberapa contoh konkret situasi kontemporer—dari isu perubahan iklim hingga migrasi digital—yang secara tidak langsung mengubah cara umat beragama menafsirkan kewajiban dan nilai-nilai hidup.


Menurut Syamsul, jika kajian keislaman tetap terjebak dalam kotak disiplin tunggal, maka ia akan kesulitan menjawab problem-problem publik yang bersifat kompleks. Masyarakat tidak lagi hidup dalam sekat-sekat keilmuan.


Ia kemudian menguraikan bagaimana tradisi akademik Islam klasik sebenarnya kaya dengan pendekatan lintas ilmu. Para ulama masa lalu menggabungkan teologi, filsafat, logika, hukum, dan sosiologi awal dalam satu tarikan napas.


Namun, ujarnya, tantangan modern menuntut pembaruan cara membaca contoh-contoh klasik tersebut. Interdisipliner bukan sekadar romantisme sejarah, tetapi kerangka kerja baru yang disandarkan pada metodologi kontemporer.


Dalam penjelasannya, ia menekankan pentingnya kemampuan analisis yang terstruktur bagi mahasiswa. Interdisipliner tidak berarti mencampur metode sembarangan, tetapi menggabungkan disiplin secara terukur dan tepat fungsi.


Ia menawarkan pola kerja: mengawali kajian dari pertanyaan sosial, menautkannya dengan perspektif keislaman, lalu memperkaya analisis melalui teori-teori ilmu sosial dan humaniora. Pola ini menurutnya lebih menghasilkan temuan yang berdampak.


Forum semakin hidup ketika beberapa peserta mulai mengajukan pertanyaan. Ada yang menyinggung praktik interdisipliner di kampus lain, ada pula yang meminta contoh konkret bagaimana penelitian interdisipliner dilakukan.


Syamsul menjawab seluruh pertanyaan dengan merujuk pada pengalaman empiris. Ia menggarisbawahi bahwa metode interdisipliner bukan tren akademik, melainkan kebutuhan yang muncul dari realitas yang semakin rumit.


Ia pun menyinggung posisi UIN SMH Banten yang memiliki peluang besar untuk menjadi penggerak perubahan dalam peta keilmuan Islam. “Kuncinya ada di keberanian membangun tradisi baru,” ujarnya.


Acara memasuki sesi penutup dengan suasana yang tetap intens. Para peserta tampak masih antusias menyimak, seolah percakapan baru saja dimulai, bukan berakhir.


Pada akhirnya, diskusi itu meninggalkan gagasan penting: bahwa Islam Interdisipliner bukan sekadar nama program studi, tetapi gerakan intelektual yang ingin memastikan agama tetap relevan, hidup, dan hadir dalam perubahan zaman. Dan di ruang virtual itu, Syamsul Kurniawan menjadi salah satu pemantik utamanya.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now