Iklan

Membaca Gender, Islam and Sexuality in Contemporary Indonesia

syamsul kurniawan
Thursday, May 22, 2025
Last Updated 2025-05-22T13:24:14Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

Sumber: https://www.routledge.com/Gender-Sexuality-and-Islam-in-Contemporary-Indonesia-Queer-Muslims-and-their-Allies/GarciaRodriguez/p/book/9781032298825

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Siang ini, di ruang kerja saya yang ber-AC dingin, saya menatap keluar jendela. Di luar sana, matahari Pontianak sedang berkuasa penuh, membakar jalanan dan pekarangan. Udara terasa berat dan panas, mengingatkan saya betapa beragamnya keadaan di luar sana—seperti halnya kondisi sosial yang digambarkan dalam buku yang tengah saya baca ini. Sebuah paradoks: kesejukan di dalam berhadapan dengan teriknya realitas di luar.

 

Gender, Islam and Sexuality in Contemporary Indonesia (2024) adalah buku yang saya buka dan tutup berkali-kali selama siang ini. Setiap halaman seolah menambah kepanasan di luar—bukan karena matahari, melainkan karena tema-tema yang diangkatnya; tentang perjuangan, pembatasan, dan kebebasan yang masih harus diraih dalam konteks Indonesia yang penuh kontradiksi.

 

Sementara AC bekerja keras menyejukkan ruang kerja saya, buku ini membentangkan gambaran bahwa dalam realitas sosial kita, kebebasan berekspresi gender dan seksualitas masih terpanggang oleh panasnya tekanan hukum dan norma sosial konservatif.

 

Monika Arnez dan Melani Budianta menyunting karya ini sebagai sebuah karya lintas disiplin yang menyambungkan berbagai suara, dari akademisi hingga aktivis, dari hukum hingga budaya populer. Mereka menghadirkan perspektif yang kaya, sekaligus penuh tantangan.

 

***

 

Bab pembuka, yang ditulis Monika Arnez sendiri, membawa saya menyelami konsep “regulatory zeal” — sebuah istilah yang menggambarkan hasrat berlebihan negara untuk mengatur, membatasi, bahkan membungkam ekspresi gender dan seksualitas. Dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, kebijakan yang dibungkus jargon perlindungan moral ternyata menguatkan konservatisme yang mengekang.

 

Ketegangan antara revisi KUHP dan UU TPKS menjadi cermin nyata pertempuran ideologi antara kelompok konservatif yang ingin mempertahankan status quo dan aktivis yang memperjuangkan hak-hak yang setara dan adil. Membaca bab ini, saya merasakan denyut politik yang masih begitu hidup di tengah masyarakat.

 

Buku ini membuka mata saya bahwa isu gender dan seksualitas bukanlah persoalan singkat, melainkan jalinan sejarah, politik, agama, dan budaya yang panjang dan rumit. Sebuah narasi yang harus dipahami dengan kesabaran dan kepekaan.

 

Lanjut ke bab dua dan tiga, saya diajak menyelami realitas pahit kekerasan seksual dan posisi komunitas LGBTQ+ dalam konteks Muslim Indonesia. Pesantren Madani, yang mestinya menjadi tempat berlindung dan pendidikan, justru menjadi ruang di mana luka-luka korban terbungkam oleh stigma dan penyangkalan.

 

Sikap institusi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menunjukkan dilema mendalam—antara doktrin yang ketat dan kebutuhan akan kemanusiaan yang nyata. Saya membayangkan betapa berat beban mereka yang berada di antara garis-garis tegas itu.

 

Dalam bab berjudul “Sexuality and Violence,” buku ini menghidupkan kisah korban yang sering diposisikan sebagai “yang lain,” yang terasing tidak hanya oleh masyarakat, tapi juga oleh hukum dan aparat. Stigma yang menghantui mereka bagaikan bayang-bayang gelap yang sulit diusir.

 

Di tengah kenyataan pahit itu, saya memikirkan bagaimana hukum yang seharusnya melindungi justru kadang menambah luka. Keadilan masih menjadi sebuah janji yang belum sepenuhnya terwujud.

 

Beranjak ke bagian “Halal Lifestyle,” suasana berubah sedikit lebih cerah namun tidak tanpa kompleksitas. Saya membaca Asri Saraswati yang memotret fenomena modest fashion Indonesia yang menembus panggung dunia, seperti di New York. Di balik glamornya catwalk, muncul pertanyaan: apakah ini perlawanan terhadap Islamofobia atau sekadar komodifikasi identitas?

 

Saya terbayang perempuan-perempuan di balik busana yang anggun itu, yang harus menari di antara ekspektasi agama, budaya, dan pasar global. Sebuah tarian yang sekaligus membebaskan dan membatasi.

 

Annalisa Manzo melanjutkan dengan membedah kosmetik halal. Bukan hanya soal kecantikan fisik, tapi juga kecantikan sosial yang diukur oleh standar keagamaan dan pasar kapital. Perempuan menjadi subjek konsumsi yang harus “bernilai” secara spiritual dan ekonomi.

 

Saya terdiam sejenak membayangkan betapa rumitnya tekanan itu, di mana femininitas dikonstruksi oleh berbagai kekuatan yang saling bersilangan.

 

Lilawati Kurnia dan Nurbaity membuka ruang baru: dunia aplikasi kencan poligami seperti AyoPoligami. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga pertarungan norma agama dan komersialisasi yang memperkuat ketimpangan gender.

 

Teknologi yang seharusnya bisa membebaskan, di sini justru menjadi alat baru yang memperkuat ketidaksetaraan. Saya melihat wajah perempuan yang harus menimbang antara aspirasi pribadi dan realitas struktural.

 

Bagian “Shame and Self-Determination” membawa saya ke dunia rasa malu yang menjadi senjata sosial untuk mengontrol perempuan, khususnya janda. Winarnita dan rekan-rekannya mengajak kita memahami strategi negosiasi diri yang rumit, penuh risiko, di tengah stigma yang mendera.

 

Perempuan di sini bukan korban pasif, melainkan agen yang aktif, berusaha menemukan celah untuk hidup dan eksistensi di tengah jerat norma yang ketat.

 

Carlos M Piocos III mengajak saya mengikuti perjalanan perempuan migran yang menghadapi benturan budaya, menjaga identitas seksual dalam lingkungan baru yang sering kali menolak. Sebuah pergulatan eksistensial yang mengingatkan bahwa perjuangan gender melampaui batas-batas geografis.

 

Novel Kembang Kertas karya Eni Martini yang dianalisis Edwin Wieringa membuka dimensi lain: konflik identitas dalam bentuk narasi sastra. Kartini, sang protagonis, adalah simbol perlawanan sekaligus korban stigma dalam masyarakat yang sulit menerima kebebasan seksual.

 

Saya merasakan betapa berat pilihan yang harus dihadapi antara kebebasan dan pengucilan. Sebuah kisah yang menggambarkan realitas sosial yang keras.

 

Dalam studi budaya Sunda oleh Conrad William Watson, saya menemukan secercah harapan. Norma lokal yang relatif memberi ruang lebih longgar untuk perempuan bercerai menjadi alat negosiasi dan perlawanan patriarki. Keragaman budaya Indonesia dapat menjadi kekuatan dalam perjuangan perempuan.

 

Melani Budianta menutup buku dengan refleksi tentang seni dan aktivisme. Seni bukan hanya keindahan, tapi medan perlawanan simbolik yang menggugah kesadaran dan membuka ruang dialog inklusif di tengah gelombang konservatif.

 

Saya membayangkan karya seni sebagai oase di tengah gurun sosial yang kering dan keras.

 

***

 

Buku ini, dengan ragam disiplin dan materi kajian, menjadi jembatan antara dunia akademik dan masyarakat luas. Ia mengangkat isu yang selama ini jarang disentuh secara mendalam, menggabungkan antropologi, hukum, sastra, dan studi budaya dengan harmoni yang memikat.

 

Data dan analisis yang disajikan mengingatkan saya bahwa persoalan gender, Islam, dan seksualitas bukan sekadar masalah moral atau agama, tapi juga politik, ekonomi, dan budaya yang saling terkait.

 

Membaca buku ini, saya teringat pada Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa identitas perempuan dibentuk oleh struktur sosial patriarkal. Perempuan Muslim di Indonesia “menjadi perempuan” dalam tekanan kuat, dikontrol dan terpinggirkan, namun tetap berjuang menulis ulang narasi dirinya.

 

Rasa malu yang berulang disebut dalam buku ini adalah manifestasi “Otherness” yang Beauvoir gambarkan—perempuan selalu dinilai dari sudut pandang dominan.

 

Namun, pembebasan perempuan bukan hanya tugas individu, tapi juga perubahan struktural mendalam. Buku ini menunjukkan bahwa hukum dan norma represif harus dilawan dengan solidaritas dan perubahan politik.

 

Saya membayangkan perempuan-perempuan yang berjuang menolak penindasan sebagai wujud “menjadi subjek” yang Beauvoir impikan. Mereka menantang status quo, membuka kemungkinan baru.

 

Lebih dari dokumentasi sosial, buku ini adalah seruan perubahan sosial dan eksistensial, dialog antara teori feminis dan realitas lokal yang kaya dan menantang.

 

Mengutip Jurgen Habermas, ruang publik adalah arena diskursus demokratis. Namun buku ini menghadirkan kenyataan pahit bahwa ruang publik Indonesia masih penuh tekanan dan dominasi yang membelenggu.

 

Dialog ideal belum terwujud, terhalang pengaruh politik dan agama yang mengikis kebebasan berekspresi. Ruang publik lebih menjadi medan perebutan kuasa, bukan tempat pertemuan pikiran setara.

 

Hukum dan norma agama menjadi alat kekuasaan yang meminggirkan suara minoritas seperti perempuan janda, LGBTQ+, dan korban kekerasan seksual.

 

Pembatasan kebebasan berekspresi dalam revisi KUHP dan UU TPKS mencerminkan ruang publik yang belum inklusif dan bebas.

 

Namun, buku ini juga menunjukkan ruang publik alternatif lewat seni, media sosial, dan budaya populer yang membuka celah dialog baru, meski berisiko.

 

Ruang kecil ini memberi harapan bagi demokrasi yang lebih hidup dan inklusif.

 

Habermas mengingatkan bahwa pasar dan negara mempengaruhi ruang publik, membuatnya terfragmentasi dan kompleks.

 

Ini terlihat jelas dalam bab fesyen muslim dan aplikasi kencan online, di mana norma agama dan kapitalisme bercampur menciptakan ruang publik ambigu.

 

Buku ini memperluas gagasan Habermas, menegaskan ruang publik sebagai medan dinamis yang dapat diperjuangkan menjadi arena dialog demokratis dan inklusif.

 

Keistimewaan buku ini adalah kemampuannya menyatukan berbagai disiplin—hukum, antropologi, sastra, media digital—dalam narasi komprehensif penuh makna.

 

Penggunaan budaya populer sebagai sumber kajian utama adalah inovasi, membuka perspektif baru bagaimana gender dan seksualitas diperebutkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

Perpaduan konteks lokal dan global menunjukkan dinamika Islam konservatif Indonesia terkait Islamofobia, kapitalisme, dan hak asasi manusia, menjadikan buku ini relevan untuk studi Asia Tenggara dan kajian global.

 

Selain analisis tajam, buku ini juga praktis, mengkritik regulasi diskriminatif sekaligus menampilkan praktik resistensi yang menginspirasi aktivis, pembuat kebijakan, dan masyarakat.

 

Bagi akademisi, buku ini adalah referensi wajib memperkaya kajian gender dan agama, dengan data kuat dan teori mendalam.

 

Peneliti dapat menjadikannya pijakan eksplorasi regulasi seksual, kebijakan agama, dan identitas gender dalam konteks sosial-politik yang dinamis.

 

Relevansinya juga sangat kuat untuk memahami tren sosial-politik Indonesia, terutama kontroversi revisi KUHP dan UU TPKS.

 

Lebih dari itu, buku ini menawarkan wawasan tentang perjuangan kelompok minoritas dan perempuan merebut ruang hidup dan ekspresi di tengah tekanan hukum dan sosial.

***

Pada akhirnya, Gender, Islam and Sexuality in Contemporary Indonesia bukan hanya karya akademis, tapi seruan kemanusiaan yang menggugah. Sebuah undangan merenung, belajar, dan berjuang agar Indonesia menjadi tempat di mana kemanusiaan dan keadilan gender bukan sekadar mimpi, tapi kenyataan bersama.

 

Di ruang kerja saya yang dingin ini, di bawah denting AC yang setia, saya menutup buku ini dengan harapan. Harapan bahwa di tengah teriknya realitas, kesejukan keadilan dan kemanusiaan bisa tumbuh dan bertahan. Sebuah perjuangan yang tak pernah usai, tapi selalu layak diperjuangkan.

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now