![]() |
Sumber: https://www.routledge.com/Gender-Sexuality-and-Islam-in-Contemporary-Indonesia-Queer-Muslims-and-their-Allies/GarciaRodriguez/p/book/9781032298825 |
Oleh:
Syamsul Kurniawan
Siang
ini, di ruang kerja saya yang ber-AC dingin, saya menatap keluar jendela. Di
luar sana, matahari Pontianak sedang berkuasa penuh, membakar jalanan dan
pekarangan. Udara terasa berat dan panas, mengingatkan saya betapa beragamnya
keadaan di luar sana—seperti halnya kondisi sosial yang digambarkan dalam buku
yang tengah saya baca ini. Sebuah paradoks: kesejukan di dalam berhadapan
dengan teriknya realitas di luar.
Gender,
Islam and Sexuality in Contemporary Indonesia (2024) adalah buku
yang saya buka dan tutup berkali-kali selama siang ini. Setiap halaman seolah
menambah kepanasan di luar—bukan karena matahari, melainkan karena tema-tema
yang diangkatnya; tentang perjuangan, pembatasan, dan kebebasan yang masih
harus diraih dalam konteks Indonesia yang penuh kontradiksi.
Sementara
AC bekerja keras menyejukkan ruang kerja saya, buku ini membentangkan gambaran
bahwa dalam realitas sosial kita, kebebasan berekspresi gender dan seksualitas
masih terpanggang oleh panasnya tekanan hukum dan norma sosial konservatif.
Monika
Arnez dan Melani Budianta menyunting karya ini sebagai sebuah karya lintas
disiplin yang menyambungkan berbagai suara, dari akademisi hingga aktivis, dari
hukum hingga budaya populer. Mereka menghadirkan perspektif yang kaya,
sekaligus penuh tantangan.
***
Bab
pembuka, yang ditulis Monika Arnez sendiri, membawa saya menyelami konsep
“regulatory zeal” — sebuah istilah yang menggambarkan hasrat berlebihan negara
untuk mengatur, membatasi, bahkan membungkam ekspresi gender dan seksualitas.
Dalam konteks Indonesia pasca-reformasi, kebijakan yang dibungkus jargon
perlindungan moral ternyata menguatkan konservatisme yang mengekang.
Ketegangan
antara revisi KUHP dan UU TPKS menjadi cermin nyata pertempuran ideologi antara
kelompok konservatif yang ingin mempertahankan status quo dan aktivis yang
memperjuangkan hak-hak yang setara dan adil. Membaca bab ini, saya merasakan
denyut politik yang masih begitu hidup di tengah masyarakat.
Buku
ini membuka mata saya bahwa isu gender dan seksualitas bukanlah persoalan
singkat, melainkan jalinan sejarah, politik, agama, dan budaya yang panjang dan
rumit. Sebuah narasi yang harus dipahami dengan kesabaran dan kepekaan.
Lanjut
ke bab dua dan tiga, saya diajak menyelami realitas pahit kekerasan seksual dan
posisi komunitas LGBTQ+ dalam konteks Muslim Indonesia. Pesantren Madani, yang
mestinya menjadi tempat berlindung dan pendidikan, justru menjadi ruang di mana
luka-luka korban terbungkam oleh stigma dan penyangkalan.
Sikap
institusi besar seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama menunjukkan dilema
mendalam—antara doktrin yang ketat dan kebutuhan akan kemanusiaan yang nyata.
Saya membayangkan betapa berat beban mereka yang berada di antara garis-garis
tegas itu.
Dalam
bab berjudul “Sexuality and Violence,” buku ini menghidupkan kisah korban yang
sering diposisikan sebagai “yang lain,” yang terasing tidak hanya oleh
masyarakat, tapi juga oleh hukum dan aparat. Stigma yang menghantui mereka
bagaikan bayang-bayang gelap yang sulit diusir.
Di
tengah kenyataan pahit itu, saya memikirkan bagaimana hukum yang seharusnya
melindungi justru kadang menambah luka. Keadilan masih menjadi sebuah janji
yang belum sepenuhnya terwujud.
Beranjak
ke bagian “Halal Lifestyle,” suasana berubah sedikit lebih cerah namun tidak
tanpa kompleksitas. Saya membaca Asri Saraswati yang memotret fenomena modest
fashion Indonesia yang menembus panggung dunia, seperti di New York. Di balik
glamornya catwalk, muncul pertanyaan: apakah ini perlawanan terhadap
Islamofobia atau sekadar komodifikasi identitas?
Saya
terbayang perempuan-perempuan di balik busana yang anggun itu, yang harus
menari di antara ekspektasi agama, budaya, dan pasar global. Sebuah tarian yang
sekaligus membebaskan dan membatasi.
Annalisa
Manzo melanjutkan dengan membedah kosmetik halal. Bukan hanya soal kecantikan
fisik, tapi juga kecantikan sosial yang diukur oleh standar keagamaan dan pasar
kapital. Perempuan menjadi subjek konsumsi yang harus “bernilai” secara
spiritual dan ekonomi.
Saya
terdiam sejenak membayangkan betapa rumitnya tekanan itu, di mana femininitas
dikonstruksi oleh berbagai kekuatan yang saling bersilangan.
Lilawati
Kurnia dan Nurbaity membuka ruang baru: dunia aplikasi kencan poligami seperti
AyoPoligami. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga pertarungan norma agama
dan komersialisasi yang memperkuat ketimpangan gender.
Teknologi
yang seharusnya bisa membebaskan, di sini justru menjadi alat baru yang
memperkuat ketidaksetaraan. Saya melihat wajah perempuan yang harus menimbang
antara aspirasi pribadi dan realitas struktural.
Bagian
“Shame and Self-Determination” membawa saya ke dunia rasa malu yang menjadi
senjata sosial untuk mengontrol perempuan, khususnya janda. Winarnita dan
rekan-rekannya mengajak kita memahami strategi negosiasi diri yang rumit, penuh
risiko, di tengah stigma yang mendera.
Perempuan
di sini bukan korban pasif, melainkan agen yang aktif, berusaha menemukan celah
untuk hidup dan eksistensi di tengah jerat norma yang ketat.
Carlos
M Piocos III mengajak saya mengikuti perjalanan perempuan migran yang
menghadapi benturan budaya, menjaga identitas seksual dalam lingkungan baru
yang sering kali menolak. Sebuah pergulatan eksistensial yang mengingatkan
bahwa perjuangan gender melampaui batas-batas geografis.
Novel
Kembang Kertas karya Eni Martini yang dianalisis Edwin Wieringa membuka
dimensi lain: konflik identitas dalam bentuk narasi sastra. Kartini, sang
protagonis, adalah simbol perlawanan sekaligus korban stigma dalam masyarakat
yang sulit menerima kebebasan seksual.
Saya
merasakan betapa berat pilihan yang harus dihadapi antara kebebasan dan
pengucilan. Sebuah kisah yang menggambarkan realitas sosial yang keras.
Dalam
studi budaya Sunda oleh Conrad William Watson, saya menemukan secercah harapan.
Norma lokal yang relatif memberi ruang lebih longgar untuk perempuan bercerai
menjadi alat negosiasi dan perlawanan patriarki. Keragaman budaya Indonesia
dapat menjadi kekuatan dalam perjuangan perempuan.
Melani
Budianta menutup buku dengan refleksi tentang seni dan aktivisme. Seni bukan
hanya keindahan, tapi medan perlawanan simbolik yang menggugah kesadaran dan
membuka ruang dialog inklusif di tengah gelombang konservatif.
Saya
membayangkan karya seni sebagai oase di tengah gurun sosial yang kering dan
keras.
***
Buku
ini, dengan ragam disiplin dan materi kajian, menjadi jembatan antara dunia
akademik dan masyarakat luas. Ia mengangkat isu yang selama ini jarang disentuh
secara mendalam, menggabungkan antropologi, hukum, sastra, dan studi budaya
dengan harmoni yang memikat.
Data
dan analisis yang disajikan mengingatkan saya bahwa persoalan gender, Islam,
dan seksualitas bukan sekadar masalah moral atau agama, tapi juga politik,
ekonomi, dan budaya yang saling terkait.
Membaca
buku ini, saya teringat pada Simone de Beauvoir yang mengatakan bahwa identitas
perempuan dibentuk oleh struktur sosial patriarkal. Perempuan Muslim di
Indonesia “menjadi perempuan” dalam tekanan kuat, dikontrol dan terpinggirkan,
namun tetap berjuang menulis ulang narasi dirinya.
Rasa
malu yang berulang disebut dalam buku ini adalah manifestasi “Otherness” yang
Beauvoir gambarkan—perempuan selalu dinilai dari sudut pandang dominan.
Namun,
pembebasan perempuan bukan hanya tugas individu, tapi juga perubahan struktural
mendalam. Buku ini menunjukkan bahwa hukum dan norma represif harus dilawan
dengan solidaritas dan perubahan politik.
Saya
membayangkan perempuan-perempuan yang berjuang menolak penindasan sebagai wujud
“menjadi subjek” yang Beauvoir impikan. Mereka menantang status quo, membuka
kemungkinan baru.
Lebih
dari dokumentasi sosial, buku ini adalah seruan perubahan sosial dan
eksistensial, dialog antara teori feminis dan realitas lokal yang kaya dan
menantang.
Mengutip
Jurgen Habermas, ruang publik adalah arena diskursus demokratis. Namun buku ini
menghadirkan kenyataan pahit bahwa ruang publik Indonesia masih penuh tekanan
dan dominasi yang membelenggu.
Dialog
ideal belum terwujud, terhalang pengaruh politik dan agama yang mengikis
kebebasan berekspresi. Ruang publik lebih menjadi medan perebutan kuasa, bukan
tempat pertemuan pikiran setara.
Hukum
dan norma agama menjadi alat kekuasaan yang meminggirkan suara minoritas
seperti perempuan janda, LGBTQ+, dan korban kekerasan seksual.
Pembatasan
kebebasan berekspresi dalam revisi KUHP dan UU TPKS mencerminkan ruang publik
yang belum inklusif dan bebas.
Namun,
buku ini juga menunjukkan ruang publik alternatif lewat seni, media sosial, dan
budaya populer yang membuka celah dialog baru, meski berisiko.
Ruang
kecil ini memberi harapan bagi demokrasi yang lebih hidup dan inklusif.
Habermas
mengingatkan bahwa pasar dan negara mempengaruhi ruang publik, membuatnya
terfragmentasi dan kompleks.
Ini
terlihat jelas dalam bab fesyen muslim dan aplikasi kencan online, di mana
norma agama dan kapitalisme bercampur menciptakan ruang publik ambigu.
Buku
ini memperluas gagasan Habermas, menegaskan ruang publik sebagai medan dinamis
yang dapat diperjuangkan menjadi arena dialog demokratis dan inklusif.
Keistimewaan
buku ini adalah kemampuannya menyatukan berbagai disiplin—hukum, antropologi,
sastra, media digital—dalam narasi komprehensif penuh makna.
Penggunaan
budaya populer sebagai sumber kajian utama adalah inovasi, membuka perspektif
baru bagaimana gender dan seksualitas diperebutkan dalam kehidupan sehari-hari.
Perpaduan
konteks lokal dan global menunjukkan dinamika Islam konservatif Indonesia
terkait Islamofobia, kapitalisme, dan hak asasi manusia, menjadikan buku ini
relevan untuk studi Asia Tenggara dan kajian global.
Selain
analisis tajam, buku ini juga praktis, mengkritik regulasi diskriminatif
sekaligus menampilkan praktik resistensi yang menginspirasi aktivis, pembuat
kebijakan, dan masyarakat.
Bagi
akademisi, buku ini adalah referensi wajib memperkaya kajian gender dan agama,
dengan data kuat dan teori mendalam.
Peneliti
dapat menjadikannya pijakan eksplorasi regulasi seksual, kebijakan agama, dan
identitas gender dalam konteks sosial-politik yang dinamis.
Relevansinya
juga sangat kuat untuk memahami tren sosial-politik Indonesia, terutama
kontroversi revisi KUHP dan UU TPKS.
Lebih
dari itu, buku ini menawarkan wawasan tentang perjuangan kelompok minoritas dan
perempuan merebut ruang hidup dan ekspresi di tengah tekanan hukum dan sosial.
***
Pada
akhirnya, Gender, Islam and Sexuality in Contemporary Indonesia bukan
hanya karya akademis, tapi seruan kemanusiaan yang menggugah. Sebuah undangan
merenung, belajar, dan berjuang agar Indonesia menjadi tempat di mana
kemanusiaan dan keadilan gender bukan sekadar mimpi, tapi kenyataan bersama.
Di
ruang kerja saya yang dingin ini, di bawah denting AC yang setia, saya menutup
buku ini dengan harapan. Harapan bahwa di tengah teriknya realitas, kesejukan
keadilan dan kemanusiaan bisa tumbuh dan bertahan. Sebuah perjuangan yang tak
pernah usai, tapi selalu layak diperjuangkan.