Cerpen: Syamsul Kurniawan
Rumah itu tak besar. Dindingnya
semen polos, belum dicat, dan hanya ada dua kamar. Tapi bagi Dimas dan
istrinya, Ranti, rumah kecil di ujung gang sempit itu cukup memberi rasa teduh
setelah dua tahun mengontrak berpindah-pindah.
Sudah seminggu mereka menempati
rumah tersebut. Malam pertama, Ranti membakar menyan di pojok ruangan dan
membacakan doa pelan-pelan. Dimas hanya memperhatikan, sambil menghela napas—ia
tak terlalu percaya hal-hal mistis, tapi tak ingin menyinggung istrinya.
Hari ketiga, Dimas memergoki
sesuatu di depan pagar saat hendak berangkat kerja: bekas nasi bungkus.
Bungkusan kertas minyak, minyaknya menembus permukaan, dan sisa-sisa sambal
serta tulang ayam tercecer di antara rumput halaman.
Ia mengernyit. “Siapa sih yang
buang sampah sembarangan?” gumamnya. Ia membersihkannya, tapi keesokan pagi,
sampah serupa muncul kembali. Dan besoknya lagi.
“Pak Slamet, sampeyan lihat siapa
yang buang sampah ini?” tanyanya ke tetangga sebelah yang sudah puluhan tahun
tinggal di gang itu.
Pak Slamet hanya geleng kepala.
“Wah, saya kira panjenengan yang makan.”
Merasa geram, Dimas membeli
selembar tripleks dan menuliskan dengan spidol hitam tebal:
DILARANG NYAMPAH NASI BUNGKUS DI SINI!
Disertai panah yang menunjuk tepat ke tanah tempat sisa makanan itu sering
ditemukan.
***
Hari pertama setelah papan itu
dipasang, halaman bersih. Dimas merasa puas. Tapi harapan itu pendek umur. Esok
pagi, lebih dari satu bungkus nasi bekas teronggok, baunya mulai mengundang
semut.
“Mas, sudahlah,” kata Ranti.
“Mungkin ada orang yang makannya di sana malam-malam, terus malas buang.”
“Makannya di depan rumah kita?
Jam berapa? Kayak nggak punya tempat lain saja.”
Kemarahan Dimas pelan-pelan
berubah jadi obsesi. Malam itu, ia duduk di balik tirai ruang tamu, lampu luar
dimatikan. Ranti sudah tidur. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas.
Sekitar pukul dua tiga puluh,
suara keresek kertas terdengar. Lalu, bunyi kunyahan. Ia mengintip pelan-pelan.
Di sana, tepat di depan pagar, seseorang sedang duduk menyantap nasi bungkus.
Orangnya kurus, dekil, rambutnya
kusut gimbal. Bajunya robek di banyak bagian. Wajahnya seperti pecah karena
kerak dan debu.
Orang gila.
Dimas naik pitam. Ia bergegas ke
dapur, mengambil ember berisi air cucian, dan menyiram orang itu dari balik
pagar. Si orang gila menjerit dan berlari tunggang-langgang, sambil menggerutu
entah apa.
Pagi harinya, Dimas melewati
kerumunan warga di ujung gang. Seorang ibu menangis histeris. Seorang bapak
memegangi pundaknya.
Di tanah, orang gila semalam
terbaring tak bernyawa, darah menggenang di aspal. “Tabrak lari,” bisik
seseorang. “Katanya dia mendadak lari ke tengah jalan.”
Dimas diam. Pagi itu ia tidak
menyentuh sarapan. Di kantor pun ia tak bisa fokus. Wajah orang itu terus
membayang. Ia mulai berpikir: mungkinkah siramannya membuat orang itu lari tak
tentu arah?
***
Pulang dari kantor, suasana rumah
terasa lebih dingin dari biasanya. Dimas menyalakan lampu teras, lalu duduk
lama di ruang tamu tanpa tujuan. Papan peringatan di depan pagar masih berdiri
kaku, meski tulisannya mulai luntur terkena hujan.
Ranti tertidur lebih awal. Di
sampingnya, tubuh istrinya teratur naik turun, tenang seperti selalu. Tapi
tidak dengan Dimas.
Ia terbangun oleh sesuatu. Entah
suara, entah firasat. Jam menunjukkan pukul 02.30. Udara seperti lebih berat
malam itu. Pintu jendela bergoyang perlahan, menimbulkan suara gesekan halus.
Tanpa sadar, Dimas berjalan ke
jendela. Ia mengintip ke luar, dan—entah karena pengaruh kantuk, penyesalan,
atau sesuatu yang lain—ia melihat sesosok berdiri diam di depan pagar.
Samar. Tapi ia tahu benar siapa
itu.
Orang itu berdiri tepat di tempat
biasa ia duduk menyantap nasi bungkusnya. Tubuhnya tak bergerak. Tapi matanya
menatap langsung ke jendela kamar Dimas.
Tatapan itu bukan marah. Bukan
pula sedih. Tapi semacam pertanyaan yang tak bersuara.
Dimas menggenggam ujung gorden,
tapi tak mampu menutupnya.
Tatapan itu menusuk perlahan,
dalam, dan dingin. Bukan ancaman, tapi semacam penghakiman yang hening, yang
justru terasa lebih menyakitkan.
Pagi harinya, saat membuka pintu,
Dimas mendapati tidak ada sampah apa pun di depan pagar. Tidak ada bekas nasi
bungkus. Tidak ada keresek minyak. Hanya tanah basah dan rumput yang merunduk
seperti baru saja diinjak seseorang semalam.
Dimas tak berkata apa-apa.
Sejak malam itu, ia tak pernah
lagi menurunkan papan peringatan itu, tapi juga tak pernah menatapnya.
Dan setiap kali jam menunjukkan
pukul 02.30, ia terbangun. Bukan karena suara. Tapi karena tatapan itu masih
tertinggal di belakang matanya.
Tatapan seseorang yang hanya
ingin makan—dan tak pernah sempat menyelesaikannya.***