Iklan

Dilarang Nyampah Nasi Bungkus Di Sini!!!

syamsul kurniawan
Monday, May 19, 2025
Last Updated 2025-05-22T13:10:19Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Cerpen: Syamsul Kurniawan


Rumah itu tak besar. Dindingnya semen polos, belum dicat, dan hanya ada dua kamar. Tapi bagi Dimas dan istrinya, Ranti, rumah kecil di ujung gang sempit itu cukup memberi rasa teduh setelah dua tahun mengontrak berpindah-pindah.


Sudah seminggu mereka menempati rumah tersebut. Malam pertama, Ranti membakar menyan di pojok ruangan dan membacakan doa pelan-pelan. Dimas hanya memperhatikan, sambil menghela napas—ia tak terlalu percaya hal-hal mistis, tapi tak ingin menyinggung istrinya.


Hari ketiga, Dimas memergoki sesuatu di depan pagar saat hendak berangkat kerja: bekas nasi bungkus. Bungkusan kertas minyak, minyaknya menembus permukaan, dan sisa-sisa sambal serta tulang ayam tercecer di antara rumput halaman.


Ia mengernyit. “Siapa sih yang buang sampah sembarangan?” gumamnya. Ia membersihkannya, tapi keesokan pagi, sampah serupa muncul kembali. Dan besoknya lagi.


“Pak Slamet, sampeyan lihat siapa yang buang sampah ini?” tanyanya ke tetangga sebelah yang sudah puluhan tahun tinggal di gang itu.


Pak Slamet hanya geleng kepala. “Wah, saya kira panjenengan yang makan.”


Merasa geram, Dimas membeli selembar tripleks dan menuliskan dengan spidol hitam tebal:
DILARANG NYAMPAH NASI BUNGKUS DI SINI!
Disertai panah yang menunjuk tepat ke tanah tempat sisa makanan itu sering ditemukan.


***


Hari pertama setelah papan itu dipasang, halaman bersih. Dimas merasa puas. Tapi harapan itu pendek umur. Esok pagi, lebih dari satu bungkus nasi bekas teronggok, baunya mulai mengundang semut.


“Mas, sudahlah,” kata Ranti. “Mungkin ada orang yang makannya di sana malam-malam, terus malas buang.”


“Makannya di depan rumah kita? Jam berapa? Kayak nggak punya tempat lain saja.”


Kemarahan Dimas pelan-pelan berubah jadi obsesi. Malam itu, ia duduk di balik tirai ruang tamu, lampu luar dimatikan. Ranti sudah tidur. Jam menunjukkan pukul dua lewat lima belas.


Sekitar pukul dua tiga puluh, suara keresek kertas terdengar. Lalu, bunyi kunyahan. Ia mengintip pelan-pelan. Di sana, tepat di depan pagar, seseorang sedang duduk menyantap nasi bungkus.


Orangnya kurus, dekil, rambutnya kusut gimbal. Bajunya robek di banyak bagian. Wajahnya seperti pecah karena kerak dan debu.


Orang gila.


Dimas naik pitam. Ia bergegas ke dapur, mengambil ember berisi air cucian, dan menyiram orang itu dari balik pagar. Si orang gila menjerit dan berlari tunggang-langgang, sambil menggerutu entah apa.


Pagi harinya, Dimas melewati kerumunan warga di ujung gang. Seorang ibu menangis histeris. Seorang bapak memegangi pundaknya.


Di tanah, orang gila semalam terbaring tak bernyawa, darah menggenang di aspal. “Tabrak lari,” bisik seseorang. “Katanya dia mendadak lari ke tengah jalan.”


Dimas diam. Pagi itu ia tidak menyentuh sarapan. Di kantor pun ia tak bisa fokus. Wajah orang itu terus membayang. Ia mulai berpikir: mungkinkah siramannya membuat orang itu lari tak tentu arah?


***


Pulang dari kantor, suasana rumah terasa lebih dingin dari biasanya. Dimas menyalakan lampu teras, lalu duduk lama di ruang tamu tanpa tujuan. Papan peringatan di depan pagar masih berdiri kaku, meski tulisannya mulai luntur terkena hujan.


Ranti tertidur lebih awal. Di sampingnya, tubuh istrinya teratur naik turun, tenang seperti selalu. Tapi tidak dengan Dimas.


Ia terbangun oleh sesuatu. Entah suara, entah firasat. Jam menunjukkan pukul 02.30. Udara seperti lebih berat malam itu. Pintu jendela bergoyang perlahan, menimbulkan suara gesekan halus.


Tanpa sadar, Dimas berjalan ke jendela. Ia mengintip ke luar, dan—entah karena pengaruh kantuk, penyesalan, atau sesuatu yang lain—ia melihat sesosok berdiri diam di depan pagar.


Samar. Tapi ia tahu benar siapa itu.


Orang itu berdiri tepat di tempat biasa ia duduk menyantap nasi bungkusnya. Tubuhnya tak bergerak. Tapi matanya menatap langsung ke jendela kamar Dimas.


Tatapan itu bukan marah. Bukan pula sedih. Tapi semacam pertanyaan yang tak bersuara.


Dimas menggenggam ujung gorden, tapi tak mampu menutupnya.


Tatapan itu menusuk perlahan, dalam, dan dingin. Bukan ancaman, tapi semacam penghakiman yang hening, yang justru terasa lebih menyakitkan.


Pagi harinya, saat membuka pintu, Dimas mendapati tidak ada sampah apa pun di depan pagar. Tidak ada bekas nasi bungkus. Tidak ada keresek minyak. Hanya tanah basah dan rumput yang merunduk seperti baru saja diinjak seseorang semalam.


Dimas tak berkata apa-apa.


Sejak malam itu, ia tak pernah lagi menurunkan papan peringatan itu, tapi juga tak pernah menatapnya.


Dan setiap kali jam menunjukkan pukul 02.30, ia terbangun. Bukan karena suara. Tapi karena tatapan itu masih tertinggal di belakang matanya.


Tatapan seseorang yang hanya ingin makan—dan tak pernah sempat menyelesaikannya.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now