Oleh: Syamsul
Kurniawan
Sejarah, pada
akhirnya, bukan hanya urusan tanggal. Ia adalah urusan ingatan, dan ingatan
yang dipilih untuk diabadikan. 1 Muharram 1447 H bukan tentang perayaan,
melainkan tentang peringatan—dan lebih jauh lagi, tentang perjalanan.
Hijrah yang
menjadi penanda penanggalan Islam bukanlah lompatan spasial belaka. Ia adalah
peristiwa moral, politik, dan spiritual. Hijrah adalah kisah tentang berpindah
demi kemerdekaan berpikir dan keyakinan yang utuh.
Umar bin
Khattab memilih tahun hijrah sebagai permulaan kalender Islam. Bukan karena ia
mencintai angka, tapi karena ia melihat makna. Makna dari sebuah titik tolak,
ketika kaum tertindas berdiri tegak untuk hidup bermartabat.
Namun, setiap
tahun baru yang kita rayakan hari ini terasa kehilangan makna dasarnya. Kita
sibuk pada formalitas dan ritual, namun lalai menyelami esensinya. Seolah
hijrah adalah sekadar pawai, bukan perjuangan.
Umat Muslim
Indonesia, sebagai mayoritas di negeri ini, merayakan 1 Muharram dengan
berbagai cara. Tapi di balik gegap gempita, masih terlalu banyak duka yang
tertinggal. Duka yang tak pernah selesai diceritakan.
Kita bermimpi
tentang Indonesia yang mandiri, adil, dan sejahtera. Tapi mimpi itu seperti
berjalan di tempat. Kalender berganti, waktu berputar, namun mimpi umat ini
masih tetap di tepi.
Sumber daya
alam kita berlimpah, tetapi kehidupan umat tak melimpah. Di balik hutan dan
tambang yang digali, yang tinggal hanyalah sisa-sisa dan debu. Sementara
pemilik aslinya hanya mendapat remah.
Kita menyebut
diri telah merdeka. Tapi penjajahan kini mengenakan jas rapi dan tanda tangan
sah. Ia datang lewat kontrak dagang dan utang luar negeri.
Tahun Baru,
Negeri Lama, Luka Sama
Neokolonialisme
tak lagi datang dengan bedil, melainkan dengan proposal. Di ruang-ruang rapat
yang sejuk dan tertutup, bukan tak mungkin aset bangsa dialihkan secara
diam-diam. Sementara umat, dari kejauhan, hanya bisa menyimak tanpa benar-benar
memahami apa yang tengah dirundingkan.
Eksploitasi
manusia atas manusia masih berlangsung. Ia hadir dalam bentuk upah murah,
tenaga kerja yang dibuang, dan hak-hak yang direduksi. Kita bahkan terlalu
biasa menyaksikan ketidakadilan.
Para pemimpin
menyatakan keberpihakan kepada rakyat, namun belum tentu keberpihakan itu
berbuah kebijakan. Bisa saja sebagian dari mereka masih mencari cara. Bukannya
tidak mungkin, ketulusan itu tetap ada, meski tertutup oleh narasi yang lebih
ramai.
Ruang publik
seharusnya menjadi milik semua. Tapi di negeri ini, suara-suara kecil
terpinggirkan oleh bising elite. Dominasi komunikasi terjadi, seperti halnya
dominasi atas nasib.
Habermas
pernah membayangkan ruang publik yang bebas, setara, dan rasional. Tapi kita
hidup dalam masyarakat yang dikooptasi oleh segelintir. Demokrasi kita kadang
tak lebih dari sandiwara lima tahunan.
Media yang
seharusnya menjadi penjaga moral publik kadang tergoda oleh arus kepentingan.
Berita bisa saja menjadi alat untuk menjaga suasana, bukan untuk menggugah
kesadaran. Tapi bukannya tidak mungkin, media tetap bisa menjadi jembatan
harapan.
Dalam pilkada,
janji ditabur seperti benih, tapi tak semua benih itu tumbuh. Demokrasi
kehilangan daya hidupnya ketika rakyat hanya menjadi penonton. Tapi bisa saja
masih ada ruang bagi harapan untuk tumbuh dari akar rumput.
Kepemimpinan
bukan lagi tentang keteladanan, tapi tentang manajemen pencitraan. Mereka lebih
sibuk dengan algoritma media sosial daripada derita di pasar dan desa. Meski
demikian, bukannya tidak mungkin, ada juga yang berjalan diam-diam, memelihara
nurani.
Krisis moral
menyebar, bukan hanya di atas, tapi juga ke bawah. Kekerasan menjadi cara
menyelesaikan beda pendapat. Kita kehilangan kemampuan berdialog.
Pendidikan
seharusnya menjadi ruang kemerdekaan. Tapi ia malah menjadi alat untuk
melanggengkan tatanan. Anak-anak diajar untuk taat, bukan untuk berpikir.
Di
sekolah-sekolah, kita mendidik hafalan, bukan kepekaan. Kita mengajar jawaban,
tapi melupakan pertanyaan. Sementara kekerasan diam-diam diberi tempat atas
nama disiplin.
Habermas (1991)
menyebut pendidikan sebagai jalan menuju partisipasi publik. Tapi sistem kita
hanya mencetak tenaga kerja, bukan warga negara. Warga negara yang sadar,
kritis, dan berani bersuara.
Sejarah kita
penuh luka, tapi luka itu malah dilupakan. Narasi resmi hanya menampilkan
pemenang. Yang kalah dihapus dari buku teks dan ingatan.
Tanpa
kesadaran historis, umat Muslim Indonesia akan terus terjebak dalam
pengulangan. Kita tidak pernah sungguh-sungguh belajar dari masa lalu. Padahal
reformasi lahir dari kemarahan kolektif terhadap pengkhianatan masa lalu.
Tapi kini,
kemarahan itu dilunakkan oleh program, proyek, dan propaganda. Rakyat dibuat
lupa oleh diskon dan drama. Kita hidup dalam ilusi kesejahteraan yang
direkayasa.
Media sosial
bukan ruang publik yang sehat. Ia lebih sering menjadi arena bising tanpa
makna. Orang bicara tanpa mendengar, menyerang tanpa berpikir.
Habermas
(1991) menyebut demokrasi deliberatif sebagai harapan. Tapi deliberasi butuh
waktu, kesabaran, dan etika. Di negeri ini, semua itu dianggap lambat dan
membosankan.
Untuk
menyelamatkan mimpi umat, kita perlu keberanian. Keberanian untuk melawan
ketidakadilan, bukan hanya dengan amarah, tapi juga dengan nalar. Dan dengan
cinta pada negeri yang luka ini.
Pemimpin harus
kembali pada watak dasar: jujur, berani, dan bersahaja. Bukan tukang jual janji
atau kolektor like dan followers. Umat butuh pemimpin, bukan bintang iklan.
Pendidikan
harus dikembalikan ke tujuan dasarnya: memanusiakan manusia. Bukan membentuk
alat produksi. Tapi membentuk warga yang mampu berpikir dan bertindak adil.
Dan ruang
publik harus dibuka kembali. Untuk semua suara, bahkan yang sumbang. Karena
umat yang besar bukan umat yang seragam, tapi umat yang bisa mendengar semua
perbedaan.
Maka, di 1
Muharram 1447 H ini, barangkali kita layak bertanya ulang: apa yang sungguh
tersisa dari hijrah—dari keberanian meninggalkan, dari kesanggupan memulai?
Jawabannya barangkali tak tercetak di kalender, tak terucap dalam pidato, dan
tak tertulis dalam seremoni. Tapi bisa saja, ia masih menetap di suatu sudut
nurani umat yang belum sepenuhnya padam.
Kita ini
mayoritas, di sebuah negeri yang kita panggil Indonesia. Tapi menjadi mayoritas
bukan berarti otomatis berdaya. Sebab makna sering tumbuh bukan dari jumlah,
melainkan dari kepekaan, kesadaran, dan keberanian menjaga nyala yang kecil,
agar tak seluruhnya padam oleh zaman.***