Iklan

Apa yang Tersisa dari 1 Muharram 1447 H?

syamsul kurniawan
Thursday, June 26, 2025
Last Updated 2025-06-27T02:56:05Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Sejarah, pada akhirnya, bukan hanya urusan tanggal. Ia adalah urusan ingatan, dan ingatan yang dipilih untuk diabadikan. 1 Muharram 1447 H bukan tentang perayaan, melainkan tentang peringatan—dan lebih jauh lagi, tentang perjalanan.

 

Hijrah yang menjadi penanda penanggalan Islam bukanlah lompatan spasial belaka. Ia adalah peristiwa moral, politik, dan spiritual. Hijrah adalah kisah tentang berpindah demi kemerdekaan berpikir dan keyakinan yang utuh.

 

Umar bin Khattab memilih tahun hijrah sebagai permulaan kalender Islam. Bukan karena ia mencintai angka, tapi karena ia melihat makna. Makna dari sebuah titik tolak, ketika kaum tertindas berdiri tegak untuk hidup bermartabat.

 

Namun, setiap tahun baru yang kita rayakan hari ini terasa kehilangan makna dasarnya. Kita sibuk pada formalitas dan ritual, namun lalai menyelami esensinya. Seolah hijrah adalah sekadar pawai, bukan perjuangan.

 

Umat Muslim Indonesia, sebagai mayoritas di negeri ini, merayakan 1 Muharram dengan berbagai cara. Tapi di balik gegap gempita, masih terlalu banyak duka yang tertinggal. Duka yang tak pernah selesai diceritakan.

 

Kita bermimpi tentang Indonesia yang mandiri, adil, dan sejahtera. Tapi mimpi itu seperti berjalan di tempat. Kalender berganti, waktu berputar, namun mimpi umat ini masih tetap di tepi.

 

Sumber daya alam kita berlimpah, tetapi kehidupan umat tak melimpah. Di balik hutan dan tambang yang digali, yang tinggal hanyalah sisa-sisa dan debu. Sementara pemilik aslinya hanya mendapat remah.

 

Kita menyebut diri telah merdeka. Tapi penjajahan kini mengenakan jas rapi dan tanda tangan sah. Ia datang lewat kontrak dagang dan utang luar negeri.

 

Tahun Baru, Negeri Lama, Luka Sama

 

Neokolonialisme tak lagi datang dengan bedil, melainkan dengan proposal. Di ruang-ruang rapat yang sejuk dan tertutup, bukan tak mungkin aset bangsa dialihkan secara diam-diam. Sementara umat, dari kejauhan, hanya bisa menyimak tanpa benar-benar memahami apa yang tengah dirundingkan.

 

Eksploitasi manusia atas manusia masih berlangsung. Ia hadir dalam bentuk upah murah, tenaga kerja yang dibuang, dan hak-hak yang direduksi. Kita bahkan terlalu biasa menyaksikan ketidakadilan.

 

Para pemimpin menyatakan keberpihakan kepada rakyat, namun belum tentu keberpihakan itu berbuah kebijakan. Bisa saja sebagian dari mereka masih mencari cara. Bukannya tidak mungkin, ketulusan itu tetap ada, meski tertutup oleh narasi yang lebih ramai.

 

Ruang publik seharusnya menjadi milik semua. Tapi di negeri ini, suara-suara kecil terpinggirkan oleh bising elite. Dominasi komunikasi terjadi, seperti halnya dominasi atas nasib.

 

Habermas pernah membayangkan ruang publik yang bebas, setara, dan rasional. Tapi kita hidup dalam masyarakat yang dikooptasi oleh segelintir. Demokrasi kita kadang tak lebih dari sandiwara lima tahunan.

 

Media yang seharusnya menjadi penjaga moral publik kadang tergoda oleh arus kepentingan. Berita bisa saja menjadi alat untuk menjaga suasana, bukan untuk menggugah kesadaran. Tapi bukannya tidak mungkin, media tetap bisa menjadi jembatan harapan.

 

Dalam pilkada, janji ditabur seperti benih, tapi tak semua benih itu tumbuh. Demokrasi kehilangan daya hidupnya ketika rakyat hanya menjadi penonton. Tapi bisa saja masih ada ruang bagi harapan untuk tumbuh dari akar rumput.

 

Kepemimpinan bukan lagi tentang keteladanan, tapi tentang manajemen pencitraan. Mereka lebih sibuk dengan algoritma media sosial daripada derita di pasar dan desa. Meski demikian, bukannya tidak mungkin, ada juga yang berjalan diam-diam, memelihara nurani.

 

Krisis moral menyebar, bukan hanya di atas, tapi juga ke bawah. Kekerasan menjadi cara menyelesaikan beda pendapat. Kita kehilangan kemampuan berdialog.

 

Pendidikan seharusnya menjadi ruang kemerdekaan. Tapi ia malah menjadi alat untuk melanggengkan tatanan. Anak-anak diajar untuk taat, bukan untuk berpikir.

 

Di sekolah-sekolah, kita mendidik hafalan, bukan kepekaan. Kita mengajar jawaban, tapi melupakan pertanyaan. Sementara kekerasan diam-diam diberi tempat atas nama disiplin.

 

Habermas (1991) menyebut pendidikan sebagai jalan menuju partisipasi publik. Tapi sistem kita hanya mencetak tenaga kerja, bukan warga negara. Warga negara yang sadar, kritis, dan berani bersuara.

 

Sejarah kita penuh luka, tapi luka itu malah dilupakan. Narasi resmi hanya menampilkan pemenang. Yang kalah dihapus dari buku teks dan ingatan.

 

Tanpa kesadaran historis, umat Muslim Indonesia akan terus terjebak dalam pengulangan. Kita tidak pernah sungguh-sungguh belajar dari masa lalu. Padahal reformasi lahir dari kemarahan kolektif terhadap pengkhianatan masa lalu.

 

Tapi kini, kemarahan itu dilunakkan oleh program, proyek, dan propaganda. Rakyat dibuat lupa oleh diskon dan drama. Kita hidup dalam ilusi kesejahteraan yang direkayasa.

 

Media sosial bukan ruang publik yang sehat. Ia lebih sering menjadi arena bising tanpa makna. Orang bicara tanpa mendengar, menyerang tanpa berpikir.

 

Habermas (1991) menyebut demokrasi deliberatif sebagai harapan. Tapi deliberasi butuh waktu, kesabaran, dan etika. Di negeri ini, semua itu dianggap lambat dan membosankan.

 

Untuk menyelamatkan mimpi umat, kita perlu keberanian. Keberanian untuk melawan ketidakadilan, bukan hanya dengan amarah, tapi juga dengan nalar. Dan dengan cinta pada negeri yang luka ini.

 

Pemimpin harus kembali pada watak dasar: jujur, berani, dan bersahaja. Bukan tukang jual janji atau kolektor like dan followers. Umat butuh pemimpin, bukan bintang iklan.

 

Pendidikan harus dikembalikan ke tujuan dasarnya: memanusiakan manusia. Bukan membentuk alat produksi. Tapi membentuk warga yang mampu berpikir dan bertindak adil.

 

Dan ruang publik harus dibuka kembali. Untuk semua suara, bahkan yang sumbang. Karena umat yang besar bukan umat yang seragam, tapi umat yang bisa mendengar semua perbedaan.

 

Maka, di 1 Muharram 1447 H ini, barangkali kita layak bertanya ulang: apa yang sungguh tersisa dari hijrah—dari keberanian meninggalkan, dari kesanggupan memulai? Jawabannya barangkali tak tercetak di kalender, tak terucap dalam pidato, dan tak tertulis dalam seremoni. Tapi bisa saja, ia masih menetap di suatu sudut nurani umat yang belum sepenuhnya padam.

 

Kita ini mayoritas, di sebuah negeri yang kita panggil Indonesia. Tapi menjadi mayoritas bukan berarti otomatis berdaya. Sebab makna sering tumbuh bukan dari jumlah, melainkan dari kepekaan, kesadaran, dan keberanian menjaga nyala yang kecil, agar tak seluruhnya padam oleh zaman.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now