Oleh: Syamsul Kurniawan
Pada suatu pagi yang tak terlalu cerah, seorang
guru berdiri di depan papan tulis, menyapa murid-muridnya dengan senyum
tipis—senyum yang entah datang dari mana. Murid-murid itu duduk teratur, namun
siapa yang tahu apakah mereka benar-benar hadir, baik secara fisik maupun
batin? Mereka mungkin mendengar suara guru, namun apakah suara itu bisa sampai
ke hati mereka? Pendidikan, dalam definisi paling ideal, bukan hanya soal
memberi pengetahuan, tetapi tentang menghidupkan makna dalam hidup murid. Tapi,
apakah kita benar-benar percaya bahwa pendidikan itu terjadi di ruang kelas, di
bawah rutinitas yang seakan tak pernah berujung?
Sekolah, dalam pengertian tertinggi, seharusnya
menjadi rumah kedua bagi murid-muridnya. Di rumah, orang tua membimbing anaknya
dengan kasih sayang. Lalu, apa yang terjadi ketika guru lebih sibuk memeriksa
absensi daripada menanyakan bagaimana perasaan muridnya? Jika guru tidak
menganggap muridnya sebagai bagian dari keluarganya, bagaimana bisa pendidikan
itu berjalan? Dalam Islam, mendidik bukan sekadar urusan ilmu, tetapi juga
tentang akhlak dan kasih sayang. Ini adalah amanah besar yang sering terlupakan.
Guru seharusnya memperlakukan murid layaknya anak-anak mereka sendiri, bukan
sekadar objek yang harus diserahkan kembali dalam bentuk nilai.
Mengapa penting diperhatikan?
Karena banyak dari kita yang terjebak dalam
sistem pendidikan yang hanya mengukur kesuksesan dengan angka. Angka yang bisa
disusun kembali, dievaluasi, dan dibicarakan dalam rapat-rapat panjang yang tak
pernah mengarah pada perubahan substansial. Namun pendidikan bukanlah soal
angka—ini soal membentuk manusia, tentang bagaimana seorang murid bisa
mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari ke dalam kehidupan nyata, tentang
bagaimana mereka bisa hidup dengan penuh kasih, rasa hormat, dan toleransi.
Namun dalam realitas yang ada, pendidikan lebih
sering dilihat sebagai tempat untuk mengejar standar yang telah ditetapkan.
Padahal, jika kita mengajarkan murid untuk mengejar standar yang kosong, kita
melupakan inti dari pendidikan itu sendiri: membimbing mereka untuk menjadi
pribadi yang baik, yang bukan hanya berprestasi dalam ujian, tetapi juga
berprestasi dalam kehidupan. Kita tidak menginginkan generasi yang hanya cerdas
dalam berhitung, tetapi generasi yang tahu bagaimana berbuat baik dengan sesama.
Di tengah dunia yang semakin serba cepat ini,
kita harus mengingatkan diri kita: pendidikan adalah tentang proses, bukan
hasil instan. Sistem yang berfokus pada angka sering kali membuat kita lupa
akan esensi sejati dari pendidikan. Guru harus bisa menjadi contoh nyata bagi
murid, mengajarkan mereka bahwa apa yang lebih penting daripada nilai adalah
sikap dan cara hidup. Guru, yang seharusnya menjadi orang tua kedua di sekolah,
harus mendidik dengan hati, bukan hanya otak.
Kasih sayang adalah fondasi utama yang harus
ada dalam setiap proses pendidikan. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk
mencintai dan menyayangi sesama. Namun dalam praktiknya, berapa banyak guru
yang benar-benar menanamkan kasih sayang kepada murid-muridnya? Banyak dari
mereka yang lebih terfokus pada evaluasi dan standar akademik yang tak
berujung. Pendidikan menjadi kering, tanpa sentuhan kasih yang sesungguhnya.
Padahal, jika kita ingin mengajarkan Islam yang moderat, kita harus
melakukannya dengan cara yang penuh kasih, dengan memberikan contoh kepada
murid tentang bagaimana hidup dengan moderasi.
Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kita sering
kali terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Kita melupakan bahwa setiap
murid adalah individu yang unik, dengan kebutuhan yang berbeda. Pendidikan
bukanlah tentang mengukur setiap murid dengan ukuran yang sama, tetapi tentang
memberi ruang bagi mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing.
Di sini, peran guru menjadi sangat penting: mereka bukan hanya pengajar, tetapi
juga pembimbing yang harus mampu melihat potensi yang terkadang tersembunyi di
balik kecemasan atau keraguan murid.
Kembali ke pertanyaan: Mengapa penting diperhatikan? Karena dalam
sistem pendidikan kita yang semakin terstruktur dan terukur, kita sering kali
melupakan bahwa murid tidak hanya datang dengan kemampuan akademis. Mereka
datang dengan harapan, dengan impian, dan terkadang dengan trauma yang tak
terucapkan. Guru harus mampu memahami hal ini dan memberikan tempat bagi murid
untuk merasa diterima, dihargai, dan didengarkan. Jika kita tidak mengajarkan
mereka bagaimana menjadi pribadi yang baik, bagaimana mungkin mereka akan mampu
mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka?
Di tengah tantangan ini, pendidikan yang hanya
berfokus pada otak tanpa melibatkan hati akan melahirkan generasi yang tidak
siap menghadapi dunia yang kompleks. Jika kita tidak mendidik murid dengan
kasih sayang, kita hanya akan mencetak individu-individu yang terlepas dari
esensi kehidupan yang sesungguhnya—kehidupan yang penuh dengan cinta, kerja
sama, dan saling menghargai. Pendidikan bukan hanya tentang memberikan
pengetahuan, tetapi tentang membentuk karakter, yang lebih dari sekadar angka
yang tercatat di rapor.
Pendidikan yang mendalam adalah pendidikan yang
mengajarkan nilai-nilai kehidupan, yang mengarah pada pemahaman tentang
bagaimana kita hidup dengan sesama, bagaimana kita berinteraksi dengan dunia.
Dalam Islam, pendidikan tidak hanya tentang mengajarkan ilmu pengetahuan
semata, tetapi juga tentang mendidik akhlak dan sikap yang baik. Sekolah yang
menjadi rumah kedua harus mengajarkan murid-muridnya tentang bagaimana mereka
bisa hidup dengan moderasi, keseimbangan, dan cinta kasih.
Namun, sering kali kita lupa bahwa pendidikan
adalah perjalanan panjang, bukan tujuan yang bisa dicapai dengan sekali ujian.
Guru harus mengingatkan murid bahwa hidup adalah proses, dan bukan sekadar
target yang harus dicapai dalam waktu singkat. Tidak ada jalan pintas menuju
kebijaksanaan. Jika pendidikan hanya dilihat sebagai tujuan instan—mencapai
nilai bagus atau lulus ujian—kita telah kehilangan makna dari perjalanan itu
sendiri.
Lagi-lagi, "mengapa ini penting?". Karena semakin hari,
pendidikan semakin dipengaruhi oleh tuntutan hasil yang cepat dan terlihat.
Guru pun semakin terjebak dalam rutinitas administratif dan evaluasi yang
menuntut mereka untuk lebih fokus pada angka ketimbang karakter murid.
Pendidikan menjadi sempit, hanya berfokus pada hal-hal yang dapat diukur.
Padahal pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang memberi ruang bagi
perkembangan pribadi, yang memberi kesempatan bagi murid untuk tumbuh menjadi
individu yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih sayang.
Pendidikan adalah investasi terbesar untuk masa
depan. Namun, investasi ini bukan hanya dalam bentuk ilmu pengetahuan, tetapi
juga dalam bentuk karakter dan akhlak yang baik. Guru harus menyadari bahwa apa
yang mereka ajarkan tidak hanya akan berdampak pada masa depan murid dalam
aspek akademis, tetapi juga pada kehidupan sosial dan spiritual mereka. Seperti
orang tua yang tidak hanya memberi nafkah materi, seorang guru harus memberi
nafkah berupa ilmu dan nilai-nilai yang akan berguna sepanjang hidup murid.
Namun, kita sering kali terjebak dalam sistem
yang memprioritaskan angka dan nilai ujian. Ini adalah ironi besar dalam dunia
pendidikan kita. Guru seharusnya bukan hanya memberikan materi pelajaran,
tetapi juga memberikan teladan, memberikan bimbingan untuk mengembangkan
karakter murid. Karena pada akhirnya, nilai yang sesungguhnya dari pendidikan
bukanlah angka di rapor, tetapi kemampuan murid untuk hidup dengan bijaksana,
untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, dan untuk menjaga integritas mereka
di dunia yang semakin kompleks ini.
Jika kita menginginkan generasi yang moderat,
yang bisa hidup dengan seimbang, maka kita harus mulai dengan mendidik murid
dengan kasih sayang dan memberi contoh yang baik. Islam yang moderat adalah
Islam yang penuh dengan keseimbangan—antara dunia dan akhirat, antara hak dan
kewajiban, antara akal dan hati. Sekolah harus menjadi rumah yang memberi
tempat bagi murid untuk berkembang, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi
juga dalam akhlak dan karakter.
Di dunia yang semakin penuh dengan tuntutan dan
standar, kita sering kali melupakan bahwa pendidikan adalah proses panjang yang
membutuhkan waktu dan perhatian. Guru harus diberikan ruang untuk mengajar
dengan sepenuh hati, untuk memberi perhatian lebih pada perkembangan murid
sebagai individu, bukan hanya sebagai angka dalam sistem pendidikan. Pendidikan
yang baik adalah pendidikan yang membimbing murid untuk menjadi manusia yang
lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih sayang.
Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan
sederhana: sekolah harus menjadi rumah kedua bagi murid, dan guru harus menjadi
orang tua kedua yang tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga kasih sayang,
teladan, dan bimbingan. Kita mengajarkan bukan hanya untuk mengisi pikiran
mereka, tetapi untuk memberi cahaya dalam hidup mereka. Dalam dunia yang
semakin cepat dan penuh tekanan ini, kita harus menyadari bahwa pendidikan yang
sesungguhnya adalah pendidikan yang memberi ruang untuk berkembang, memberi
kesempatan untuk tumbuh, dan memberi kasih sayang tanpa batas.***