Iklan

Sekolah Sebagai Rumah Kedua, dan Murid Sebagai Anak-anaknya

syamsul kurniawan
Saturday, June 21, 2025
Last Updated 2025-06-22T04:37:50Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pada suatu pagi yang tak terlalu cerah, seorang guru berdiri di depan papan tulis, menyapa murid-muridnya dengan senyum tipis—senyum yang entah datang dari mana. Murid-murid itu duduk teratur, namun siapa yang tahu apakah mereka benar-benar hadir, baik secara fisik maupun batin? Mereka mungkin mendengar suara guru, namun apakah suara itu bisa sampai ke hati mereka? Pendidikan, dalam definisi paling ideal, bukan hanya soal memberi pengetahuan, tetapi tentang menghidupkan makna dalam hidup murid. Tapi, apakah kita benar-benar percaya bahwa pendidikan itu terjadi di ruang kelas, di bawah rutinitas yang seakan tak pernah berujung?

 

Sekolah, dalam pengertian tertinggi, seharusnya menjadi rumah kedua bagi murid-muridnya. Di rumah, orang tua membimbing anaknya dengan kasih sayang. Lalu, apa yang terjadi ketika guru lebih sibuk memeriksa absensi daripada menanyakan bagaimana perasaan muridnya? Jika guru tidak menganggap muridnya sebagai bagian dari keluarganya, bagaimana bisa pendidikan itu berjalan? Dalam Islam, mendidik bukan sekadar urusan ilmu, tetapi juga tentang akhlak dan kasih sayang. Ini adalah amanah besar yang sering terlupakan. Guru seharusnya memperlakukan murid layaknya anak-anak mereka sendiri, bukan sekadar objek yang harus diserahkan kembali dalam bentuk nilai.

 

Mengapa penting diperhatikan?

Karena banyak dari kita yang terjebak dalam sistem pendidikan yang hanya mengukur kesuksesan dengan angka. Angka yang bisa disusun kembali, dievaluasi, dan dibicarakan dalam rapat-rapat panjang yang tak pernah mengarah pada perubahan substansial. Namun pendidikan bukanlah soal angka—ini soal membentuk manusia, tentang bagaimana seorang murid bisa mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari ke dalam kehidupan nyata, tentang bagaimana mereka bisa hidup dengan penuh kasih, rasa hormat, dan toleransi.

 

Namun dalam realitas yang ada, pendidikan lebih sering dilihat sebagai tempat untuk mengejar standar yang telah ditetapkan. Padahal, jika kita mengajarkan murid untuk mengejar standar yang kosong, kita melupakan inti dari pendidikan itu sendiri: membimbing mereka untuk menjadi pribadi yang baik, yang bukan hanya berprestasi dalam ujian, tetapi juga berprestasi dalam kehidupan. Kita tidak menginginkan generasi yang hanya cerdas dalam berhitung, tetapi generasi yang tahu bagaimana berbuat baik dengan sesama.

 

Di tengah dunia yang semakin serba cepat ini, kita harus mengingatkan diri kita: pendidikan adalah tentang proses, bukan hasil instan. Sistem yang berfokus pada angka sering kali membuat kita lupa akan esensi sejati dari pendidikan. Guru harus bisa menjadi contoh nyata bagi murid, mengajarkan mereka bahwa apa yang lebih penting daripada nilai adalah sikap dan cara hidup. Guru, yang seharusnya menjadi orang tua kedua di sekolah, harus mendidik dengan hati, bukan hanya otak.

 

Kasih sayang adalah fondasi utama yang harus ada dalam setiap proses pendidikan. Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk mencintai dan menyayangi sesama. Namun dalam praktiknya, berapa banyak guru yang benar-benar menanamkan kasih sayang kepada murid-muridnya? Banyak dari mereka yang lebih terfokus pada evaluasi dan standar akademik yang tak berujung. Pendidikan menjadi kering, tanpa sentuhan kasih yang sesungguhnya. Padahal, jika kita ingin mengajarkan Islam yang moderat, kita harus melakukannya dengan cara yang penuh kasih, dengan memberikan contoh kepada murid tentang bagaimana hidup dengan moderasi.

 

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kita sering kali terjebak dalam rutinitas yang menjemukan. Kita melupakan bahwa setiap murid adalah individu yang unik, dengan kebutuhan yang berbeda. Pendidikan bukanlah tentang mengukur setiap murid dengan ukuran yang sama, tetapi tentang memberi ruang bagi mereka untuk berkembang sesuai dengan potensi masing-masing. Di sini, peran guru menjadi sangat penting: mereka bukan hanya pengajar, tetapi juga pembimbing yang harus mampu melihat potensi yang terkadang tersembunyi di balik kecemasan atau keraguan murid.

 

Kembali ke pertanyaan: Mengapa penting diperhatikan? Karena dalam sistem pendidikan kita yang semakin terstruktur dan terukur, kita sering kali melupakan bahwa murid tidak hanya datang dengan kemampuan akademis. Mereka datang dengan harapan, dengan impian, dan terkadang dengan trauma yang tak terucapkan. Guru harus mampu memahami hal ini dan memberikan tempat bagi murid untuk merasa diterima, dihargai, dan didengarkan. Jika kita tidak mengajarkan mereka bagaimana menjadi pribadi yang baik, bagaimana mungkin mereka akan mampu mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan mereka?

 

Di tengah tantangan ini, pendidikan yang hanya berfokus pada otak tanpa melibatkan hati akan melahirkan generasi yang tidak siap menghadapi dunia yang kompleks. Jika kita tidak mendidik murid dengan kasih sayang, kita hanya akan mencetak individu-individu yang terlepas dari esensi kehidupan yang sesungguhnya—kehidupan yang penuh dengan cinta, kerja sama, dan saling menghargai. Pendidikan bukan hanya tentang memberikan pengetahuan, tetapi tentang membentuk karakter, yang lebih dari sekadar angka yang tercatat di rapor.

 

Pendidikan yang mendalam adalah pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan, yang mengarah pada pemahaman tentang bagaimana kita hidup dengan sesama, bagaimana kita berinteraksi dengan dunia. Dalam Islam, pendidikan tidak hanya tentang mengajarkan ilmu pengetahuan semata, tetapi juga tentang mendidik akhlak dan sikap yang baik. Sekolah yang menjadi rumah kedua harus mengajarkan murid-muridnya tentang bagaimana mereka bisa hidup dengan moderasi, keseimbangan, dan cinta kasih.

 

Namun, sering kali kita lupa bahwa pendidikan adalah perjalanan panjang, bukan tujuan yang bisa dicapai dengan sekali ujian. Guru harus mengingatkan murid bahwa hidup adalah proses, dan bukan sekadar target yang harus dicapai dalam waktu singkat. Tidak ada jalan pintas menuju kebijaksanaan. Jika pendidikan hanya dilihat sebagai tujuan instan—mencapai nilai bagus atau lulus ujian—kita telah kehilangan makna dari perjalanan itu sendiri.

 

Lagi-lagi, "mengapa ini penting?". Karena semakin hari, pendidikan semakin dipengaruhi oleh tuntutan hasil yang cepat dan terlihat. Guru pun semakin terjebak dalam rutinitas administratif dan evaluasi yang menuntut mereka untuk lebih fokus pada angka ketimbang karakter murid. Pendidikan menjadi sempit, hanya berfokus pada hal-hal yang dapat diukur. Padahal pendidikan yang sejati adalah pendidikan yang memberi ruang bagi perkembangan pribadi, yang memberi kesempatan bagi murid untuk tumbuh menjadi individu yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih sayang.

 

Pendidikan adalah investasi terbesar untuk masa depan. Namun, investasi ini bukan hanya dalam bentuk ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam bentuk karakter dan akhlak yang baik. Guru harus menyadari bahwa apa yang mereka ajarkan tidak hanya akan berdampak pada masa depan murid dalam aspek akademis, tetapi juga pada kehidupan sosial dan spiritual mereka. Seperti orang tua yang tidak hanya memberi nafkah materi, seorang guru harus memberi nafkah berupa ilmu dan nilai-nilai yang akan berguna sepanjang hidup murid.

 

Namun, kita sering kali terjebak dalam sistem yang memprioritaskan angka dan nilai ujian. Ini adalah ironi besar dalam dunia pendidikan kita. Guru seharusnya bukan hanya memberikan materi pelajaran, tetapi juga memberikan teladan, memberikan bimbingan untuk mengembangkan karakter murid. Karena pada akhirnya, nilai yang sesungguhnya dari pendidikan bukanlah angka di rapor, tetapi kemampuan murid untuk hidup dengan bijaksana, untuk berbagi kasih sayang dengan sesama, dan untuk menjaga integritas mereka di dunia yang semakin kompleks ini.

 

Jika kita menginginkan generasi yang moderat, yang bisa hidup dengan seimbang, maka kita harus mulai dengan mendidik murid dengan kasih sayang dan memberi contoh yang baik. Islam yang moderat adalah Islam yang penuh dengan keseimbangan—antara dunia dan akhirat, antara hak dan kewajiban, antara akal dan hati. Sekolah harus menjadi rumah yang memberi tempat bagi murid untuk berkembang, bukan hanya dalam ilmu pengetahuan, tetapi juga dalam akhlak dan karakter.

 

Di dunia yang semakin penuh dengan tuntutan dan standar, kita sering kali melupakan bahwa pendidikan adalah proses panjang yang membutuhkan waktu dan perhatian. Guru harus diberikan ruang untuk mengajar dengan sepenuh hati, untuk memberi perhatian lebih pada perkembangan murid sebagai individu, bukan hanya sebagai angka dalam sistem pendidikan. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang membimbing murid untuk menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijaksana, dan lebih penuh kasih sayang.

 

Akhirnya, kita sampai pada kesimpulan sederhana: sekolah harus menjadi rumah kedua bagi murid, dan guru harus menjadi orang tua kedua yang tidak hanya memberi ilmu, tetapi juga kasih sayang, teladan, dan bimbingan. Kita mengajarkan bukan hanya untuk mengisi pikiran mereka, tetapi untuk memberi cahaya dalam hidup mereka. Dalam dunia yang semakin cepat dan penuh tekanan ini, kita harus menyadari bahwa pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan yang memberi ruang untuk berkembang, memberi kesempatan untuk tumbuh, dan memberi kasih sayang tanpa batas.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now