Iklan

Ulang Tahun dan Panggung yang Sunyi

syamsul kurniawan
Monday, June 30, 2025
Last Updated 2025-08-02T05:51:33Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Tidak ada lilin. Tidak ada kue tart. Tidak ada balon atau undangan. Bahkan, tidak ada kamera yang merekam momen itu untuk dikenang dalam bingkai. Yang ada hanya lantunan doa. Ulang tahun masa kecil saya berjalan begitu saja—tak lebih dari sebuah peristiwa yang diingat emak, disusul dengan bacaan surah Al-Fatihah yang khusyuk, mungkin juga Doa Selamat dan Tolak Bala’, lalu makan bersama apa yang dimasak seadanya. Tidak ada yang dibuat-buat. Tidak ada kemewahan, tidak pula kesedihan. Hanya kebersamaan yang hening, bersahaja, dan tulus.

Ruang tengah rumah itu adalah panggung pertama saya. Di atasnya, saya menjadi pemeran utama tanpa naskah yang dibacakan keras-keras. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada penonton, kecuali keluarga. Tapi justru di sana saya belajar tentang makna: bahwa hari kelahiran bukan untuk dipertontonkan, melainkan untuk dihayati.

Erving Goffman mungkin akan menyebut itu sebagai bagian dari “backstage”—ruang di mana kita tidak bermain peran, tempat topeng-topeng dilepas. Saat itulah saya tahu bahwa tidak semua hal dalam hidup harus tampil di depan layar. Ada hal-hal yang justru menemukan maknanya dalam diam, dalam kerahasiaan.

Di ruang-ruang sunyi itu, saya tidak sedang mencoba memukau siapa pun. Saya hanya hadir—sebagai anak yang bertambah usia, yang dimintakan doa oleh emak dan bapaknya. Tidak ada pencitraan, tidak ada kebutuhan untuk tampil menarik di depan khalayak. Panggung itu milik saya sendiri, dan saya belajar tampil apa adanya.

***

Tapi zaman berubah. Di layar-layar ponsel, kita mulai melihat bagaimana ulang tahun menjadi panggung megah. Anak kecil merayakan usia satu dengan pesta bertema kartun, dengan kue berlapis fondant tiga tingkat, dengan balon helium dan undangan digital. Bayi yang bahkan belum tahu apa itu usia, sudah tampil sebagai aktor utama di hadapan ratusan mata.

Kita pindah dari dapur emak ke gedung-gedung sewaan. Dari doa-doa pelan menjadi pesta yang perlu dokumentasi profesional. Kamera di setiap sudut, sorotan lampu di setiap wajah. Lalu kita bertanya: apakah semua itu sungguh untuk anak itu, atau untuk penonton di media sosial?

Goffman menjelaskan bahwa kehidupan sosial adalah teater. Ada panggung depan (frontstage), ada panggung belakang (backstage). Di panggung depan, kita tampil untuk orang lain. Kita susun narasi, kita poles citra, kita kemas kesan. Ulang tahun hari ini adalah panggung depan yang sempurna: semua harus tampak bahagia, tampak mewah, tampak berarti.

Yang ganjil adalah: kadang kebahagiaan itu tidak nyata. Tersenyum untuk kamera, lalu mengeluh tentang biaya pesta. Menyewa badut, MC, dekorator, tapi lupa bertanya apakah anak itu cukup tidur semalam. Di situlah panggung depan mengambil alih. Kita tidak lagi hadir sebagai manusia yang merayakan hidup, tapi sebagai aktor yang mengejar tepuk tangan.

Saya tidak anti pesta. Saya tahu, bagi sebagian orang, perayaan adalah bentuk syukur. Tapi saya juga tahu bahwa syukur tidak selalu membutuhkan penonton. Doa dalam bisikan, makan bersama dalam kehangatan, pelukan diam yang menyejukkan—itu pun bentuk syukur. Tapi ia hanya bisa dilakukan di panggung belakang, di ruang yang tidak dipertontonkan.

Islam sendiri tak punya tradisi merayakan ulang tahun secara formal. Tidak ada ayat yang memerintahkan, tidak pula larangan mutlak. Tapi Islam mengajarkan muhasabah: setiap pergantian waktu adalah saatnya mengevaluasi, bukan berpesta. Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad mengingatkan bahwa manusia akan ditanya tentang umurnya: untuk apa ia habiskan?

Maka ulang tahun, bagi seorang muslim, seharusnya menjadi momen diam. Momen menoleh ke belakang, bukan untuk bernostalgia, tapi untuk mengoreksi. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang belum? Siapa yang sudah dilukai? Apa yang harus ditebus?

Tapi ruang muhasabah itu sulit dibuka kalau hidup hanya dijalani di panggung depan. Kita sibuk mencitrakan bahwa semua baik-baik saja, bahkan saat sebenarnya tidak. Kita tampil ceria, padahal mungkin sedang gundah. Kita ucapkan “panjang umur”, tapi lupa bertanya: “panjang umur untuk apa?”

Di media sosial, ulang tahun adalah komoditas: konten yang bisa mendulang like, reels yang bisa viral, ucapan yang dibalas dengan emoji. Tidak salah, tapi terlalu sering kita lupa bahwa makna hidup bukan ditentukan oleh jumlah likes, melainkan oleh kesadaran akan fana.

Ulang tahun bukan tentang menambah usia, melainkan menyusutnya jatah. Orang-orang dulu menyebutnya “nambah umur”—padahal sejatinya kita sedang berkurang waktu. Di sini, dramaturgi Goffman kembali terasa relevan. Kita sedang memainkan lakon “kebahagiaan”, padahal waktu tak lagi banyak.

Ada yang berulang tahun dengan pesta mewah, tapi tidak punya waktu untuk memeluk ibunya. Ada yang ulang tahunnya dihujani hadiah, tapi malam itu tidur sendirian tanpa doa. Ada pula yang setiap tahun merayakan, tapi tidak pernah paham bahwa usia adalah utang yang harus dibayar lunas.

***

Saya teringat kembali pada ulang tahun pertama yang saya sadari. Tidak ada yang bernyanyi. Tidak ada tiupan lilin. Tapi saya melihat emak yang sibuk memasak, bapak yang duduk diam sambil membaca surat pendek, abang dan kakak serta ponakan yang ikut mengaminkan doa. Di sana, tak ada drama. Tak ada akting. Semua tampil apa adanya. Dan justru karena itulah, momen itu terasa paling tulus.

Hari ini, anak-anak tumbuh dengan kamera di wajahnya sejak lahir.. Mereka belajar bahwa hidup adalah untuk ditonton. Mereka tumbuh bukan hanya dengan pengalaman, tapi juga dengan impresi. Maka tidak heran jika sejak kecil mereka sudah tahu bagaimana cara “bermain peran” di depan panggung.

Tapi siapa yang mengajari mereka? Siapa yang memberi panggung itu? Kita. Kita yang takut tampil sederhana. Kita yang merasa harus menunjukkan bahwa hidup kita baik-baik saja. Kita yang tidak nyaman dengan keheningan, sehingga terus mencari sorotan.

Goffman tidak pernah menuduh panggung depan sebagai sesuatu yang buruk. Ia hanya mengingatkan bahwa semua orang membutuhkan panggung belakang. Tempat untuk bernafas, jujur, dan menerima diri. Jika ulang tahun hanya tentang tampil, lalu kapan kita punya ruang untuk menyadari makna?

Dalam dramaturgi, aktor yang baik bukan yang selalu tampil hebat di panggung depan, tapi yang tahu kapan harus mundur, menepi, dan merefleksi. Dalam hidup, ulang tahun seharusnya menjadi momen mundur itu. Bukan untuk tampil, tapi untuk menepi. Bukan untuk mengesankan, tapi untuk merenung.

Saya menulis ini bukan untuk menggurui. Tapi untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa tidak semua yang terlihat bahagia itu benar-benar bahagia. Bahwa panggung bisa menyilaukan, dan kadang menyesatkan. Bahwa usia yang bertambah, kalau tidak disertai kesadaran, hanya akan menjadikan kita tua tanpa kedewasaan.

Barangkali kita butuh kembali ke ruang tengah rumah kita yang dulu. Tempat tikar pandan digelar, tempat emak memasak tanpa dekorasi, tempat doa dibaca pelan-pelan. Tempat di mana ulang tahun tidak dipertontonkan, tapi dijalani dengan khidmat.

Karena sejatinya, ulang tahun adalah pengingat. Bahwa hidup adalah jatah yang terus menyusut. Dan satu-satunya yang layak dipertahankan bukanlah pesta, tapi keikhlasan. Bukan kemewahan, tapi ketulusan. Bukan impresi, tapi inti.

Maka jika saya bertambah usia hari ini, izinkan saya tidak meniup lilin. Saya hanya ingin kembali ke panggung belakang, dan membaca satu doa pelan-pelan: semoga saya tidak sekadar bertambah usia, tapi juga bertambah makna.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now