![]() |
Oleh: Syamsul Kurniawan
Tidak ada lilin. Tidak ada kue
tart. Tidak ada balon atau undangan. Bahkan, tidak ada kamera yang merekam
momen itu untuk dikenang dalam bingkai. Yang ada hanya lantunan doa. Ulang
tahun masa kecil saya berjalan begitu saja—tak lebih dari sebuah peristiwa yang
diingat emak, disusul dengan bacaan surah Al-Fatihah yang khusyuk, mungkin juga
Doa Selamat dan Tolak Bala’, lalu makan bersama apa yang dimasak seadanya.
Tidak ada yang dibuat-buat. Tidak ada kemewahan, tidak pula kesedihan. Hanya
kebersamaan yang hening, bersahaja, dan tulus.
Ruang tengah rumah itu adalah
panggung pertama saya. Di atasnya, saya menjadi pemeran utama tanpa naskah yang
dibacakan keras-keras. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada penonton, kecuali
keluarga. Tapi justru di sana saya belajar tentang makna: bahwa hari kelahiran
bukan untuk dipertontonkan, melainkan untuk dihayati.
Erving Goffman mungkin akan
menyebut itu sebagai bagian dari “backstage”—ruang di mana kita tidak
bermain peran, tempat topeng-topeng dilepas. Saat itulah saya tahu bahwa tidak
semua hal dalam hidup harus tampil di depan layar. Ada hal-hal yang justru
menemukan maknanya dalam diam, dalam kerahasiaan.
Di ruang-ruang sunyi itu, saya
tidak sedang mencoba memukau siapa pun. Saya hanya hadir—sebagai anak yang
bertambah usia, yang dimintakan doa oleh emak dan bapaknya. Tidak ada
pencitraan, tidak ada kebutuhan untuk tampil menarik di depan khalayak. Panggung
itu milik saya sendiri, dan saya belajar tampil apa adanya.
***
Tapi zaman berubah. Di
layar-layar ponsel, kita mulai melihat bagaimana ulang tahun menjadi panggung
megah. Anak kecil merayakan usia satu dengan pesta bertema kartun, dengan kue
berlapis fondant tiga tingkat, dengan balon helium dan undangan digital. Bayi
yang bahkan belum tahu apa itu usia, sudah tampil sebagai aktor utama di
hadapan ratusan mata.
Kita pindah dari dapur emak ke
gedung-gedung sewaan. Dari doa-doa pelan menjadi pesta yang perlu dokumentasi
profesional. Kamera di setiap sudut, sorotan lampu di setiap wajah. Lalu kita
bertanya: apakah semua itu sungguh untuk anak itu, atau untuk penonton di media
sosial?
Goffman menjelaskan bahwa
kehidupan sosial adalah teater. Ada panggung depan (frontstage), ada
panggung belakang (backstage). Di panggung depan, kita tampil untuk
orang lain. Kita susun narasi, kita poles citra, kita kemas kesan. Ulang tahun
hari ini adalah panggung depan yang sempurna: semua harus tampak bahagia,
tampak mewah, tampak berarti.
Yang ganjil adalah: kadang
kebahagiaan itu tidak nyata. Tersenyum untuk kamera, lalu mengeluh tentang
biaya pesta. Menyewa badut, MC, dekorator, tapi lupa bertanya apakah anak itu
cukup tidur semalam. Di situlah panggung depan mengambil alih. Kita tidak lagi
hadir sebagai manusia yang merayakan hidup, tapi sebagai aktor yang mengejar
tepuk tangan.
Saya tidak anti pesta. Saya tahu,
bagi sebagian orang, perayaan adalah bentuk syukur. Tapi saya juga tahu bahwa
syukur tidak selalu membutuhkan penonton. Doa dalam bisikan, makan bersama
dalam kehangatan, pelukan diam yang menyejukkan—itu pun bentuk syukur. Tapi ia
hanya bisa dilakukan di panggung belakang, di ruang yang tidak dipertontonkan.
Islam sendiri tak punya tradisi
merayakan ulang tahun secara formal. Tidak ada ayat yang memerintahkan, tidak
pula larangan mutlak. Tapi Islam mengajarkan muhasabah: setiap pergantian waktu
adalah saatnya mengevaluasi, bukan berpesta. Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad ﷺ mengingatkan bahwa manusia akan ditanya
tentang umurnya: untuk apa ia habiskan?
Maka ulang tahun, bagi seorang
muslim, seharusnya menjadi momen diam. Momen menoleh ke belakang, bukan untuk
bernostalgia, tapi untuk mengoreksi. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang belum?
Siapa yang sudah dilukai? Apa yang harus ditebus?
Tapi ruang muhasabah itu sulit
dibuka kalau hidup hanya dijalani di panggung depan. Kita sibuk mencitrakan
bahwa semua baik-baik saja, bahkan saat sebenarnya tidak. Kita tampil ceria,
padahal mungkin sedang gundah. Kita ucapkan “panjang umur”, tapi lupa bertanya:
“panjang umur untuk apa?”
Di media sosial, ulang tahun
adalah komoditas: konten yang bisa mendulang like, reels yang bisa viral,
ucapan yang dibalas dengan emoji. Tidak salah, tapi terlalu sering kita lupa
bahwa makna hidup bukan ditentukan oleh jumlah likes, melainkan oleh kesadaran
akan fana.
Ulang tahun bukan tentang
menambah usia, melainkan menyusutnya jatah. Orang-orang dulu menyebutnya
“nambah umur”—padahal sejatinya kita sedang berkurang waktu. Di sini,
dramaturgi Goffman kembali terasa relevan. Kita sedang memainkan lakon
“kebahagiaan”, padahal waktu tak lagi banyak.
Ada yang berulang tahun dengan
pesta mewah, tapi tidak punya waktu untuk memeluk ibunya. Ada yang ulang
tahunnya dihujani hadiah, tapi malam itu tidur sendirian tanpa doa. Ada pula
yang setiap tahun merayakan, tapi tidak pernah paham bahwa usia adalah utang
yang harus dibayar lunas.
***
Saya teringat kembali pada ulang
tahun pertama yang saya sadari. Tidak ada yang bernyanyi. Tidak ada tiupan
lilin. Tapi saya melihat emak yang sibuk memasak, bapak yang duduk diam sambil
membaca surat pendek, abang dan kakak serta ponakan yang ikut mengaminkan doa. Di sana, tak ada drama.
Tak ada akting. Semua tampil apa adanya. Dan justru karena itulah, momen itu
terasa paling tulus.
Hari ini, anak-anak tumbuh dengan
kamera di wajahnya sejak lahir.. Mereka belajar bahwa hidup adalah untuk
ditonton. Mereka tumbuh bukan hanya dengan pengalaman, tapi juga dengan
impresi. Maka tidak heran jika sejak kecil mereka sudah tahu bagaimana cara
“bermain peran” di depan panggung.
Tapi siapa yang mengajari mereka?
Siapa yang memberi panggung itu? Kita. Kita yang takut tampil sederhana. Kita
yang merasa harus menunjukkan bahwa hidup kita baik-baik saja. Kita yang tidak
nyaman dengan keheningan, sehingga terus mencari sorotan.
Goffman tidak pernah menuduh
panggung depan sebagai sesuatu yang buruk. Ia hanya mengingatkan bahwa semua
orang membutuhkan panggung belakang. Tempat untuk bernafas, jujur, dan menerima
diri. Jika ulang tahun hanya tentang tampil, lalu kapan kita punya ruang untuk
menyadari makna?
Dalam dramaturgi, aktor yang baik
bukan yang selalu tampil hebat di panggung depan, tapi yang tahu kapan harus
mundur, menepi, dan merefleksi. Dalam hidup, ulang tahun seharusnya menjadi
momen mundur itu. Bukan untuk tampil, tapi untuk menepi. Bukan untuk
mengesankan, tapi untuk merenung.
Saya menulis ini bukan untuk
menggurui. Tapi untuk mengingatkan diri sendiri. Bahwa tidak semua yang
terlihat bahagia itu benar-benar bahagia. Bahwa panggung bisa menyilaukan, dan
kadang menyesatkan. Bahwa usia yang bertambah, kalau tidak disertai kesadaran,
hanya akan menjadikan kita tua tanpa kedewasaan.
Barangkali kita butuh kembali ke
ruang tengah rumah kita yang dulu. Tempat tikar pandan digelar, tempat emak
memasak tanpa dekorasi, tempat doa dibaca pelan-pelan. Tempat di mana ulang
tahun tidak dipertontonkan, tapi dijalani dengan khidmat.
Karena sejatinya, ulang tahun
adalah pengingat. Bahwa hidup adalah jatah yang terus menyusut. Dan
satu-satunya yang layak dipertahankan bukanlah pesta, tapi keikhlasan. Bukan
kemewahan, tapi ketulusan. Bukan impresi, tapi inti.
Maka jika saya bertambah usia
hari ini, izinkan saya tidak meniup lilin. Saya hanya ingin kembali ke panggung
belakang, dan membaca satu doa pelan-pelan: semoga saya tidak sekadar bertambah
usia, tapi juga bertambah makna.***


