Iklan

Dika Menari, Bangsa Membayangkan Dirinya Kembali

syamsul kurniawan
Monday, July 14, 2025
Last Updated 2025-07-19T05:00:30Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Ada tubuh kecil di ujung perahu. Tubuh itu berdiri di antara riak air dan hiruk pekik penonton di pinggir sungai. Bukan tubuh yang menantang langit, bukan pula tubuh yang berlatih menari di studio tari. Tapi tubuh yang dengan lugu dan lentur mengalir bersama kayuhan. Dika namanya.

 

Ia tidak sedang pentas. Ia tidak sedang audisi. Ia sedang menjalankan peran yang turun temurun ada dalam ritual Pacu Jalur: menari di haluan perahu, saat para lelaki dewasa mendayung kuat menuju garis akhir. Dika menjadi kepala dari tubuh panjang perahu itu. Ia seperti panji yang hidup.

 

Video itu hanya berdurasi pendek. Diambil dari bawah, dari tepi sungai, dari kamera biasa. Tapi gerakan tangan Dika yang lentur, wajahnya yang tak gentar, tubuhnya yang menari di ujung perahu yang melesat—cukup untuk menghentikan jempol-jempol yang menggulir layar.

 

Kita pun terpaku. Dan dalam sekejap, bocah kecil dari Riau itu menjadi viral. Diunggah ulang, diberi lagu latar, diberi caption puitis, diberi teks penuh rasa nasionalis, dan disebarkan berjuta kali. Ia menjadi perbincangan. Ia menembus batas desa. Ia menjelma tokoh.

 

Tapi viralitas tak pernah berdiri sendiri. Ia adalah respon atas kerinduan kolektif. Dan kerinduan itu tak lain adalah imajinasi yang tak selesai tentang Indonesia—tentang siapa kita, dari mana kita, dan apa yang masih kita punya dari yang pernah disebut kebudayaan.

 

Dika, dalam ketidaksadarannya, menjadi representasi dari apa yang disebut Benedict Anderson (1983) sebagai komunitas yang dibayangkan—imagined communities. Sebuah bangsa tidak hadir karena saling kenal, tetapi karena saling merasa terhubung lewat simbol, bahasa, dan narasi bersama.

 

Ketika kita melihat Dika, kita tak sedang melihat seorang anak. Kita sedang melihat cermin. Kita ingin mempercayai bahwa Indonesia masih punya Dika, dan bahwa Indonesia masih bisa diwakili oleh gerak lentur dan wajah jujur yang tidak dibuat-buat.

 

Pacu Jalur sendiri adalah bentuk budaya yang hidup. Ia bukan tontonan, tapi laku hidup kolektif. Perahu panjang itu dibuat bersama, dilombakan bersama, dan dimenangkan bersama. Ada kebersamaan yang konkret di sana. Tidak dibentuk oleh slogan. Tidak disponsori oleh merek.

 

Tapi dalam dunia digital, yang viral adalah yang visual. Dan visualisasi seringkali melampaui konteks. Baudrillard (1994) menyebutnya sebagai hiperrealitas—ketika representasi dari sesuatu lebih dipercaya daripada kenyataan itu sendiri. Maka Dika menjadi lebih dari Dika.

 

Ia menjadi ikon. Sebuah gambar tentang anak desa, tentang budaya lokal, tentang “Indonesia yang asli.” Tapi kita lupa, ikon adalah tiruan yang telah menjauh dari asal. Dika yang kita lihat adalah versi editan, versi dengan musik latar, versi dengan teks “bangga jadi orang Indonesia.”

 

Simulakra di Ujung Haluan

 

Di titik inilah kita memasuki wilayah simulakra. Dalam teori Jean Baudrillard, simulakra adalah peniruan terhadap realitas, yang dalam prosesnya menciptakan realitas palsu yang lebih “meyakinkan” daripada aslinya. Dika menjadi simbol yang lebih besar dari dirinya sendiri.

 

Tubuhnya adalah tubuh budaya. Tapi juga tubuh tontonan. Ia adalah simbol sekaligus konten. Kita tak tahu siapa dia, bagaimana hidupnya, siapa keluarganya. Tapi kita merasa mengenalnya karena telah menontonnya dalam video yang disunting berkali-kali.

 

Simbol ini memikat, tapi juga berisiko. Ia bisa kehilangan makna jika terus dipakai tanpa konteks. Jika Dika terus dipanggil untuk menari demi tamu, demi panggung, demi konten—lalu kapan ia boleh menjadi anak-anak biasa?

 

Di sinilah batas antara penghargaan dan eksploitasi mulai kabur. Ketika komunitas yang dibayangkan mengangkatnya terlalu tinggi, Dika bisa terjatuh bukan karena salah langkah, tapi karena beban representasi yang tak ia pilih.

 

Tapi kita juga tidak bisa menolak kekuatan simbol. Simbol menyatukan orang-orang yang terpisah secara geografis, kelas, dan bahasa. Dalam Dika, kita merasa bahwa Indonesia bukan hanya soal jalan tol dan pertumbuhan ekonomi, tapi juga soal tarian di ujung perahu.

 

Dan itu penting. Dalam dunia yang makin abstrak, kita butuh peristiwa konkret. Dan tubuh Dika, tarian Dika, adalah konkret. Sesuatu yang hidup, bergerak, dan terjadi bukan di studio, tapi di sungai yang airnya mengalir ke muara sejarah.

 

Namun, apakah kita akan berhenti di simbol? Apakah kita hanya ingin merasa bangga, lalu lupa? Atau apakah kita akan mulai menoleh ke kampung, ke jalur, ke anak-anak lain yang juga punya tubuh-tubuh lentur tapi tak punya kamera?

 

Imagined communities harus dirawat. Bukan dengan meme dan caption, tapi dengan kebijakan. Dengan pendidikan. Dengan ruang-ruang kebudayaan yang bukan hanya untuk kota.

 

Karena jika tidak, yang tersisa hanyalah gambar. Dan seperti yang ditakuti Baudrillard, kita akan hidup dalam kumpulan simulasi, di mana realitas budaya lenyap di balik layer ponsel.


Maka Dika penting bukan karena ia viral. Tapi karena ia membuktikan bahwa budaya masih mungkin tampil tanpa dibentuk oleh negara. Bahwa kampung masih punya suara, dan suara itu bisa terdengar jika diberi ruang.

 

Dika tidak menari untuk menjadi simbol. Ia menari karena itu bagian dari perayaan jalur. Tapi justru karena itu, ia menjadi simbol yang paling kuat—karena ia tidak direncanakan.

 

Inilah yang membuat kita diam. Dalam dunia yang penuh pencitraan, datang seorang anak yang tidak sadar bahwa ia ditonton jutaan orang, dan menari seperti tidak ada kamera. Dunia menatapnya, dan merasa rindu.

 

Rindu pada kampung. Pada sungai. Pada tubuh kecil yang menari bukan demi branding, tapi demi kebiasaan, demi tradisi. Rindu pada Indonesia yang tak selalu sibuk dengan proyek besar.

 

Dan mungkin, di situlah letak harapan. Bahwa bangsa ini masih bisa membayangkan dirinya kembali. Bukan lewat pidato atau iklan layanan masyarakat, tapi lewat tubuh seorang anak yang menari di ujung haluan.

 

Tubuh yang rapuh tapi kuat. Tubuh yang lentur tapi tegak. Tubuh yang belum tahu bahwa ia sedang menjadi cermin kita semua.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now