Oleh: Syamsul Kurniawan
Ada tubuh kecil di ujung perahu. Tubuh itu berdiri di
antara riak air dan hiruk pekik penonton di pinggir sungai. Bukan tubuh yang
menantang langit, bukan pula tubuh yang berlatih menari di studio tari. Tapi
tubuh yang dengan lugu dan lentur mengalir bersama kayuhan. Dika namanya.
Ia tidak sedang pentas. Ia tidak sedang audisi. Ia
sedang menjalankan peran yang turun temurun ada dalam ritual Pacu Jalur: menari
di haluan perahu, saat para lelaki dewasa mendayung kuat menuju garis akhir.
Dika menjadi kepala dari tubuh panjang perahu itu. Ia seperti panji yang hidup.
Video itu hanya berdurasi pendek. Diambil dari bawah,
dari tepi sungai, dari kamera biasa. Tapi gerakan tangan Dika yang lentur,
wajahnya yang tak gentar, tubuhnya yang menari di ujung perahu yang
melesat—cukup untuk menghentikan jempol-jempol yang menggulir layar.
Kita pun terpaku. Dan dalam sekejap, bocah kecil dari
Riau itu menjadi viral. Diunggah ulang, diberi lagu latar, diberi caption
puitis, diberi teks penuh rasa nasionalis, dan disebarkan berjuta kali. Ia
menjadi perbincangan. Ia menembus batas desa. Ia menjelma tokoh.
Tapi viralitas tak pernah berdiri sendiri. Ia adalah
respon atas kerinduan kolektif. Dan kerinduan itu tak lain adalah imajinasi
yang tak selesai tentang Indonesia—tentang siapa kita, dari mana kita, dan apa
yang masih kita punya dari yang pernah disebut kebudayaan.
Dika, dalam ketidaksadarannya, menjadi representasi
dari apa yang disebut Benedict Anderson (1983) sebagai komunitas yang
dibayangkan—imagined communities. Sebuah bangsa tidak hadir karena saling
kenal, tetapi karena saling merasa terhubung lewat simbol, bahasa, dan narasi
bersama.
Ketika kita melihat Dika, kita tak sedang melihat
seorang anak. Kita sedang melihat cermin. Kita ingin mempercayai bahwa
Indonesia masih punya Dika, dan bahwa Indonesia masih bisa diwakili oleh gerak
lentur dan wajah jujur yang tidak dibuat-buat.
Pacu Jalur sendiri adalah bentuk budaya yang hidup. Ia
bukan tontonan, tapi laku hidup kolektif. Perahu panjang itu dibuat bersama,
dilombakan bersama, dan dimenangkan bersama. Ada kebersamaan yang konkret di
sana. Tidak dibentuk oleh slogan. Tidak disponsori oleh merek.
Tapi dalam dunia digital, yang viral adalah yang
visual. Dan visualisasi seringkali melampaui konteks. Baudrillard (1994)
menyebutnya sebagai hiperrealitas—ketika representasi dari sesuatu lebih
dipercaya daripada kenyataan itu sendiri. Maka Dika menjadi lebih dari Dika.
Ia menjadi ikon. Sebuah gambar tentang anak desa,
tentang budaya lokal, tentang “Indonesia yang asli.” Tapi kita lupa, ikon
adalah tiruan yang telah menjauh dari asal. Dika yang kita lihat adalah versi
editan, versi dengan musik latar, versi dengan teks “bangga jadi orang
Indonesia.”
Simulakra di Ujung Haluan
Di titik inilah kita memasuki wilayah simulakra. Dalam
teori Jean Baudrillard, simulakra adalah peniruan terhadap realitas, yang dalam
prosesnya menciptakan realitas palsu yang lebih “meyakinkan” daripada aslinya.
Dika menjadi simbol yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Tubuhnya adalah tubuh budaya. Tapi juga tubuh
tontonan. Ia adalah simbol sekaligus konten. Kita tak tahu siapa dia, bagaimana
hidupnya, siapa keluarganya. Tapi kita merasa mengenalnya karena telah
menontonnya dalam video yang disunting berkali-kali.
Simbol ini memikat, tapi juga berisiko. Ia bisa
kehilangan makna jika terus dipakai tanpa konteks. Jika Dika terus dipanggil
untuk menari demi tamu, demi panggung, demi konten—lalu kapan ia boleh menjadi
anak-anak biasa?
Di sinilah batas antara penghargaan dan eksploitasi
mulai kabur. Ketika komunitas yang dibayangkan mengangkatnya terlalu tinggi,
Dika bisa terjatuh bukan karena salah langkah, tapi karena beban representasi
yang tak ia pilih.
Tapi kita juga tidak bisa menolak kekuatan simbol.
Simbol menyatukan orang-orang yang terpisah secara geografis, kelas, dan
bahasa. Dalam Dika, kita merasa bahwa Indonesia bukan hanya soal jalan tol dan
pertumbuhan ekonomi, tapi juga soal tarian di ujung perahu.
Dan itu penting. Dalam dunia yang makin abstrak, kita
butuh peristiwa konkret. Dan tubuh Dika, tarian Dika, adalah konkret. Sesuatu
yang hidup, bergerak, dan terjadi bukan di studio, tapi di sungai yang airnya
mengalir ke muara sejarah.
Namun, apakah kita akan berhenti di simbol? Apakah
kita hanya ingin merasa bangga, lalu lupa? Atau apakah kita akan mulai menoleh
ke kampung, ke jalur, ke anak-anak lain yang juga punya tubuh-tubuh lentur tapi
tak punya kamera?
Imagined communities harus dirawat. Bukan dengan meme
dan caption, tapi dengan kebijakan. Dengan pendidikan. Dengan ruang-ruang
kebudayaan yang bukan hanya untuk kota.
Karena jika tidak, yang tersisa hanyalah gambar. Dan
seperti yang ditakuti Baudrillard, kita akan hidup dalam kumpulan simulasi, di
mana realitas budaya lenyap di balik layer ponsel.
Maka Dika penting bukan karena ia viral. Tapi karena
ia membuktikan bahwa budaya masih mungkin tampil tanpa dibentuk oleh negara.
Bahwa kampung masih punya suara, dan suara itu bisa terdengar jika diberi
ruang.
Dika tidak menari untuk menjadi simbol. Ia menari
karena itu bagian dari perayaan jalur. Tapi justru karena itu, ia menjadi
simbol yang paling kuat—karena ia tidak direncanakan.
Inilah yang membuat kita diam. Dalam dunia yang penuh
pencitraan, datang seorang anak yang tidak sadar bahwa ia ditonton jutaan
orang, dan menari seperti tidak ada kamera. Dunia menatapnya, dan merasa rindu.
Rindu pada kampung. Pada sungai. Pada tubuh kecil yang
menari bukan demi branding, tapi demi kebiasaan, demi tradisi. Rindu pada
Indonesia yang tak selalu sibuk dengan proyek besar.
Dan mungkin, di situlah letak harapan. Bahwa bangsa
ini masih bisa membayangkan dirinya kembali. Bukan lewat pidato atau iklan
layanan masyarakat, tapi lewat tubuh seorang anak yang menari di ujung haluan.
Tubuh yang rapuh tapi kuat. Tubuh yang lentur tapi
tegak. Tubuh yang belum tahu bahwa ia sedang menjadi cermin kita semua.***


