Oleh: Syamsul Kurniawan
HUKUM ADAT, sebuah wujud kesepakatan
masyarakat yang terikat dalam sistem nilai dan budaya lokal, senantiasa menjadi
entitas yang terus berevolusi. Meski tak terkodifikasi dalam bentuk perundang-undangan
negara, hukum adat di Indonesia telah mengakar dalam hidup masyarakat adat,
mengatur tatanan sosial hingga bentuk sanksi riil yang mengikat. Di balik
fungsi hukum adat yang terlihat begitu dekat dengan tradisi, kita bisa
melihatnya sebagai bentuk pendisiplinan yang lebih dari sekadar regulasi—ia
adalah instrumen kekuasaan yang secara halus namun pasti membentuk tubuh
individu dan masyarakat.
Michel Foucault (1977), dalam
teorinya tentang "disiplin tubuh" mengajukan bahwa kekuasaan modern
tidak hanya hadir dalam bentuk penindasan eksplisit, tetapi juga dalam
pembentukan norma yang mengatur tubuh dan perilaku individu. Hukum adat, meski
tidak selalu jelas, bertindak serupa—sebagai alat untuk mengatur dan membentuk
tubuh sosial melalui norma dan nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat. Tidak
hanya menuntut kepatuhan individu, hukum adat juga turut menandai tubuh
masyarakat yang menjadi objek pengawasan sosial. Seiring waktu, keduanya—hukum
adat dan kekuasaan—terjalin dalam relasi yang kompleks dan sering kali tak
terlihat.
Secara struktural, hukum adat tampak
sederhana: kebiasaan yang dipatuhi oleh masyarakat tertentu. Namun, jika
ditelaah lebih dalam, hukum adat bukan hanya tentang tradisi atau tata cara
ritual, melainkan juga sebuah jaringan disiplin yang terjalin di dalamnya.
Menurut Foucault, kekuasaan tidak hanya terpusat pada institusi formal, seperti
negara atau pemerintah, melainkan tersebar di seluruh jaringan sosial. Dalam
konteks ini, hukum adat bisa dianggap sebagai salah satu bentuk kekuasaan yang
menyebar ke dalam kehidupan sehari-hari, membentuk tingkah laku masyarakat dan
individu tanpa mereka sadari.
***
Hukum adat adalah seni pendisiplinan
yang bergerak dalam ruang-ruang kebersamaan. Di sini, sanksi sosial bertindak
bukan hanya sebagai hukuman bagi pelanggar, tetapi lebih kepada kontrol
terhadap tubuh—baik itu tubuh individu maupun tubuh masyarakat secara
keseluruhan. Ia mengatur tubuh untuk tetap berada dalam batasan norma yang
telah ditetapkan. Bagi masyarakat adat, hukum bukan sekadar peraturan yang
ditetapkan oleh pihak berwenang, melainkan sesuatu yang hidup dan melekat dalam
tubuh mereka. Hukum adat menjadi kekuatan yang membentuk gerak dan perilaku
mereka dalam setiap interaksi sosial.
Boleh jadi, hukum adat sering
dianggap sebagai sesuatu yang primitif, sebuah warisan dari masa lalu yang
seharusnya diubah sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, jika kita menengoknya
dengan lensa Foucault, hukum adat justru adalah sistem yang memiliki potensi
untuk mengontrol dan mengatur lebih jauh. Dalam masyarakat adat, hukum bukan
hanya tentang pengaturan perilaku, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat
memperlakukan pelanggaran dan bagaimana masyarakat itu sendiri menjadi penjaga
ketertiban. Hukum adat berperan sebagai jaringan kekuasaan yang sangat dekat
dengan kehidupan individu, tanpa pernah menjadikannya sebagai obyek yang
langsung tampak oleh mata.
Hukum adat, dengan segala daya
kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya, mirip dengan kisah mitologi Yunani
tentang Sisyphus—seorang raja yang dihukum oleh para dewa untuk menggulung batu
besar ke puncak gunung, hanya untuk menyaksikan batu itu terguling kembali
setiap kali hampir sampai di puncak. Hukuman Sisyphus, yang abadi dan tak
kunjung selesai, mencerminkan esensi dari pendisiplinan yang tak
henti-hentinya. Ia adalah simbol dari siklus kekuasaan yang terus berputar
tanpa henti, tanpa ruang untuk pembebasan. Seperti Sisyphus, masyarakat adat
terus bergulat dengan hukum adat, yang meskipun hadir sebagai kekuatan yang
mengatur, juga merupakan beban yang harus dihadapi tanpa titik akhir yang
jelas.
Kisah Sisyphus mengingatkan kita
akan ketidakberdayaan yang terpendam dalam ritme kekuasaan yang terstruktur.
Begitu pula dengan hukum adat, yang meskipun memiliki potensi untuk
mendisiplinkan, sering kali juga menjadi beban bagi mereka yang terperangkap di
dalamnya. Seperti batu yang terus-menerus jatuh ke bawah, masyarakat adat
sering kali merasakan bahwa meskipun mereka berusaha untuk menjaga tatanan yang
telah ada, hukum adat tetap bergulir dan memaksa mereka untuk mengulang langkah
yang sama tanpa ada penyelesaian yang pasti. Dalam perspektif Foucault, ini
adalah gambaran dari "panopticism"—pengawasan yang terus-menerus,
sebuah pengulangan yang tak berujung, yang menekan individu dan masyarakat.
Namun, kita juga harus kritis
terhadap kenyataan bahwa hukum adat tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya
sistem ini terjebak dalam ketidakpastian, seiring dengan hilangnya otoritas
lembaga adat di beberapa tempat akibat dominasi struktur pemerintahan modern.
Sebagai contoh, keberadaan Kepala Desa yang diangkat oleh negara, yang
menempatkan posisi ini sebagai pemimpin tertinggi, berpotensi menggusur peran
Kepala Adat yang seharusnya dipilih oleh rakyatnya sendiri. Dengan demikian,
hukum adat—yang seharusnya menjadi kontrol sosial—berisiko kehilangan fungsinya
sebagai bentuk kekuasaan yang mengikat masyarakat secara langsung.
Mengambil perspektif Foucault, kita
melihat bahwa kekuasaan dalam hukum adat adalah kekuasaan yang tersebar, yang
bekerja bukan melalui pengaruh yang langsung, melainkan melalui pengaturan
sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat. Dalam sejarah, kita melihat bahwa
hukum adat adalah wujud dari norma-norma sosial yang berkembang seiring waktu,
dan terus berlanjut, meski kadang terabaikan oleh sistem hukum negara.
Keberadaan hukum adat di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya norma yang
hidup dalam masyarakat, yang mengatur tubuh dan perilaku manusia secara halus
tetapi efektif.
Berkaca pada teori Foucault tentang
"panopticism", kita bisa melihat hukum adat bekerja dengan cara yang
mirip: ia menciptakan pengawasan yang terus-menerus terhadap individu, meski
tidak selalu terlihat. Misalnya, dalam komunitas adat, setiap tindakan individu
tidak hanya dinilai berdasarkan hukum tertulis, tetapi juga berdasarkan
nilai-nilai adat yang diakui oleh masyarakat. Jika seseorang melanggar adat, ia
tidak hanya mendapat hukuman formal, tetapi juga dapat mengalami isolasi sosial
yang jauh lebih keras—sebuah hukuman yang jauh lebih mengikat daripada yang
terlihat di permukaan.
Di sisi lain, hukum adat juga
mengandung potensi untuk membuka ruang bagi partisipasi dan demokrasi lokal.
Sebagai sistem yang berakar pada kearifan lokal, hukum adat sering kali lebih
dekat dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat
memungkinkan musyawarah dan mufakat sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa,
menciptakan ruang bagi partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan. Hal
ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada dalam hukum adat tidak hanya bersifat
represif, tetapi juga partisipatif, tergantung pada bagaimana masyarakat itu
mengatur dan mengendalikan dirinya.
Namun, meski hukum adat memiliki
potensi untuk membangun demokrasi lokal, kita tidak bisa menutup mata terhadap
kenyataan bahwa dalam beberapa kasus, hukum adat justru bisa memperkuat
ketidakadilan, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam
masyarakat. Sebagai contoh, dalam beberapa masyarakat adat, perempuan atau
kelompok minoritas bisa menjadi korban dari norma-norma adat yang patriarkis,
di mana posisi mereka lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Inilah yang
mengingatkan kita bahwa hukum adat juga harus senantiasa diawasi dan dikritisi,
agar tidak jatuh dalam perangkap kekuasaan yang tidak adil.
Perlu diingat bahwa meski hukum adat
berperan sebagai alat pendisiplinan yang kuat, ia juga membawa potensi untuk
resistansi. Foucault mengemukakan bahwa dalam setiap sistem kekuasaan, selalu
ada ruang bagi pembangkangan, bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau
terintimidasi oleh norma-norma yang ada. Dalam konteks hukum adat, hal ini bisa
terjadi dalam bentuk perlawanan terhadap norma-norma yang dianggap sudah tidak
relevan dengan kondisi zaman, atau dalam bentuk perlawanan terhadap otoritas
lembaga adat yang sudah kehilangan legitimasi.
***
Kisah Sisyphus kembali terngiang
dalam konteks ini: meskipun Sisyphus dihukum untuk menggulung batu tanpa henti,
ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan—adakah cara untuk mengakhiri siklus
tersebut? Dalam hal hukum adat, pembangkangan terhadap struktur yang ada bisa
menjadi cara untuk menuntut perubahan. Resistansi terhadap norma-norma yang
sudah tidak relevan atau terhadap sistem yang dianggap menindas bisa menjadi
langkah pertama dalam mengakhiri siklus ketidakadilan yang berulang, seperti
batu yang terus jatuh ke bawah.
Di sini, kita melihat bahwa hukum
adat bukanlah entitas yang statis; ia adalah sebuah proses yang senantiasa
bergolak, beradaptasi, dan terkadang bertransformasi. Hukum adat dapat menjadi
alat kontrol yang membentuk tubuh sosial, tetapi ia juga bisa menjadi ruang
untuk ekspresi diri dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam setiap tatanan
hukum adat, ada dinamika kekuasaan yang harus dipahami dengan seksama.
Dalam konteks modern, kita
dihadapkan pada kenyataan bahwa hukum adat, meskipun telah diakui oleh negara
dalam beberapa aspek, masih berhadapan dengan tantangan besar dalam menavigasi
keberagaman hukum dan tradisi yang ada di Indonesia. Hal ini menciptakan
ketegangan antara negara dan masyarakat adat, di mana hukum negara dan hukum
adat sering kali tidak sejalan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Foucault,
dalam setiap perjuangan antara kekuasaan dan resistansi, selalu ada ruang untuk
perubahan—dan hukum adat mungkin menjadi salah satu medan pertempuran yang
paling menarik untuk diperhatikan.
Sampai di sini, kita mesti menyadari
bahwa hukum adat bukan hanya soal tradisi atau ritual, melainkan tentang
bagaimana kekuasaan bekerja dalam kehidupan sehari-hari, mengatur tubuh sosial
melalui norma-norma yang tak terlihat. Ia adalah seni pendisiplinan yang harus
dipahami dalam kedalaman dan kompleksitasnya, agar tidak jatuh dalam perangkap
tradisionalisme atau modernisme yang sempit. Sebuah seni yang mesti senantiasa
diawasi dan diadaptasi, agar tetap relevan dengan perubahan zaman dan tetap
mengakomodasi nilai-nilai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Di ujung jalan, hukum adat bukan
hanya sistem hukum, tetapi sebuah wujud budaya yang mencerminkan hubungan
antara individu dan masyarakat, antara manusia dan alam, serta antara kekuasaan
dan resistansi. Sebuah seni pendisiplinan yang, meskipun kadang tak tampak,
senantiasa bekerja di balik layar, membentuk tubuh sosial dalam diam. Seperti
Sisyphus yang menggulung batu tanpa henti, hukum adat terus berlanjut—terus
bergulir, tanpa pernah benar-benar mencapai puncaknya, namun tetap hadir
sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang tak pernah selesai dipahami.***