Iklan

Seni Pendisiplinan dengan Hukum Adat

syamsul kurniawan
Sunday, July 13, 2025
Last Updated 2025-07-13T10:39:31Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates



 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

HUKUM ADAT, sebuah wujud kesepakatan masyarakat yang terikat dalam sistem nilai dan budaya lokal, senantiasa menjadi entitas yang terus berevolusi. Meski tak terkodifikasi dalam bentuk perundang-undangan negara, hukum adat di Indonesia telah mengakar dalam hidup masyarakat adat, mengatur tatanan sosial hingga bentuk sanksi riil yang mengikat. Di balik fungsi hukum adat yang terlihat begitu dekat dengan tradisi, kita bisa melihatnya sebagai bentuk pendisiplinan yang lebih dari sekadar regulasi—ia adalah instrumen kekuasaan yang secara halus namun pasti membentuk tubuh individu dan masyarakat.

 

Michel Foucault (1977), dalam teorinya tentang "disiplin tubuh" mengajukan bahwa kekuasaan modern tidak hanya hadir dalam bentuk penindasan eksplisit, tetapi juga dalam pembentukan norma yang mengatur tubuh dan perilaku individu. Hukum adat, meski tidak selalu jelas, bertindak serupa—sebagai alat untuk mengatur dan membentuk tubuh sosial melalui norma dan nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat. Tidak hanya menuntut kepatuhan individu, hukum adat juga turut menandai tubuh masyarakat yang menjadi objek pengawasan sosial. Seiring waktu, keduanya—hukum adat dan kekuasaan—terjalin dalam relasi yang kompleks dan sering kali tak terlihat.

 

Secara struktural, hukum adat tampak sederhana: kebiasaan yang dipatuhi oleh masyarakat tertentu. Namun, jika ditelaah lebih dalam, hukum adat bukan hanya tentang tradisi atau tata cara ritual, melainkan juga sebuah jaringan disiplin yang terjalin di dalamnya. Menurut Foucault, kekuasaan tidak hanya terpusat pada institusi formal, seperti negara atau pemerintah, melainkan tersebar di seluruh jaringan sosial. Dalam konteks ini, hukum adat bisa dianggap sebagai salah satu bentuk kekuasaan yang menyebar ke dalam kehidupan sehari-hari, membentuk tingkah laku masyarakat dan individu tanpa mereka sadari.

***

 

Hukum adat adalah seni pendisiplinan yang bergerak dalam ruang-ruang kebersamaan. Di sini, sanksi sosial bertindak bukan hanya sebagai hukuman bagi pelanggar, tetapi lebih kepada kontrol terhadap tubuh—baik itu tubuh individu maupun tubuh masyarakat secara keseluruhan. Ia mengatur tubuh untuk tetap berada dalam batasan norma yang telah ditetapkan. Bagi masyarakat adat, hukum bukan sekadar peraturan yang ditetapkan oleh pihak berwenang, melainkan sesuatu yang hidup dan melekat dalam tubuh mereka. Hukum adat menjadi kekuatan yang membentuk gerak dan perilaku mereka dalam setiap interaksi sosial.

 

Boleh jadi, hukum adat sering dianggap sebagai sesuatu yang primitif, sebuah warisan dari masa lalu yang seharusnya diubah sesuai dengan tuntutan zaman. Namun, jika kita menengoknya dengan lensa Foucault, hukum adat justru adalah sistem yang memiliki potensi untuk mengontrol dan mengatur lebih jauh. Dalam masyarakat adat, hukum bukan hanya tentang pengaturan perilaku, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat memperlakukan pelanggaran dan bagaimana masyarakat itu sendiri menjadi penjaga ketertiban. Hukum adat berperan sebagai jaringan kekuasaan yang sangat dekat dengan kehidupan individu, tanpa pernah menjadikannya sebagai obyek yang langsung tampak oleh mata.

 

Hukum adat, dengan segala daya kekuasaan yang tersembunyi di dalamnya, mirip dengan kisah mitologi Yunani tentang Sisyphus—seorang raja yang dihukum oleh para dewa untuk menggulung batu besar ke puncak gunung, hanya untuk menyaksikan batu itu terguling kembali setiap kali hampir sampai di puncak. Hukuman Sisyphus, yang abadi dan tak kunjung selesai, mencerminkan esensi dari pendisiplinan yang tak henti-hentinya. Ia adalah simbol dari siklus kekuasaan yang terus berputar tanpa henti, tanpa ruang untuk pembebasan. Seperti Sisyphus, masyarakat adat terus bergulat dengan hukum adat, yang meskipun hadir sebagai kekuatan yang mengatur, juga merupakan beban yang harus dihadapi tanpa titik akhir yang jelas.

 

Kisah Sisyphus mengingatkan kita akan ketidakberdayaan yang terpendam dalam ritme kekuasaan yang terstruktur. Begitu pula dengan hukum adat, yang meskipun memiliki potensi untuk mendisiplinkan, sering kali juga menjadi beban bagi mereka yang terperangkap di dalamnya. Seperti batu yang terus-menerus jatuh ke bawah, masyarakat adat sering kali merasakan bahwa meskipun mereka berusaha untuk menjaga tatanan yang telah ada, hukum adat tetap bergulir dan memaksa mereka untuk mengulang langkah yang sama tanpa ada penyelesaian yang pasti. Dalam perspektif Foucault, ini adalah gambaran dari "panopticism"—pengawasan yang terus-menerus, sebuah pengulangan yang tak berujung, yang menekan individu dan masyarakat.

 

Namun, kita juga harus kritis terhadap kenyataan bahwa hukum adat tidak selalu berjalan mulus. Ada kalanya sistem ini terjebak dalam ketidakpastian, seiring dengan hilangnya otoritas lembaga adat di beberapa tempat akibat dominasi struktur pemerintahan modern. Sebagai contoh, keberadaan Kepala Desa yang diangkat oleh negara, yang menempatkan posisi ini sebagai pemimpin tertinggi, berpotensi menggusur peran Kepala Adat yang seharusnya dipilih oleh rakyatnya sendiri. Dengan demikian, hukum adat—yang seharusnya menjadi kontrol sosial—berisiko kehilangan fungsinya sebagai bentuk kekuasaan yang mengikat masyarakat secara langsung.

 

Mengambil perspektif Foucault, kita melihat bahwa kekuasaan dalam hukum adat adalah kekuasaan yang tersebar, yang bekerja bukan melalui pengaruh yang langsung, melainkan melalui pengaturan sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat. Dalam sejarah, kita melihat bahwa hukum adat adalah wujud dari norma-norma sosial yang berkembang seiring waktu, dan terus berlanjut, meski kadang terabaikan oleh sistem hukum negara. Keberadaan hukum adat di Indonesia menunjukkan betapa pentingnya norma yang hidup dalam masyarakat, yang mengatur tubuh dan perilaku manusia secara halus tetapi efektif.

 

Berkaca pada teori Foucault tentang "panopticism", kita bisa melihat hukum adat bekerja dengan cara yang mirip: ia menciptakan pengawasan yang terus-menerus terhadap individu, meski tidak selalu terlihat. Misalnya, dalam komunitas adat, setiap tindakan individu tidak hanya dinilai berdasarkan hukum tertulis, tetapi juga berdasarkan nilai-nilai adat yang diakui oleh masyarakat. Jika seseorang melanggar adat, ia tidak hanya mendapat hukuman formal, tetapi juga dapat mengalami isolasi sosial yang jauh lebih keras—sebuah hukuman yang jauh lebih mengikat daripada yang terlihat di permukaan.

 

Di sisi lain, hukum adat juga mengandung potensi untuk membuka ruang bagi partisipasi dan demokrasi lokal. Sebagai sistem yang berakar pada kearifan lokal, hukum adat sering kali lebih dekat dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat memungkinkan musyawarah dan mufakat sebagai cara untuk menyelesaikan sengketa, menciptakan ruang bagi partisipasi aktif warga dalam pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang ada dalam hukum adat tidak hanya bersifat represif, tetapi juga partisipatif, tergantung pada bagaimana masyarakat itu mengatur dan mengendalikan dirinya.

 

Namun, meski hukum adat memiliki potensi untuk membangun demokrasi lokal, kita tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan bahwa dalam beberapa kasus, hukum adat justru bisa memperkuat ketidakadilan, terutama bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat. Sebagai contoh, dalam beberapa masyarakat adat, perempuan atau kelompok minoritas bisa menjadi korban dari norma-norma adat yang patriarkis, di mana posisi mereka lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Inilah yang mengingatkan kita bahwa hukum adat juga harus senantiasa diawasi dan dikritisi, agar tidak jatuh dalam perangkap kekuasaan yang tidak adil.

 

Perlu diingat bahwa meski hukum adat berperan sebagai alat pendisiplinan yang kuat, ia juga membawa potensi untuk resistansi. Foucault mengemukakan bahwa dalam setiap sistem kekuasaan, selalu ada ruang bagi pembangkangan, bagi mereka yang merasa terpinggirkan atau terintimidasi oleh norma-norma yang ada. Dalam konteks hukum adat, hal ini bisa terjadi dalam bentuk perlawanan terhadap norma-norma yang dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi zaman, atau dalam bentuk perlawanan terhadap otoritas lembaga adat yang sudah kehilangan legitimasi.

***

 

Kisah Sisyphus kembali terngiang dalam konteks ini: meskipun Sisyphus dihukum untuk menggulung batu tanpa henti, ada ruang bagi kita untuk mempertanyakan—adakah cara untuk mengakhiri siklus tersebut? Dalam hal hukum adat, pembangkangan terhadap struktur yang ada bisa menjadi cara untuk menuntut perubahan. Resistansi terhadap norma-norma yang sudah tidak relevan atau terhadap sistem yang dianggap menindas bisa menjadi langkah pertama dalam mengakhiri siklus ketidakadilan yang berulang, seperti batu yang terus jatuh ke bawah.

 

Di sini, kita melihat bahwa hukum adat bukanlah entitas yang statis; ia adalah sebuah proses yang senantiasa bergolak, beradaptasi, dan terkadang bertransformasi. Hukum adat dapat menjadi alat kontrol yang membentuk tubuh sosial, tetapi ia juga bisa menjadi ruang untuk ekspresi diri dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Dalam setiap tatanan hukum adat, ada dinamika kekuasaan yang harus dipahami dengan seksama.

 

Dalam konteks modern, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa hukum adat, meskipun telah diakui oleh negara dalam beberapa aspek, masih berhadapan dengan tantangan besar dalam menavigasi keberagaman hukum dan tradisi yang ada di Indonesia. Hal ini menciptakan ketegangan antara negara dan masyarakat adat, di mana hukum negara dan hukum adat sering kali tidak sejalan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Foucault, dalam setiap perjuangan antara kekuasaan dan resistansi, selalu ada ruang untuk perubahan—dan hukum adat mungkin menjadi salah satu medan pertempuran yang paling menarik untuk diperhatikan.

 

Sampai di sini, kita mesti menyadari bahwa hukum adat bukan hanya soal tradisi atau ritual, melainkan tentang bagaimana kekuasaan bekerja dalam kehidupan sehari-hari, mengatur tubuh sosial melalui norma-norma yang tak terlihat. Ia adalah seni pendisiplinan yang harus dipahami dalam kedalaman dan kompleksitasnya, agar tidak jatuh dalam perangkap tradisionalisme atau modernisme yang sempit. Sebuah seni yang mesti senantiasa diawasi dan diadaptasi, agar tetap relevan dengan perubahan zaman dan tetap mengakomodasi nilai-nilai keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat.

 

Di ujung jalan, hukum adat bukan hanya sistem hukum, tetapi sebuah wujud budaya yang mencerminkan hubungan antara individu dan masyarakat, antara manusia dan alam, serta antara kekuasaan dan resistansi. Sebuah seni pendisiplinan yang, meskipun kadang tak tampak, senantiasa bekerja di balik layar, membentuk tubuh sosial dalam diam. Seperti Sisyphus yang menggulung batu tanpa henti, hukum adat terus berlanjut—terus bergulir, tanpa pernah benar-benar mencapai puncaknya, namun tetap hadir sebagai bagian dari kehidupan masyarakat yang tak pernah selesai dipahami.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now