Oleh: Syamsul Kurniawan
Di Indonesia, hampir setiap suku memiliki
semacam ritual kekerasan yang diwariskan. Tapi bukan sebagai glorifikasi darah.
Kekerasan, bagi masyarakat adat, bukan sekadar alat melukai. Ia adalah ekspresi
ekstrem dari sesuatu yang tak bisa diwakilkan dengan kata-kata: harga diri,
ruang hidup, dan kehormatan.
Dalam
sejarahnya, tak satu pun suku besar di negeri ini yang lahir tanpa luka. Luka
karena tanah diambil, karena nama dihilangkan, karena bahasa dibungkam. Lalu
kekerasan—yang tampaknya irasional itu—menjadi bahasa yang bisa dipahami oleh
kekuasaan yang tuli.
Sayangnya,
cara pandang terhadap kekerasan adat kerap diringkus dalam kategori
"barbar." Kita terlalu cepat mengutuk, terlalu malas membaca konteks.
Padahal dalam kekerasan itu ada sistem, ada tata cara, ada batas. Ia bukan
ledakan, melainkan keputusan yang terakhir.
Lalu hukum
adat. Ia hadir bukan sebagai tandingan negara, tapi sebagai jalan sunyi yang
dirumuskan masyarakat sebelum negara itu sendiri lahir. Ia hidup, meski tak
tertulis. Ia mengatur, meski tak mencetak sanksi di surat kabar. Ia dihormati,
karena rasa malu lebih besar dari rasa takut.
Tetapi yang
ditulis sejarah justru yang sebaliknya. Yang menang, yang datang dengan surat
keputusan, yang membawa peta dan peraturan perundang-undangan. Dan kita, yang
lahir dari kearifan itu, malah diajari untuk melupakannya.
Kita
dibiasakan memuja sertifikat, membanggakan keputusan pengadilan, dan mencibir
sidang adat. Padahal, sebelum ruang pengadilan dibangun, para tetua sudah lama
menegakkan keadilan di tengah kebun, di bawah rumah panggung, dengan saksi
pepohonan.
Di
Kalimantan, salam pembuka dalam forum resmi kadang terdengar asing di telinga
orang luar. Tapi bagi orang Kalbar, itu bukan basa-basi. Itu identitas. Ia
menyiratkan bahwa ada keinginan untuk diakui bukan hanya secara administratif,
tapi juga secara kultural.
Konflik yang
sering terjadi di Kalbar—antara Dayak, Melayu dan Madura, antara perusahaan dan
warga, antara adat dan negara—sering dikemas dalam bahasa keamanan. Tapi akar
dari semua itu adalah kegagalan mendengar. Kegagalan memahami sejarah rasa
curiga, luka kolektif, dan narasi yang tidak pernah selesai.
Mengapa Bisa Bercerai-Berai?
Mungkin
karena kita tak benar-benar pernah membangun bangsa ini. Kita hanya
menyatukannya dalam peta. Tapi bukan dalam ingatan. Bukan dalam rasa saling.
Kita membuat
negara, tapi gagal membuat ruang yang memungkinkan perbedaan hidup sejajar.
Kita bicara Bhineka, tapi memaksa seragam. Kita bicara adat, tapi hanya sebagai
kostum dalam festival.
Padahal,
hukum adat adalah ingatan kolektif. Ia bukan relik, ia mekanisme. Ia adalah
bagaimana manusia berdamai dengan tanah, dengan sesama, dan dengan sejarah.
Tapi kita lebih suka menertawakan itu semua.
Di
Kalimantan Barat, konflik menjadi wajah yang akrab. Antara sesama warga, antara
warga dan korporasi. Lalu muncul stigma: Kalbar adalah tanah konflik, tanah
kekerasan, tanah primitif. Sebuah kesimpulan malas yang mengabaikan sejarah
panjang ketidakadilan yang disulut oleh keserakahan.
Snouck
Hurgronje, ahli strategi kolonial, tahu benar bagaimana memecah kekuatan. Ia
mengamati Aceh, dan menemukan bahwa ketika nasionalisme lemah, maka perlawanan
bisa dihancurkan dari dalam. Pecah belah bukan dengan senjata, tapi dengan
retorika: agama, adat, dan identitas diseret ke dalam konflik buatan.
Negara
seharusnya belajar dari itu. Bahwa sekat-sekat yang dibuat—atas nama agama,
ras, dan adat—seringkali bukan berasal dari dalam, tapi dimasukkan perlahan
sebagai teknik kuasa. Maka, ketika kita bicara cinta tanah air, seharusnya
bukan dengan slogan, tapi dengan kesadaran bahwa profesionalisme jauh lebih
penting dari seruan patriotik yang kosong.
Ada
perbedaan besar antara cinta tanah air dan membela kepentingan negara. Yang
pertama lahir dari keterikatan, yang kedua sering dipaksakan. Ketika manajer
tambang bicara investasi, warga bicara ladang. Ketika negara bicara kepastian
hukum, masyarakat adat bicara tentang sungai yang tak lagi jernih.
Kita bicara
tentang hukum, tapi hanya dengan satu nada. Seolah semua bisa diletakkan dalam
hukum nasional. Padahal, hukum adat menyentuh hal-hal yang sangat nyata: jual
beli, sengketa tanah, pernikahan, warisan. Ia bukan abstrak, ia praktis.
Di tengah
problem hukum yang menumpuk, sering kali yang kurang bukanlah pasal, tapi
keberanian untuk kembali pada apa yang sudah lama hidup dan terbukti: hukum
adat. Kearifan lokal bukan sekadar warisan, ia adalah jalan keluar.
Kearifan
lokal, jika kita jujur, adalah sistem yang lahir dari pengalaman bersama. Bukan
dari seminar, bukan dari makalah, tapi dari hidup yang dijalani bersama-sama.
Ia dihafal, bukan dibaca. Ia ditaati, bukan dipaksakan.
Kita
menyebut negara ini negara hukum. Tapi hukum mana yang kita ikuti? Hukum
kolonial yang diwariskan? Hukum barat yang diimpor? Atau hukum yang tumbuh dari
tanah kita sendiri, yang disebut Snouck sebagai "adat"—dan justru itu
yang dulu digunakan untuk melemahkan kita?
Di sinilah
letak paradoks kita: hukum adat pertama kali dikenali oleh penjajah. Diberi
nama, lalu disusun dalam catatan. Dan setelah merdeka, kita malah menganggapnya
tidak modern. Seolah modernitas adalah menolak akar.
Tapi hukum
adat tak pernah usang. Ia hanya terus diabaikan. Dalam proses legislasi pun,
kita jarang memberi ruang untuk mekanisme lokal. Padahal, hukum agama saja bisa
diakomodasi. Gereja Katolik punya pengaruh besar dalam hukum beberapa negara.
Mengapa adat tidak bisa?
Mungkin
karena kita tidak pernah sungguh-sungguh percaya pada rakyat kita sendiri. Kita
lebih percaya pada hukum tertulis, pada prosedur, pada wacana legalistik.
Padahal, ketika bicara keadilan, masyarakat adat sudah lama menjalaninya—dalam
bentuk konsensus, bukan konflik.
Tiga hal
menjadi kunci dalam memahami tulisan ini: pertama, kearifan lokal; kedua, hukum
adat; dan ketiga, meningkatnya tertib hukum dalam masyarakat. Tapi semua itu
hanya mungkin jika kita bersedia menanggalkan anggapan bahwa hanya satu bentuk
hukum yang sah.
Negara tidak
lahir untuk menyeragamkan, tapi untuk menampung. Ia bukan pabrik hukum,
melainkan ruang hidup bagi semua bentuk kebijakan yang adil. Karena keadilan
bukan satu bentuk. Ia beragam, seperti masyarakat yang dilayaninya.
Lalu apa
artinya hukum, jika ia gagal memberi rasa aman? Apa artinya negara hukum jika
warganya harus kembali pada parang dan panah untuk menyelesaikan ketidakadilan?
Hukum adat,
pada akhirnya, adalah upaya paling jujur dari rakyat untuk tidak saling
melukai. Tapi ketika ia tak dihormati, maka luka itu jadi tak terhindarkan.
Tulisan ini
bukan glorifikasi terhadap kekerasan adat. Tapi ini juga bukan seruan untuk
mencabutnya dari akar. Ini adalah seruan untuk membaca: bahwa di balik tradisi
kekerasan itu, ada sistem yang ingin didengar. Ada suara yang minta diakui.
Dan mungkin,
jika kita mulai dari sana—dari mendengar dan mengakui—barulah kita bisa
membangun hukum yang tak lagi berdiri di atas luka. Tapi tumbuh dari
kepercayaan. Dari rasa saling memiliki. Dari Indonesia yang lebih utuh.***