Iklan

Hukum Adat dan Luka yang Tak Selesai

syamsul kurniawan
Friday, July 11, 2025
Last Updated 2025-07-13T11:02:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di Indonesia, hampir setiap suku memiliki semacam ritual kekerasan yang diwariskan. Tapi bukan sebagai glorifikasi darah. Kekerasan, bagi masyarakat adat, bukan sekadar alat melukai. Ia adalah ekspresi ekstrem dari sesuatu yang tak bisa diwakilkan dengan kata-kata: harga diri, ruang hidup, dan kehormatan.

Dalam sejarahnya, tak satu pun suku besar di negeri ini yang lahir tanpa luka. Luka karena tanah diambil, karena nama dihilangkan, karena bahasa dibungkam. Lalu kekerasan—yang tampaknya irasional itu—menjadi bahasa yang bisa dipahami oleh kekuasaan yang tuli.

Sayangnya, cara pandang terhadap kekerasan adat kerap diringkus dalam kategori "barbar." Kita terlalu cepat mengutuk, terlalu malas membaca konteks. Padahal dalam kekerasan itu ada sistem, ada tata cara, ada batas. Ia bukan ledakan, melainkan keputusan yang terakhir.

Lalu hukum adat. Ia hadir bukan sebagai tandingan negara, tapi sebagai jalan sunyi yang dirumuskan masyarakat sebelum negara itu sendiri lahir. Ia hidup, meski tak tertulis. Ia mengatur, meski tak mencetak sanksi di surat kabar. Ia dihormati, karena rasa malu lebih besar dari rasa takut.

Tetapi yang ditulis sejarah justru yang sebaliknya. Yang menang, yang datang dengan surat keputusan, yang membawa peta dan peraturan perundang-undangan. Dan kita, yang lahir dari kearifan itu, malah diajari untuk melupakannya.

Kita dibiasakan memuja sertifikat, membanggakan keputusan pengadilan, dan mencibir sidang adat. Padahal, sebelum ruang pengadilan dibangun, para tetua sudah lama menegakkan keadilan di tengah kebun, di bawah rumah panggung, dengan saksi pepohonan.

Di Kalimantan, salam pembuka dalam forum resmi kadang terdengar asing di telinga orang luar. Tapi bagi orang Kalbar, itu bukan basa-basi. Itu identitas. Ia menyiratkan bahwa ada keinginan untuk diakui bukan hanya secara administratif, tapi juga secara kultural.

Konflik yang sering terjadi di Kalbar—antara Dayak, Melayu dan Madura, antara perusahaan dan warga, antara adat dan negara—sering dikemas dalam bahasa keamanan. Tapi akar dari semua itu adalah kegagalan mendengar. Kegagalan memahami sejarah rasa curiga, luka kolektif, dan narasi yang tidak pernah selesai.

 

Mengapa Bisa Bercerai-Berai?

Mungkin karena kita tak benar-benar pernah membangun bangsa ini. Kita hanya menyatukannya dalam peta. Tapi bukan dalam ingatan. Bukan dalam rasa saling.

Kita membuat negara, tapi gagal membuat ruang yang memungkinkan perbedaan hidup sejajar. Kita bicara Bhineka, tapi memaksa seragam. Kita bicara adat, tapi hanya sebagai kostum dalam festival.

Padahal, hukum adat adalah ingatan kolektif. Ia bukan relik, ia mekanisme. Ia adalah bagaimana manusia berdamai dengan tanah, dengan sesama, dan dengan sejarah. Tapi kita lebih suka menertawakan itu semua.

Di Kalimantan Barat, konflik menjadi wajah yang akrab. Antara sesama warga, antara warga dan korporasi. Lalu muncul stigma: Kalbar adalah tanah konflik, tanah kekerasan, tanah primitif. Sebuah kesimpulan malas yang mengabaikan sejarah panjang ketidakadilan yang disulut oleh keserakahan.

Snouck Hurgronje, ahli strategi kolonial, tahu benar bagaimana memecah kekuatan. Ia mengamati Aceh, dan menemukan bahwa ketika nasionalisme lemah, maka perlawanan bisa dihancurkan dari dalam. Pecah belah bukan dengan senjata, tapi dengan retorika: agama, adat, dan identitas diseret ke dalam konflik buatan.

Negara seharusnya belajar dari itu. Bahwa sekat-sekat yang dibuat—atas nama agama, ras, dan adat—seringkali bukan berasal dari dalam, tapi dimasukkan perlahan sebagai teknik kuasa. Maka, ketika kita bicara cinta tanah air, seharusnya bukan dengan slogan, tapi dengan kesadaran bahwa profesionalisme jauh lebih penting dari seruan patriotik yang kosong.

Ada perbedaan besar antara cinta tanah air dan membela kepentingan negara. Yang pertama lahir dari keterikatan, yang kedua sering dipaksakan. Ketika manajer tambang bicara investasi, warga bicara ladang. Ketika negara bicara kepastian hukum, masyarakat adat bicara tentang sungai yang tak lagi jernih.

Kita bicara tentang hukum, tapi hanya dengan satu nada. Seolah semua bisa diletakkan dalam hukum nasional. Padahal, hukum adat menyentuh hal-hal yang sangat nyata: jual beli, sengketa tanah, pernikahan, warisan. Ia bukan abstrak, ia praktis.

Di tengah problem hukum yang menumpuk, sering kali yang kurang bukanlah pasal, tapi keberanian untuk kembali pada apa yang sudah lama hidup dan terbukti: hukum adat. Kearifan lokal bukan sekadar warisan, ia adalah jalan keluar.

Kearifan lokal, jika kita jujur, adalah sistem yang lahir dari pengalaman bersama. Bukan dari seminar, bukan dari makalah, tapi dari hidup yang dijalani bersama-sama. Ia dihafal, bukan dibaca. Ia ditaati, bukan dipaksakan.

Kita menyebut negara ini negara hukum. Tapi hukum mana yang kita ikuti? Hukum kolonial yang diwariskan? Hukum barat yang diimpor? Atau hukum yang tumbuh dari tanah kita sendiri, yang disebut Snouck sebagai "adat"—dan justru itu yang dulu digunakan untuk melemahkan kita?

Di sinilah letak paradoks kita: hukum adat pertama kali dikenali oleh penjajah. Diberi nama, lalu disusun dalam catatan. Dan setelah merdeka, kita malah menganggapnya tidak modern. Seolah modernitas adalah menolak akar.

Tapi hukum adat tak pernah usang. Ia hanya terus diabaikan. Dalam proses legislasi pun, kita jarang memberi ruang untuk mekanisme lokal. Padahal, hukum agama saja bisa diakomodasi. Gereja Katolik punya pengaruh besar dalam hukum beberapa negara. Mengapa adat tidak bisa?

Mungkin karena kita tidak pernah sungguh-sungguh percaya pada rakyat kita sendiri. Kita lebih percaya pada hukum tertulis, pada prosedur, pada wacana legalistik. Padahal, ketika bicara keadilan, masyarakat adat sudah lama menjalaninya—dalam bentuk konsensus, bukan konflik.

Tiga hal menjadi kunci dalam memahami tulisan ini: pertama, kearifan lokal; kedua, hukum adat; dan ketiga, meningkatnya tertib hukum dalam masyarakat. Tapi semua itu hanya mungkin jika kita bersedia menanggalkan anggapan bahwa hanya satu bentuk hukum yang sah.

Negara tidak lahir untuk menyeragamkan, tapi untuk menampung. Ia bukan pabrik hukum, melainkan ruang hidup bagi semua bentuk kebijakan yang adil. Karena keadilan bukan satu bentuk. Ia beragam, seperti masyarakat yang dilayaninya.

Lalu apa artinya hukum, jika ia gagal memberi rasa aman? Apa artinya negara hukum jika warganya harus kembali pada parang dan panah untuk menyelesaikan ketidakadilan?

Hukum adat, pada akhirnya, adalah upaya paling jujur dari rakyat untuk tidak saling melukai. Tapi ketika ia tak dihormati, maka luka itu jadi tak terhindarkan.

Tulisan ini bukan glorifikasi terhadap kekerasan adat. Tapi ini juga bukan seruan untuk mencabutnya dari akar. Ini adalah seruan untuk membaca: bahwa di balik tradisi kekerasan itu, ada sistem yang ingin didengar. Ada suara yang minta diakui.

Dan mungkin, jika kita mulai dari sana—dari mendengar dan mengakui—barulah kita bisa membangun hukum yang tak lagi berdiri di atas luka. Tapi tumbuh dari kepercayaan. Dari rasa saling memiliki. Dari Indonesia yang lebih utuh.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now