Iklan

Antara Fatherless dan Latte Dads: Mencari Ayah di Zaman yang Sibuk

syamsul kurniawan
Friday, September 5, 2025
Last Updated 2025-09-06T05:54:49Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di Indonesia, istilah fatherless kini menjadi tanda bahaya sosial yang semakin nyata. Fenomena ini tidak sekadar menyiratkan ketiadaan ayah secara fisik, melainkan juga absennya keterlibatan emosional seorang ayah dalam kehidupan anak. Banyak keluarga tampak utuh dari luar, tetapi di dalam rumah, ayah hanya berperan sebagai siluet yang samar. Ia ada, tetapi tak pernah benar-benar hadir.

 

Data-data survey mengingatkan kita akan dampak serius fenomena ini. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah cenderung memiliki masalah dalam perkembangan emosional, psikologis, dan sosial. Mereka lebih rentan mengalami kecemasan, kesepian, bahkan depresi. Semua ini bukanlah sekadar anekdot, melainkan sebuah realitas yang berulang dalam banyak rumah tangga di negeri ini.

 

Dalam kaca mata sosiologi, apa yang kita sebut fatherless bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari struktur sosial yang lebih besar: relasi ekonomi, tekanan budaya, dan pergeseran nilai keluarga. Absennya ayah sering dianggap konsekuensi logis dari tuntutan kerja dan beban nafkah. Padahal, lebih dari itu, ia adalah reproduksi pola yang diwariskan lintas generasi.

 

Pierre Bourdieu (1977) memperkenalkan konsep habitus untuk menjelaskan bagaimana kebiasaan, nilai, dan cara pandang terbentuk dari struktur sosial lalu diwariskan secara tak kasat mata. Habitus tidak lahir dari kehendak bebas semata, melainkan hasil dari interaksi panjang antara individu dan lingkungannya. Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah mewarisi habitus tertentu—kerapuhan, kegamangan, atau bahkan sikap tertutup dalam berhubungan dengan orang lain. Semua ini berlangsung dalam diam, tetapi dampaknya nyata.

 

Kita bisa melihat bagaimana habitus itu bekerja. Seorang anak yang sejak kecil jarang mendapat validasi dari ayahnya mungkin tumbuh menjadi pribadi yang ragu pada diri sendiri. Ketika menghadapi dunia luar, ia lebih sering merasa tidak layak dibanding percaya diri. Ini bukan hanya masalah psikologis, melainkan modal sosial yang terpotong sejak awal. Dan dalam jangka panjang, ia bisa mempengaruhi capaian akademik, karier, hingga kualitas hubungan interpersonal.

 

Fatherless dengan demikian bukan sekadar kisah keluarga yang tidak sempurna. Ia adalah problem sosial yang lebih luas, karena mencetak generasi yang rapuh secara sistematis. Dari satu rumah tangga ke rumah tangga lain, habitus ini terus diproduksi. Maka tidak heran, jika kemudian kita melihat lingkaran rapuh itu sulit diputus: ayah yang absen melahirkan anak laki-laki yang kelak juga tidak tahu bagaimana menjadi ayah.

 

Di titik ini, kita perlu bertanya: bagaimana masyarakat lain merespons problem ketidakhadiran ayah? Menariknya, di belahan dunia lain, justru muncul tren yang berbeda sama sekali. Fenomena ini dikenal sebagai latte dads atau latte papas. Alih-alih absen, para ayah tampil di ruang publik dengan anak di pelukan, secangkir kopi di tangan, dan kesadaran penuh bahwa pengasuhan adalah bagian dari dirinya.

 

Latte dads awalnya mungkin dipandang sebagai gaya hidup urban yang lucu. Namun, di Swedia, fenomena ini bukanlah sekadar trend sesaat, melainkan hasil kebijakan negara yang sangat progresif. Sejak 1974, pemerintah memberi jatah cuti orang tua selama 480 hari yang bisa dibagi rata antara ayah dan ibu. Kebijakan itu bukan hanya memberi ruang, tetapi juga memaksa laki-laki untuk hadir dalam kehidupan anaknya.

 

Sistem itu bahkan lebih detail: setiap orang tua memiliki jatah khusus 90 hari yang tidak bisa dialihkan kepada pasangan. Dengan begitu, seorang ayah tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan bahwa peran pengasuhan adalah domain ibu. Ia diwajibkan secara sosial maupun legal untuk hadir. Akibatnya, tumbuhlah generasi ayah yang lebih lembut, terlibat, dan sadar akan pentingnya kedekatan emosional dengan anak.

 

Dari perspektif Bourdieu (1977), kebijakan ini bisa disebut sebagai rekayasa struktur sosial yang cerdas. Negara sengaja mengintervensi pola habitus lama—ayah sebagai pencari nafkah tunggal—dan menggantinya dengan pola baru—ayah sebagai pengasuh sejajar. Dengan kebiasaan baru yang dilembagakan secara sistematis, maka kapital budaya positif bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Hasilnya, anak-anak tumbuh dengan kehadiran yang lebih utuh dari kedua orang tuanya.

 

Resiko Jika Abai

 

Namun mari kembali ke konteks kita. Apa yang akan terjadi bila masalah fatherless ini terus diabaikan? Risikonya lebih besar dari yang dibayangkan. Kita bisa saja memberi makan gratis untuk menjamin tubuh sehat, tetapi jika jiwanya keropos, hasilnya adalah generasi yang ringkih di dalam.

 

Risiko pertama adalah krisis kepercayaan diri. Anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah sering kali merasa tidak memiliki pegangan. Ia mencari validasi dari luar, dan ketika gagal mendapatkannya, ia mudah terjerembab pada rasa rendah diri. Dalam banyak kasus, hal ini meluas menjadi kesulitan dalam relasi sosial dan pekerjaan.

 

Risiko kedua adalah meningkatnya masalah psikologis. Riset menunjukkan, anak yang tidak dekat dengan ayah lebih rentan mengalami depresi dan kecemasan. Mereka juga cenderung kesulitan mengelola emosi. Jika ini tidak ditangani, maka kita sedang menyiapkan generasi dengan beban kesehatan mental yang berat.

 

Risiko ketiga menyangkut aspek sosial. Absennya ayah bukan hanya memutus relasi emosional, tetapi juga memiskinkan modal sosial anak. Mereka tumbuh dengan keterampilan sosialisasi yang terbatas, sehingga sulit membangun jaringan yang sehat. Akibatnya, potensi mereka untuk berkembang di masyarakat juga terhambat.

 

Risiko keempat adalah reproduksi siklus fatherless itu sendiri. Anak laki-laki yang tidak pernah melihat bagaimana ayah terlibat dalam pengasuhan, sering kali tidak memiliki referensi saat kelak menjadi ayah. Ia mengulang pola yang sama: absen, canggung, atau bahkan tidak tahu bagaimana membangun kelekatan dengan anak. Dengan begitu, masalah ini tidak berhenti di satu generasi, melainkan terus berlanjut.

 

Jika semua risiko ini diabaikan, maka kita sebenarnya sedang menghadapi ancaman sosial yang serius. Bukan hanya generasi rapuh, melainkan juga masyarakat yang kehilangan ketangguhan kolektif. Sebuah bangsa tidak bisa kuat jika keluarga-keluarganya rapuh. Dan keluarga tidak bisa kokoh jika ayah hanya menjadi nama di kartu keluarga, bukan figur yang hidup di ruang sehari-hari.

 

Pada titik ini, kita bisa menoleh kembali ke praktik latte dads yang tumbuh subur di Swedia. Apa yang mereka lakukan adalah kebalikan dari apa yang kita abaikan. Mereka menyadari, kehadiran seorang ayah tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Ia bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi bagi keseimbangan psikologis seorang anak.

 

Dari situ, kita belajar bahwa kebijakan negara memegang peran penting dalam mengubah kebiasaan sosial. Tidak cukup hanya menyuruh orang tua sadar pentingnya pengasuhan. Perlu regulasi yang mendesak mereka untuk hadir. Di Swedia, cuti ayah yang wajib diambil adalah cara negara mengatakan: anak membutuhkan ayah, bukan hanya ibu.

 

Perubahan ini membuktikan bahwa habitus bisa digeser dengan intervensi struktural. Seorang ayah yang awalnya hanya berpikir mencari nafkah, tiba-tiba dipaksa untuk mengganti popok, memandikan anak, dan menidurkan bayi. Dari kebiasaan yang awalnya terpaksa, lahirlah keterikatan emosional yang mendalam. Lama-lama, itu bukan lagi kewajiban, melainkan kebutuhan.

 

James Clear dalam Atomic Habits (2018) mengatakan, perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil yang konsisten. Itulah yang terjadi pada latte dads. Hal-hal kecil seperti menggendong anak ke taman, menyiapkan sarapan, atau sekadar mendengar celoteh mereka, membangun pondasi emosional yang kokoh. Anak tumbuh dengan rasa aman, percaya diri, dan tahu dirinya dicintai.

 

Jika fatherless melahirkan habitus yang rapuh, maka latte dads menciptakan habitus yang tangguh. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil itulah tercipta generasi baru yang lebih siap menghadapi dunia. Dan perbedaan itu ditentukan oleh satu hal sederhana: apakah ayah hadir atau tidak.

 

Bagi Indonesia, pelajaran ini amat penting. Saat kita sibuk membicarakan soal ekonomi makro, pembangunan infrastruktur, dan program makan bergizi gratis, jangan sampai kita melupakan satu hal: nutrisi jiwa. Anak-anak tidak hanya membutuhkan gizi seimbang untuk tubuh mereka, tetapi juga cinta dan kehadiran ayah untuk jiwa mereka.

 

Jika tidak, kita mungkin akan menghasilkan generasi sehat secara fisik, tetapi rapuh secara batin. Mereka yang kuat berlari, tetapi goyah menghadapi kesepian. Mereka yang pintar berhitung, tetapi canggung membangun hubungan. Inilah risiko yang sering kali luput dari pembicaraan kebijakan publik.

 

Kita bisa belajar dari model Swedia, namun tentu tidak bisa serta merta menyalinnya. Konteks sosial, budaya, dan ekonomi Indonesia berbeda. Tetapi esensi yang sama berlaku: negara harus menciptakan ruang agar ayah bisa hadir. Tanpa ruang itu, ayah akan selalu kalah oleh tekanan kerja, tuntutan ekonomi, dan budaya patriarki yang mengekang.

 

Maka, perlu ada kebijakan afirmatif. Bukan sekadar anjuran moral, melainkan aturan yang nyata. Cuti ayah, fleksibilitas kerja, bahkan kampanye publik yang menormalkan ayah sebagai pengasuh. Semua itu adalah upaya kecil untuk mengubah habitus kita yang sudah lama lumpuh.

 

Kebijakan semacam itu tidak hanya melindungi anak, tetapi juga membebaskan ayah dari jebakan peran sempit. Selama ini, laki-laki hanya diukur dari seberapa banyak ia membawa uang pulang. Padahal, keberhasilan seorang ayah juga bisa diukur dari seberapa hangat ia membacakan dongeng sebelum tidur.

 

Perubahan ini, tentu, tidak mudah. Ia membutuhkan waktu, kesadaran, dan keberanian untuk menantang pola lama. Tetapi seperti kata James Clear, kebiasaan baru dibangun dari langkah kecil yang konsisten. Setiap malam yang dihabiskan seorang ayah bersama anaknya adalah investasi jangka panjang.

 

Mungkin ada yang menganggap itu sepele. Tetapi kebiasaan sepele itulah yang pada akhirnya menciptakan revolusi. Sebab, anak-anak yang merasa dicintai akan tumbuh menjadi orang dewasa yang percaya diri, penuh empati, dan siap menghadapi dunia.

 

Dan sebaliknya, anak-anak yang tumbuh dengan fatherless akan membawa luka yang tak selalu tampak. Luka itu sering baru terasa ketika mereka dewasa: dalam relasi yang gagal, dalam pekerjaan yang terhambat, atau dalam kesepian yang panjang. Semua itu bermula dari ketidakhadiran ayah yang dibiarkan begitu saja.

 

Di tengah hiruk pikuk dunia modern, mungkin sulit bagi seorang ayah untuk membagi waktu. Tetapi pertanyaan sederhana ini selalu relevan: apa yang lebih penting, target kerja hari ini atau kenangan masa kecil anak yang tak akan pernah terulang? Jawabannya menentukan wajah generasi kita esok hari.

 

Indonesia membutuhkan lebih banyak latte dads. Bukan dalam arti menenteng kopi di kafe, tetapi hadir di ruang-ruang kecil kehidupan anak. Membawa mereka ke sekolah, menjemput di sore hari, atau sekadar menemani bermain. Tindakan-tindakan kecil itulah yang pada akhirnya membangun masa depan bangsa.

 

Sebab bangsa yang kuat tidak hanya dibangun dari gedung-gedung tinggi, jalan tol, atau data ekonomi yang meningkat. Ia dibangun dari keluarga yang sehat secara emosional. Dan di dalam keluarga itu, ayah memiliki peran yang tak tergantikan.

 

Kita boleh terus menggenjot pembangunan fisik, tetapi jangan melupakan pembangunan jiwa. Sebab, tubuh yang sehat tanpa jiwa yang kokoh hanyalah setengah dari manusia. Dan jiwa yang kokoh membutuhkan ayah yang hadir.

 

Maka, kehadiran ayah bukanlah bonus, melainkan hak anak. Hak yang sama pentingnya dengan pendidikan, kesehatan, dan pangan. Jika kita mengabaikan hak itu, berarti kita sedang membiarkan generasi mendatang tumbuh pincang sejak awal.

 

Di akhir segala perdebatan, jawabannya sederhana. Yang dibutuhkan anak bukanlah ayah yang sempurna, melainkan ayah yang mau hadir. Hadir dalam tawa, hadir dalam tangis, hadir dalam keheningan malam. Sebab, kehadiran itulah yang pada akhirnya membuat seorang anak percaya bahwa dirinya pantas dicintai.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now