Oleh: Syamsul Kurniawan
Di Indonesia, istilah fatherless
kini menjadi tanda bahaya sosial yang semakin nyata. Fenomena ini tidak sekadar
menyiratkan ketiadaan ayah secara fisik, melainkan juga absennya keterlibatan
emosional seorang ayah dalam kehidupan anak. Banyak keluarga tampak utuh dari
luar, tetapi di dalam rumah, ayah hanya berperan sebagai siluet yang samar. Ia
ada, tetapi tak pernah benar-benar hadir.
Data-data survey mengingatkan
kita akan dampak serius fenomena ini. Anak-anak yang tumbuh tanpa keterlibatan
ayah cenderung memiliki masalah dalam perkembangan emosional, psikologis, dan
sosial. Mereka lebih rentan mengalami kecemasan, kesepian, bahkan depresi.
Semua ini bukanlah sekadar anekdot, melainkan sebuah realitas yang berulang
dalam banyak rumah tangga di negeri ini.
Dalam kaca mata sosiologi, apa
yang kita sebut fatherless bukanlah peristiwa tunggal yang berdiri
sendiri. Ia adalah gejala dari struktur sosial yang lebih besar: relasi
ekonomi, tekanan budaya, dan pergeseran nilai keluarga. Absennya ayah sering
dianggap konsekuensi logis dari tuntutan kerja dan beban nafkah. Padahal, lebih
dari itu, ia adalah reproduksi pola yang diwariskan lintas generasi.
Pierre Bourdieu (1977)
memperkenalkan konsep habitus untuk menjelaskan bagaimana kebiasaan,
nilai, dan cara pandang terbentuk dari struktur sosial lalu diwariskan secara
tak kasat mata. Habitus tidak lahir dari kehendak bebas semata,
melainkan hasil dari interaksi panjang antara individu dan lingkungannya.
Anak-anak yang tumbuh tanpa ayah mewarisi habitus tertentu—kerapuhan,
kegamangan, atau bahkan sikap tertutup dalam berhubungan dengan orang lain.
Semua ini berlangsung dalam diam, tetapi dampaknya nyata.
Kita bisa melihat bagaimana habitus
itu bekerja. Seorang anak yang sejak kecil jarang mendapat validasi dari
ayahnya mungkin tumbuh menjadi pribadi yang ragu pada diri sendiri. Ketika
menghadapi dunia luar, ia lebih sering merasa tidak layak dibanding percaya
diri. Ini bukan hanya masalah psikologis, melainkan modal sosial yang terpotong
sejak awal. Dan dalam jangka panjang, ia bisa mempengaruhi capaian akademik,
karier, hingga kualitas hubungan interpersonal.
Fatherless dengan demikian
bukan sekadar kisah keluarga yang tidak sempurna. Ia adalah problem sosial yang
lebih luas, karena mencetak generasi yang rapuh secara sistematis. Dari satu
rumah tangga ke rumah tangga lain, habitus ini terus diproduksi. Maka
tidak heran, jika kemudian kita melihat lingkaran rapuh itu sulit diputus: ayah
yang absen melahirkan anak laki-laki yang kelak juga tidak tahu bagaimana
menjadi ayah.
Di titik ini, kita perlu
bertanya: bagaimana masyarakat lain merespons problem ketidakhadiran ayah?
Menariknya, di belahan dunia lain, justru muncul tren yang berbeda sama sekali.
Fenomena ini dikenal sebagai latte dads atau latte papas.
Alih-alih absen, para ayah tampil di ruang publik dengan anak di pelukan,
secangkir kopi di tangan, dan kesadaran penuh bahwa pengasuhan adalah bagian
dari dirinya.
Latte dads awalnya mungkin
dipandang sebagai gaya hidup urban yang lucu. Namun, di Swedia, fenomena ini
bukanlah sekadar trend sesaat, melainkan hasil kebijakan negara yang sangat
progresif. Sejak 1974, pemerintah memberi jatah cuti orang tua selama 480 hari
yang bisa dibagi rata antara ayah dan ibu. Kebijakan itu bukan hanya memberi
ruang, tetapi juga memaksa laki-laki untuk hadir dalam kehidupan anaknya.
Sistem itu bahkan lebih detail:
setiap orang tua memiliki jatah khusus 90 hari yang tidak bisa dialihkan kepada
pasangan. Dengan begitu, seorang ayah tidak bisa lagi bersembunyi di balik
alasan bahwa peran pengasuhan adalah domain ibu. Ia diwajibkan secara sosial
maupun legal untuk hadir. Akibatnya, tumbuhlah generasi ayah yang lebih lembut,
terlibat, dan sadar akan pentingnya kedekatan emosional dengan anak.
Dari perspektif Bourdieu (1977),
kebijakan ini bisa disebut sebagai rekayasa struktur sosial yang cerdas. Negara
sengaja mengintervensi pola habitus lama—ayah sebagai pencari nafkah
tunggal—dan menggantinya dengan pola baru—ayah sebagai pengasuh sejajar. Dengan
kebiasaan baru yang dilembagakan secara sistematis, maka kapital budaya positif
bisa diturunkan kepada generasi berikutnya. Hasilnya, anak-anak tumbuh dengan
kehadiran yang lebih utuh dari kedua orang tuanya.
Resiko Jika Abai
Namun mari kembali ke konteks
kita. Apa yang akan terjadi bila masalah fatherless ini terus diabaikan?
Risikonya lebih besar dari yang dibayangkan. Kita bisa saja memberi makan
gratis untuk menjamin tubuh sehat, tetapi jika jiwanya keropos, hasilnya adalah
generasi yang ringkih di dalam.
Risiko pertama adalah krisis
kepercayaan diri. Anak yang tumbuh tanpa keterlibatan ayah sering kali merasa
tidak memiliki pegangan. Ia mencari validasi dari luar, dan ketika gagal
mendapatkannya, ia mudah terjerembab pada rasa rendah diri. Dalam banyak kasus,
hal ini meluas menjadi kesulitan dalam relasi sosial dan pekerjaan.
Risiko kedua adalah meningkatnya
masalah psikologis. Riset menunjukkan, anak yang tidak dekat dengan ayah lebih
rentan mengalami depresi dan kecemasan. Mereka juga cenderung kesulitan
mengelola emosi. Jika ini tidak ditangani, maka kita sedang menyiapkan generasi
dengan beban kesehatan mental yang berat.
Risiko ketiga menyangkut aspek
sosial. Absennya ayah bukan hanya memutus relasi emosional, tetapi juga
memiskinkan modal sosial anak. Mereka tumbuh dengan keterampilan sosialisasi
yang terbatas, sehingga sulit membangun jaringan yang sehat. Akibatnya, potensi
mereka untuk berkembang di masyarakat juga terhambat.
Risiko keempat adalah reproduksi
siklus fatherless itu sendiri. Anak laki-laki yang tidak pernah melihat
bagaimana ayah terlibat dalam pengasuhan, sering kali tidak memiliki referensi
saat kelak menjadi ayah. Ia mengulang pola yang sama: absen, canggung, atau
bahkan tidak tahu bagaimana membangun kelekatan dengan anak. Dengan begitu,
masalah ini tidak berhenti di satu generasi, melainkan terus berlanjut.
Jika semua risiko ini diabaikan,
maka kita sebenarnya sedang menghadapi ancaman sosial yang serius. Bukan hanya
generasi rapuh, melainkan juga masyarakat yang kehilangan ketangguhan kolektif.
Sebuah bangsa tidak bisa kuat jika keluarga-keluarganya rapuh. Dan keluarga
tidak bisa kokoh jika ayah hanya menjadi nama di kartu keluarga, bukan figur
yang hidup di ruang sehari-hari.
Pada titik ini, kita bisa menoleh
kembali ke praktik latte dads yang tumbuh subur di Swedia. Apa yang
mereka lakukan adalah kebalikan dari apa yang kita abaikan. Mereka menyadari,
kehadiran seorang ayah tidak bisa digantikan oleh siapa pun. Ia bukan sekadar
pelengkap, melainkan fondasi bagi keseimbangan psikologis seorang anak.
Dari situ, kita belajar bahwa
kebijakan negara memegang peran penting dalam mengubah kebiasaan sosial. Tidak
cukup hanya menyuruh orang tua sadar pentingnya pengasuhan. Perlu regulasi yang
mendesak mereka untuk hadir. Di Swedia, cuti ayah yang wajib diambil adalah
cara negara mengatakan: anak membutuhkan ayah, bukan hanya ibu.
Perubahan ini membuktikan bahwa habitus
bisa digeser dengan intervensi struktural. Seorang ayah yang awalnya hanya
berpikir mencari nafkah, tiba-tiba dipaksa untuk mengganti popok, memandikan
anak, dan menidurkan bayi. Dari kebiasaan yang awalnya terpaksa, lahirlah
keterikatan emosional yang mendalam. Lama-lama, itu bukan lagi kewajiban,
melainkan kebutuhan.
James Clear dalam Atomic
Habits (2018) mengatakan, perubahan besar lahir dari kebiasaan kecil yang
konsisten. Itulah yang terjadi pada latte dads. Hal-hal kecil seperti
menggendong anak ke taman, menyiapkan sarapan, atau sekadar mendengar celoteh
mereka, membangun pondasi emosional yang kokoh. Anak tumbuh dengan rasa aman,
percaya diri, dan tahu dirinya dicintai.
Jika fatherless melahirkan
habitus yang rapuh, maka latte dads menciptakan habitus
yang tangguh. Dari kebiasaan-kebiasaan kecil itulah tercipta generasi baru yang
lebih siap menghadapi dunia. Dan perbedaan itu ditentukan oleh satu hal
sederhana: apakah ayah hadir atau tidak.
Bagi Indonesia, pelajaran ini
amat penting. Saat kita sibuk membicarakan soal ekonomi makro, pembangunan
infrastruktur, dan program makan bergizi gratis, jangan sampai kita melupakan
satu hal: nutrisi jiwa. Anak-anak tidak hanya membutuhkan gizi seimbang untuk
tubuh mereka, tetapi juga cinta dan kehadiran ayah untuk jiwa mereka.
Jika tidak, kita mungkin akan
menghasilkan generasi sehat secara fisik, tetapi rapuh secara batin. Mereka
yang kuat berlari, tetapi goyah menghadapi kesepian. Mereka yang pintar
berhitung, tetapi canggung membangun hubungan. Inilah risiko yang sering kali
luput dari pembicaraan kebijakan publik.
Kita bisa belajar dari model
Swedia, namun tentu tidak bisa serta merta menyalinnya. Konteks sosial, budaya,
dan ekonomi Indonesia berbeda. Tetapi esensi yang sama berlaku: negara harus
menciptakan ruang agar ayah bisa hadir. Tanpa ruang itu, ayah akan selalu kalah
oleh tekanan kerja, tuntutan ekonomi, dan budaya patriarki yang mengekang.
Maka, perlu ada kebijakan
afirmatif. Bukan sekadar anjuran moral, melainkan aturan yang nyata. Cuti ayah,
fleksibilitas kerja, bahkan kampanye publik yang menormalkan ayah sebagai
pengasuh. Semua itu adalah upaya kecil untuk mengubah habitus kita yang
sudah lama lumpuh.
Kebijakan semacam itu tidak hanya
melindungi anak, tetapi juga membebaskan ayah dari jebakan peran sempit. Selama
ini, laki-laki hanya diukur dari seberapa banyak ia membawa uang pulang.
Padahal, keberhasilan seorang ayah juga bisa diukur dari seberapa hangat ia
membacakan dongeng sebelum tidur.
Perubahan ini, tentu, tidak
mudah. Ia membutuhkan waktu, kesadaran, dan keberanian untuk menantang pola
lama. Tetapi seperti kata James Clear, kebiasaan baru dibangun dari langkah
kecil yang konsisten. Setiap malam yang dihabiskan seorang ayah bersama anaknya
adalah investasi jangka panjang.
Mungkin ada yang menganggap itu
sepele. Tetapi kebiasaan sepele itulah yang pada akhirnya menciptakan revolusi.
Sebab, anak-anak yang merasa dicintai akan tumbuh menjadi orang dewasa yang
percaya diri, penuh empati, dan siap menghadapi dunia.
Dan sebaliknya, anak-anak yang
tumbuh dengan fatherless akan membawa luka yang tak selalu tampak. Luka
itu sering baru terasa ketika mereka dewasa: dalam relasi yang gagal, dalam
pekerjaan yang terhambat, atau dalam kesepian yang panjang. Semua itu bermula
dari ketidakhadiran ayah yang dibiarkan begitu saja.
Di tengah hiruk pikuk dunia
modern, mungkin sulit bagi seorang ayah untuk membagi waktu. Tetapi pertanyaan
sederhana ini selalu relevan: apa yang lebih penting, target kerja hari ini
atau kenangan masa kecil anak yang tak akan pernah terulang? Jawabannya
menentukan wajah generasi kita esok hari.
Indonesia membutuhkan lebih
banyak latte dads. Bukan dalam arti menenteng kopi di kafe, tetapi hadir
di ruang-ruang kecil kehidupan anak. Membawa mereka ke sekolah, menjemput di
sore hari, atau sekadar menemani bermain. Tindakan-tindakan kecil itulah yang
pada akhirnya membangun masa depan bangsa.
Sebab bangsa yang kuat tidak
hanya dibangun dari gedung-gedung tinggi, jalan tol, atau data ekonomi yang
meningkat. Ia dibangun dari keluarga yang sehat secara emosional. Dan di dalam
keluarga itu, ayah memiliki peran yang tak tergantikan.
Kita boleh terus menggenjot
pembangunan fisik, tetapi jangan melupakan pembangunan jiwa. Sebab, tubuh yang
sehat tanpa jiwa yang kokoh hanyalah setengah dari manusia. Dan jiwa yang kokoh
membutuhkan ayah yang hadir.
Maka, kehadiran ayah bukanlah
bonus, melainkan hak anak. Hak yang sama pentingnya dengan pendidikan,
kesehatan, dan pangan. Jika kita mengabaikan hak itu, berarti kita sedang
membiarkan generasi mendatang tumbuh pincang sejak awal.
Di akhir segala perdebatan,
jawabannya sederhana. Yang dibutuhkan anak bukanlah ayah yang sempurna,
melainkan ayah yang mau hadir. Hadir dalam tawa, hadir dalam tangis, hadir
dalam keheningan malam. Sebab, kehadiran itulah yang pada akhirnya membuat seorang
anak percaya bahwa dirinya pantas dicintai.***