Oleh: Syamsul Kurniawan
Beberapa hari ini kita disuguhi jalanan yang dipenuhi
oleh gelombang protes, di Jakarta dan di beberapa kota lain di Indonesia.
Jalanan kembali menampilkan dirinya sebagai panggung sejarah jalanan. Ribuan
orang tumpah ruah di depan gedung DPR, membawa spanduk, teriakan, dan kemarahan
yang telah terakumulasi lama. Mereka menolak apa yang dianggap sebagai
ketidakadilan: tunjangan rumah anggota parlemen yang, menurut perhitungan ICW,
membuat total gaji dan tunjangan seorang legislator mencapai sekitar Rp239 juta
per bulan. Bagi massa, ini bukan sekadar angka, melainkan simbol ketimpangan
yang menampar rasa keadilan sosial. Hari ini, giliran kaum buruh menyuarakan
aksinya.
Polisi datang dengan perangkat yang sudah akrab:
tameng, water cannon, gas air mata. Benturan tidak terelakkan, karena seperti
biasa, aspirasi yang menggema di jalan jarang disambut dengan ruang dengar.
Suara-suara yang lahir dari perut kota justru dijawab dengan asap yang membuat
sesak dada. Inilah ironi, ketika ruang publik yang seharusnya hidup dengan
dialog berubah jadi arena pertempuran fisik.
Dalam bentang mitologi Yunani, kisah Daedalus dan
Icarus memberi gambaran tentang batas antara kebebasan dan kehancuran.
Daedalus, sang perancang jenius, membuat sayap dari lilin agar bisa meloloskan
diri dari kurungan. Tapi Icarus, si anak muda yang penuh semangat, terbang
terlalu tinggi, terlalu dekat ke matahari, hingga sayapnya meleleh dan ia jatuh
ke laut. Aksi di Jakarta seakan menyalin kisah itu, dengan rakyat sebagai
Icarus yang digerakkan idealisme, namun berisiko jatuh karena terbakar euforia.
Di sisi lain, para elit justru seakan terbang terlalu
rendah, tenggelam dalam lautan pragmatisme dan keuntungan material. Mereka lupa
bahwa lilin kekuasaan juga bisa meleleh, bukan hanya oleh matahari idealisme,
melainkan juga oleh air asin ketidakpercayaan publik. Dalam bentang ini, kita
melihat kontras: rakyat mencoba meraih langit keadilan, sementara wakil mereka
sibuk menjaga fondasi rumahnya sendiri. Kedua-duanya bertemu di jalan, tapi
tidak dalam dialog, melainkan dalam kericuhan.
Habermas (1991) pernah membayangkan adanya ruang
publik, tempat warga bisa berkumpul dan berdebat dengan cara rasional. Di ruang
itu, argumen melawan argumen, bukan pentungan melawan spanduk. Namun, realitas
di Jakarta menunjukkan bahwa ruang publik itu kini menyempit. Ia tidak lagi
berbentuk forum diskursif, melainkan jalan raya yang penuh asap gas air mata.
Ruang publik itu tergantikan oleh teater konfrontasi.
Polisi dan mahasiswa, ojol dan pelajar, semua bergerak dalam koreografi yang
nyaris bisa diprediksi: teriakan, dorong-mendorong, gas air mata, lalu
kejar-kejaran. Setiap gerakan sudah seperti skrip yang pernah dipentaskan
berkali-kali. Dan yang lebih pahit, kita seolah-olah sudah terbiasa
menontonnya.
Kamera ponsel mengabadikan tiap detik. Tak lama
kemudian, video ricuh di depan DPR tersebar luas di media sosial, diunggah,
disunting, diputar ulang dengan berbagai narasi. Demo itu kemudian tidak hanya
hadir sebagai fakta, tapi juga sebagai citra yang bisa dipelintir sesuai
kepentingan. Baudrillard menyebut ini sebagai simulacra: realitas yang
digantikan oleh tanda-tanda yang melayang bebas.
Simulacra itulah yang akhirnya kita konsumsi.
Orang-orang yang tidak berada di lokasi tetap bisa “mengalami” demo, tapi
pengalaman itu sebenarnya hanyalah rekayasa media. Gas air mata bukan lagi gas
air mata; ia menjadi simbol perlawanan atau simbol kekacauan, tergantung siapa
yang menyunting videonya. Fakta menjadi kabur, yang tinggal hanya tanda.
Di titik ini, kita mesti bertanya: apakah protes masih
bisa berfungsi sebagai ruang deliberatif, ataukah ia hanya jadi tontonan
digital? Habermas mengajarkan pentingnya komunikasi rasional, tapi apa yang
tersisa bila semua disulap jadi bahan hiburan algoritma? Dialog yang seharusnya
mengikat warga dan negara justru hancur di antara tagar, meme, dan potongan
video. Ruang publik digantikan ruang trending topic.
Gas air mata menjadi lebih berarti di layar ketimbang
di paru-paru massa aksi. Batu yang dilempar mahasiswa menjadi lebih penting
sebagai konten viral ketimbang sebagai tanda frustrasi yang nyata. Kita tidak
lagi melihat demo; kita melihat estetika demo. Perlawanan pun berubah jadi
gambar yang indah sekaligus tragis.
Di Manakah Estetikanya?
Buku Protest: The Aesthetics of Resistance
(2018) oleh Michelle Akanji, dkk menulis bahwa protes selalu membawa unsur
seni. Spanduk, grafiti, bendera, bahkan nyanyian di jalan adalah estetika yang
lahir dari luka sosial. Demo di Jakarta membuktikan itu: ada bendera bajak laut
“One Piece” yang melambai di udara, simbol bahwa rakyat mengidentifikasi diri
sebagai perompak yang melawan kapal besar bernama negara. Ada humor, ada ironi,
ada kegetiran yang dijahit dalam visual.
Estetika itu tidak hanya untuk dilihat, tetapi untuk
menggerakkan. Ia menumbuhkan solidaritas, mengikat individu dalam satu tubuh
kolektif. Saat seseorang mengangkat poster bertuliskan sindiran, ia sedang
menciptakan bahasa yang melampaui kata-kata biasa. Seni perlawanan ini menjadi
ruang bernaung ketika politik formal gagal menyediakan tempat untuk berbicara.
Namun, estetika perlawanan juga punya paradoks. Ia
bisa menyembunyikan realita dengan terlalu menekankan pada simbol. Seseorang
yang melihat bendera lucu mungkin lebih tertawa daripada merenungkan seriusnya
tuntutan. Dengan demikian, estetika bisa sekaligus membebaskan dan
menutup-nutupi.
Meski begitu, estetika perlawanan selalu lahir dari
keterdesakan. Ia muncul karena jalan-jalan formal macet, karena aspirasi
terhalang birokrasi yang dingin. Maka seni di jalan adalah jalan keluar
darurat. Dan ketika gas air mata mengepung, estetika itu justru tampak semakin
kuat, seolah-olah kesakitan harus diubah menjadi puisi visual.
Tapi di sinilah letak pertanyaan yang lebih dalam:
apakah estetika itu cukup untuk membawa perubahan? Ataukah ia hanya menjadi
ornamen dari sebuah tragedi? Ketika aparat membubarkan massa, yang tersisa
hanyalah foto-foto indah di media sosial. Indah, tapi mandul secara politik.
Habermas (1991) mungkin akan berkata: estetika tidak
cukup tanpa komunikasi rasional. Aksi jalanan harus bisa menjembatani aspirasi
ke dalam sistem formal. Jika tidak, ia hanya jadi ritual yang diulang setiap
beberapa tahun, tanpa pernah menghasilkan transformasi nyata. Estetika hanya
menghibur luka, tapi tidak menyembuhkannya.
Kita kembali ke mitos Daedalus dan Icarus. Icarus
terbang tinggi karena mabuk oleh keindahan langit biru, lupa bahwa lilin
sayapnya rapuh. Begitu pula protes yang hanya terpukau oleh estetika. Ia bisa
indah, tapi juga bisa runtuh dalam sekejap jika lupa bahwa tujuan akhir adalah
perubahan sosial, bukan sekadar tontonan.
Estetika perlawanan, dalam kondisi ideal, adalah pintu
masuk ke kesadaran politik. Ia adalah cara mengundang orang untuk
memperhatikan, lalu ikut berdialog. Tapi jika berhenti di sana, demo hanya akan
meninggalkan jejak gambar tanpa hasil. Indah di permukaan, kosong di dalam.
Dan justru di situlah bahaya simulacra. Ketika
estetika perlawanan ditelan oleh media sosial, ia berisiko dipisahkan dari
realitas yang melahirkannya. Orang hanya mengingat bendera, poster, atau gas
air mata sebagai “konten” tanpa lagi peduli pada substansi tuntutannya. Demo
direduksi menjadi feed Instagram, bukan gerakan sosial.
Apakah ini yang kita mau? Demo sebagai tontonan
global, bukan sebagai wacana lokal? Estetika perlawanan bisa menjadi jebakan
bila ia dilepaskan dari ruang publik yang sehat. Gas air mata jadi dramatis,
tapi tuntutan moral tetap diabaikan.
Jakarta adalah kota yang terus berulang dalam siklus
ini: massa berkumpul, bentrok terjadi, foto viral, lalu sunyi kembali. Siklus
ini mengingatkan kita pada upacara tahunan yang kehilangan makna. Setiap kali
protes terjadi, kita seperti menonton drama yang sudah pernah kita lihat.
Narasi berubah sedikit, tetapi plot besar tetap sama.
Dalam hiperealitas, kata Baudrillard (1994), tanda
tidak lagi merepresentasikan realitas, tapi menciptakan realitas baru.
Demonstrasi di Jakarta akhirnya lebih nyata di layar ketimbang di jalan. Orang
percaya pada versi digital, bukan pada kisah tubuh-tubuh yang betul-betul hadir
di lapangan. Dunia maya mengambil alih dunia nyata.
Ini membuat perjuangan moral menjadi kabur. Apa yang
seharusnya menjadi percakapan publik berubah menjadi adu narasi. Negara punya
medianya sendiri, massa punya medianya sendiri, dan keduanya saling
menegasikan. Tak ada ruang temu yang jernih.
Padahal, di titik inilah kita paling butuh Daedalus.
Kita butuh seseorang yang bisa merancang “sayap” yang tidak gampang meleleh.
Sayap itu bisa berupa kanal dialog, forum publik yang jujur, atau proses
politik yang transparan. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang tragedi Icarus.
Mitos itu mengajarkan keseimbangan: jangan terlalu
tinggi, jangan terlalu rendah. Demo Jakarta kemarin seakan menunjukkan dua
ekstrem sekaligus. Massa terlalu tinggi dalam semangat, elit terlalu rendah
dalam moral. Hasilnya adalah benturan yang tragis.
Kita tahu bahwa demonstrasi adalah bagian sah dari
demokrasi. Ia adalah mekanisme koreksi, pengingat bahwa negara bekerja untuk
rakyat. Tapi ketika ruang formal tak terbuka, demonstrasi terpaksa menempuh
jalan konfrontasi. Dan konfrontasi jarang sekali memberi hasil yang lebih baik
dari luka.
Di dalam demokrasi deliberatif, aspirasi seharusnya
bisa masuk tanpa harus lewat gas air mata. Rakyat seharusnya bisa bicara, dan
negara seharusnya bisa mendengar. Tapi di Indonesia, dialog masih dianggap
kelemahan, sementara kekerasan dianggap kewajiban. Habermas mungkin akan
terdiam menyaksikan itu.
Kita juga tahu, protes punya daya edukasi. Ia mendidik
warga untuk kritis, untuk tidak diam. Tapi jika selalu dibalas represif, warga
bisa belajar sebaliknya: bahwa bicara itu sia-sia, bahwa jalan buntu hanya bisa
dijawab dengan jalan lain yang lebih keras. Di sini, demokrasi mulai rapuh.
Estetika perlawanan memberi warna, tetapi ia tidak
bisa menjadi satu-satunya strategi. Ia harus disertai langkah rasional,
advokasi, strategi hukum, dan kanal politik yang rapi. Kalau tidak, estetika
hanya jadi topeng, sementara realitas tetap muram. Kita butuh kombinasi, bukan
satu jalan saja.
Dari Jakarta, kita belajar lagi tentang pentingnya
ruang publik yang sehat. Demo bukan sekadar ritual, melainkan tanda bahwa
komunikasi formal tidak bekerja. Ia adalah lonceng peringatan, bahwa negara
sedang jauh dari warganya. Jika lonceng itu terus diabaikan, maka suatu saat
rumah bisa runtuh.
Gas air mata yang meledak kemarin hanyalah satu
fragmen dari persoalan besar. Masalahnya bukan hanya tunjangan, tapi juga soal
kepercayaan yang terkikis. Negara yang tidak dipercaya rakyatnya sedang berdiri
di atas pasir yang longgar. Dan pasir itu sewaktu-waktu bisa longsor.
Estetika perlawanan, simulacra media, mitos Daedalus,
semua mengajarkan hal yang sama: jangan mabuk oleh ilusi. Keadilan sosial bukan
lahir dari gambar indah, melainkan dari sistem yang berjalan. Jika hanya sibuk
pada citra, kita sedang mengulang kesalahan Icarus.
Di masa depan, mungkin demo akan semakin estetis,
semakin viral, semakin hiperreal. Tapi pertanyaan mendasar tetap sama: apakah
ia menghasilkan perubahan nyata? Atau hanya jadi koleksi gambar dalam arsip
digital yang menumpuk? Jawaban itu ada pada cara kita merawat ruang publik.
Jakarta butuh lebih dari sekadar perlawanan jalanan.
Ia butuh Daedalus baru, arsitek yang bisa membangun jembatan antara rakyat dan
negara. Jembatan itu bukan terbuat dari lilin, melainkan dari transparansi,
kejujuran, dan keberanian untuk mendengar. Tanpa itu, kita hanya akan terus
jatuh.
Maka demo yang terjadi di jalan-jalan hari ini harus
dibaca bukan hanya sebagai kericuhan, tapi juga sebagai pesan. Pesan bahwa
rakyat masih peduli, meski dengan cara yang keras. Pesan bahwa estetika
perlawanan bisa indah sekaligus getir. Dan pesan bahwa, di balik gas air mata
dan simulacra, masih ada harapan agar demokrasi menemukan bentuknya yang lebih
dewasa.***