Iklan

Protes sebagai Estetika, Jalanan sebagai Panggung

syamsul kurniawan
Thursday, August 28, 2025
Last Updated 2025-08-29T03:33:47Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Beberapa hari ini kita disuguhi jalanan yang dipenuhi oleh gelombang protes, di Jakarta dan di beberapa kota lain di Indonesia. Jalanan kembali menampilkan dirinya sebagai panggung sejarah jalanan. Ribuan orang tumpah ruah di depan gedung DPR, membawa spanduk, teriakan, dan kemarahan yang telah terakumulasi lama. Mereka menolak apa yang dianggap sebagai ketidakadilan: tunjangan rumah anggota parlemen yang, menurut perhitungan ICW, membuat total gaji dan tunjangan seorang legislator mencapai sekitar Rp239 juta per bulan. Bagi massa, ini bukan sekadar angka, melainkan simbol ketimpangan yang menampar rasa keadilan sosial. Hari ini, giliran kaum buruh menyuarakan aksinya.

 

Polisi datang dengan perangkat yang sudah akrab: tameng, water cannon, gas air mata. Benturan tidak terelakkan, karena seperti biasa, aspirasi yang menggema di jalan jarang disambut dengan ruang dengar. Suara-suara yang lahir dari perut kota justru dijawab dengan asap yang membuat sesak dada. Inilah ironi, ketika ruang publik yang seharusnya hidup dengan dialog berubah jadi arena pertempuran fisik.

 

Dalam bentang mitologi Yunani, kisah Daedalus dan Icarus memberi gambaran tentang batas antara kebebasan dan kehancuran. Daedalus, sang perancang jenius, membuat sayap dari lilin agar bisa meloloskan diri dari kurungan. Tapi Icarus, si anak muda yang penuh semangat, terbang terlalu tinggi, terlalu dekat ke matahari, hingga sayapnya meleleh dan ia jatuh ke laut. Aksi di Jakarta seakan menyalin kisah itu, dengan rakyat sebagai Icarus yang digerakkan idealisme, namun berisiko jatuh karena terbakar euforia.

 

Di sisi lain, para elit justru seakan terbang terlalu rendah, tenggelam dalam lautan pragmatisme dan keuntungan material. Mereka lupa bahwa lilin kekuasaan juga bisa meleleh, bukan hanya oleh matahari idealisme, melainkan juga oleh air asin ketidakpercayaan publik. Dalam bentang ini, kita melihat kontras: rakyat mencoba meraih langit keadilan, sementara wakil mereka sibuk menjaga fondasi rumahnya sendiri. Kedua-duanya bertemu di jalan, tapi tidak dalam dialog, melainkan dalam kericuhan.

 

Habermas (1991) pernah membayangkan adanya ruang publik, tempat warga bisa berkumpul dan berdebat dengan cara rasional. Di ruang itu, argumen melawan argumen, bukan pentungan melawan spanduk. Namun, realitas di Jakarta menunjukkan bahwa ruang publik itu kini menyempit. Ia tidak lagi berbentuk forum diskursif, melainkan jalan raya yang penuh asap gas air mata.

Ruang publik itu tergantikan oleh teater konfrontasi. Polisi dan mahasiswa, ojol dan pelajar, semua bergerak dalam koreografi yang nyaris bisa diprediksi: teriakan, dorong-mendorong, gas air mata, lalu kejar-kejaran. Setiap gerakan sudah seperti skrip yang pernah dipentaskan berkali-kali. Dan yang lebih pahit, kita seolah-olah sudah terbiasa menontonnya.

 

Kamera ponsel mengabadikan tiap detik. Tak lama kemudian, video ricuh di depan DPR tersebar luas di media sosial, diunggah, disunting, diputar ulang dengan berbagai narasi. Demo itu kemudian tidak hanya hadir sebagai fakta, tapi juga sebagai citra yang bisa dipelintir sesuai kepentingan. Baudrillard menyebut ini sebagai simulacra: realitas yang digantikan oleh tanda-tanda yang melayang bebas.

 

Simulacra itulah yang akhirnya kita konsumsi. Orang-orang yang tidak berada di lokasi tetap bisa “mengalami” demo, tapi pengalaman itu sebenarnya hanyalah rekayasa media. Gas air mata bukan lagi gas air mata; ia menjadi simbol perlawanan atau simbol kekacauan, tergantung siapa yang menyunting videonya. Fakta menjadi kabur, yang tinggal hanya tanda.

 

Di titik ini, kita mesti bertanya: apakah protes masih bisa berfungsi sebagai ruang deliberatif, ataukah ia hanya jadi tontonan digital? Habermas mengajarkan pentingnya komunikasi rasional, tapi apa yang tersisa bila semua disulap jadi bahan hiburan algoritma? Dialog yang seharusnya mengikat warga dan negara justru hancur di antara tagar, meme, dan potongan video. Ruang publik digantikan ruang trending topic.

 

Gas air mata menjadi lebih berarti di layar ketimbang di paru-paru massa aksi. Batu yang dilempar mahasiswa menjadi lebih penting sebagai konten viral ketimbang sebagai tanda frustrasi yang nyata. Kita tidak lagi melihat demo; kita melihat estetika demo. Perlawanan pun berubah jadi gambar yang indah sekaligus tragis.

 

Di Manakah Estetikanya?

 

Buku Protest: The Aesthetics of Resistance (2018) oleh Michelle Akanji, dkk menulis bahwa protes selalu membawa unsur seni. Spanduk, grafiti, bendera, bahkan nyanyian di jalan adalah estetika yang lahir dari luka sosial. Demo di Jakarta membuktikan itu: ada bendera bajak laut “One Piece” yang melambai di udara, simbol bahwa rakyat mengidentifikasi diri sebagai perompak yang melawan kapal besar bernama negara. Ada humor, ada ironi, ada kegetiran yang dijahit dalam visual.

 

Estetika itu tidak hanya untuk dilihat, tetapi untuk menggerakkan. Ia menumbuhkan solidaritas, mengikat individu dalam satu tubuh kolektif. Saat seseorang mengangkat poster bertuliskan sindiran, ia sedang menciptakan bahasa yang melampaui kata-kata biasa. Seni perlawanan ini menjadi ruang bernaung ketika politik formal gagal menyediakan tempat untuk berbicara.

 

Namun, estetika perlawanan juga punya paradoks. Ia bisa menyembunyikan realita dengan terlalu menekankan pada simbol. Seseorang yang melihat bendera lucu mungkin lebih tertawa daripada merenungkan seriusnya tuntutan. Dengan demikian, estetika bisa sekaligus membebaskan dan menutup-nutupi.

 

Meski begitu, estetika perlawanan selalu lahir dari keterdesakan. Ia muncul karena jalan-jalan formal macet, karena aspirasi terhalang birokrasi yang dingin. Maka seni di jalan adalah jalan keluar darurat. Dan ketika gas air mata mengepung, estetika itu justru tampak semakin kuat, seolah-olah kesakitan harus diubah menjadi puisi visual.

 

Tapi di sinilah letak pertanyaan yang lebih dalam: apakah estetika itu cukup untuk membawa perubahan? Ataukah ia hanya menjadi ornamen dari sebuah tragedi? Ketika aparat membubarkan massa, yang tersisa hanyalah foto-foto indah di media sosial. Indah, tapi mandul secara politik.

 

Habermas (1991) mungkin akan berkata: estetika tidak cukup tanpa komunikasi rasional. Aksi jalanan harus bisa menjembatani aspirasi ke dalam sistem formal. Jika tidak, ia hanya jadi ritual yang diulang setiap beberapa tahun, tanpa pernah menghasilkan transformasi nyata. Estetika hanya menghibur luka, tapi tidak menyembuhkannya.

 

Kita kembali ke mitos Daedalus dan Icarus. Icarus terbang tinggi karena mabuk oleh keindahan langit biru, lupa bahwa lilin sayapnya rapuh. Begitu pula protes yang hanya terpukau oleh estetika. Ia bisa indah, tapi juga bisa runtuh dalam sekejap jika lupa bahwa tujuan akhir adalah perubahan sosial, bukan sekadar tontonan.

 

Estetika perlawanan, dalam kondisi ideal, adalah pintu masuk ke kesadaran politik. Ia adalah cara mengundang orang untuk memperhatikan, lalu ikut berdialog. Tapi jika berhenti di sana, demo hanya akan meninggalkan jejak gambar tanpa hasil. Indah di permukaan, kosong di dalam.

 

Dan justru di situlah bahaya simulacra. Ketika estetika perlawanan ditelan oleh media sosial, ia berisiko dipisahkan dari realitas yang melahirkannya. Orang hanya mengingat bendera, poster, atau gas air mata sebagai “konten” tanpa lagi peduli pada substansi tuntutannya. Demo direduksi menjadi feed Instagram, bukan gerakan sosial.

 

Apakah ini yang kita mau? Demo sebagai tontonan global, bukan sebagai wacana lokal? Estetika perlawanan bisa menjadi jebakan bila ia dilepaskan dari ruang publik yang sehat. Gas air mata jadi dramatis, tapi tuntutan moral tetap diabaikan.

 

Jakarta adalah kota yang terus berulang dalam siklus ini: massa berkumpul, bentrok terjadi, foto viral, lalu sunyi kembali. Siklus ini mengingatkan kita pada upacara tahunan yang kehilangan makna. Setiap kali protes terjadi, kita seperti menonton drama yang sudah pernah kita lihat. Narasi berubah sedikit, tetapi plot besar tetap sama.

 

Dalam hiperealitas, kata Baudrillard (1994), tanda tidak lagi merepresentasikan realitas, tapi menciptakan realitas baru. Demonstrasi di Jakarta akhirnya lebih nyata di layar ketimbang di jalan. Orang percaya pada versi digital, bukan pada kisah tubuh-tubuh yang betul-betul hadir di lapangan. Dunia maya mengambil alih dunia nyata.

 

Ini membuat perjuangan moral menjadi kabur. Apa yang seharusnya menjadi percakapan publik berubah menjadi adu narasi. Negara punya medianya sendiri, massa punya medianya sendiri, dan keduanya saling menegasikan. Tak ada ruang temu yang jernih.

 

Padahal, di titik inilah kita paling butuh Daedalus. Kita butuh seseorang yang bisa merancang “sayap” yang tidak gampang meleleh. Sayap itu bisa berupa kanal dialog, forum publik yang jujur, atau proses politik yang transparan. Tanpa itu, kita hanya akan mengulang tragedi Icarus.

 

Mitos itu mengajarkan keseimbangan: jangan terlalu tinggi, jangan terlalu rendah. Demo Jakarta kemarin seakan menunjukkan dua ekstrem sekaligus. Massa terlalu tinggi dalam semangat, elit terlalu rendah dalam moral. Hasilnya adalah benturan yang tragis.

 

Kita tahu bahwa demonstrasi adalah bagian sah dari demokrasi. Ia adalah mekanisme koreksi, pengingat bahwa negara bekerja untuk rakyat. Tapi ketika ruang formal tak terbuka, demonstrasi terpaksa menempuh jalan konfrontasi. Dan konfrontasi jarang sekali memberi hasil yang lebih baik dari luka.

 

Di dalam demokrasi deliberatif, aspirasi seharusnya bisa masuk tanpa harus lewat gas air mata. Rakyat seharusnya bisa bicara, dan negara seharusnya bisa mendengar. Tapi di Indonesia, dialog masih dianggap kelemahan, sementara kekerasan dianggap kewajiban. Habermas mungkin akan terdiam menyaksikan itu.

 

Kita juga tahu, protes punya daya edukasi. Ia mendidik warga untuk kritis, untuk tidak diam. Tapi jika selalu dibalas represif, warga bisa belajar sebaliknya: bahwa bicara itu sia-sia, bahwa jalan buntu hanya bisa dijawab dengan jalan lain yang lebih keras. Di sini, demokrasi mulai rapuh.

 

Estetika perlawanan memberi warna, tetapi ia tidak bisa menjadi satu-satunya strategi. Ia harus disertai langkah rasional, advokasi, strategi hukum, dan kanal politik yang rapi. Kalau tidak, estetika hanya jadi topeng, sementara realitas tetap muram. Kita butuh kombinasi, bukan satu jalan saja.

 

Dari Jakarta, kita belajar lagi tentang pentingnya ruang publik yang sehat. Demo bukan sekadar ritual, melainkan tanda bahwa komunikasi formal tidak bekerja. Ia adalah lonceng peringatan, bahwa negara sedang jauh dari warganya. Jika lonceng itu terus diabaikan, maka suatu saat rumah bisa runtuh.

 

Gas air mata yang meledak kemarin hanyalah satu fragmen dari persoalan besar. Masalahnya bukan hanya tunjangan, tapi juga soal kepercayaan yang terkikis. Negara yang tidak dipercaya rakyatnya sedang berdiri di atas pasir yang longgar. Dan pasir itu sewaktu-waktu bisa longsor.

 

Estetika perlawanan, simulacra media, mitos Daedalus, semua mengajarkan hal yang sama: jangan mabuk oleh ilusi. Keadilan sosial bukan lahir dari gambar indah, melainkan dari sistem yang berjalan. Jika hanya sibuk pada citra, kita sedang mengulang kesalahan Icarus.

 

Di masa depan, mungkin demo akan semakin estetis, semakin viral, semakin hiperreal. Tapi pertanyaan mendasar tetap sama: apakah ia menghasilkan perubahan nyata? Atau hanya jadi koleksi gambar dalam arsip digital yang menumpuk? Jawaban itu ada pada cara kita merawat ruang publik.

 

Jakarta butuh lebih dari sekadar perlawanan jalanan. Ia butuh Daedalus baru, arsitek yang bisa membangun jembatan antara rakyat dan negara. Jembatan itu bukan terbuat dari lilin, melainkan dari transparansi, kejujuran, dan keberanian untuk mendengar. Tanpa itu, kita hanya akan terus jatuh.

 

Maka demo yang terjadi di jalan-jalan hari ini harus dibaca bukan hanya sebagai kericuhan, tapi juga sebagai pesan. Pesan bahwa rakyat masih peduli, meski dengan cara yang keras. Pesan bahwa estetika perlawanan bisa indah sekaligus getir. Dan pesan bahwa, di balik gas air mata dan simulacra, masih ada harapan agar demokrasi menemukan bentuknya yang lebih dewasa.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now