Iklan

One Piece dan Senjakala Nasionalisme Kita

syamsul kurniawan
Saturday, August 9, 2025
Last Updated 2025-08-10T06:47:25Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

 

Di setiap bulan Agustus, warna merah dan putih biasanya kembali menguasai udara. Di gang sempit, di pagar sekolah, di atap rumah hingga kantor desa, bendera nasional itu berkibar, seolah mengingatkan kita tentang makna sejarah dan kesetiaan. Namun tahun ini, ada yang berubah. Di beberapa tempat, bendera lain ikut melambai—hitam, dengan tengkorak dan dua tulang menyilang. Simbol bajak laut. Bendera dari dunia fiksi One Piece. Topi Jerami, kata anak-anak muda.

 

Ia bukan sekadar potongan kain dari dunia animasi Jepang. Ia adalah penanda. Sebentuk afiliasi simbolik terhadap petualangan, kebebasan, dan semangat menentang kekuasaan lama. Bendera itu, anehnya, tidak dikibarkan diam-diam. Tidak lagi menjadi bagian dari ruang privat: poster di kamar, gambar di ponsel, atau stiker kecil di laptop. Kini ia tampil berani di tiang rumah, di kaca mobil, bahkan terpasang di warung kopi. Seolah, fenomena ini bukanlah insiden terisolasi—ia menjelma tren.

 

Anak-anak muda mengibarkannya bukan untuk mengganti merah putih. Tapi untuk menambahkan makna baru. Simbol kebangsaan itu tetap ada, mereka hormati. Tapi simbol bajak laut memberi ruang ekspresi lain. Apakah ini bentuk cinta baru? Atau tanda bahwa cinta lama mulai meretak?

 

Dalam logika zaman, tanda dan makna tak lagi sederhana. Bendera, yang dulu menjadi lambang final dari sebuah negara dan revolusi, kini bersaing dengan lambang-lambang fiktif. Media sosial telah menjadikan semua tanda bisa diproduksi ulang. Apa yang dulu dianggap khusyuk, kini harus berbagi panggung dengan pop culture.

 

Mereka yang mencibir tren ini mungkin akan menyebut: ini kegilaan. Bagaimana bisa bendera fiksi dikibarkan di bulan penuh patriotisme? Tapi di balik itu, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam. Sebab seperti kata Luffy, dalam serial One Piece, “If you don’t take risks, you can’t create a future”. Para pengibar bendera hitam itu bukan ingin membakar masa lalu. Mereka sedang mencari masa depan yang terasa lebih masuk akal bagi hidup mereka.

 

Anak-anak muda itu mungkin tak ingin menjadi bajak laut sungguhan. Tapi mereka ingin dunia tempat mereka hidup memberikan rasa petualangan, tujuan, dan—di atas segalanya—ruang untuk tumbuh. Mereka tidak ingin hanya menjadi penonton sejarah, tetapi juga pelaku kisah.

 

Kita sering lupa bahwa kemerdekaan bukanlah perayaan yang dibekukan oleh waktu. Ia bukan museum. Ia hidup, berdenyut dalam nadi generasi baru. Ketika merah putih dikibarkan, itu bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang harapan. Lalu bagaimana dengan bendera hitam itu? Mungkin ia adalah simbol bahwa harapan kini datang dari tempat yang tak terduga.

 

Dulu, anak-anak menirukan pahlawan nasional—berjalan tegap seperti Sudirman, berseru lantang ala Bung Tomo, atau membayangkan diri mereka ikut bertempur di medan sejarah. Kini, yang mereka tiru adalah karakter animasi: jurus Luffy, pedang Zoro, atau semangat para kru bajak laut Topi Jerami. Bagi sebagian orang dewasa, perubahan ini tampak seperti kemunduran, seolah kita kehilangan orientasi kebangsaan. Tapi seperti kata Zoro dalam One Piece, “Only those who have suffered long, can see the light within the shadows.” Kalimat itu menggema dalam batin generasi yang kerap merasa terpinggirkan—oleh sistem sosial yang timpang, ekonomi yang membelit, dan budaya yang tak ramah pada mereka yang berbeda.

 

Ada generasi yang tidak lagi melihat nasionalisme dalam bentuk yang sama. Mereka tidak membenci negara. Tapi mereka ingin negara yang memberi ruang bermain, bukan sekadar ruang taat. Mereka tidak melawan. Mereka sedang menawar.

 

Di balik bendera, ada apa?

 

Ada kegelisahan, mungkin juga kerinduan. Bendera itu, dalam terang teori moral panic Stanley Cohen (1973), bisa menjadi pemicu kekhawatiran moral. Masyarakat dewasa, media, bahkan lembaga negara bisa menganggap pengibar bendera bajak laut sebagai folk devils—simbol dari yang menyesatkan. Tapi seperti dalam semua moral panic, respons terhadap simbol kadang lebih bising daripada esensinya sendiri.

 

Kita hidup di masa ketika simbol begitu cair. Ketika iklan dan meme bisa mengungguli dokumen negara dalam jangkauan dan pengaruh. Maka tak aneh jika sebuah anime bisa membentuk kesadaran kolektif lebih kuat daripada pidato resmi. Ini bukan kekalahan politik, tapi perubahan medan makna.

 

Yang terjadi bukanlah penistaan terhadap lambang negara. Tapi, bisa jadi, kekosongan makna dalam simbol-simbol resmi yang selama ini diulang tapi tak dijelaskan. Generasi yang tumbuh dalam banjir informasi ingin makna yang bisa mereka rasakan, bukan hanya diberitahu.

 

Simbol negara pun tak luput dari kebutuhan untuk terus diberi konteks. Bendera Merah Putih bukan benda magis. Ia hanya akan kuat jika terus dibacakan maknanya, dijadikan cermin, bukan keramat. Sementara bendera Topi Jerami muncul dengan narasi kuat: kesetiaan, persahabatan, perlawanan terhadap tirani.

 

Maka, ketika para remaja mengibarkannya, mereka sebenarnya tidak sedang membakar nasionalisme. Mereka mungkin saja sedang berpikir: “ini makna yang kami pahami, ini lambang perjuangan kami.” Bisa jadi, itu adalah cara baru mencintai negeri.

 

Akan tetapi, cinta itu bentuknya bisa berubah-ubah. Ia tak selalu hadir dalam lagu wajib atau upacara. Kadang ia menyelinap lewat topi jerami dan bendera tengkorak. Tapi substansinya sama: ingin berlayar lebih jauh, mencari pulau yang lebih adil.

 

Bukankah itu juga semangat para perintis republik? Mereka juga melawan arus, menolak tatanan yang mapan, dan mengibarkan bendera yang belum pernah diakui siapa-siapa. Kini, generasi baru sedang menciptakan semangat yang sama, dengan bahasa yang berbeda.

 

Kita hanya perlu mendengarkan lebih pelan. Tidak semua simbol datang dengan pidato. Kadang ia datang lewat gambar di TikTok, lewat komunitas online, lewat cosplay dan relic berbasis fandom. Tapi setiap simbol punya cerita, dan setiap cerita punya keresahan yang nyata.

 

Dalam One Piece, ada semangat melawan ketidakadilan global. Dunia dibagi oleh kelas, oleh kuasa, oleh pemerintahan dunia yang korup. Mungkin para penggemarnya menemukan resonansi itu dengan dunia mereka sendiri—yang juga dibagi oleh ketimpangan sosial, ketidakpastian kerja, dan birokrasi yang tumpul.

 

Bendera hitam itu, seperti kata mereka, bukan pengganti. Ia pelengkap. Ia bukan antitesis, tapi mungkin paralel. Kita bisa bertanya: mengapa simbol negara terasa kurang kuat di hati mereka? Tapi pertanyaan yang lebih jujur mungkin: apakah kita sudah membuat mereka merasa ikut memiliki simbol itu?

 

Karena simbol hanya hidup jika ia dirawat dengan cerita dan relevansi. Jika tidak, ia hanya menjadi rutinitas tahunan—dikibarkan, difoto, lalu dilupakan.

 

Dan bukan tidak mungkin, bendera hitam itu hanya tren sesaat. Tapi cara kita meresponsnya akan menentukan: apakah kita memberi ruang, atau justru membungkam makna baru yang ingin tumbuh.

 

Kemerdekaan, sejak awal, adalah tentang keberanian melawan pakem. Maka ketika anak-anak muda mengusulkan cara baru memaknai perayaan, barangkali kita tidak harus mencelanya. Kita bisa mengajaknya bicara.

 

Karena dalam imajinasi mereka, bendera bajak laut itu bukan ajakan memberontak, tapi simbol solidaritas dan keadilan yang utopis. Dan bangsa ini pun, dibangun dari utopia. Dari harapan yang dulu tampak mustahil.

 

dan…

 

Di akhir semua ini, mungkin kita perlu membuka kembali buku lama: Imagined Communities. Benedict Anderson (1983) menjelaskan bahwa bangsa bukan entitas alamiah, tapi komunitas yang dibayangkan bersama. Dalam bayangan itu, simbol, lagu, cerita bersama menjadi jembatan antar jiwa.

 

Jika sekarang generasi baru membayangkan komunitasnya melalui bendera bajak laut, itu bukan karena mereka melupakan Indonesia. Bisa jadi karena mereka sedang mencoba mengimajinasikan Indonesia dengan cara yang lebih bermakna bagi mereka.

 

Mereka tidak sedang menghapus merah putih. Mereka hanya sedang mencari arti lain dari menjadi bagian bangsa—yang tak hanya tunduk, tapi juga tumbuh. Yang tak hanya mewarisi, tapi juga mengubah. Yang tak hanya mengibarkan, tapi juga menghayati.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now