Oleh: Syamsul Kurniawan
Di setiap bulan Agustus, warna merah dan putih
biasanya kembali menguasai udara. Di gang sempit, di pagar sekolah, di atap
rumah hingga kantor desa, bendera nasional itu berkibar, seolah mengingatkan
kita tentang makna sejarah dan kesetiaan. Namun tahun ini, ada yang berubah. Di
beberapa tempat, bendera lain ikut melambai—hitam, dengan tengkorak dan dua
tulang menyilang. Simbol bajak laut. Bendera dari dunia fiksi One Piece.
Topi Jerami, kata anak-anak muda.
Ia bukan sekadar potongan kain dari dunia animasi
Jepang. Ia adalah penanda. Sebentuk afiliasi simbolik terhadap petualangan,
kebebasan, dan semangat menentang kekuasaan lama. Bendera itu, anehnya, tidak
dikibarkan diam-diam. Tidak lagi menjadi bagian dari ruang privat: poster di
kamar, gambar di ponsel, atau stiker kecil di laptop. Kini ia tampil berani di
tiang rumah, di kaca mobil, bahkan terpasang di warung kopi. Seolah, fenomena
ini bukanlah insiden terisolasi—ia menjelma tren.
Anak-anak muda mengibarkannya bukan untuk mengganti
merah putih. Tapi untuk menambahkan makna baru. Simbol kebangsaan itu tetap
ada, mereka hormati. Tapi simbol bajak laut memberi ruang ekspresi lain. Apakah
ini bentuk cinta baru? Atau tanda bahwa cinta lama mulai meretak?
Dalam logika zaman, tanda dan makna tak lagi
sederhana. Bendera, yang dulu menjadi lambang final dari sebuah negara dan
revolusi, kini bersaing dengan lambang-lambang fiktif. Media sosial telah
menjadikan semua tanda bisa diproduksi ulang. Apa yang dulu dianggap khusyuk,
kini harus berbagi panggung dengan pop culture.
Mereka yang mencibir tren ini mungkin akan menyebut:
ini kegilaan. Bagaimana bisa bendera fiksi dikibarkan di bulan penuh
patriotisme? Tapi di balik itu, mungkin ada sesuatu yang lebih dalam. Sebab
seperti kata Luffy, dalam serial One Piece, “If you don’t take risks, you can’t
create a future”. Para pengibar bendera hitam itu bukan ingin membakar masa
lalu. Mereka sedang mencari masa depan yang terasa lebih masuk akal bagi hidup
mereka.
Anak-anak muda itu mungkin tak ingin menjadi bajak
laut sungguhan. Tapi mereka ingin dunia tempat mereka hidup memberikan rasa
petualangan, tujuan, dan—di atas segalanya—ruang untuk tumbuh. Mereka tidak
ingin hanya menjadi penonton sejarah, tetapi juga pelaku kisah.
Kita sering lupa bahwa kemerdekaan bukanlah perayaan
yang dibekukan oleh waktu. Ia bukan museum. Ia hidup, berdenyut dalam nadi
generasi baru. Ketika merah putih dikibarkan, itu bukan hanya tentang masa
lalu, tapi juga tentang harapan. Lalu bagaimana dengan bendera hitam itu?
Mungkin ia adalah simbol bahwa harapan kini datang dari tempat yang tak
terduga.
Dulu, anak-anak menirukan pahlawan nasional—berjalan
tegap seperti Sudirman, berseru lantang ala Bung Tomo, atau membayangkan diri
mereka ikut bertempur di medan sejarah. Kini, yang mereka tiru adalah karakter
animasi: jurus Luffy, pedang Zoro, atau semangat para kru bajak laut Topi
Jerami. Bagi sebagian orang dewasa, perubahan ini tampak seperti kemunduran,
seolah kita kehilangan orientasi kebangsaan. Tapi seperti kata Zoro dalam One
Piece, “Only those who have suffered long, can see the light within the shadows.”
Kalimat itu menggema dalam batin generasi yang kerap merasa terpinggirkan—oleh
sistem sosial yang timpang, ekonomi yang membelit, dan budaya yang tak ramah
pada mereka yang berbeda.
Ada generasi yang tidak lagi melihat nasionalisme
dalam bentuk yang sama. Mereka tidak membenci negara. Tapi mereka ingin negara
yang memberi ruang bermain, bukan sekadar ruang taat. Mereka tidak melawan.
Mereka sedang menawar.
Di balik bendera, ada apa?
Ada kegelisahan, mungkin juga kerinduan. Bendera itu,
dalam terang teori moral panic Stanley Cohen (1973), bisa menjadi pemicu
kekhawatiran moral. Masyarakat dewasa, media, bahkan lembaga negara bisa
menganggap pengibar bendera bajak laut sebagai folk devils—simbol dari
yang menyesatkan. Tapi seperti dalam semua moral panic, respons terhadap
simbol kadang lebih bising daripada esensinya sendiri.
Kita hidup di masa ketika simbol begitu cair. Ketika
iklan dan meme bisa mengungguli dokumen negara dalam jangkauan dan pengaruh.
Maka tak aneh jika sebuah anime bisa membentuk kesadaran kolektif lebih kuat
daripada pidato resmi. Ini bukan kekalahan politik, tapi perubahan medan makna.
Yang terjadi bukanlah penistaan terhadap lambang
negara. Tapi, bisa jadi, kekosongan makna dalam simbol-simbol resmi yang selama
ini diulang tapi tak dijelaskan. Generasi yang tumbuh dalam banjir informasi
ingin makna yang bisa mereka rasakan, bukan hanya diberitahu.
Simbol negara pun tak luput dari kebutuhan untuk
terus diberi konteks. Bendera Merah Putih bukan benda magis. Ia hanya akan kuat
jika terus dibacakan maknanya, dijadikan cermin, bukan keramat. Sementara
bendera Topi Jerami muncul dengan narasi kuat: kesetiaan, persahabatan,
perlawanan terhadap tirani.
Maka, ketika para remaja mengibarkannya, mereka
sebenarnya tidak sedang membakar nasionalisme. Mereka mungkin saja sedang berpikir:
“ini makna yang kami pahami, ini lambang perjuangan kami.” Bisa jadi, itu
adalah cara baru mencintai negeri.
Akan tetapi, cinta itu bentuknya bisa berubah-ubah.
Ia tak selalu hadir dalam lagu wajib atau upacara. Kadang ia menyelinap lewat
topi jerami dan bendera tengkorak. Tapi substansinya sama: ingin berlayar lebih
jauh, mencari pulau yang lebih adil.
Bukankah itu juga semangat para perintis republik?
Mereka juga melawan arus, menolak tatanan yang mapan, dan mengibarkan bendera
yang belum pernah diakui siapa-siapa. Kini, generasi baru sedang menciptakan
semangat yang sama, dengan bahasa yang berbeda.
Kita hanya perlu mendengarkan lebih pelan. Tidak
semua simbol datang dengan pidato. Kadang ia datang lewat gambar di TikTok,
lewat komunitas online, lewat cosplay dan relic berbasis fandom. Tapi setiap
simbol punya cerita, dan setiap cerita punya keresahan yang nyata.
Dalam One Piece, ada semangat melawan
ketidakadilan global. Dunia dibagi oleh kelas, oleh kuasa, oleh pemerintahan
dunia yang korup. Mungkin para penggemarnya menemukan resonansi itu dengan
dunia mereka sendiri—yang juga dibagi oleh ketimpangan sosial, ketidakpastian kerja,
dan birokrasi yang tumpul.
Bendera hitam itu, seperti kata mereka, bukan
pengganti. Ia pelengkap. Ia bukan antitesis, tapi mungkin paralel. Kita bisa
bertanya: mengapa simbol negara terasa kurang kuat di hati mereka? Tapi
pertanyaan yang lebih jujur mungkin: apakah kita sudah membuat mereka merasa
ikut memiliki simbol itu?
Karena simbol hanya hidup jika ia dirawat dengan
cerita dan relevansi. Jika tidak, ia hanya menjadi rutinitas
tahunan—dikibarkan, difoto, lalu dilupakan.
Dan bukan tidak mungkin, bendera hitam itu hanya tren
sesaat. Tapi cara kita meresponsnya akan menentukan: apakah kita memberi ruang,
atau justru membungkam makna baru yang ingin tumbuh.
Kemerdekaan, sejak awal, adalah tentang keberanian
melawan pakem. Maka ketika anak-anak muda mengusulkan cara baru memaknai
perayaan, barangkali kita tidak harus mencelanya. Kita bisa mengajaknya bicara.
Karena dalam imajinasi mereka, bendera bajak laut itu
bukan ajakan memberontak, tapi simbol solidaritas dan keadilan yang utopis. Dan
bangsa ini pun, dibangun dari utopia. Dari harapan yang dulu tampak mustahil.
dan…
Di akhir semua ini, mungkin kita perlu membuka
kembali buku lama: Imagined Communities. Benedict Anderson (1983)
menjelaskan bahwa bangsa bukan entitas alamiah, tapi komunitas yang dibayangkan
bersama. Dalam bayangan itu, simbol, lagu, cerita bersama menjadi jembatan
antar jiwa.
Jika sekarang generasi baru membayangkan komunitasnya
melalui bendera bajak laut, itu bukan karena mereka melupakan Indonesia. Bisa
jadi karena mereka sedang mencoba mengimajinasikan Indonesia dengan cara yang
lebih bermakna bagi mereka.
Mereka tidak sedang menghapus merah putih. Mereka
hanya sedang mencari arti lain dari menjadi bagian bangsa—yang tak hanya
tunduk, tapi juga tumbuh. Yang tak hanya mewarisi, tapi juga mengubah. Yang tak
hanya mengibarkan, tapi juga menghayati.***