Iklan

Algoritma Anarki: Dari Solidaritas Digital ke Kekerasan Massal

syamsul kurniawan
Sunday, August 31, 2025
Last Updated 2025-09-01T04:51:36Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Di negeri ini, politik lebih sering hadir sebagai tontonan ketimbang arena deliberasi publik. Ia tampil sebagai hiburan yang dikonsumsi massal, bukan sebagai forum rasional tempat gagasan dipertukarkan. Sidang-sidang politik sering menjadi ajang joget dan gimmick, sementara media sosial berfungsi sebagai panggung caci maki. Demokrasi pun menyusut menjadi tontonan yang menyenangkan sekaligus melelahkan.

 

Apa yang kita saksikan bukanlah ruang publik ala Habermas (1991), di mana warga berdialog dan berargumen secara rasional, melainkan simulasi sebagaimana digambarkan Jean Baudrillard (1994): demokrasi sebagai pertunjukan. Publik berpartisipasi bukan sebagai warga negara yang kritis, melainkan sebagai penonton yang bersorak, membagikan potongan viral, dan mengabadikan momen kontroversial. Akibatnya, politik kehilangan substansinya dan hanya meninggalkan jejak sebagai hiburan digital.

 

Politik kemudian menyusut menjadi trending topic, bukan perdebatan gagasan. Rasionalitas terdesak oleh algoritma yang lebih mementingkan keterlibatan emosional dibandingkan logika. Sementara itu, emosi kolektif yang tercipta dari interaksi digital lebih cepat mengakumulasi amarah ketimbang membangun nalar kritis. Apa yang dianggap sebagai solidaritas, nyatanya hanyalah resonansi emosional instan.

 

Kemarahan publik kini dengan cepat menemukan salurannya. Dari layar smartphone, ia menetes ke jalanan dan menjelma menjadi gerakan massa. Solidaritas spontan pun lahir, bukan karena kesadaran kolektif yang matang, melainkan akibat dorongan algoritmik yang serba instan. Emosi yang terhubung oleh tautan, tagar, dan notifikasi menjadi bahan bakar kerumunan yang bergerak tanpa visi.

 

Tautan, tagar, dan notifikasi itu bekerja seperti korek api dalam tumpukan jerami. Ia memantik kerumunan, menggiring orang ke jalan tanpa arah yang jelas. Bahkan, banyak yang tidak menyadari ke mana gerakan itu hendak menuju. Mereka hanya merespons impuls sesaat, lalu membentuk kerumunan yang mudah terbakar.

 

Rumah anggota dewan dijadikan simbol kebencian publik. Bukan lagi sekadar objek kritik, melainkan sasaran amuk massa yang dijarah dan dirusak. Aksi itu memperlihatkan bagaimana kebencian digital bisa meluber menjadi kekerasan nyata. Apa yang semula dimulai dengan klik dan bagikan akhirnya berujung pada amuk yang menghancurkan.

 

Kekerasan itu lahir dari riak digital yang tak pernah dipikirkan matang. Dari ruang maya, api dengan mudah berpindah ke dunia nyata. Anarki algoritmik memperlihatkan bagaimana batas antara realitas virtual dan fisik semakin kabur. Apa yang viral di layar bisa dengan cepat menggerakkan kaki dan tangan di jalanan.

 

Robert Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia (2013) membayangkan anarki sebagai ruang negosiasi antara kebebasan individu dan otoritas minimal. Negara dalam pandangan Nozick cukup hadir sebatas penjaga kontrak sukarela di antara masyarakat. Ia optimis bahwa individu yang rasional mampu mengelola kebebasannya dalam kerangka kerja minimal tersebut. Anarki baginya bukan kekacauan, melainkan potensi kebebasan.

 

Namun, apa yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan gambaran Nozick. Anarki yang lahir di sini tidak berangkat dari negosiasi, tetapi dari amarah yang meledak tanpa kendali. Negara hadir bukan sebagai penjaga kontrak sosial, melainkan sebagai aparat pemadam kebakaran yang datang terlambat. Kekacauan pun menjadi panggung utama yang dipertontonkan ke publik.

 

Otoritas negara dalam situasi ini lebih sering tampil sebagai penonton ketimbang pengendali. Alih-alih menjaga ruang rasional, ia justru terlihat gagap menghadapi ritme massa yang digerakkan algoritma. Anarki yang muncul bukanlah jalan menuju kebebasan, melainkan lubang gelap menuju kekerasan massal. Inilah wajah baru politik digital yang tak terbayangkan oleh teori klasik.

 

Jauh Panggang dari Api

 

Nozick (2013) berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional. Individu, menurutnya, mampu menegosiasikan kebebasan dengan otoritas minimal secara sadar dan sukarela. Namun kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa asumsi itu terlalu optimis. Yang terjadi justru adalah manusia yang digiring oleh algoritma, bukan nalar rasional.

 

Anarki algoritmik yang muncul bukanlah arena perundingan, melainkan ledakan emosional. Ia bersandar pada dorongan impulsif yang tidak pernah ditimbang dengan rasionalitas. Di sini kebebasan bukan hasil negosiasi, melainkan klaim sepihak tanpa tanggung jawab. Apa yang disebut kebebasan hanyalah letupan sesaat yang cepat hilang.

 

Solidaritas digital yang terbentuk hanya seumur jagung. Ia lahir karena kemarahan bersama, bukan visi politik yang konsisten. Barisan massa yang terbentuk tidak memiliki cita-cita, kecuali menghancurkan simbol kebencian bersama. Ketika simbol itu runtuh, kerumunan pun bubar tanpa meninggalkan jejak konstruktif.

 

Inilah pseudo-kebebasan yang bekerja di bawah logika algoritma. Publik merasa bebas karena bisa mengekspresikan diri, padahal mereka sekadar digiring untuk berinteraksi dengan konten emosional. Algoritma mendorong yang paling ekstrem, mengabaikan yang rasional. Apa yang lahir dari situ hanyalah reproduksi kemarahan, bukan pembangunan kesadaran.

 

Publik yang mengira sedang memilih nyatanya hanya sedang dikendalikan. Pilihan mereka terbatas pada apa yang disodorkan algoritma, yang mengutamakan keterlibatan emosional di atas substansi. Dengan begitu, anarki yang muncul bukanlah pilihan sadar seperti yang dibayangkan Nozick. Ia justru menjadi distopia algoritmik yang jauh panggang dari api utopia libertarian.

 

Otoritas negara semakin kehilangan bentuk dalam situasi ini. Ia hanya hadir sesekali untuk meredakan konflik, tanpa kemampuan mengatur arus yang lebih besar. Padahal, dalam pandangan Nozick, negara minimal tetap memiliki fungsi vital. Di sini, negara bukan minimal, melainkan nyaris absen.

 

Realitas ini memperlihatkan kontras tajam antara teori ideal dan praktik di lapangan. Nozick membayangkan masyarakat rasional yang saling menghormati kebebasan. Indonesia justru memperlihatkan kerumunan impulsif yang menghancurkan ruang publik. Itulah jarak antara teori utopia dan praktik anarki algoritmik yang kita hadapi hari ini.

 

Menyelamatkan Demokrasi

 

Demokrasi Indonesia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga ruang publik di tengah dominasi logika algoritma. Jika tidak diatur, ruang digital hanya akan melahirkan kerumunan emosional, bukan percakapan rasional. Demokrasi akan terus direduksi menjadi pertunjukan, bukan perdebatan. Bahaya ini semakin nyata setiap kali konflik meletup.

 

Habermas (1991) menekankan pentingnya ruang deliberatif, tempat argumen diuji dan keputusan diambil secara rasional. Namun di Indonesia, ruang deliberatif itu makin terpinggirkan. Media sosial menggantikan forum musyawarah dengan trending topic. Rasionalitas pun semakin tersisih, digantikan suara paling keras yang muncul di linimasa.

 

Tanpa ruang deliberatif, demokrasi hanya menjadi tontonan massa. Publik tidak lagi berpartisipasi sebagai warga negara, tetapi sebagai audiens. Akibatnya, legitimasi politik bergeser dari argumen ke popularitas. Demokrasi menjadi rentan karena kehilangan fondasi rasional.

 

Baudrillard (1994) mungkin akan lebih pesimis: simulasi tidak bisa dikembalikan ke realitas. Apa yang viral dianggap lebih nyata daripada kejadian sebenarnya. Namun, kesadaran kritis tetap bisa menjadi titik awal. Publik harus disadarkan bahwa viralitas bukanlah kebenaran.

 

Negara harus hadir lebih kuat, bukan absen. Regulasi platform digital mutlak diperlukan agar logika keterlibatan tidak semata berpihak pada konten ekstrem. Negara perlu berani menantang dominasi korporasi teknologi yang mengendalikan arus informasi. Tanpa itu, publik akan terus terjebak dalam jebakan algoritma.

 

Masyarakat sipil juga memiliki peran besar dalam menyelamatkan demokrasi. Forum alternatif harus dibangun, baik melalui diskusi tatap muka maupun komunitas epistemik. Ruang belajar kritis bisa mengimbangi arus algoritmik yang menyesatkan. Dengan cara ini, publik tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen kesadaran.

 

Kesadaran publik bahwa yang viral belum tentu nyata menjadi kunci penting. Tanpa itu, logika hiperealitas akan terus berulang. Publik harus diajak melihat bahwa realitas lebih kompleks daripada apa yang muncul di layar. Pendidikan literasi digital menjadi kebutuhan mendesak di tengah era ini.

 

Pada akhirnya, algoritma anarki hanyalah cermin dari krisis demokrasi kita. Ia memperlihatkan betapa rapuhnya ruang publik jika tidak dijaga oleh kesadaran kritis dan regulasi adil. Demokrasi hanya bisa bertahan jika publik berani melawan arus algoritma dengan nalar. Jalan itu memang tidak mudah, tetapi tetap mungkin diperjuangkan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now