Oleh: Syamsul Kurniawan
Di
negeri ini, politik lebih sering hadir sebagai tontonan ketimbang arena
deliberasi publik. Ia tampil sebagai hiburan yang dikonsumsi massal, bukan
sebagai forum rasional tempat gagasan dipertukarkan. Sidang-sidang politik
sering menjadi ajang joget dan gimmick, sementara media sosial berfungsi
sebagai panggung caci maki. Demokrasi pun menyusut menjadi tontonan yang
menyenangkan sekaligus melelahkan.
Apa
yang kita saksikan bukanlah ruang publik ala Habermas (1991), di mana warga
berdialog dan berargumen secara rasional, melainkan simulasi sebagaimana
digambarkan Jean Baudrillard (1994): demokrasi sebagai pertunjukan. Publik
berpartisipasi bukan sebagai warga negara yang kritis, melainkan sebagai
penonton yang bersorak, membagikan potongan viral, dan mengabadikan momen
kontroversial. Akibatnya, politik kehilangan substansinya dan hanya
meninggalkan jejak sebagai hiburan digital.
Politik
kemudian menyusut menjadi trending topic, bukan perdebatan gagasan.
Rasionalitas terdesak oleh algoritma yang lebih mementingkan keterlibatan
emosional dibandingkan logika. Sementara itu, emosi kolektif yang tercipta dari
interaksi digital lebih cepat mengakumulasi amarah ketimbang membangun nalar
kritis. Apa yang dianggap sebagai solidaritas, nyatanya hanyalah resonansi
emosional instan.
Kemarahan
publik kini dengan cepat menemukan salurannya. Dari layar smartphone, ia
menetes ke jalanan dan menjelma menjadi gerakan massa. Solidaritas spontan pun
lahir, bukan karena kesadaran kolektif yang matang, melainkan akibat dorongan
algoritmik yang serba instan. Emosi yang terhubung oleh tautan, tagar, dan
notifikasi menjadi bahan bakar kerumunan yang bergerak tanpa visi.
Tautan,
tagar, dan notifikasi itu bekerja seperti korek api dalam tumpukan jerami. Ia
memantik kerumunan, menggiring orang ke jalan tanpa arah yang jelas. Bahkan,
banyak yang tidak menyadari ke mana gerakan itu hendak menuju. Mereka hanya
merespons impuls sesaat, lalu membentuk kerumunan yang mudah terbakar.
Rumah
anggota dewan dijadikan simbol kebencian publik. Bukan lagi sekadar objek
kritik, melainkan sasaran amuk massa yang dijarah dan dirusak. Aksi itu
memperlihatkan bagaimana kebencian digital bisa meluber menjadi kekerasan
nyata. Apa yang semula dimulai dengan klik dan bagikan akhirnya berujung pada
amuk yang menghancurkan.
Kekerasan
itu lahir dari riak digital yang tak pernah dipikirkan matang. Dari ruang maya,
api dengan mudah berpindah ke dunia nyata. Anarki algoritmik memperlihatkan
bagaimana batas antara realitas virtual dan fisik semakin kabur. Apa yang viral
di layar bisa dengan cepat menggerakkan kaki dan tangan di jalanan.
Robert
Nozick dalam Anarchy, State, and Utopia (2013) membayangkan anarki
sebagai ruang negosiasi antara kebebasan individu dan otoritas minimal. Negara
dalam pandangan Nozick cukup hadir sebatas penjaga kontrak sukarela di antara
masyarakat. Ia optimis bahwa individu yang rasional mampu mengelola kebebasannya
dalam kerangka kerja minimal tersebut. Anarki baginya bukan kekacauan,
melainkan potensi kebebasan.
Namun,
apa yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan gambaran Nozick. Anarki
yang lahir di sini tidak berangkat dari negosiasi, tetapi dari amarah yang
meledak tanpa kendali. Negara hadir bukan sebagai penjaga kontrak sosial,
melainkan sebagai aparat pemadam kebakaran yang datang terlambat. Kekacauan pun
menjadi panggung utama yang dipertontonkan ke publik.
Otoritas
negara dalam situasi ini lebih sering tampil sebagai penonton ketimbang
pengendali. Alih-alih menjaga ruang rasional, ia justru terlihat gagap
menghadapi ritme massa yang digerakkan algoritma. Anarki yang muncul bukanlah
jalan menuju kebebasan, melainkan lubang gelap menuju kekerasan massal. Inilah
wajah baru politik digital yang tak terbayangkan oleh teori klasik.
Jauh
Panggang dari Api
Nozick
(2013) berangkat dari asumsi bahwa manusia adalah makhluk rasional. Individu,
menurutnya, mampu menegosiasikan kebebasan dengan otoritas minimal secara sadar
dan sukarela. Namun kenyataan di Indonesia menunjukkan bahwa asumsi itu terlalu
optimis. Yang terjadi justru adalah manusia yang digiring oleh algoritma, bukan
nalar rasional.
Anarki
algoritmik yang muncul bukanlah arena perundingan, melainkan ledakan emosional.
Ia bersandar pada dorongan impulsif yang tidak pernah ditimbang dengan
rasionalitas. Di sini kebebasan bukan hasil negosiasi, melainkan klaim sepihak
tanpa tanggung jawab. Apa yang disebut kebebasan hanyalah letupan sesaat yang
cepat hilang.
Solidaritas
digital yang terbentuk hanya seumur jagung. Ia lahir karena kemarahan bersama,
bukan visi politik yang konsisten. Barisan massa yang terbentuk tidak memiliki
cita-cita, kecuali menghancurkan simbol kebencian bersama. Ketika simbol itu
runtuh, kerumunan pun bubar tanpa meninggalkan jejak konstruktif.
Inilah
pseudo-kebebasan yang bekerja di bawah logika algoritma. Publik merasa bebas
karena bisa mengekspresikan diri, padahal mereka sekadar digiring untuk
berinteraksi dengan konten emosional. Algoritma mendorong yang paling ekstrem,
mengabaikan yang rasional. Apa yang lahir dari situ hanyalah reproduksi
kemarahan, bukan pembangunan kesadaran.
Publik
yang mengira sedang memilih nyatanya hanya sedang dikendalikan. Pilihan mereka
terbatas pada apa yang disodorkan algoritma, yang mengutamakan keterlibatan
emosional di atas substansi. Dengan begitu, anarki yang muncul bukanlah pilihan
sadar seperti yang dibayangkan Nozick. Ia justru menjadi distopia algoritmik
yang jauh panggang dari api utopia libertarian.
Otoritas
negara semakin kehilangan bentuk dalam situasi ini. Ia hanya hadir sesekali
untuk meredakan konflik, tanpa kemampuan mengatur arus yang lebih besar.
Padahal, dalam pandangan Nozick, negara minimal tetap memiliki fungsi vital. Di
sini, negara bukan minimal, melainkan nyaris absen.
Realitas
ini memperlihatkan kontras tajam antara teori ideal dan praktik di lapangan.
Nozick membayangkan masyarakat rasional yang saling menghormati kebebasan.
Indonesia justru memperlihatkan kerumunan impulsif yang menghancurkan ruang
publik. Itulah jarak antara teori utopia dan praktik anarki algoritmik yang
kita hadapi hari ini.
Menyelamatkan
Demokrasi
Demokrasi
Indonesia kini menghadapi tantangan besar: bagaimana menjaga ruang publik di
tengah dominasi logika algoritma. Jika tidak diatur, ruang digital hanya akan
melahirkan kerumunan emosional, bukan percakapan rasional. Demokrasi akan terus
direduksi menjadi pertunjukan, bukan perdebatan. Bahaya ini semakin nyata
setiap kali konflik meletup.
Habermas
(1991) menekankan pentingnya ruang deliberatif, tempat argumen diuji dan
keputusan diambil secara rasional. Namun di Indonesia, ruang deliberatif itu
makin terpinggirkan. Media sosial menggantikan forum musyawarah dengan trending
topic. Rasionalitas pun semakin tersisih, digantikan suara paling keras yang
muncul di linimasa.
Tanpa
ruang deliberatif, demokrasi hanya menjadi tontonan massa. Publik tidak lagi
berpartisipasi sebagai warga negara, tetapi sebagai audiens. Akibatnya,
legitimasi politik bergeser dari argumen ke popularitas. Demokrasi menjadi
rentan karena kehilangan fondasi rasional.
Baudrillard
(1994) mungkin akan lebih pesimis: simulasi tidak bisa dikembalikan ke
realitas. Apa yang viral dianggap lebih nyata daripada kejadian sebenarnya.
Namun, kesadaran kritis tetap bisa menjadi titik awal. Publik harus disadarkan
bahwa viralitas bukanlah kebenaran.
Negara
harus hadir lebih kuat, bukan absen. Regulasi platform digital mutlak
diperlukan agar logika keterlibatan tidak semata berpihak pada konten ekstrem.
Negara perlu berani menantang dominasi korporasi teknologi yang mengendalikan
arus informasi. Tanpa itu, publik akan terus terjebak dalam jebakan algoritma.
Masyarakat
sipil juga memiliki peran besar dalam menyelamatkan demokrasi. Forum alternatif
harus dibangun, baik melalui diskusi tatap muka maupun komunitas epistemik.
Ruang belajar kritis bisa mengimbangi arus algoritmik yang menyesatkan. Dengan
cara ini, publik tidak hanya menjadi konsumen konten, tetapi juga produsen
kesadaran.
Kesadaran
publik bahwa yang viral belum tentu nyata menjadi kunci penting. Tanpa itu,
logika hiperealitas akan terus berulang. Publik harus diajak melihat bahwa
realitas lebih kompleks daripada apa yang muncul di layar. Pendidikan literasi
digital menjadi kebutuhan mendesak di tengah era ini.
Pada
akhirnya, algoritma anarki hanyalah cermin dari krisis demokrasi kita. Ia
memperlihatkan betapa rapuhnya ruang publik jika tidak dijaga oleh kesadaran
kritis dan regulasi adil. Demokrasi hanya bisa bertahan jika publik berani
melawan arus algoritma dengan nalar. Jalan itu memang tidak mudah, tetapi tetap
mungkin diperjuangkan.***