Iklan

Ketika Teladan Nabi Dihidupkan dalam Konteks Zaman

syamsul kurniawan
Thursday, September 4, 2025
Last Updated 2025-09-04T13:46:00Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Pendidikan sejak lama menanggung dilema: apakah ia hanya menyampaikan pengetahuan, atau memanusiakan manusia. Di dalam dilema itu, kelas sering kali berubah menjadi ruang hafalan yang kering, angka-angka yang kosong, dan rutinitas yang usang. Yang tertinggal hanyalah jurang antara pelajaran dan kehidupan.

 

Jurang itu membuat ilmu terasing dari denyut sehari-hari. Ia bergema di dalam dirinya sendiri, seperti suara yang berpantul tanpa henti di ruang kosong. Kita lupa, tanpa keterhubungan dengan realitas, pengetahuan hanyalah serpihan kata yang tak menjejak bumi.

 

Di sinilah pembelajaran kontekstual menemukan perannya. Ia menjembatani teori dengan kehidupan, menyatukan pelajaran dengan pengalaman. Dengan itu, pendidikan tidak hanya memindahkan isi buku ke kepala, melainkan menyalakan makna dalam diri murid.

 

Belajar tentang Nabi pun seharusnya demikian. Ia tak cukup dibacakan dalam teks, disampaikan dalam cerita, lalu ditutup dengan ujian. Teladan Nabi hanya akan hidup jika ia dikaitkan dengan dunia yang murid kenal, dunia yang mereka jalani setiap hari.

 

Maka pembelajaran kontekstual menuntut keterlibatan. Murid tidak lagi duduk pasif, mendengar, dan menyalin. Mereka diajak menemukan sendiri, menghubungkan nilai dengan realitas, menghadirkan Nabi dalam pengalaman mereka.

 

Guru pun tak lagi sekadar instruktur yang memberi perintah. Ia menjadi fasilitator, penuntun yang membiarkan murid berjalan, bertanya, bahkan tersesat, lalu kembali dengan pemahaman. Kelas menjadi ruang penemuan bersama, bukan mimbar sepihak.

 

Kerangka REACT bisa dipakai sebagai peta. Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring—semuanya menuntun murid dari konsep menuju praktik. Dari keterkaitan ke pengalaman, dari penerapan ke kerja sama, lalu berpindah ke ruang hidup yang lebih luas.

 

Dengan kerangka itu, belajar tentang Nabi bukan lagi hafalan kisah. Ia menjadi sesuatu yang dirasakan, diuji, dan dihidupi. Murid pun menemukan bahwa ajaran Nabi bukan sekadar narasi sejarah, melainkan kompas moral untuk zaman ini.

 

Dalam pembelajaran kontekstual, komunitas belajar adalah inti. Ia melampaui ruang kelas yang individual, menjadi ruang kolektif di mana murid berbagi, mendengar, dan membantu. Ada kehangatan yang membuat belajar terasa sebagai perjumpaan, bukan perlombaan.

 

Gotong royong intelektual itu membuat murid belajar bukan dari satu suara, melainkan dari percakapan. Dari percakapan lahir makna, dan dari makna lahir sikap. Dengan cara itu, pendidikan mendekati tujuannya: memanusiakan manusia.

 

Namun kita tidak bisa menutup mata, murid hari ini hidup di era Society 5.0. Di mana algoritma, internet, dan kecerdasan buatan bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari napas harian. Mereka tumbuh dalam dunia digital, yang kadang lebih berpengaruh daripada ruang nyata.

 

Di dunia seperti itu, agama yang diajarkan secara kaku akan terasa asing. Ia menjadi suara yang jauh, tak terdengar di tengah hiruk pikuk media sosial. Sebaliknya, jika diajarkan dengan konteks, ia akan menyapa, menjadi bagian dari percakapan mereka.

 

Literasi digital karena itu menjadi kebutuhan. Murid perlu tahu cara memilah sumber, memeriksa otoritas, membedakan pengetahuan dengan opini viral. Tanpa itu, mereka bisa terseret dalam pusaran kabar bohong yang merusak.

 

Tom Nichols (2017) pernah menyebut fenomena “matinya kepakaran.” Sebuah zaman ketika suara gaduh lebih dipercaya daripada suara ilmiah. Dalam kelas agama, ini berarti murid lebih percaya pada potongan ceramah daring ketimbang penjelasan guru atau kitab otoritatif.

 

Di titik inilah, pembelajaran kontekstual bisa berfungsi sebagai penyeimbang. Ia tidak menutup ruang digital, tapi mengajarkan bagaimana berhadapan dengannya secara kritis. Dengan cara itu, murid belajar menyaring, bukan sekadar menelan.

 

Momentum maulid Nabi Muhammad Saw memberi ruang bagi pendekatan ini. Tahun 2025, peringatan itu jatuh pada 12 Rabiul Awal 1447 H, bertepatan dengan 5 September. Muhammadiyah menetapkannya sehari lebih awal. Perbedaan yang seharusnya dibaca sebagai pelajaran, bukan bahan pertengkaran.

 

Perbedaan itu berakar pada metode: hisab dan rukyah. Satu menekankan hitungan, satu menekankan kesaksian. Keduanya sah, keduanya lahir dari tradisi keilmuan.

 

Di kelas, guru bisa menjadikannya bahan refleksi. Mengapa ada perbedaan? Bagaimana kita menyikapinya? Apa artinya bagi persaudaraan? Dengan pertanyaan itu, maulid menjadi ruang belajar toleransi.

 

Melalui pendekatan REACT, perbedaan itu bisa hidup. Murid diajak mengaitkan perbedaan kalender dengan kehidupan sosial, mengalami diskusi pandangan, menerapkan lewat refleksi, bekerja sama dalam dialog, lalu mentransfer sikap toleran ke luar kelas.

 

Dengan cara itu, maulid tidak berhenti pada peringatan. Ia berubah menjadi proses pendidikan. Dari situ, toleransi menjadi nyata, bukan sekadar kata.

 

Zaman Telah Berubah, Teladan Tetap Sama

 

Nabi Muhammad hidup di abad ke-7, di padang pasir Arab. Namun teladannya tak pernah hilang di telan waktu. Kasih, kejujuran, kebijaksanaan—nilai yang tetap abadi, meski zaman berubah.

 

Di era digital, teladan itu bahkan semakin mendesak. Ketika kebencian menyebar cepat, kita diingatkan untuk menahan lidah. Ketika intoleransi tumbuh, kita kembali pada Piagam Madinah yang menegaskan keragaman.

 

Teladan Nabi adalah kompas yang tidak lekang. Ia melampaui algoritma, melintasi ruang maya, tetap memberi arah. Murid yang belajar dengan pendekatan kontekstual bisa merasakannya sebagai sesuatu yang hidup.

 

Misalnya, ketika mereka diminta membuat konten digital bertema maulid yang menebarkan toleransi. Dari situ, mereka belajar bahwa ajaran Nabi bukan sekadar kisah lampau, melainkan inspirasi kreatif untuk kehidupan sekarang.

 

Bahaya radikalisme bisa diminimalisasi dengan cara ini. Radikalisme lahir dari absolutisme, dari penolakan pada dialog, dari tafsir tunggal yang menafikan konteks. Pembelajaran kontekstual menolak semua itu, dengan cara menghidupkan percakapan dan keterbukaan.

 

Radikalisme memang berasal dari kata radix, akar. Tapi yang tumbuh hari ini bukan akar kebenaran, melainkan akar kebencian. Ia menolak perbedaan, menutup ruang tafsir. Di hadapannya, pendidikan kontekstual menjadi penawar yang mengajarkan moderasi.

 

Moderasi berarti keterbukaan, kerendahan hati, kesadaran akan keterbatasan manusia. Itu semua tak cukup diajarkan lewat teori. Ia butuh pengalaman, perjumpaan, dan dialog.

 

Di sinilah maulid menemukan maknanya. Perbedaan cara memperingati bisa menjadi ruang belajar menerima perbedaan, tanpa kehilangan teladan Nabi. Dari situ, murid tahu bahwa agama bukan ideologi kaku, melainkan jalan kemanusiaan.

 

Komunitas belajar menjadi wadah penting. Dengan literasi digital, mereka bisa menolak konten ekstremis. Dengan diskusi sehat, mereka memahami keragaman tafsir. Dengan proyek bersama, mereka menjadikan agama ruang kolaborasi.

 

Teladan Nabi pun hadir dalam sikap nyata. Menghargai teman, menolong sesama, menjaga bahasa di media sosial. Hal-hal kecil yang menjadikan Nabi terasa dekat, bukan sekadar sosok jauh.

 

Guru yang kreatif bisa menghidupkan itu. Ia bisa mengajak murid membuat karya: puisi, video, aplikasi sederhana bertema maulid. Hasil nyata itu membuat orang tua melihat buah pendidikan, bukan hanya rapor.

 

Di era Society 5.0, pendekatan ini semakin penting. Murid harus belajar bahwa teks bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupkan. Dan teladan Nabi adalah etika yang membimbing mereka di dunia digital.

 

Bayangkan jika teladan itu dipelajari lewat simulasi digital. Bagaimana Nabi menanggapi hoaks, menjaga kejujuran, menyelesaikan konflik. Murid belajar bukan dari cerita kosong, tapi dari pengalaman yang disimulasikan.

 

Dengan itu, pendidikan kontekstual menjawab tantangan zaman. Ia menolak kekakuan, menolak ekstremisme, menghadirkan moderasi. Dan inti dari semuanya adalah teladan Nabi.

 

Momentum maulid menjadi saat yang tepat. Bukan hanya untuk membaca shalawat, tetapi untuk memperbarui kesadaran. Bukan sekadar peringatan kelahiran, melainkan upaya menghidupkan teladan.

 

Nabi Muhammad Saw mengajarkan cinta, kejujuran, toleransi. Nilai itu tak pernah usang, tak pernah hilang. Zaman boleh berubah, tapi teladan tetap sama.

 

Tugas pendidikan adalah menjaganya tetap hidup. Agar ia tidak hanya menjadi cerita, melainkan sikap, karya, dan kehidupan.

 

 

Dengan pembelajaran kontekstual, kita menghadirkan Nabi dalam ruang kelas, komunitas, dan dunia digital. Dari kata menjadi tindakan, dari teladan menjadi pengalaman.

 

Dan pada akhirnya, maulid bukan hanya tanggal dalam kalender. Ia adalah ajakan untuk menghadirkan Nabi dalam konteks zaman. Teladan itu terus membimbing, menyalakan, dan memanusiakan manusia.***

 


iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now