Oleh: Syamsul Kurniawan
Pendidikan sejak lama menanggung
dilema: apakah ia hanya menyampaikan pengetahuan, atau memanusiakan manusia. Di
dalam dilema itu, kelas sering kali berubah menjadi ruang hafalan yang kering,
angka-angka yang kosong, dan rutinitas yang usang. Yang tertinggal hanyalah
jurang antara pelajaran dan kehidupan.
Jurang itu membuat ilmu terasing
dari denyut sehari-hari. Ia bergema di dalam dirinya sendiri, seperti suara
yang berpantul tanpa henti di ruang kosong. Kita lupa, tanpa keterhubungan
dengan realitas, pengetahuan hanyalah serpihan kata yang tak menjejak bumi.
Di sinilah pembelajaran kontekstual
menemukan perannya. Ia menjembatani teori dengan kehidupan, menyatukan
pelajaran dengan pengalaman. Dengan itu, pendidikan tidak hanya memindahkan isi
buku ke kepala, melainkan menyalakan makna dalam diri murid.
Belajar tentang Nabi pun seharusnya
demikian. Ia tak cukup dibacakan dalam teks, disampaikan dalam cerita, lalu
ditutup dengan ujian. Teladan Nabi hanya akan hidup jika ia dikaitkan dengan
dunia yang murid kenal, dunia yang mereka jalani setiap hari.
Maka pembelajaran kontekstual
menuntut keterlibatan. Murid tidak lagi duduk pasif, mendengar, dan menyalin.
Mereka diajak menemukan sendiri, menghubungkan nilai dengan realitas,
menghadirkan Nabi dalam pengalaman mereka.
Guru pun tak lagi sekadar instruktur
yang memberi perintah. Ia menjadi fasilitator, penuntun yang membiarkan murid
berjalan, bertanya, bahkan tersesat, lalu kembali dengan pemahaman. Kelas
menjadi ruang penemuan bersama, bukan mimbar sepihak.
Kerangka REACT bisa dipakai sebagai
peta. Relating, Experiencing, Applying, Cooperating, Transferring—semuanya
menuntun murid dari konsep menuju praktik. Dari keterkaitan ke pengalaman, dari
penerapan ke kerja sama, lalu berpindah ke ruang hidup yang lebih luas.
Dengan kerangka itu, belajar tentang
Nabi bukan lagi hafalan kisah. Ia menjadi sesuatu yang dirasakan, diuji, dan
dihidupi. Murid pun menemukan bahwa ajaran Nabi bukan sekadar narasi sejarah,
melainkan kompas moral untuk zaman ini.
Dalam pembelajaran kontekstual,
komunitas belajar adalah inti. Ia melampaui ruang kelas yang individual,
menjadi ruang kolektif di mana murid berbagi, mendengar, dan membantu. Ada
kehangatan yang membuat belajar terasa sebagai perjumpaan, bukan perlombaan.
Gotong royong intelektual itu
membuat murid belajar bukan dari satu suara, melainkan dari percakapan. Dari
percakapan lahir makna, dan dari makna lahir sikap. Dengan cara itu, pendidikan
mendekati tujuannya: memanusiakan manusia.
Namun kita tidak bisa menutup mata,
murid hari ini hidup di era Society 5.0. Di mana algoritma, internet, dan
kecerdasan buatan bukan sekadar wacana, melainkan bagian dari napas harian.
Mereka tumbuh dalam dunia digital, yang kadang lebih berpengaruh daripada ruang
nyata.
Di dunia seperti itu, agama yang
diajarkan secara kaku akan terasa asing. Ia menjadi suara yang jauh, tak
terdengar di tengah hiruk pikuk media sosial. Sebaliknya, jika diajarkan dengan
konteks, ia akan menyapa, menjadi bagian dari percakapan mereka.
Literasi digital karena itu menjadi
kebutuhan. Murid perlu tahu cara memilah sumber, memeriksa otoritas, membedakan
pengetahuan dengan opini viral. Tanpa itu, mereka bisa terseret dalam pusaran
kabar bohong yang merusak.
Tom Nichols (2017) pernah menyebut
fenomena “matinya kepakaran.” Sebuah zaman ketika suara gaduh lebih dipercaya
daripada suara ilmiah. Dalam kelas agama, ini berarti murid lebih percaya pada
potongan ceramah daring ketimbang penjelasan guru atau kitab otoritatif.
Di titik inilah, pembelajaran
kontekstual bisa berfungsi sebagai penyeimbang. Ia tidak menutup ruang digital,
tapi mengajarkan bagaimana berhadapan dengannya secara kritis. Dengan cara itu,
murid belajar menyaring, bukan sekadar menelan.
Momentum maulid Nabi Muhammad Saw
memberi ruang bagi pendekatan ini. Tahun 2025, peringatan itu jatuh pada 12
Rabiul Awal 1447 H, bertepatan dengan 5 September. Muhammadiyah menetapkannya
sehari lebih awal. Perbedaan yang seharusnya dibaca sebagai pelajaran, bukan
bahan pertengkaran.
Perbedaan itu berakar pada metode:
hisab dan rukyah. Satu menekankan hitungan, satu menekankan kesaksian. Keduanya
sah, keduanya lahir dari tradisi keilmuan.
Di kelas, guru bisa menjadikannya
bahan refleksi. Mengapa ada perbedaan? Bagaimana kita menyikapinya? Apa artinya
bagi persaudaraan? Dengan pertanyaan itu, maulid menjadi ruang belajar
toleransi.
Melalui pendekatan REACT, perbedaan
itu bisa hidup. Murid diajak mengaitkan perbedaan kalender dengan kehidupan
sosial, mengalami diskusi pandangan, menerapkan lewat refleksi, bekerja sama
dalam dialog, lalu mentransfer sikap toleran ke luar kelas.
Dengan cara itu, maulid tidak
berhenti pada peringatan. Ia berubah menjadi proses pendidikan. Dari situ,
toleransi menjadi nyata, bukan sekadar kata.
Zaman Telah Berubah, Teladan Tetap
Sama
Nabi Muhammad hidup di abad ke-7, di
padang pasir Arab. Namun teladannya tak pernah hilang di telan waktu. Kasih,
kejujuran, kebijaksanaan—nilai yang tetap abadi, meski zaman berubah.
Di era digital, teladan itu bahkan
semakin mendesak. Ketika kebencian menyebar cepat, kita diingatkan untuk
menahan lidah. Ketika intoleransi tumbuh, kita kembali pada Piagam Madinah yang
menegaskan keragaman.
Teladan Nabi adalah kompas yang
tidak lekang. Ia melampaui algoritma, melintasi ruang maya, tetap memberi arah.
Murid yang belajar dengan pendekatan kontekstual bisa merasakannya sebagai
sesuatu yang hidup.
Misalnya, ketika mereka diminta
membuat konten digital bertema maulid yang menebarkan toleransi. Dari situ,
mereka belajar bahwa ajaran Nabi bukan sekadar kisah lampau, melainkan
inspirasi kreatif untuk kehidupan sekarang.
Bahaya radikalisme bisa
diminimalisasi dengan cara ini. Radikalisme lahir dari absolutisme, dari
penolakan pada dialog, dari tafsir tunggal yang menafikan konteks. Pembelajaran
kontekstual menolak semua itu, dengan cara menghidupkan percakapan dan keterbukaan.
Radikalisme memang berasal dari kata
radix, akar. Tapi yang tumbuh hari ini bukan akar kebenaran, melainkan akar
kebencian. Ia menolak perbedaan, menutup ruang tafsir. Di hadapannya,
pendidikan kontekstual menjadi penawar yang mengajarkan moderasi.
Moderasi berarti keterbukaan,
kerendahan hati, kesadaran akan keterbatasan manusia. Itu semua tak cukup
diajarkan lewat teori. Ia butuh pengalaman, perjumpaan, dan dialog.
Di sinilah maulid menemukan
maknanya. Perbedaan cara memperingati bisa menjadi ruang belajar menerima
perbedaan, tanpa kehilangan teladan Nabi. Dari situ, murid tahu bahwa agama
bukan ideologi kaku, melainkan jalan kemanusiaan.
Komunitas belajar menjadi wadah
penting. Dengan literasi digital, mereka bisa menolak konten ekstremis. Dengan
diskusi sehat, mereka memahami keragaman tafsir. Dengan proyek bersama, mereka
menjadikan agama ruang kolaborasi.
Teladan Nabi pun hadir dalam sikap
nyata. Menghargai teman, menolong sesama, menjaga bahasa di media sosial.
Hal-hal kecil yang menjadikan Nabi terasa dekat, bukan sekadar sosok jauh.
Guru yang kreatif bisa menghidupkan
itu. Ia bisa mengajak murid membuat karya: puisi, video, aplikasi sederhana
bertema maulid. Hasil nyata itu membuat orang tua melihat buah pendidikan,
bukan hanya rapor.
Di era Society 5.0, pendekatan ini
semakin penting. Murid harus belajar bahwa teks bukan hanya untuk dibaca, tapi
untuk dihidupkan. Dan teladan Nabi adalah etika yang membimbing mereka di dunia
digital.
Bayangkan jika teladan itu
dipelajari lewat simulasi digital. Bagaimana Nabi menanggapi hoaks, menjaga
kejujuran, menyelesaikan konflik. Murid belajar bukan dari cerita kosong, tapi
dari pengalaman yang disimulasikan.
Dengan itu, pendidikan kontekstual
menjawab tantangan zaman. Ia menolak kekakuan, menolak ekstremisme,
menghadirkan moderasi. Dan inti dari semuanya adalah teladan Nabi.
Momentum maulid menjadi saat yang
tepat. Bukan hanya untuk membaca shalawat, tetapi untuk memperbarui kesadaran.
Bukan sekadar peringatan kelahiran, melainkan upaya menghidupkan teladan.
Nabi Muhammad Saw mengajarkan cinta,
kejujuran, toleransi. Nilai itu tak pernah usang, tak pernah hilang. Zaman
boleh berubah, tapi teladan tetap sama.
Tugas pendidikan adalah menjaganya
tetap hidup. Agar ia tidak hanya menjadi cerita, melainkan sikap, karya, dan
kehidupan.
Dengan pembelajaran kontekstual,
kita menghadirkan Nabi dalam ruang kelas, komunitas, dan dunia digital. Dari
kata menjadi tindakan, dari teladan menjadi pengalaman.
Dan pada akhirnya, maulid bukan
hanya tanggal dalam kalender. Ia adalah ajakan untuk menghadirkan Nabi dalam
konteks zaman. Teladan itu terus membimbing, menyalakan, dan memanusiakan
manusia.***