Iklan

Brainrot: Ketika Layar Menggantikan Realitas

syamsul kurniawan
Saturday, August 9, 2025
Last Updated 2025-08-09T11:22:18Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Kita hidup di masa ketika gambar lebih cepat dari makna, dan suara lebih nyaring dari arti. Apa yang kita lihat, dengar, dan serap hari ini bukanlah realitas, melainkan fragmen-fragmen kebisingan yang dikemas dalam visual memes, potongan video Tiktok, atau slide carousel Instagram. Tren terbaru yang ramai dijuluki sebagai brainrot—atau secara lebih spesifik dalam versi estetikanya disebut Italian Brainrot—bukan sekadar gaya. Ia adalah gejala. Bukan hanya gangguan atensi, tapi juga peluruhan struktur berpikir. Seolah akal kita mengapung di permukaan layar, terlalu sibuk menggulir, terlalu malas menafsir.

 

Sebagaimana dimafhumi, brainrot menjelma sebagai gejala hiperaktivitas visual yang tidak hanya memperpendek rentang perhatian dan mengganggu sistem kognitif, tetapi juga mengaburkan batas antara kenyataan dan reka, menjadikan kita semua—dari generasi Z hingga para dewasa yang terlampau lama hanyut dalam algoritma—sebagai penghuni dunia yang tak lagi berakar pada ruang dan waktu, melainkan pada fluktuasi konten yang terus-menerus mengisi layar.

 

Jean Baudrillard pernah meramalkan ini. Dalam Simulacra and Simulation (1994), ia menulis bahwa dalam masyarakat postmodern, representasi bukan hanya mendahului realitas—ia menggantikan realitas. Maka dunia digital bukan sekadar cermin dari dunia nyata, tapi adalah dunia itu sendiri. Dunia yang penuh simulacrum, duplikasi dari duplikasi, sampai tak ada lagi aslinya. Dan brainrot adalah anak kandung dari simulakra itu: ketika kita menyerap terlalu banyak citra hingga kehilangan kemampuan membedakan apa yang penting.

 

Tak heran jika brainrot menjadi padanan postmodern dari mitos Yunani tentang Icarus. Ia yang ingin terbang terlalu tinggi dengan sayap lilin, lalu terbakar matahari. Kita pun demikian: terlalu terlena dalam layar, terlalu percaya bahwa pengulangan estetika bisa menyelamatkan kita dari absurditas hidup. Kita pikir melihat lebih banyak akan membuat kita lebih tahu. Padahal justru sebaliknya, kita menjadi lebih buta.

 

Peralihan nilai akibat kehadiran media baru tak terelakkan; bahkan masyarakat desa yang lama hidup dalam corak ketimuran kini terseret arus global, sementara dunia digital menyusup lewat sinyal 4G di balik rimbunnya pepohonan, perlahan menggantikan fungsi ruang tamu sebagai tempat silaturahmi dan ruang kelas sebagai wahana belajar.

 

Marc Prensky (2001) menyebut generasi yang lahir dalam realitas ini sebagai digital natives. Anak-anak dan remaja yang sejak lahir sudah terbiasa menekan, menggulir, mengklik, dan merekam. Mereka tak mengenal dunia sebelum internet. Bagi mereka, berpikir bukan soal mendalami, tapi menjelajah. Informasi bukan soal mendalami sumber, tapi menggeser layar. Pengetahuan bukan tentang kedalaman, tapi kecepatan.

 

Sementara kita para dewasa sibuk menyalahkan anak-anak karena tak mampu fokus, kita lupa bahwa lingkunganlah yang menyediakan medan pertempuran. Akses tak terbatas ke layar, algoritma yang hanya menyajikan apa yang disukai, dan kurangnya pendampingan, semua mempercepat kerusakan itu. Anak-anak menjadi korban pertama dari perang simulasi ini.

 

Mereka multitasking, katanya. Tapi sejatinya mereka hanyalah korban dari pengalihan yang konstan. Anak-anak kini menyerap informasi dari YouTube, TikTok, dan Instagram dalam waktu bersamaan, dalam jeda yang lebih cepat dari napas. Dalam waktu yang sama, buku teks menjadi artefak masa lalu, dan guru menjadi suara yang terlambat.

 

Jauh Panggang dari Api

 

Kita sering membicarakan edukasi digital, literasi media, atau pengawasan konten. Tapi semuanya jauh panggang dari api jika kita tak memahami akar masalahnya: algoritma tidak pernah netral. Dalam dunia hiperrealitas Baudrillard (1994), algoritma tidak menyajikan dunia apa adanya, melainkan dunia seperti yang kita inginkan, atau lebih tepatnya: seperti yang ingin dijual pada kita. Dunia ini didesain bukan untuk menjernihkan pikiran, tapi untuk mempertahankan keterlekatan.

 

Lalu muncullah estetika Italian Brainrot—montase gambar-gambar klasik, narasi absurd, referensi acak dari seni tinggi hingga kartun lama, semuanya disajikan seperti fragmen mimpi yang tak pernah bangun. Ini bukan seni. Ini bukan kritik. Ini adalah cara bertahan. Di tengah dunia yang tak lagi bisa dipercaya, anak-anak muda membangun dunia mereka sendiri: campuran dari sarkasme, nostalgia, dan absurditas.

 

Namun apa yang tampak sebagai bentuk ekspresi diri itu sebenarnya adalah bentuk paling laten dari alienasi. Mereka tak lagi percaya pada narasi besar, tapi juga terlalu letih untuk membangun narasi baru. Maka lahirlah estetika tempelan: dari Renaissance ke anime, dari musik klasik ke EDM. Semua ditempel, disusun, dan ditinggalkan. Tak ada satu pun yang perlu diresapi, cukup digulir.

 

Fenomena ini tak muncul dalam ruang hampa. Media baru, memang memberi kemudahan. Tapi kemudahan itu datang dengan harga: perhatian kita. Setiap notifikasi adalah gangguan yang dihalalkan. Setiap layar adalah medan tarik-menarik antara keingintahuan dan kelelahan mental. Teknologi bukan hanya alat. Ia adalah struktur, bahkan sistem, yang membentuk ulang kehidupan kita.

 

Di sisi lain, anak-anak kini tak bisa lagi dipisahkan dari perangkat digital. Ketergantungan ini melahirkan masalah psikologis: dari emosional tak stabil, kemampuan sosial yang tumpul, hingga kecanduan visual. Mereka tumbuh secara fisik, tapi tak berkembang secara emosi. Seperti Icarus, tubuh mereka terbang, tapi jiwanya tertinggal.

 

Kita perlu memahami bahwa dunia digital bukanlah ruang kosong yang netral. Ia adalah lanskap yang sarat muatan—politik, ekonomi, dan kultural—yang bekerja serentak di balik antarmuka yang tampak ramah pengguna. Di tengah aliran konten yang tak putus, tersembunyi mekanisme pasar yang menjual atensi sebagai komoditas paling berharga. Maka brainrot bukan semata gejala estetika yang ganjil atau absurditas yang viral; ia adalah konsekuensi dari dunia yang secara diam-diam merayakan kekacauan sebagai kebiasaan baru, menjadikan kebisingan sebagai standar, dan mengaburkan makna dalam lautan distraksi.

 

Dalam kekacauan itu, kita mengimajinasikan kembali makna kebersamaan yang kian hilang bentuknya. Orang tua, yang seharusnya menjadi penuntun, kini terlalu tenggelam dalam layar mereka sendiri, kehilangan kesempatan untuk menjadi jembatan antara dunia nyata dan maya yang dihadapi anak-anak mereka. Gadget tak lagi hadir sebagai alat bantu belajar, melainkan menjadi alat pendiam yang menggantikan percakapan. Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam ruang digital tanpa pagar, tanpa penyaring, dan tanpa pembeda—dibiarkan menyerap dunia yang penuh dengan ilusi, tanpa bimbingan yang menegaskan mana yang nyata dan mana yang semu.

 

Digital Parenting, Relevankah?

 

Dalam konteks ini, digital parenting menjadi satu-satunya harapan. Tapi bukan dengan ceramah atau pemblokiran aplikasi. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kritis. Orang tua harus lebih dahulu menjadi pemandu, bukan pengawas. Mereka harus hadir bukan sebagai polisi moral, tapi sebagai pembaca peta. Dunia digital bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipahami bersama.

 

Dan di titik ini, kita memahami satu hal: brainrot bukan akhir dari peradaban. Ia adalah cermin. Ia adalah gejala bahwa kita telah terlalu lama berpikir bahwa teknologi adalah alat netral. Padahal sejak awal, teknologi adalah ideologi. Ia membawa nilai, ia mengusung paradigma.

 

Kita tidak bisa menghentikan gelombang media baru. Tapi kita bisa memilih untuk berenang dengan sadar. Anak-anak perlu diajak berbicara tentang apa yang mereka lihat, tentang makna di balik layar. Kita perlu menanamkan bahwa keindahan bukan hanya pada yang viral, dan makna tak selalu terletak pada yang cepat.

 

Kita bisa mulai dengan hal sederhana: membaca bersama anak, menonton video dan mendiskusikannya, menanyakan perasaan mereka setelah melihat suatu konten. Jangan tanya apa yang mereka lihat, tapi apa yang mereka pikirkan tentang apa yang mereka lihat. Karena di situlah perbedaan antara penonton dan pemikir.

 

Dunia digital memang seperti labirin. Tapi bukan berarti kita harus tersesat. Sebagaimana Icarus yang terjatuh karena terlalu tinggi terbang, kita pun bisa jatuh karena terlalu larut. Tapi kita bisa belajar dari kesalahan mitologis itu: bahwa batas ada bukan untuk dilanggar, tapi untuk dipahami.

 

Brainrot bukan musuh. Ia hanya cermin dari kegagapan kita memahami dunia baru. Maka, tugas kita bukan menghancurkannya, tapi menelusuri akar dan arus yang membentuknya. Karena hanya dengan memahami, kita bisa mengarahkan.

 

Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak sensor, tapi lebih banyak rasa ingin tahu yang kritis. Dunia maya akan terus berubah. Tapi anak-anak kita perlu tahu bahwa realitas tidak selalu berada dalam layar. Bahwa hidup bukan hanya apa yang bisa ditampilkan. Dan bahwa kebenaran, kadang, justru bersembunyi di balik kebisingan itu.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now