Oleh: Syamsul Kurniawan
Kita hidup di masa ketika gambar lebih cepat dari makna, dan
suara lebih nyaring dari arti. Apa yang kita lihat, dengar, dan serap hari ini
bukanlah realitas, melainkan fragmen-fragmen kebisingan yang dikemas dalam
visual memes, potongan video Tiktok, atau slide carousel Instagram. Tren
terbaru yang ramai dijuluki sebagai brainrot—atau secara lebih spesifik
dalam versi estetikanya disebut Italian Brainrot—bukan sekadar gaya. Ia
adalah gejala. Bukan hanya gangguan atensi, tapi juga peluruhan struktur
berpikir. Seolah akal kita mengapung di permukaan layar, terlalu sibuk
menggulir, terlalu malas menafsir.
Sebagaimana dimafhumi, brainrot menjelma sebagai gejala
hiperaktivitas visual yang tidak hanya memperpendek rentang perhatian dan
mengganggu sistem kognitif, tetapi juga mengaburkan batas antara kenyataan dan
reka, menjadikan kita semua—dari generasi Z hingga para dewasa yang terlampau
lama hanyut dalam algoritma—sebagai penghuni dunia yang tak lagi berakar pada
ruang dan waktu, melainkan pada fluktuasi konten yang terus-menerus mengisi
layar.
Jean Baudrillard pernah meramalkan ini. Dalam Simulacra
and Simulation (1994), ia menulis bahwa dalam masyarakat postmodern,
representasi bukan hanya mendahului realitas—ia menggantikan realitas. Maka
dunia digital bukan sekadar cermin dari dunia nyata, tapi adalah dunia itu
sendiri. Dunia yang penuh simulacrum, duplikasi dari duplikasi, sampai
tak ada lagi aslinya. Dan brainrot adalah anak kandung dari simulakra itu:
ketika kita menyerap terlalu banyak citra hingga kehilangan kemampuan
membedakan apa yang penting.
Tak heran jika brainrot menjadi padanan postmodern
dari mitos Yunani tentang Icarus. Ia yang ingin terbang terlalu tinggi dengan
sayap lilin, lalu terbakar matahari. Kita pun demikian: terlalu terlena dalam
layar, terlalu percaya bahwa pengulangan estetika bisa menyelamatkan kita dari
absurditas hidup. Kita pikir melihat lebih banyak akan membuat kita lebih tahu.
Padahal justru sebaliknya, kita menjadi lebih buta.
Peralihan nilai akibat kehadiran media baru tak terelakkan;
bahkan masyarakat desa yang lama hidup dalam corak ketimuran kini terseret arus
global, sementara dunia digital menyusup lewat sinyal 4G di balik rimbunnya
pepohonan, perlahan menggantikan fungsi ruang tamu sebagai tempat silaturahmi
dan ruang kelas sebagai wahana belajar.
Marc Prensky (2001) menyebut generasi yang lahir dalam
realitas ini sebagai digital natives. Anak-anak dan remaja yang sejak
lahir sudah terbiasa menekan, menggulir, mengklik, dan merekam. Mereka tak
mengenal dunia sebelum internet. Bagi mereka, berpikir bukan soal mendalami,
tapi menjelajah. Informasi bukan soal mendalami sumber, tapi menggeser layar.
Pengetahuan bukan tentang kedalaman, tapi kecepatan.
Sementara kita para dewasa sibuk menyalahkan anak-anak
karena tak mampu fokus, kita lupa bahwa lingkunganlah yang menyediakan medan
pertempuran. Akses tak terbatas ke layar, algoritma yang hanya menyajikan apa
yang disukai, dan kurangnya pendampingan, semua mempercepat kerusakan itu.
Anak-anak menjadi korban pertama dari perang simulasi ini.
Mereka multitasking, katanya. Tapi sejatinya mereka hanyalah
korban dari pengalihan yang konstan. Anak-anak kini menyerap informasi dari
YouTube, TikTok, dan Instagram dalam waktu bersamaan, dalam jeda yang lebih
cepat dari napas. Dalam waktu yang sama, buku teks menjadi artefak masa lalu,
dan guru menjadi suara yang terlambat.
Jauh Panggang dari Api
Kita sering membicarakan edukasi digital, literasi media,
atau pengawasan konten. Tapi semuanya jauh panggang dari api jika kita tak
memahami akar masalahnya: algoritma tidak pernah netral. Dalam dunia
hiperrealitas Baudrillard (1994), algoritma tidak menyajikan dunia apa adanya,
melainkan dunia seperti yang kita inginkan, atau lebih tepatnya: seperti yang
ingin dijual pada kita. Dunia ini didesain bukan untuk menjernihkan pikiran,
tapi untuk mempertahankan keterlekatan.
Lalu muncullah estetika Italian Brainrot—montase
gambar-gambar klasik, narasi absurd, referensi acak dari seni tinggi hingga
kartun lama, semuanya disajikan seperti fragmen mimpi yang tak pernah bangun.
Ini bukan seni. Ini bukan kritik. Ini adalah cara bertahan. Di tengah dunia
yang tak lagi bisa dipercaya, anak-anak muda membangun dunia mereka sendiri:
campuran dari sarkasme, nostalgia, dan absurditas.
Namun apa yang tampak sebagai bentuk ekspresi diri itu
sebenarnya adalah bentuk paling laten dari alienasi. Mereka tak lagi percaya
pada narasi besar, tapi juga terlalu letih untuk membangun narasi baru. Maka
lahirlah estetika tempelan: dari Renaissance ke anime, dari musik klasik ke
EDM. Semua ditempel, disusun, dan ditinggalkan. Tak ada satu pun yang perlu
diresapi, cukup digulir.
Fenomena ini tak muncul dalam ruang hampa. Media baru, memang memberi kemudahan. Tapi
kemudahan itu datang dengan harga: perhatian kita. Setiap notifikasi adalah
gangguan yang dihalalkan. Setiap layar adalah medan tarik-menarik antara
keingintahuan dan kelelahan mental. Teknologi bukan hanya alat. Ia adalah
struktur, bahkan sistem, yang membentuk ulang kehidupan kita.
Di sisi lain, anak-anak kini tak bisa lagi dipisahkan dari
perangkat digital. Ketergantungan ini melahirkan masalah
psikologis: dari emosional tak stabil, kemampuan sosial yang tumpul, hingga
kecanduan visual. Mereka tumbuh secara fisik, tapi tak berkembang secara emosi.
Seperti Icarus, tubuh mereka terbang, tapi jiwanya tertinggal.
Kita perlu memahami bahwa dunia digital bukanlah ruang
kosong yang netral. Ia adalah lanskap yang sarat muatan—politik, ekonomi, dan
kultural—yang bekerja serentak di balik antarmuka yang tampak ramah pengguna.
Di tengah aliran konten yang tak putus, tersembunyi mekanisme pasar yang
menjual atensi sebagai komoditas paling berharga. Maka brainrot bukan semata
gejala estetika yang ganjil atau absurditas yang viral; ia adalah konsekuensi
dari dunia yang secara diam-diam merayakan kekacauan sebagai kebiasaan baru,
menjadikan kebisingan sebagai standar, dan mengaburkan makna dalam lautan
distraksi.
Dalam kekacauan itu, kita mengimajinasikan kembali makna
kebersamaan yang kian hilang bentuknya. Orang tua, yang seharusnya menjadi
penuntun, kini terlalu tenggelam dalam layar mereka sendiri, kehilangan
kesempatan untuk menjadi jembatan antara dunia nyata dan maya yang dihadapi
anak-anak mereka. Gadget tak lagi hadir sebagai alat bantu belajar, melainkan
menjadi alat pendiam yang menggantikan percakapan. Akibatnya, anak-anak tumbuh
dalam ruang digital tanpa pagar, tanpa penyaring, dan tanpa pembeda—dibiarkan
menyerap dunia yang penuh dengan ilusi, tanpa bimbingan yang menegaskan mana
yang nyata dan mana yang semu.
Digital Parenting, Relevankah?
Dalam konteks ini, digital parenting menjadi satu-satunya
harapan. Tapi bukan dengan ceramah atau pemblokiran aplikasi. Yang dibutuhkan
adalah kesadaran kritis. Orang tua harus lebih dahulu menjadi pemandu, bukan
pengawas. Mereka harus hadir bukan sebagai polisi moral, tapi sebagai pembaca
peta. Dunia digital bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipahami bersama.
Dan di titik ini, kita memahami satu hal: brainrot
bukan akhir dari peradaban. Ia adalah cermin. Ia adalah gejala bahwa kita telah
terlalu lama berpikir bahwa teknologi adalah alat netral. Padahal sejak awal,
teknologi adalah ideologi. Ia membawa nilai, ia mengusung paradigma.
Kita tidak bisa menghentikan gelombang media baru. Tapi kita
bisa memilih untuk berenang dengan sadar. Anak-anak perlu diajak berbicara
tentang apa yang mereka lihat, tentang makna di balik layar. Kita perlu
menanamkan bahwa keindahan bukan hanya pada yang viral, dan makna tak selalu
terletak pada yang cepat.
Kita bisa mulai dengan hal sederhana: membaca bersama anak,
menonton video dan mendiskusikannya, menanyakan perasaan mereka setelah melihat
suatu konten. Jangan tanya apa yang mereka lihat, tapi apa yang mereka pikirkan
tentang apa yang mereka lihat. Karena di situlah perbedaan antara penonton dan
pemikir.
Dunia digital memang seperti labirin. Tapi bukan berarti
kita harus tersesat. Sebagaimana Icarus yang terjatuh karena terlalu tinggi
terbang, kita pun bisa jatuh karena terlalu larut. Tapi kita bisa belajar dari
kesalahan mitologis itu: bahwa batas ada bukan untuk dilanggar, tapi untuk
dipahami.
Brainrot bukan musuh. Ia hanya cermin dari kegagapan kita
memahami dunia baru. Maka, tugas kita bukan menghancurkannya, tapi menelusuri
akar dan arus yang membentuknya. Karena hanya dengan memahami, kita bisa
mengarahkan.
Pada akhirnya, yang kita butuhkan bukan lebih banyak sensor,
tapi lebih banyak rasa ingin tahu yang kritis. Dunia maya akan terus berubah.
Tapi anak-anak kita perlu tahu bahwa realitas tidak selalu berada dalam layar.
Bahwa hidup bukan hanya apa yang bisa ditampilkan. Dan bahwa kebenaran, kadang,
justru bersembunyi di balik kebisingan itu.***