Oleh: Syamsul Kurniawan
Segala yang besar dalam kehidupan Melayu selalu bermula dari yang
halus. Dari bisik dalam hati, dari getar dalam dada, dari keyakinan yang tak
kasat mata. Itulah iman — sesuatu yang tidak dapat dilihat, tapi hidupnya dapat
dirasakan di setiap denyut budaya Melayu.
Islam datang ke tanah air Melayu bukan lewat pedang, tapi lewat pelayaran,
lewat perniagaan, lewat pertemuan di pelabuhan, dan lewat tutur yang lembut.
Orang Melayu menerima Islam bukan sebagai agama yang asing, melainkan sebagai
cahaya yang menuntun apa yang sudah ada di jantung adat mereka.
“Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah.” Kalimat tua
itu bukan sekadar pepatah, melainkan pernyataan iman. Bahwa dalam diri Melayu,
agama bukan hiasan, tapi akar yang mencengkeram kuat ke tanah budaya.
Dan di antara akar itu, ada enam ruas yang menjadi tiang: iman kepada Allah,
malaikat, kitab, rasul, hari akhir, dan takdir. Rukun yang enam itu bukan
sekadar hafalan madrasah, tapi fondasi hidup yang menyusun cara orang Melayu
memandang dunia.
Iman kepada Allah — dalam Melayu, berarti tunduk. Tunduk bukan karena kalah,
tapi karena tahu batas. Tahu bahwa di atas segala kuasa, ada Yang Maha Kuasa.
Bahwa di atas segala kehendak, ada Kehendak yang lebih dalam, lebih sunyi,
lebih pasti.
Orang Melayu percaya, Allah itu bukan hanya Tuhan di langit, tapi juga hadir di
alur sungai, di desau angin, di dengung doa subuh yang mengalun di surau
kampung. “La ilaha illallah” bukan kalimat, tapi napas yang keluar-masuk
bersama udara lembab pagi.
Iman kepada malaikat bagi orang Melayu bukan perkara khayal. Sebab di tanah
yang penuh dengan alam, makhluk-makhluk gaib bukan hal yang jauh dari
keseharian. Hanya saja, malaikat bukan makhluk menakutkan; mereka saksi. Mereka
hadir di tiap perbuatan, di tiap langkah. Mereka menulis, dengan tinta yang tak
terlihat, segala gerak dan diam manusia.
Lalu iman kepada kitab. Di tanah Melayu, Al-Qur’an bukan hanya dibaca, tapi
dihormati. Dibungkus kain, disimpan di tempat tinggi, dan dibaca dengan suara
yang lembut. Setiap hurufnya seperti bergetar di udara — seolah alam pun ikut
mendengar.
Dulu, para ulama Melayu menulis tafsir dengan huruf Jawi. Huruf Arab yang
dijahit ke dalam lidah Melayu. Dari situ tampak: bahwa iman bukan sekadar
dihafal, tapi diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri, menjadi milik sendiri.
Islam tak hanya dipeluk, tapi dihidupi.
Iman kepada rasul — inilah wajah kasih dalam keimanan Melayu. Nabi Muhammad
bukan sekadar sosok sejarah, melainkan contoh teladan yang hidup dalam
peribahasa: “Bagai Rasul memimpin ummat.” Dalam budi Melayu, akhlak Nabi
menjadi cermin — lembut tapi tegas, sederhana tapi berwibawa.
Dan ketika orang Melayu berbicara tentang hari akhir, mereka bicara dengan nada
rendah hati. Dunia ini, kata mereka, hanya persinggahan. “Kita menumpang di
bumi Allah,” ucap orang tua-tua. Maka hidup haruslah beradat, agar kelak pulang
dalam selamat.
Kepercayaan kepada takdir, pada akhirnya, adalah cara Melayu berdamai dengan
hidup. “Sudah suratan,” begitu kata mereka bila sesuatu terjadi. Tapi di balik
pasrah itu, ada kebijaksanaan yang dalam: bahwa manusia tetap berbuat, tapi
hasilnya diserahkan kepada Allah.
Aqidah Islamiah, Bagi Melayu
Aqidah Islamiah, bagi Melayu, bukan sebatas pelajaran di mushalla — ia
adalah nadi peradaban. Ia hadir dalam pantun, dalam gurindam, dalam cara orang
tua menasihati anaknya. Dalam setiap petuah, terselip rukun iman yang mengalir
seperti sungai — diam, tapi menghidupi.
Sungai, bagi orang Melayu, adalah ibu dari peradaban. Di sanalah Islam
mula-mula singgah. Di tepian sungai, para saudagar Arab menambat perahu,
menebar salam, dan menanam iman. Dari air, lahir budaya yang mengalirkan
syariat.
Dan seperti air sungai yang mengalir tanpa henti, iman pun mengalir dari satu
generasi ke generasi berikutnya. Ia menyesuaikan wadah, tapi tak kehilangan
sumbernya. Orang Melayu belajar menundukkan diri seperti air: mengalir ke
tempat rendah, tapi memberi kehidupan.
Dalam sejarah, Melayu menerima Islam dengan kepala tunduk tapi mata terbuka.
Tidak menolak kebaruan, tapi menyaringnya. Ilmu dari luar boleh datang, kata
orang tua-tua, tapi mesti disucikan dahulu dengan iman.
Di sinilah letak bijaksana Melayu: mereka tahu bahwa tidak semua cahaya itu
terang. Maka sebelum mengambil, mereka menimbang — dengan timbangan aqidah.
Sebab apa yang bercahaya bisa juga membutakan, bila tak dituntun oleh tauhid.
Dalam karya-karya lama — dari “Gurindam Dua Belas” hingga “Tunjuk Ajar Melayu”
— kita temukan rukun iman bukan dalam bentuk dalil, tapi dalam bentuk nilai.
Tentang adil, jujur, amanah, sabar, syukur — semua berakar pada keimanan yang
enam itu.
Iman kepada Allah menumbuhkan tauhid. Iman kepada malaikat melahirkan kesadaran
moral. Iman kepada kitab menuntun ilmu. Iman kepada rasul menanam akhlak. Iman
kepada hari akhir menumbuhkan tanggung jawab. Dan iman kepada takdir
menumbuhkan ketenangan.
Maka bila enam tiang itu tegak, berdirilah rumah Melayu. Rumah yang atapnya
adalah syariat, dindingnya adalah adat, dan lantainya adalah akhlak.
Namun, zaman berubah. Sungai-sungai mulai kering, dan hati manusia pun
demikian. Arus teknologi mengalir deras, membawa segala yang baru — kadang
tanpa akar. Banyak yang lupa menimbang dengan iman.
Di sinilah persoalannya kini: apakah iman masih menjadi dasar dalam cara kita
berpikir, atau hanya menjadi kata dalam pidato? Apakah rukun iman masih hidup
dalam perilaku, atau hanya disimpan dalam buku pelajaran agama?
Orang Melayu dulu percaya, ilmu tanpa iman ibarat perahu tanpa kemudi. Akan
hanyut ke mana arus membawa. Sebab itu, mereka menuntut ilmu bukan hanya untuk
tahu, tapi untuk tunduk. Agar semakin tinggi pengetahuan, semakin dalam rasa
takut kepada Allah.
Tiga Poros: Iman, Ilmu, dan Amal
Keimanan, dalam tradisi Melayu, tidak memisahkan akal dan hati.
Ilmu menuntun logika, tapi iman menuntun nurani. Keduanya saling melengkapi,
sebagaimana air dan muara.
Rukun iman bukan sistem teologis belaka. Ia adalah pandangan hidup — weltanschauung
orang Melayu yang memaknai dunia bukan sekadar tempat tinggal, tapi ladang
amal. Dunia bukan tujuan, melainkan jembatan.
Sebab itu, orang Melayu menyusun hidupnya dalam tiga poros: iman,
ilmu, dan amal. Tiga-tiganya seperti batang, dahan, dan buah. Tak mungkin satu
tumbuh tanpa yang lain.
Dan dalam tiap amal, ada adab. Orang Melayu tahu, beriman kepada Allah berarti
menjaga sopan santun terhadap makhluk. Karena di setiap ciptaan, ada tanda dari
Sang Pencipta.
Iman kepada malaikat membuat mereka berhati-hati. Karena di tiap kata, ada yang
menulis. Di tiap gerak, ada yang mencatat. Maka diam sering lebih baik daripada
bicara yang sia-sia.
Iman kepada kitab membuat mereka dekat dengan ilmu. Maka tak heran, surau bukan
hanya tempat shalat, tapi juga tempat belajar — membaca Qur’an, mengaji tafsir,
mempelajari hikmah.
Iman kepada rasul membuat mereka menghormati guru. Sebab dalam setiap guru, ada
warisan kenabian. Dan dalam setiap murid yang beradab, ada sambungan wahyu yang
hidup.
Iman kepada hari akhir membuat mereka berhati-hati dalam berdagang, bersumpah,
bahkan dalam bergurau. Sebab tiap amal akan dipertanggungjawabkan. Maka orang
Melayu lebih memilih diam daripada menipu.
Iman kepada takdir membuat mereka tabah. Mereka tahu, rezeki tak pernah salah
alamat. Bahwa kehilangan bukan akhir, melainkan cara Allah mendidik hati.
Dan bila seluruh iman itu dirajut menjadi satu, lahirlah kebudayaan yang
berjiwa — budaya yang beradab, bukan sekadar berpengetahuan. Budaya yang
menghormati Tuhan, manusia, dan alam.
Hari ini, mungkin banyak yang menyebut dirinya Melayu tanpa tahu akar kata
“iman”. Tapi selagi di dada Melayu masih ada sisa zikir, selagi lidahnya masih
menyebut “Allahu Akbar”, maka harapan itu belum padam.
Sebab pada akhirnya, Melayu bukan sekadar etnis. Ia adalah cara beriman. Ia
adalah cara manusia memandang Tuhan melalui adat, ilmu, dan amal. Dan selama
iman masih dijaga, selama tauhid masih mengalir di nadi budaya, Melayu tidak
akan hilang — ia hanya menunggu untuk diingat kembali.***


