Iklan

Ketika Santri Turun ke Jalan

syamsul kurniawan
Tuesday, October 21, 2025
Last Updated 2025-11-01T03:22:35Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Oleh: Syamsul Kurniawan

Ada pemandangan yang mengubah citra santri di ruang publik: ribuan orang bersarung berdiri rapi di pendopo, mengibarkan spanduk dan bershalawat sambil menyerukan tuntutan moral. Aksi boikot terhadap sebuah stasiun televisi bukanlah ledakan spontan; ia datang dengan surat resmi, doa bersama, dan etika demonstrasi yang sopan. Gerakan ini menandai sesuatu yang lebih dalam—upaya komunitas pesantren mempertahankan martabat simbolik mereka di tengah banjir citra media.

Gelombang ini bermula dari Lumajang, lalu meluas ke berbagai kota setelah sebuah program televisi dianggap melecehkan pesantren dan kiai. Dalam konteks ini, demonstrasi bukan semata bentuk ekspresi politik, melainkan manifestasi nilai moral. Santri turun ke jalan bukan karena dendam, tetapi karena dorongan menjaga kehormatan kolektif—sebuah bentuk solidaritas yang jarang dipahami publik luar.

Sosiolog Emile Durkheim (1895) melihat masyarakat bertahan melalui apa yang ia sebut solidaritas mekanik: ikatan emosional dan nilai bersama yang mengikat komunitas tradisional. Pesantren adalah wujud paling konkret dari solidaritas itu—dengan ritus, penghormatan kepada kiai, dan etika kehidupan yang khas. Ketika simbol pesantren dilecehkan di ruang publik, maka reaksi santri adalah mekanisme sosial untuk memperbaiki keseimbangan moral yang terguncang.

Namun, solidaritas tidak selalu tunggal. Max Weber (1930) menegaskan bahwa setiap tindakan sosial lahir dari motif yang berbeda: tradisional, afektif, instrumental, dan nilai. Dalam konteks ini, aksi santri merupakan tindakan berorientasi-nilai (wertrational)—bukan karena pamrih politik, melainkan keyakinan moral bahwa marwah pesantren harus dijaga. Di sisi lain, ada unsur afektif: rasa malu kolektif ketika simbol keagamaan dilecehkan. Weber membantu kita memahami bahwa yang terjadi bukan mobilisasi buta, tetapi tindakan bermakna yang lahir dari nilai dan emosi yang sah.

Solidaritas di Tengah Simulacra

Jean Baudrillard (1994) memberi peringatan: di zaman simulacra, citra menggantikan realitas. Televisi, media sosial, dan algoritma menciptakan “peta” yang lebih berkuasa daripada “wilayah” itu sendiri. Ketika pesantren direpresentasikan secara keliru di layar kaca, yang dirusak bukan sekadar reputasi lembaga, melainkan makna sosial pesantren di mata publik.

Aksi santri, dalam hal ini, bukan hanya reaksi moral, melainkan perlawanan terhadap peta palsu. Mereka sedang berusaha merebut kembali wilayah simbolik yang direbut oleh simulasi media. Di tengah banjir citra, aksi di jalan menjadi usaha untuk memulihkan realitas dari tangan representasi yang menipu.

Inilah ironi zaman digital: pesantren yang dulu dianggap dunia sunyi tiba-tiba harus berhadapan dengan mesin citra yang bisa mendefinisikan ulang siapa mereka. Demonstrasi, karena itu, bukan bentuk anomali, melainkan artikulasi kesadaran: pesantren menolak direduksi jadi karikatur di layar.

Kiai dalam konteks ini bukan sekadar figur spiritual, melainkan pemimpin karismatik—dalam istilah Weber—yang otoritasnya lahir dari kepercayaan moral, bukan jabatan formal. Ketika kehormatan kiai diganggu, reaksi pengikut bukan hasil komando birokratis, tetapi loyalitas iman. Di sinilah kekuatan sekaligus kerentanan kepemimpinan karismatik: ia bisa menggerakkan ribuan tanpa struktur, tapi juga mudah retak bila pengakuan moralnya goyah.

Dalam situasi ini, negara dan media seharusnya tidak terburu-buru menstigma aksi santri sebagai ancaman. Justru, mereka sedang menjalankan fungsi etis dalam demokrasi: mengoreksi penyimpangan simbolik di ruang publik. Demokrasi yang sehat mestinya memberi ruang bagi ekspresi moral semacam ini, bukan mereduksinya menjadi isu politik dangkal.

Menjaga Dialog Publik

Jurgen Habermas (1991) menyebut ruang publik sebagai arena tempat warga berdialog secara rasional dan setara. Idealnya, ruang ini bebas dari dominasi modal dan kekuasaan. Sayangnya, di Indonesia, ruang itu sering dikotori oleh logika rating, politik, dan kapital. Suara moral yang seharusnya menyeimbangkan justru dicurigai atau dibungkam.

Aksi santri bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali ruang publik agar kembali pada fungsinya: ruang deliberatif, bukan panggung simulasi. Ketika ribuan santri turun dengan shalawat, mereka sesungguhnya sedang mengajukan pertanyaan: apakah ruang publik kita masih punya etika?

Momentum ini juga menjelang peringatan Hari Santri (22 Oktober 2025)—saat bangsa mengenang peran pesantren dalam sejarah republik. Di titik inilah protes memperoleh makna historis: ia bukan sekadar respons terhadap satu acara televisi, tetapi bagian dari tradisi panjang keterlibatan pesantren dalam menjaga moral publik.

Satire dalam opini ini bukan sarkasme, melainkan cermin tajam. Media yang mengaku pembela kebebasan ekspresi kadang justru menjadi mesin yang menindas representasi kelompok minor. Sementara sebagian komentator cepat menuduh “penunggangan politik”, mereka lupa bahwa moralitas publik tidak selalu bertolak dari kepentingan pragmatis.

Santri mengajarkan bentuk perlawanan yang beradab: lantang tapi santun, tegas tapi tidak anarkis. Di sinilah letak kekuatan moral aksi mereka. Revolusi sosial tidak harus berteriak keras; ia bisa datang dengan sarung, shalawat, dan secangkir kopi untuk petugas kebersihan.

Ketika santri turun ke jalan dengan adab, mereka sedang menunjukkan wajah paling rasional dari agama: bahwa moralitas tidak berhenti di mimbar, melainkan menuntut ruang di jalan. Dan bila negara mau mendengar, demonstrasi semacam ini bukan ancaman, melainkan cermin: bahwa bangsa ini masih punya nurani sosial yang hidup.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now