Oleh: Syamsul Kurniawan
Ada pemandangan
yang mengubah citra santri di ruang publik: ribuan orang bersarung berdiri rapi
di pendopo, mengibarkan spanduk dan bershalawat sambil menyerukan tuntutan
moral. Aksi boikot terhadap sebuah stasiun televisi bukanlah ledakan spontan;
ia datang dengan surat resmi, doa bersama, dan etika demonstrasi yang sopan.
Gerakan ini menandai sesuatu yang lebih dalam—upaya komunitas pesantren
mempertahankan martabat simbolik mereka di tengah banjir citra media.
Gelombang ini
bermula dari Lumajang, lalu meluas ke berbagai kota setelah sebuah program
televisi dianggap melecehkan pesantren dan kiai. Dalam konteks ini, demonstrasi
bukan semata bentuk ekspresi politik, melainkan manifestasi nilai moral. Santri
turun ke jalan bukan karena dendam, tetapi karena dorongan menjaga kehormatan
kolektif—sebuah bentuk solidaritas yang jarang dipahami publik luar.
Sosiolog Emile
Durkheim (1895) melihat masyarakat bertahan melalui apa yang ia sebut solidaritas
mekanik: ikatan emosional dan nilai bersama yang mengikat komunitas
tradisional. Pesantren adalah wujud paling konkret dari solidaritas itu—dengan
ritus, penghormatan kepada kiai, dan etika kehidupan yang khas. Ketika simbol
pesantren dilecehkan di ruang publik, maka reaksi santri adalah mekanisme
sosial untuk memperbaiki keseimbangan moral yang terguncang.
Namun,
solidaritas tidak selalu tunggal. Max Weber (1930) menegaskan bahwa setiap
tindakan sosial lahir dari motif yang berbeda: tradisional, afektif,
instrumental, dan nilai. Dalam konteks ini, aksi santri merupakan tindakan
berorientasi-nilai (wertrational)—bukan karena pamrih politik, melainkan
keyakinan moral bahwa marwah pesantren harus dijaga. Di sisi lain, ada unsur
afektif: rasa malu kolektif ketika simbol keagamaan dilecehkan. Weber membantu
kita memahami bahwa yang terjadi bukan mobilisasi buta, tetapi tindakan
bermakna yang lahir dari nilai dan emosi yang sah.
Solidaritas di
Tengah Simulacra
Jean
Baudrillard (1994) memberi peringatan: di zaman simulacra, citra
menggantikan realitas. Televisi, media sosial, dan algoritma menciptakan “peta”
yang lebih berkuasa daripada “wilayah” itu sendiri. Ketika pesantren
direpresentasikan secara keliru di layar kaca, yang dirusak bukan sekadar
reputasi lembaga, melainkan makna sosial pesantren di mata publik.
Aksi santri,
dalam hal ini, bukan hanya reaksi moral, melainkan perlawanan terhadap peta
palsu. Mereka sedang berusaha merebut kembali wilayah simbolik yang direbut
oleh simulasi media. Di tengah banjir citra, aksi di jalan menjadi usaha untuk
memulihkan realitas dari tangan representasi yang menipu.
Inilah ironi
zaman digital: pesantren yang dulu dianggap dunia sunyi tiba-tiba harus
berhadapan dengan mesin citra yang bisa mendefinisikan ulang siapa mereka.
Demonstrasi, karena itu, bukan bentuk anomali, melainkan artikulasi kesadaran:
pesantren menolak direduksi jadi karikatur di layar.
Kiai dalam
konteks ini bukan sekadar figur spiritual, melainkan pemimpin karismatik—dalam
istilah Weber—yang otoritasnya lahir dari kepercayaan moral, bukan jabatan
formal. Ketika kehormatan kiai diganggu, reaksi pengikut bukan hasil komando
birokratis, tetapi loyalitas iman. Di sinilah kekuatan sekaligus kerentanan
kepemimpinan karismatik: ia bisa menggerakkan ribuan tanpa struktur, tapi juga
mudah retak bila pengakuan moralnya goyah.
Dalam situasi
ini, negara dan media seharusnya tidak terburu-buru menstigma aksi santri
sebagai ancaman. Justru, mereka sedang menjalankan fungsi etis dalam demokrasi:
mengoreksi penyimpangan simbolik di ruang publik. Demokrasi yang sehat mestinya
memberi ruang bagi ekspresi moral semacam ini, bukan mereduksinya menjadi isu
politik dangkal.
Menjaga Dialog
Publik
Jurgen Habermas
(1991) menyebut ruang publik sebagai arena tempat warga berdialog secara
rasional dan setara. Idealnya, ruang ini bebas dari dominasi modal dan
kekuasaan. Sayangnya, di Indonesia, ruang itu sering dikotori oleh logika
rating, politik, dan kapital. Suara moral yang seharusnya menyeimbangkan justru
dicurigai atau dibungkam.
Aksi santri
bisa dibaca sebagai upaya merebut kembali ruang publik agar kembali pada
fungsinya: ruang deliberatif, bukan panggung simulasi. Ketika ribuan santri
turun dengan shalawat, mereka sesungguhnya sedang mengajukan pertanyaan: apakah
ruang publik kita masih punya etika?
Momentum ini
juga menjelang peringatan Hari Santri (22 Oktober 2025)—saat bangsa mengenang
peran pesantren dalam sejarah republik. Di titik inilah protes memperoleh makna
historis: ia bukan sekadar respons terhadap satu acara televisi, tetapi bagian
dari tradisi panjang keterlibatan pesantren dalam menjaga moral publik.
Satire dalam
opini ini bukan sarkasme, melainkan cermin tajam. Media yang mengaku pembela
kebebasan ekspresi kadang justru menjadi mesin yang menindas representasi
kelompok minor. Sementara sebagian komentator cepat menuduh “penunggangan
politik”, mereka lupa bahwa moralitas publik tidak selalu bertolak dari
kepentingan pragmatis.
Santri
mengajarkan bentuk perlawanan yang beradab: lantang tapi santun, tegas tapi
tidak anarkis. Di sinilah letak kekuatan moral aksi mereka. Revolusi sosial
tidak harus berteriak keras; ia bisa datang dengan sarung, shalawat, dan
secangkir kopi untuk petugas kebersihan.
Ketika santri
turun ke jalan dengan adab, mereka sedang menunjukkan wajah paling rasional
dari agama: bahwa moralitas tidak berhenti di mimbar, melainkan menuntut ruang
di jalan. Dan bila negara mau mendengar, demonstrasi semacam ini bukan ancaman,
melainkan cermin: bahwa bangsa ini masih punya nurani sosial yang hidup.***


