Oleh: Syamsul Kurniawan
Kita pernah percaya bahwa sepak bola adalah cermin paling jujur
dari bangsa. Di lapangan, kita belajar tentang kerja keras, keberanian, dan
keteguhan. Tapi kadang, cermin itu pecah. Pagi 12 Oktober lalu, Indonesia kalah
0–1 dari Irak — hasil yang menghentikan langkah menuju Piala Dunia 2026. Cermin
itu retak, dan pantulannya kini bukan lagi wajah para pemain yang kelelahan, melainkan
wajah kita sendiri — wajah yang kecewa, tapi tak bisa berhenti menatap layar
ponsel.
Kekalahan itu bukan sekadar angka di papan skor. Ia adalah
peristiwa sosial, lengkap dengan aktor dan penontonnya. Di lapangan, sebelas
pemain berjuang dengan sisa tenaga. Di rumah, jutaan jempol beradu cepat:
menulis, menilai, menuding. Kekalahan berubah jadi tontonan, lalu jadi bahan
bakar algoritma.
Pierre Bourdieu (1977) mungkin akan tersenyum getir melihat ini.
Habitus sepak bola Indonesia — terbentuk dari sejarah panjang antara cinta dan
luka — melahirkan satu pola batin yang khas: selalu siap kecewa, tapi tak
pernah benar-benar siap berhenti berharap. Kekalahan adalah bagian dari
kebiasaan nasional; kemenangan, bagian dari ilusi yang terus kita tunda.
Ketika peluit akhir berbunyi, pertandingan tak benar-benar
berakhir. Ia hanya berpindah medan — dari rumput stadion ke linimasa media
sosial. Kita menatap layar, bukan lapangan. Kita membaca komentar, bukan
statistik. Kita mencari pembenaran, bukan jawaban.
Media nasional menulis, “Garuda Tumbang, Tapi Tetap Membanggakan.”
Kalimat itu indah — seperti balsem bagi luka kolektif. Kita diajak percaya
bahwa kalah pun bisa jadi kemenangan, asal dibungkus dengan retorika yang cukup
manis. Tapi di balik kalimat itu, ada rasa getir yang disembunyikan oleh
nasionalisme digital: kebanggaan yang performatif, bukan reflektif.
Dalam pandangan Bourdieu, medan tak pernah netral — selalu ada
kekuatan yang beroperasi di baliknya. Begitu pula dalam kontestasi di lapangan
sepak bola. Di balik sebelas pemain yang berlari, terselip jaringan modal
ekonomi, politik, dan simbolik: sponsor, federasi, hingga kepentingan citra
nasional. Kekalahan di lapangan hanyalah gejala dari struktur yang jauh lebih
kompleks — struktur yang jarang viral, karena tak cukup fotogenik.
Namun publik tak sabar menunggu analisis. Dunia digital menuntut
reaksi, bukan refleksi. Kekalahan cepat diolah menjadi konten: video tangisan
pemain, potongan wawancara pelatih, meme suporter kecewa. Semuanya dikemas
dalam bentuk emosi instan — siap pakai, siap share.
Dalam logika Jean Baudrillard (1994), ini bukan lagi peristiwa
nyata, tapi simulakra — tiruan dari kenyataan yang hidup lebih lama dari
kenyataannya sendiri. Kekalahan Indonesia berubah menjadi citra tentang
kekalahan: beredar, dikomentari, diulang, hingga kehilangan makna aslinya. Kita
tak lagi menangisi pemain, melainkan versi ideal dari diri kita yang gagal
mereka wakilkan.
Kita menulis “Tetap bangga dengan Garuda!” — dan ribuan orang
menyukai. Dalam dunia algoritmik, kebanggaan berubah menjadi pertunjukan moral.
Kita tidak benar-benar bangga karena memahami perjuangan, tapi karena
kebanggaan itu terlihat. Like dan retweet menjadi penanda
kesalehan baru: “Saya nasionalis,” “Saya suporter sejati,” “Saya bagian dari
bangsa yang tetap percaya.”
Baudrillard (1994) akan menyebut ini hiperrealitas: emosi
digital terasa lebih nyata daripada emosi sesungguhnya. Sementara Bourdieu
mungkin menambahkan: kebanggaan digital adalah modal simbolik jenis baru —
kapital sosial yang berputar di ruang komentar.
Media sosial pun menjelma stadion baru. Dan di stadion itu, sorakan
bukan lagi suara manusia, melainkan gema dari mesin.
Pertandingan Indonesia–Irak sudah selesai, tapi di linimasa ia
terus berlangsung. Ribuan komentar saling sahut, video dipotong, ditambah musik
sendu. Kekalahan itu tak mati — hanya berpindah platform. Di sana, yang paling
cepat membuat narasi heroik akan memanen pengakuan. Kekalahan menjadi modal
sosial; kesedihan, mata uang baru.
Merayakan Kekalahan?
Kita hidup di zaman di mana kalah pun bisa dirayakan, asal estetik.
Caption yang tepat bisa menukar kecewa menjadi kebanggaan, seolah perjuangan di
lapangan bisa ditebus dengan unggahan yang viral. Narasi “kemenangan yang
tertunda” menjadi semacam doa kolektif — lembut, tapi mematikan kesadaran.
Di bawah semua itu, ada hal yang tak bersuara: kelelahan pemain,
frustrasi pelatih, dan ketidakmampuan institusi. Tapi suara sunyi itu
tenggelam, dikalahkan oleh notifikasi yang lebih nyaring. Publik merasa ikut
berjuang, padahal hanya menambah lapisan simulasi atas kenyataan yang sama.
Fenomena ini melahirkan bentuk baru dari nasionalisme — nasionalisme
algoritmik. Ia tidak butuh stadion, cukup koneksi internet. Ia tidak
menuntut perubahan struktural, cukup kebanggaan yang bisa diukur dengan engagement.
Di sini, kekalahan bisa tampil heroik, selama dikemas inspiratif.
Seperti kata Benedict Anderson (1983), bangsa adalah komunitas yang
dibayangkan. Kini, imajinasi itu tidak lagi lahir dari tanah air yang sama,
tapi dari linimasa yang senada.
Sementara sistem pembinaan pemain tetap carut-marut, kompetisi
domestik tersendat, dan manajemen timnas terus berganti arah — realitas yang
tak pernah viral karena tak bisa diedit jadi dramatis. Kita lebih suka kisah
heroik daripada laporan struktural. Karena di dunia simulasi, yang indah lebih
berharga dari yang benar.
Namun sejarah punya kebiasaan buruk: ia selalu menuntut bukti.
Cepat atau lambat, citra akan kehilangan daya jika tak disokong kenyataan. Dan
sampai hari itu tiba, kita akan terus merayakan kekalahan dengan gaya
kemenangan.
Garuda boleh tumbang, tapi komentarnya — selalu naik daun.***