Iklan

Garuda Tumbang, Tapi Komentarnya Naik Daun

syamsul kurniawan
Tuesday, October 14, 2025
Last Updated 2025-10-15T00:30:01Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Kita pernah percaya bahwa sepak bola adalah cermin paling jujur dari bangsa. Di lapangan, kita belajar tentang kerja keras, keberanian, dan keteguhan. Tapi kadang, cermin itu pecah. Pagi 12 Oktober lalu, Indonesia kalah 0–1 dari Irak — hasil yang menghentikan langkah menuju Piala Dunia 2026. Cermin itu retak, dan pantulannya kini bukan lagi wajah para pemain yang kelelahan, melainkan wajah kita sendiri — wajah yang kecewa, tapi tak bisa berhenti menatap layar ponsel.

 

Kekalahan itu bukan sekadar angka di papan skor. Ia adalah peristiwa sosial, lengkap dengan aktor dan penontonnya. Di lapangan, sebelas pemain berjuang dengan sisa tenaga. Di rumah, jutaan jempol beradu cepat: menulis, menilai, menuding. Kekalahan berubah jadi tontonan, lalu jadi bahan bakar algoritma.

 

Pierre Bourdieu (1977) mungkin akan tersenyum getir melihat ini. Habitus sepak bola Indonesia — terbentuk dari sejarah panjang antara cinta dan luka — melahirkan satu pola batin yang khas: selalu siap kecewa, tapi tak pernah benar-benar siap berhenti berharap. Kekalahan adalah bagian dari kebiasaan nasional; kemenangan, bagian dari ilusi yang terus kita tunda.

 

Ketika peluit akhir berbunyi, pertandingan tak benar-benar berakhir. Ia hanya berpindah medan — dari rumput stadion ke linimasa media sosial. Kita menatap layar, bukan lapangan. Kita membaca komentar, bukan statistik. Kita mencari pembenaran, bukan jawaban.

 

Media nasional menulis, “Garuda Tumbang, Tapi Tetap Membanggakan.” Kalimat itu indah — seperti balsem bagi luka kolektif. Kita diajak percaya bahwa kalah pun bisa jadi kemenangan, asal dibungkus dengan retorika yang cukup manis. Tapi di balik kalimat itu, ada rasa getir yang disembunyikan oleh nasionalisme digital: kebanggaan yang performatif, bukan reflektif.

 

Dalam pandangan Bourdieu, medan tak pernah netral — selalu ada kekuatan yang beroperasi di baliknya. Begitu pula dalam kontestasi di lapangan sepak bola. Di balik sebelas pemain yang berlari, terselip jaringan modal ekonomi, politik, dan simbolik: sponsor, federasi, hingga kepentingan citra nasional. Kekalahan di lapangan hanyalah gejala dari struktur yang jauh lebih kompleks — struktur yang jarang viral, karena tak cukup fotogenik.

 

Namun publik tak sabar menunggu analisis. Dunia digital menuntut reaksi, bukan refleksi. Kekalahan cepat diolah menjadi konten: video tangisan pemain, potongan wawancara pelatih, meme suporter kecewa. Semuanya dikemas dalam bentuk emosi instan — siap pakai, siap share.

 

Dalam logika Jean Baudrillard (1994), ini bukan lagi peristiwa nyata, tapi simulakra — tiruan dari kenyataan yang hidup lebih lama dari kenyataannya sendiri. Kekalahan Indonesia berubah menjadi citra tentang kekalahan: beredar, dikomentari, diulang, hingga kehilangan makna aslinya. Kita tak lagi menangisi pemain, melainkan versi ideal dari diri kita yang gagal mereka wakilkan.

 

Kita menulis “Tetap bangga dengan Garuda!” — dan ribuan orang menyukai. Dalam dunia algoritmik, kebanggaan berubah menjadi pertunjukan moral. Kita tidak benar-benar bangga karena memahami perjuangan, tapi karena kebanggaan itu terlihat. Like dan retweet menjadi penanda kesalehan baru: “Saya nasionalis,” “Saya suporter sejati,” “Saya bagian dari bangsa yang tetap percaya.”

 

Baudrillard (1994) akan menyebut ini hiperrealitas: emosi digital terasa lebih nyata daripada emosi sesungguhnya. Sementara Bourdieu mungkin menambahkan: kebanggaan digital adalah modal simbolik jenis baru — kapital sosial yang berputar di ruang komentar.

 

Media sosial pun menjelma stadion baru. Dan di stadion itu, sorakan bukan lagi suara manusia, melainkan gema dari mesin.

 

Pertandingan Indonesia–Irak sudah selesai, tapi di linimasa ia terus berlangsung. Ribuan komentar saling sahut, video dipotong, ditambah musik sendu. Kekalahan itu tak mati — hanya berpindah platform. Di sana, yang paling cepat membuat narasi heroik akan memanen pengakuan. Kekalahan menjadi modal sosial; kesedihan, mata uang baru.

 

Merayakan Kekalahan?

 

Kita hidup di zaman di mana kalah pun bisa dirayakan, asal estetik. Caption yang tepat bisa menukar kecewa menjadi kebanggaan, seolah perjuangan di lapangan bisa ditebus dengan unggahan yang viral. Narasi “kemenangan yang tertunda” menjadi semacam doa kolektif — lembut, tapi mematikan kesadaran.

 

Di bawah semua itu, ada hal yang tak bersuara: kelelahan pemain, frustrasi pelatih, dan ketidakmampuan institusi. Tapi suara sunyi itu tenggelam, dikalahkan oleh notifikasi yang lebih nyaring. Publik merasa ikut berjuang, padahal hanya menambah lapisan simulasi atas kenyataan yang sama.

 

Fenomena ini melahirkan bentuk baru dari nasionalisme — nasionalisme algoritmik. Ia tidak butuh stadion, cukup koneksi internet. Ia tidak menuntut perubahan struktural, cukup kebanggaan yang bisa diukur dengan engagement. Di sini, kekalahan bisa tampil heroik, selama dikemas inspiratif.

 

Seperti kata Benedict Anderson (1983), bangsa adalah komunitas yang dibayangkan. Kini, imajinasi itu tidak lagi lahir dari tanah air yang sama, tapi dari linimasa yang senada.

 

Sementara sistem pembinaan pemain tetap carut-marut, kompetisi domestik tersendat, dan manajemen timnas terus berganti arah — realitas yang tak pernah viral karena tak bisa diedit jadi dramatis. Kita lebih suka kisah heroik daripada laporan struktural. Karena di dunia simulasi, yang indah lebih berharga dari yang benar.

 

Namun sejarah punya kebiasaan buruk: ia selalu menuntut bukti. Cepat atau lambat, citra akan kehilangan daya jika tak disokong kenyataan. Dan sampai hari itu tiba, kita akan terus merayakan kekalahan dengan gaya kemenangan.

 

Garuda boleh tumbang, tapi komentarnya — selalu naik daun.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now