Oleh:
Syamsul Kurniawan
Kitab
suci, pada hakikatnya, bukan hanya kumpulan kata yang dibukukan di antara dua
sampul. Ia adalah suara yang pernah diucapkan, gema yang menembus waktu, dan
napas yang terus hidup dalam kebudayaan. Ketika huruf-huruf itu dibaca, ia
menuntut bukan sekadar pemahaman, melainkan keterlibatan yang mengubah cara
manusia memandang dirinya dan dunianya.
Dalam
tradisi Islam, Al-Qur’an adalah teks yang “hidup”. Ia lahir dari ruang
oralitas, dari langit ke lidah, dari lidah ke hati, dari hati ke tindakan.
Dalam proses itu, kata menjadi laku, bacaan menjadi pengalaman, dan wahyu
menjelma menjadi budaya.
Fungsi
informatif Al-Qur’an berkaitan dengan struktur bahasanya: fonologi, morfologi,
dan makna yang membangun pesan. Ia mengatur narasi, memberi arah, menata
kehidupan manusia dengan sistem simbol yang cermat. Namun di luar itu, ada
fungsi lain yang lebih subtil: performatif, yang menjadikan teks bukan hanya
untuk diketahui, tetapi juga untuk dilakukan.
Pada
wilayah performatif, Al-Qur’an hadir bukan hanya sebagai teks yang dibaca,
melainkan sebagai sesuatu yang bekerja. Ia bisa menjadi doa yang diulang dalam
kesunyian, lantunan yang menenangkan, atau bacaan yang dipercaya membawa
keberkahan. Dalam ruang itu, teks suci bertransformasi menjadi tindakan, emosi,
bahkan estetika.
Inilah
yang menjadikan fungsi kitab suci tak pernah statis. Ia hidup di antara bahasa
dan pengalaman, di antara pengucapan dan tindakan. Fungsi ganda ini membuka
ruang bagi beragam tafsir yang berkembang sesuai dengan kebudayaan dan
kebiasaan masyarakat penggunanya.
William
A. Graham, dalam bukunya Beyond the Written Word (1993), mengingatkan
kita bahwa konsep “kitab suci” tidak bisa dipahami semata sebagai teks
tertulis. Ia menyoroti pentingnya pengalaman oral dan aural — mendengar dan
melafalkan — dalam tradisi keagamaan dunia. Menurutnya, kehidupan religius
manusia dibentuk lebih banyak oleh apa yang didengar dan diucapkan ketimbang
apa yang dibaca dalam diam.
Graham
menulis bahwa sepanjang sejarah, sebagian besar umat beragama adalah masyarakat
yang buta huruf. Namun keterbatasan literasi itu tidak menghalangi kedalaman
religius mereka. Hal ini membuktikan bahwa kitab suci tidak hanya hadir di
halaman tertulis, tetapi juga di dalam ritus, lagu, dan ingatan kolektif
umatnya.
Dari
situ kita memahami bahwa kitab suci adalah pengalaman sosial, bukan sekadar
teks linguistik. Ia tumbuh dalam ruang di mana suara, tindakan, dan kebiasaan
saling membentuk makna. Dengan demikian, Al-Qur’an adalah jaringan makna yang
terus ditenun ulang di dalam kehidupan umatnya.
Pierre
Bourdieu (1977) akan menyebut fenomena ini sebagai hasil dari habitus —
sistem disposisi yang membuat individu bertindak sesuai dengan pengalaman
sosial yang tertanam sejak dini. Habitus menjelaskan mengapa ekspresi keagamaan
bisa begitu beragam walaupun bersumber dari teks yang sama. Ia adalah hasil
interaksi antara sejarah sosial dan tindakan individu yang diulang dari
generasi ke generasi.
Dalam
konteks ini, cara orang membaca Al-Qur’an di Arab tidak akan sama dengan di
Indonesia atau di Afrika. Meskipun teksnya identik, konteks sosial dan habitus
budaya membuat perbedaan dalam cara ia dimaknai. Dengan demikian, tafsir
bukanlah semata hasil intelektual, tetapi juga refleksi atas cara hidup
masyarakat.
Habitus
ini terbentuk oleh ruang sosial, keluarga, pendidikan, dan lingkungan budaya.
Karena itu, tafsir Al-Qur’an pun tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang
membentuknya. Tafsir menjadi semacam cermin, yang memantulkan bagaimana
masyarakat memahami Tuhan dan dirinya sendiri.
Dari
sini lahirlah konsep Living Qur’an — gagasan bahwa Al-Qur’an bukan hanya
dibaca, tetapi juga dihidupkan. Dalam konsep ini, teks suci tidak berhenti di
atas kertas, melainkan bergerak di antara manusia dan tindakan mereka. Ia
menjadi panduan yang mengalir di kehidupan sehari-hari, bahkan dalam ruang
digital yang kini melingkupi dunia.
Bagaimana
Merayakan Keragaman Tafsirnya?
Merayakan
keragaman tafsir berarti mengakui bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam
bentuk tunggal. Meski bersumber dari teks yang sama, tafsir bisa tumbuh berbeda
karena pengalaman sosial dan budaya yang berlainan. Keberagaman ini bukan
ancaman bagi kesucian, melainkan tanda bahwa teks suci benar-benar hidup dalam
berbagai konteks manusia.
Fenomena
Living Qur’an di media sosial menunjukkan gejala baru dari perubahan
ini. Kini, ruang spiritualitas berpindah ke ruang virtual, di mana tadarus,
tafsir, dan refleksi tidak lagi dibatasi oleh ruang masjid atau majelis ilmu.
Layar menjadi mihrab, dan algoritma menjadi ruang pertemuan baru bagi pencari
makna.
Media
sosial menjadikan Al-Qur’an tampil dalam bentuk yang tak pernah dibayangkan
sebelumnya. Melalui platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok, ayat-ayat
suci dikemas dalam visual, suara, dan narasi yang ringkas. Di satu sisi, hal
ini membuka peluang dakwah yang luas; di sisi lain, ia menghadirkan risiko
komodifikasi yang tidak bisa diabaikan.
Contohnya
adalah tadarus online yang kerap muncul selama Ramadan. Orang-orang dari
berbagai negara terhubung melalui aplikasi, membaca Al-Qur’an bersama,
mendengarkan, dan saling mengingatkan. Dalam momen seperti itu, ayat-ayat
menjadi jembatan, bukan sekadar teks yang dilafalkan sendiri-sendiri.
Ada
pula bentuk tafsir interaktif, yang disampaikan lewat akun media sosial.
Mereka membuat seri diskusi atau breakdown per surat dengan bahasa
ringan dan visual yang menarik. Tafsir menjadi dialog, bukan ceramah satu arah.
Sementara
itu, praktik Qur’an journaling mengubah pengalaman membaca menjadi
refleksi pribadi yang kreatif. Orang mencatat makna, menggambar, menulis ulang
kesan, lalu membagikannya di dunia maya. Praktik ini menjadikan tafsir bersifat
personal sekaligus sosial — ekspresi iman yang juga bersifat estetis.
Bentuk-bentuk
baru ini menunjukkan fungsi performatif Al-Qur’an yang terus berevolusi. Ia tak
hanya dibaca, tetapi digunakan, dirasakan, dan ditafsirkan dalam bentuk
tindakan dan ekspresi. Dengan demikian, media sosial menjadi ruang baru di mana
teks suci berjumpa dengan kebudayaan pop.
Namun,
perubahan ini tidak tanpa risiko. Ketika Al-Qur’an dihadirkan dalam format
digital, kesakralannya dapat tereduksi menjadi sekadar konten yang bersaing di
tengah banjir informasi. Di titik ini, performativitas bisa berubah menjadi
performa — dan spiritualitas berubah menjadi tontonan.
Menurut
Bourdieu (1977), fenomena ini dapat dipahami melalui konsep modal sosial dan modal
budaya. Mereka yang memiliki banyak pengikut di ruang publik digital memiliki modal
sosial yang besar, sehingga mampu memengaruhi cara orang lain memahami suatu
teks atau gagasan. Sebaliknya, mereka yang memiliki kedalaman pengetahuan dan
kapasitas intelektual yang tinggi memiliki modal budaya yang kuat untuk menjaga
otentisitas tafsir, meskipun pengaruh dan jangkauannya mungkin tidak seluas
mereka yang populer di ruang sosial.
Ketika
tafsir diproduksi di ruang publik digital, ia tak lagi murni bersifat teologis.
Ia menjadi arena sosial di mana kuasa simbolik dan legitimasi berkompetisi.
Dalam konteks ini, tafsir bukan hanya soal kebenaran, tapi juga tentang siapa
yang dipercaya untuk menyampaikan kebenaran itu.
Kita
dapat melihat paradoksnya: yang populer belum tentu benar, dan yang benar belum
tentu populer. Logika algoritma membuat konten yang cepat, lucu, atau menyentuh
emosi lebih mudah diterima daripada yang kompleks dan mendalam. Di sinilah
tantangan tafsir di era digital: menjaga substansi tanpa kehilangan daya
jangkau.
Namun,
dinamika ini justru memperlihatkan bahwa tafsir selalu menjadi cermin dari
masyarakatnya. Seperti halnya zaman Nabi yang oral dan komunitatif, zaman
digital pun menciptakan bentuk keberagamaan yang baru. Ia tetap berputar pada
poros yang sama: bagaimana manusia berusaha mendekat kepada Tuhan lewat bahasa
yang dimengerti oleh zamannya.
Maka,
pertanyaan pentingnya bukan apakah tafsir di media sosial itu benar atau salah,
tetapi bagaimana ia dipertanggungjawabkan. Selama tafsir itu mendorong
kebajikan, menumbuhkan refleksi, dan tidak menyesatkan, ia tetap bagian dari
proses panjang umat untuk menghidupkan kitab suci.
Dari
Teks ke Tindakan
Jika
kita kembali pada fungsi awal kitab suci, yaitu informatif dan performatif,
maka keduanya kini menyatu di era digital. Media sosial menjadikan Al-Qur’an
mudah diakses (informatif), sekaligus mendorong tindakan spiritual dan sosial
(performatif). Dalam satu ruang kecil bernama layar, pengetahuan dan pengalaman
bercampur menjadi satu.
Kita
menyaksikan bagaimana ayat-ayat menginspirasi gerakan sosial, donasi digital,
hingga karya kreatif. Teks menjadi dorongan etis yang mendorong manusia untuk
bertindak, bukan hanya merenung. Ini adalah bentuk baru dari performativitas
spiritual yang bersifat kolektif.
Namun,
setiap tindakan selalu lahir dari habitus yang membentuknya. Mereka yang tumbuh
dalam budaya religius yang simbolik, mungkin menjadikan ayat sebagai
representasi identitas. Sedangkan mereka yang mendalami agama sebagai refleksi
batin, akan memperlakukannya sebagai ruang hening dan pribadi.
Perbedaan
cara memaknai ini menunjukkan fleksibilitas habitus yang dijelaskan Bourdieu.
Habitus bukanlah struktur yang kaku, melainkan sistem disposisi yang bisa
beradaptasi terhadap perubahan zaman. Karena itu, pergeseran praktik
keberagamaan digital bukanlah penyimpangan, melainkan hasil dari transformasi
sosial.
Masyarakat
yang terbiasa dengan teknologi akan menciptakan bentuk ekspresi keagamaan yang
berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka menganggap membaca Al-Qur’an di ponsel
sama sahnya dengan membaca mushaf fisik, karena yang penting adalah
keterhubungan spiritual, bukan medianya. Kebiasaan baru ini menjadi bagian dari
habitus digital umat beragama.
Transformasi
seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa Nabi, Al-Qur’an telah melalui
perjalanan panjang — dari hafalan lisan, tulisan di pelepah kurma, kompilasi
menjadi mushaf, hingga kini digitalisasi. Setiap perubahan bentuk membawa
pergeseran cara manusia berhubungan dengan wahyu.
Namun
satu hal tetap tidak berubah: kebutuhan manusia untuk menjadikan teks itu
hidup. Entah dibaca di mushaf, dilantunkan dalam tadarus online, atau
ditulis dalam catatan digital, manusia selalu mencari cara untuk membuat wahyu
tetap dekat. Di situlah spiritualitas menemukan bentuknya yang paling jujur.
Bourdieu
(1977) mengingatkan bahwa habitus selalu lentur dan dinamis. Ia memungkinkan
manusia beradaptasi tanpa kehilangan akar. Dalam konteks ini, umat Islam di era
digital bisa tetap menjaga nilai sakral Al-Qur’an sambil merangkul modernitas
dengan bijak.
Merayakan
keragaman tafsir berarti memberi ruang bagi Al-Qur’an untuk bernafas di setiap
konteksnya. Ia tidak boleh dibekukan dalam satu bentuk pemahaman, karena
maknanya justru tumbuh dari pertemuan antara teks dan kehidupan. Namun
kebebasan itu tetap menuntut tanggung jawab, agar tafsir tidak menjadi liar dan
kehilangan arah etiknya.
Pada
akhirnya, kitab suci selalu kembali menjadi cermin. Ia memantulkan siapa kita —
sejauh mana kita memahami teks bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan
kebudayaan, sejarah, dan hati. Dan mungkin, dalam pantulan itu, kita menemukan
bahwa yang sedang ditafsirkan selama ini bukan semata-mata wahyu, melainkan
diri kita sendiri.***


