Iklan

Ketika Kitab Menjadi Cermin: Tentang Teks Al-Qur‘an, Tafsir, dan Kebudayaan yang Hidup

syamsul kurniawan
Thursday, October 23, 2025
Last Updated 2025-10-24T05:40:33Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Kitab suci, pada hakikatnya, bukan hanya kumpulan kata yang dibukukan di antara dua sampul. Ia adalah suara yang pernah diucapkan, gema yang menembus waktu, dan napas yang terus hidup dalam kebudayaan. Ketika huruf-huruf itu dibaca, ia menuntut bukan sekadar pemahaman, melainkan keterlibatan yang mengubah cara manusia memandang dirinya dan dunianya.

 

Dalam tradisi Islam, Al-Qur’an adalah teks yang “hidup”. Ia lahir dari ruang oralitas, dari langit ke lidah, dari lidah ke hati, dari hati ke tindakan. Dalam proses itu, kata menjadi laku, bacaan menjadi pengalaman, dan wahyu menjelma menjadi budaya.

 

Fungsi informatif Al-Qur’an berkaitan dengan struktur bahasanya: fonologi, morfologi, dan makna yang membangun pesan. Ia mengatur narasi, memberi arah, menata kehidupan manusia dengan sistem simbol yang cermat. Namun di luar itu, ada fungsi lain yang lebih subtil: performatif, yang menjadikan teks bukan hanya untuk diketahui, tetapi juga untuk dilakukan.

 

Pada wilayah performatif, Al-Qur’an hadir bukan hanya sebagai teks yang dibaca, melainkan sebagai sesuatu yang bekerja. Ia bisa menjadi doa yang diulang dalam kesunyian, lantunan yang menenangkan, atau bacaan yang dipercaya membawa keberkahan. Dalam ruang itu, teks suci bertransformasi menjadi tindakan, emosi, bahkan estetika.

 

Inilah yang menjadikan fungsi kitab suci tak pernah statis. Ia hidup di antara bahasa dan pengalaman, di antara pengucapan dan tindakan. Fungsi ganda ini membuka ruang bagi beragam tafsir yang berkembang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan masyarakat penggunanya.

 

William A. Graham, dalam bukunya Beyond the Written Word (1993), mengingatkan kita bahwa konsep “kitab suci” tidak bisa dipahami semata sebagai teks tertulis. Ia menyoroti pentingnya pengalaman oral dan aural — mendengar dan melafalkan — dalam tradisi keagamaan dunia. Menurutnya, kehidupan religius manusia dibentuk lebih banyak oleh apa yang didengar dan diucapkan ketimbang apa yang dibaca dalam diam.

 

Graham menulis bahwa sepanjang sejarah, sebagian besar umat beragama adalah masyarakat yang buta huruf. Namun keterbatasan literasi itu tidak menghalangi kedalaman religius mereka. Hal ini membuktikan bahwa kitab suci tidak hanya hadir di halaman tertulis, tetapi juga di dalam ritus, lagu, dan ingatan kolektif umatnya.

Dari situ kita memahami bahwa kitab suci adalah pengalaman sosial, bukan sekadar teks linguistik. Ia tumbuh dalam ruang di mana suara, tindakan, dan kebiasaan saling membentuk makna. Dengan demikian, Al-Qur’an adalah jaringan makna yang terus ditenun ulang di dalam kehidupan umatnya.

 

Pierre Bourdieu (1977) akan menyebut fenomena ini sebagai hasil dari habitus — sistem disposisi yang membuat individu bertindak sesuai dengan pengalaman sosial yang tertanam sejak dini. Habitus menjelaskan mengapa ekspresi keagamaan bisa begitu beragam walaupun bersumber dari teks yang sama. Ia adalah hasil interaksi antara sejarah sosial dan tindakan individu yang diulang dari generasi ke generasi.

 

Dalam konteks ini, cara orang membaca Al-Qur’an di Arab tidak akan sama dengan di Indonesia atau di Afrika. Meskipun teksnya identik, konteks sosial dan habitus budaya membuat perbedaan dalam cara ia dimaknai. Dengan demikian, tafsir bukanlah semata hasil intelektual, tetapi juga refleksi atas cara hidup masyarakat.

 

Habitus ini terbentuk oleh ruang sosial, keluarga, pendidikan, dan lingkungan budaya. Karena itu, tafsir Al-Qur’an pun tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial yang membentuknya. Tafsir menjadi semacam cermin, yang memantulkan bagaimana masyarakat memahami Tuhan dan dirinya sendiri.

 

Dari sini lahirlah konsep Living Qur’an — gagasan bahwa Al-Qur’an bukan hanya dibaca, tetapi juga dihidupkan. Dalam konsep ini, teks suci tidak berhenti di atas kertas, melainkan bergerak di antara manusia dan tindakan mereka. Ia menjadi panduan yang mengalir di kehidupan sehari-hari, bahkan dalam ruang digital yang kini melingkupi dunia.

 

Bagaimana Merayakan Keragaman Tafsirnya?

 

Merayakan keragaman tafsir berarti mengakui bahwa kebenaran tidak selalu hadir dalam bentuk tunggal. Meski bersumber dari teks yang sama, tafsir bisa tumbuh berbeda karena pengalaman sosial dan budaya yang berlainan. Keberagaman ini bukan ancaman bagi kesucian, melainkan tanda bahwa teks suci benar-benar hidup dalam berbagai konteks manusia.

 

Fenomena Living Qur’an di media sosial menunjukkan gejala baru dari perubahan ini. Kini, ruang spiritualitas berpindah ke ruang virtual, di mana tadarus, tafsir, dan refleksi tidak lagi dibatasi oleh ruang masjid atau majelis ilmu. Layar menjadi mihrab, dan algoritma menjadi ruang pertemuan baru bagi pencari makna.

 

Media sosial menjadikan Al-Qur’an tampil dalam bentuk yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Melalui platform seperti YouTube, Instagram, atau TikTok, ayat-ayat suci dikemas dalam visual, suara, dan narasi yang ringkas. Di satu sisi, hal ini membuka peluang dakwah yang luas; di sisi lain, ia menghadirkan risiko komodifikasi yang tidak bisa diabaikan.

 

Contohnya adalah tadarus online yang kerap muncul selama Ramadan. Orang-orang dari berbagai negara terhubung melalui aplikasi, membaca Al-Qur’an bersama, mendengarkan, dan saling mengingatkan. Dalam momen seperti itu, ayat-ayat menjadi jembatan, bukan sekadar teks yang dilafalkan sendiri-sendiri.

 

Ada pula bentuk tafsir interaktif, yang disampaikan lewat akun media sosial. Mereka membuat seri diskusi atau breakdown per surat dengan bahasa ringan dan visual yang menarik. Tafsir menjadi dialog, bukan ceramah satu arah.

 

Sementara itu, praktik Qur’an journaling mengubah pengalaman membaca menjadi refleksi pribadi yang kreatif. Orang mencatat makna, menggambar, menulis ulang kesan, lalu membagikannya di dunia maya. Praktik ini menjadikan tafsir bersifat personal sekaligus sosial — ekspresi iman yang juga bersifat estetis.

 

Bentuk-bentuk baru ini menunjukkan fungsi performatif Al-Qur’an yang terus berevolusi. Ia tak hanya dibaca, tetapi digunakan, dirasakan, dan ditafsirkan dalam bentuk tindakan dan ekspresi. Dengan demikian, media sosial menjadi ruang baru di mana teks suci berjumpa dengan kebudayaan pop.

 

Namun, perubahan ini tidak tanpa risiko. Ketika Al-Qur’an dihadirkan dalam format digital, kesakralannya dapat tereduksi menjadi sekadar konten yang bersaing di tengah banjir informasi. Di titik ini, performativitas bisa berubah menjadi performa — dan spiritualitas berubah menjadi tontonan.

 

Menurut Bourdieu (1977), fenomena ini dapat dipahami melalui konsep modal sosial dan modal budaya. Mereka yang memiliki banyak pengikut di ruang publik digital memiliki modal sosial yang besar, sehingga mampu memengaruhi cara orang lain memahami suatu teks atau gagasan. Sebaliknya, mereka yang memiliki kedalaman pengetahuan dan kapasitas intelektual yang tinggi memiliki modal budaya yang kuat untuk menjaga otentisitas tafsir, meskipun pengaruh dan jangkauannya mungkin tidak seluas mereka yang populer di ruang sosial.

 

Ketika tafsir diproduksi di ruang publik digital, ia tak lagi murni bersifat teologis. Ia menjadi arena sosial di mana kuasa simbolik dan legitimasi berkompetisi. Dalam konteks ini, tafsir bukan hanya soal kebenaran, tapi juga tentang siapa yang dipercaya untuk menyampaikan kebenaran itu.

 

Kita dapat melihat paradoksnya: yang populer belum tentu benar, dan yang benar belum tentu populer. Logika algoritma membuat konten yang cepat, lucu, atau menyentuh emosi lebih mudah diterima daripada yang kompleks dan mendalam. Di sinilah tantangan tafsir di era digital: menjaga substansi tanpa kehilangan daya jangkau.

 

Namun, dinamika ini justru memperlihatkan bahwa tafsir selalu menjadi cermin dari masyarakatnya. Seperti halnya zaman Nabi yang oral dan komunitatif, zaman digital pun menciptakan bentuk keberagamaan yang baru. Ia tetap berputar pada poros yang sama: bagaimana manusia berusaha mendekat kepada Tuhan lewat bahasa yang dimengerti oleh zamannya.

 

Maka, pertanyaan pentingnya bukan apakah tafsir di media sosial itu benar atau salah, tetapi bagaimana ia dipertanggungjawabkan. Selama tafsir itu mendorong kebajikan, menumbuhkan refleksi, dan tidak menyesatkan, ia tetap bagian dari proses panjang umat untuk menghidupkan kitab suci.

 

Dari Teks ke Tindakan

 

Jika kita kembali pada fungsi awal kitab suci, yaitu informatif dan performatif, maka keduanya kini menyatu di era digital. Media sosial menjadikan Al-Qur’an mudah diakses (informatif), sekaligus mendorong tindakan spiritual dan sosial (performatif). Dalam satu ruang kecil bernama layar, pengetahuan dan pengalaman bercampur menjadi satu.

 

Kita menyaksikan bagaimana ayat-ayat menginspirasi gerakan sosial, donasi digital, hingga karya kreatif. Teks menjadi dorongan etis yang mendorong manusia untuk bertindak, bukan hanya merenung. Ini adalah bentuk baru dari performativitas spiritual yang bersifat kolektif.

 

Namun, setiap tindakan selalu lahir dari habitus yang membentuknya. Mereka yang tumbuh dalam budaya religius yang simbolik, mungkin menjadikan ayat sebagai representasi identitas. Sedangkan mereka yang mendalami agama sebagai refleksi batin, akan memperlakukannya sebagai ruang hening dan pribadi.

 

Perbedaan cara memaknai ini menunjukkan fleksibilitas habitus yang dijelaskan Bourdieu. Habitus bukanlah struktur yang kaku, melainkan sistem disposisi yang bisa beradaptasi terhadap perubahan zaman. Karena itu, pergeseran praktik keberagamaan digital bukanlah penyimpangan, melainkan hasil dari transformasi sosial.

 

Masyarakat yang terbiasa dengan teknologi akan menciptakan bentuk ekspresi keagamaan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka menganggap membaca Al-Qur’an di ponsel sama sahnya dengan membaca mushaf fisik, karena yang penting adalah keterhubungan spiritual, bukan medianya. Kebiasaan baru ini menjadi bagian dari habitus digital umat beragama.

 

Transformasi seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Sejak masa Nabi, Al-Qur’an telah melalui perjalanan panjang — dari hafalan lisan, tulisan di pelepah kurma, kompilasi menjadi mushaf, hingga kini digitalisasi. Setiap perubahan bentuk membawa pergeseran cara manusia berhubungan dengan wahyu.

 

Namun satu hal tetap tidak berubah: kebutuhan manusia untuk menjadikan teks itu hidup. Entah dibaca di mushaf, dilantunkan dalam tadarus online, atau ditulis dalam catatan digital, manusia selalu mencari cara untuk membuat wahyu tetap dekat. Di situlah spiritualitas menemukan bentuknya yang paling jujur.

 

Bourdieu (1977) mengingatkan bahwa habitus selalu lentur dan dinamis. Ia memungkinkan manusia beradaptasi tanpa kehilangan akar. Dalam konteks ini, umat Islam di era digital bisa tetap menjaga nilai sakral Al-Qur’an sambil merangkul modernitas dengan bijak.

 

Merayakan keragaman tafsir berarti memberi ruang bagi Al-Qur’an untuk bernafas di setiap konteksnya. Ia tidak boleh dibekukan dalam satu bentuk pemahaman, karena maknanya justru tumbuh dari pertemuan antara teks dan kehidupan. Namun kebebasan itu tetap menuntut tanggung jawab, agar tafsir tidak menjadi liar dan kehilangan arah etiknya.

 

Pada akhirnya, kitab suci selalu kembali menjadi cermin. Ia memantulkan siapa kita — sejauh mana kita memahami teks bukan hanya dengan akal, tetapi juga dengan kebudayaan, sejarah, dan hati. Dan mungkin, dalam pantulan itu, kita menemukan bahwa yang sedang ditafsirkan selama ini bukan semata-mata wahyu, melainkan diri kita sendiri.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now