Oleh: Syamsul Kurniawan
Setiap peradaban memiliki cara sendiri dalam menghormati kata. Dalam Islam,
kata itu dibuka dengan Bismillahirrahmanirrahim—lafaz yang lembut tapi
tegas, pengingat bahwa di balik segala perbuatan ada tangan kasih dan kuasa
yang tak terlihat. Kalimat ini bukan sekadar pembuka, melainkan penanda: bahwa
hidup manusia dimulai dari pengakuan akan sesuatu yang lebih tinggi darinya.
Kita mungkin tidak selalu menyadari betapa dalamnya makna itu bekerja. Di lidah
anak kecil yang belajar membaca, di tangan tukang yang menyalakan mesin, di
bibir ibu yang hendak mengaduk nasi di dapur—semuanya diawali dengan bismillah.
Kitab suci tidak hanya berada di rak dan lembaran mushaf, ia berdiam di laku,
di kebiasaan, di gerak paling sederhana manusia.
Dalam hal ini, kitab suci adalah satu-satunya teks yang hidup melampaui dirinya
sendiri. Ia bukan hanya dibaca; ia dihidupi. Tidak ada buku lain di dunia yang
dibuka dan diakhiri dengan penghormatan seperti itu, yang diucap jutaan kali
tiap hari tanpa pernah kehilangan kesegaran maknanya.
Setiap agama mengenal yang suci, tetapi tidak semua memiliki tradisi yang
menjadikan kesucian itu hadir dalam tindakan sehari-hari. Al-Qur’an menembus
ruang privat dan publik, hadir di pasar, di sekolah, di jalan, dan di ruang
sepi tempat orang berdoa. Ia adalah teks yang menolak untuk sekadar menjadi
teks.
Di sinilah keunikan itu berdiam: kitab suci tidak berhenti di huruf. Ia
menyeberang ke perilaku, ke etika, bahkan ke rasa takut dan harap manusia.
Membacanya berarti masuk ke wilayah yang lebih luas dari sekadar bahasa—wilayah
tempat Tuhan berbicara lewat waktu dan kesunyian.
Namun, manusia selalu dihadapkan pada batas. Tak ada seorang pun yang dapat
secara otoritatif mengklaim memahami maksud Tuhan secara penuh. Setiap ayat
adalah cermin berlapis makna, dan manusia hanya mampu melihat pantulan yang
sejauh matanya sanggup menatap.
Itulah sebabnya tafsir diperlukan. Nabi Muhammad Saw memberi penjelasan awal
atas wahyu, para sahabat menurunkannya dalam konteks kehidupan, lalu para ulama
mengulasnya kembali dalam tafsir yang menjadi jembatan antarzaman. Maka,
memahami kitab suci bukan sekadar membaca, tetapi memasuki percakapan panjang
yang dimulai sejak wahyu pertama turun.
Dan seperti semua percakapan besar, tafsir selalu terbuka bagi perbedaan. Satu
ayat bisa dimaknai secara linguistik, teologis, sosial, atau bahkan
eksistensial. Setiap pembaca membawa kacamata dan luka sendiri. Di situlah
letak keindahan dan kerendahan hatinya—bahwa kebenaran tak pernah tunggal di
tangan manusia.
Maka, kitab suci bukanlah batu yang diam, melainkan sungai yang mengalir. Di
setiap masa, ia menemukan bentuk tafsir yang baru. Bukan karena maknanya
berubah, tetapi karena dunia pembacanya berubah.
Kita membaca Al-Qur’an dengan bahasa, logika, dan persoalan yang berbeda dari
para sahabat dulu. Namun keajaibannya, maknanya tetap sampai. Itu karena wahyu
berbicara bukan hanya kepada akal, melainkan kepada fitrah manusia yang paling
dalam.
Dalam perjalanan panjang itu, manusia berusaha menjaga kedekatan dengan wahyu,
salah satunya lewat hafalan. Menghafal kitab suci bukanlah sekadar kegiatan
mengingat, melainkan cara mempertahankan nyala kata di dalam diri.
Teknik menghafal dalam Islam menemukan bentuknya sendiri. Irama, pengulangan,
dan keindahan fonetik dalam ayat menjadi alat bantu alami yang menempel di
ingatan. Dalam istilah modern, ini mirip dengan mnemonik—cara mengaitkan
informasi baru dengan pola yang sudah dikenal.
Seseorang bisa mengingat ayat tertentu karena ritmenya, karena huruf yang
berulang, atau bahkan karena kisah yang mengiringinya. Dalam proses itu, ayat
bukan lagi teks yang asing, tetapi ruang yang akrab—semacam istana memori
tempat makna tinggal dengan tenang.
Dan ketika bibir mengulang ayat, pikiran mengulang maknanya, maka hafalan
menjadi bentuk meditasi. Setiap pengulangan adalah perjalanan dari bunyi menuju
makna, dari manusia menuju Tuhan.
Namun, seperti semua tradisi lisan, yang dijaga bukan hanya bunyi, tetapi
makna. Otentisitas dalam dunia lisan tidak diukur dari kesamaan huruf,
melainkan dari keutuhan pesan. Maka, jika dalam tulisan kesalahan ejaan adalah
dosa, dalam kelisanan perbedaan bisa menjadi keberagaman.
Dari situ tumbuhlah qira’at—ragam bacaan Al-Qur’an yang sah. Sejak zaman
Nabi, sudah ada perbedaan dalam pelafalan, intonasi, bahkan dialek. Tapi
semuanya diterima, karena makna yang disampaikan tetap sama.
Ragam qira’at adalah bukti bahwa wahyu menembus batas budaya. Ketika Islam
menyebar, lidah manusia yang berbeda mengucap dengan caranya sendiri, dan kitab
suci menyesuaikan tanpa kehilangan jiwanya.
Bacaan Al-Qur’an di Kairo dan di Makkah, atau di Aceh, mungkin menampakkan
irama yang berbeda. Namun di balik perbedaan bunyi itu, tetap berdiam teks yang
sama. Kesucian, rupanya, tak selalu kaku; ia lentur, tapi tak kehilangan
orientasinya.
Dalam dunia yang semakin menulis segala hal, kelisanan Al-Qur’an menjadi
pengingat bahwa bahasa tak hanya hidup di atas kertas. Suara adalah cara lain
Tuhan menegaskan kehadiran-Nya.
Namun pertanyaan besar tetap menggantung: bagaimana mungkin manusia memahami
sesuatu yang berasal dari Yang Tak Terbatas, dengan bahasa yang terbatas?
Teks yang Hidup dan Berbicara:
Hermeneutika dan Kitab Suci
Paul Ricoeur, filsuf Prancis yang dalam, pernah mengatakan bahwa teks selalu
hidup di luar pengarangnya. Ketika sesuatu ditulis, ia keluar dari tangan
penciptanya dan membangun dunia maknanya sendiri. Teks bukan lagi milik
penulis, melainkan milik pembaca yang menemuinya.
Ricoeur menyebut teks sebagai any discourse fixed by writing—wacana yang
difiksasi oleh tulisan. Tapi “fiksasi” itu bukan berarti pembekuan. Sebaliknya,
tulisan memberi teks kesempatan untuk hidup lebih lama, melintasi waktu dan
ruang, berbicara kepada pembaca yang tak pernah dikenal penulisnya.
Dalam kerangka ini, kitab suci menempati posisi paling unik. Ia adalah teks
yang ditulis, tapi bukan oleh manusia. Ia memiliki otonomi penuh, tapi maknanya
tak pernah benar-benar terlepas dari sumbernya: Tuhan.
Ricoeur menjelaskan bahwa teks memiliki empat sifat utama: maknanya berdiri
sendiri, tak bergantung pada pembicara; ia terlepas dari konteks awal; ia tak
terikat pada audiens pertama; dan ia menciptakan dunia imajiner sendiri. Dengan
demikian, teks selalu terbuka untuk ditafsir ulang.
Bila ini diterapkan pada Al-Qur’an, maka wahyu bukanlah teks yang beku di abad
ke-7, melainkan teks yang terus bernafas. Ayat-ayatnya tak hanya berbicara pada
masyarakat Arab kuno, tapi juga kepada pembaca abad 21 dengan kompleksitas
moral dan sosial yang berbeda.
Namun Ricoeur juga memberi batas: tidak semua teks bisa dilepaskan dari maksud
pengarangnya. Dalam konteks kitab suci, di mana pengarangnya adalah Tuhan,
manusia perlu menjaga kerendahan hati. Tafsir adalah upaya mendekat, bukan
menguasai.
Hermeneutika Ricoeur mengajarkan bahwa memahami teks adalah gerak bolak-balik
antara “menjelaskan” dan “memahami”. Tafsir yang baik tidak hanya mencari makna
literal, tetapi juga menyingkap dunia yang dibangun teks itu sendiri.
Karena itu, membaca kitab suci adalah dialog yang tak pernah selesai antara
manusia dan Tuhannya. Setiap tafsir adalah jawaban sementara, dan setiap
pembacaan adalah doa yang diucapkan dengan bahasa akal.
Dalam titik ini, wahyu menunjukkan keagungannya: ia memberi ruang bagi nalar,
tapi tak pernah bisa dijangkau sepenuhnya oleh nalar. Ia adalah teks yang hidup
di antara kata dan keheningan.
Maka, hermeneutika bukan ancaman bagi kesucian, tetapi jembatan untuk
memahaminya dengan kedalaman baru—bahwa kitab suci bisa dibaca dengan cinta dan
logika sekaligus.
Di akhir perjalanan ini, kita kembali ke tempat semula: pada kalimat pembuka
yang sederhana, Bismillahirrahmanirrahim. Kalimat yang menyatukan dua
dunia—akal dan rasa, teks dan laku, Tuhan dan manusia.
Keunikan kitab suci bukan hanya pada isinya, tapi pada cara ia hidup di tengah
manusia. Ia membentuk tradisi, mengatur perilaku, memberi arah, dan tetap
membuka ruang bagi perbedaan tafsir.
Ia bisa menjadi kitab hukum di tangan seorang ulama, menjadi sumber puisi di
tangan penyair, menjadi bahan renungan di ruang sunyi seorang sufi. Tapi di
semua tangan itu, ia tetap kitab yang sama: cahaya yang tak pernah padam.
Mungkin karena itu, kitab suci tak pernah selesai dibaca. Ia adalah teks yang
selalu baru, karena manusia yang membacanya selalu berubah.
Dan setiap kali kita mengucap Bismillahirrahmanirrahim, sesungguhnya
kita sedang mengulang kisah yang sama sejak awal zaman: manusia memulai
segalanya dengan nama Tuhan, agar hidupnya tak tersesat di antara huruf dan
waktu.***


