Iklan

Keunikannya Kitab Suci

syamsul kurniawan
Friday, October 24, 2025
Last Updated 2025-10-25T00:53:00Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Setiap peradaban memiliki cara sendiri dalam menghormati kata. Dalam Islam, kata itu dibuka dengan Bismillahirrahmanirrahim—lafaz yang lembut tapi tegas, pengingat bahwa di balik segala perbuatan ada tangan kasih dan kuasa yang tak terlihat. Kalimat ini bukan sekadar pembuka, melainkan penanda: bahwa hidup manusia dimulai dari pengakuan akan sesuatu yang lebih tinggi darinya.


Kita mungkin tidak selalu menyadari betapa dalamnya makna itu bekerja. Di lidah anak kecil yang belajar membaca, di tangan tukang yang menyalakan mesin, di bibir ibu yang hendak mengaduk nasi di dapur—semuanya diawali dengan bismillah. Kitab suci tidak hanya berada di rak dan lembaran mushaf, ia berdiam di laku, di kebiasaan, di gerak paling sederhana manusia.


Dalam hal ini, kitab suci adalah satu-satunya teks yang hidup melampaui dirinya sendiri. Ia bukan hanya dibaca; ia dihidupi. Tidak ada buku lain di dunia yang dibuka dan diakhiri dengan penghormatan seperti itu, yang diucap jutaan kali tiap hari tanpa pernah kehilangan kesegaran maknanya.


Setiap agama mengenal yang suci, tetapi tidak semua memiliki tradisi yang menjadikan kesucian itu hadir dalam tindakan sehari-hari. Al-Qur’an menembus ruang privat dan publik, hadir di pasar, di sekolah, di jalan, dan di ruang sepi tempat orang berdoa. Ia adalah teks yang menolak untuk sekadar menjadi teks.


Di sinilah keunikan itu berdiam: kitab suci tidak berhenti di huruf. Ia menyeberang ke perilaku, ke etika, bahkan ke rasa takut dan harap manusia. Membacanya berarti masuk ke wilayah yang lebih luas dari sekadar bahasa—wilayah tempat Tuhan berbicara lewat waktu dan kesunyian.


Namun, manusia selalu dihadapkan pada batas. Tak ada seorang pun yang dapat secara otoritatif mengklaim memahami maksud Tuhan secara penuh. Setiap ayat adalah cermin berlapis makna, dan manusia hanya mampu melihat pantulan yang sejauh matanya sanggup menatap.


Itulah sebabnya tafsir diperlukan. Nabi Muhammad Saw memberi penjelasan awal atas wahyu, para sahabat menurunkannya dalam konteks kehidupan, lalu para ulama mengulasnya kembali dalam tafsir yang menjadi jembatan antarzaman. Maka, memahami kitab suci bukan sekadar membaca, tetapi memasuki percakapan panjang yang dimulai sejak wahyu pertama turun.


Dan seperti semua percakapan besar, tafsir selalu terbuka bagi perbedaan. Satu ayat bisa dimaknai secara linguistik, teologis, sosial, atau bahkan eksistensial. Setiap pembaca membawa kacamata dan luka sendiri. Di situlah letak keindahan dan kerendahan hatinya—bahwa kebenaran tak pernah tunggal di tangan manusia.


Maka, kitab suci bukanlah batu yang diam, melainkan sungai yang mengalir. Di setiap masa, ia menemukan bentuk tafsir yang baru. Bukan karena maknanya berubah, tetapi karena dunia pembacanya berubah.


Kita membaca Al-Qur’an dengan bahasa, logika, dan persoalan yang berbeda dari para sahabat dulu. Namun keajaibannya, maknanya tetap sampai. Itu karena wahyu berbicara bukan hanya kepada akal, melainkan kepada fitrah manusia yang paling dalam.


Dalam perjalanan panjang itu, manusia berusaha menjaga kedekatan dengan wahyu, salah satunya lewat hafalan. Menghafal kitab suci bukanlah sekadar kegiatan mengingat, melainkan cara mempertahankan nyala kata di dalam diri.


Teknik menghafal dalam Islam menemukan bentuknya sendiri. Irama, pengulangan, dan keindahan fonetik dalam ayat menjadi alat bantu alami yang menempel di ingatan. Dalam istilah modern, ini mirip dengan mnemonik—cara mengaitkan informasi baru dengan pola yang sudah dikenal.


Seseorang bisa mengingat ayat tertentu karena ritmenya, karena huruf yang berulang, atau bahkan karena kisah yang mengiringinya. Dalam proses itu, ayat bukan lagi teks yang asing, tetapi ruang yang akrab—semacam istana memori tempat makna tinggal dengan tenang.


Dan ketika bibir mengulang ayat, pikiran mengulang maknanya, maka hafalan menjadi bentuk meditasi. Setiap pengulangan adalah perjalanan dari bunyi menuju makna, dari manusia menuju Tuhan.


Namun, seperti semua tradisi lisan, yang dijaga bukan hanya bunyi, tetapi makna. Otentisitas dalam dunia lisan tidak diukur dari kesamaan huruf, melainkan dari keutuhan pesan. Maka, jika dalam tulisan kesalahan ejaan adalah dosa, dalam kelisanan perbedaan bisa menjadi keberagaman.


Dari situ tumbuhlah qira’at—ragam bacaan Al-Qur’an yang sah. Sejak zaman Nabi, sudah ada perbedaan dalam pelafalan, intonasi, bahkan dialek. Tapi semuanya diterima, karena makna yang disampaikan tetap sama.


Ragam qira’at adalah bukti bahwa wahyu menembus batas budaya. Ketika Islam menyebar, lidah manusia yang berbeda mengucap dengan caranya sendiri, dan kitab suci menyesuaikan tanpa kehilangan jiwanya.


Bacaan Al-Qur’an di Kairo dan di Makkah, atau di Aceh, mungkin menampakkan irama yang berbeda. Namun di balik perbedaan bunyi itu, tetap berdiam teks yang sama. Kesucian, rupanya, tak selalu kaku; ia lentur, tapi tak kehilangan orientasinya.


Dalam dunia yang semakin menulis segala hal, kelisanan Al-Qur’an menjadi pengingat bahwa bahasa tak hanya hidup di atas kertas. Suara adalah cara lain Tuhan menegaskan kehadiran-Nya.


Namun pertanyaan besar tetap menggantung: bagaimana mungkin manusia memahami sesuatu yang berasal dari Yang Tak Terbatas, dengan bahasa yang terbatas?

 

Teks yang Hidup dan Berbicara: Hermeneutika dan Kitab Suci


Paul Ricoeur, filsuf Prancis yang dalam, pernah mengatakan bahwa teks selalu hidup di luar pengarangnya. Ketika sesuatu ditulis, ia keluar dari tangan penciptanya dan membangun dunia maknanya sendiri. Teks bukan lagi milik penulis, melainkan milik pembaca yang menemuinya.


Ricoeur menyebut teks sebagai any discourse fixed by writing—wacana yang difiksasi oleh tulisan. Tapi “fiksasi” itu bukan berarti pembekuan. Sebaliknya, tulisan memberi teks kesempatan untuk hidup lebih lama, melintasi waktu dan ruang, berbicara kepada pembaca yang tak pernah dikenal penulisnya.


Dalam kerangka ini, kitab suci menempati posisi paling unik. Ia adalah teks yang ditulis, tapi bukan oleh manusia. Ia memiliki otonomi penuh, tapi maknanya tak pernah benar-benar terlepas dari sumbernya: Tuhan.


Ricoeur menjelaskan bahwa teks memiliki empat sifat utama: maknanya berdiri sendiri, tak bergantung pada pembicara; ia terlepas dari konteks awal; ia tak terikat pada audiens pertama; dan ia menciptakan dunia imajiner sendiri. Dengan demikian, teks selalu terbuka untuk ditafsir ulang.


Bila ini diterapkan pada Al-Qur’an, maka wahyu bukanlah teks yang beku di abad ke-7, melainkan teks yang terus bernafas. Ayat-ayatnya tak hanya berbicara pada masyarakat Arab kuno, tapi juga kepada pembaca abad 21 dengan kompleksitas moral dan sosial yang berbeda.


Namun Ricoeur juga memberi batas: tidak semua teks bisa dilepaskan dari maksud pengarangnya. Dalam konteks kitab suci, di mana pengarangnya adalah Tuhan, manusia perlu menjaga kerendahan hati. Tafsir adalah upaya mendekat, bukan menguasai.


Hermeneutika Ricoeur mengajarkan bahwa memahami teks adalah gerak bolak-balik antara “menjelaskan” dan “memahami”. Tafsir yang baik tidak hanya mencari makna literal, tetapi juga menyingkap dunia yang dibangun teks itu sendiri.


Karena itu, membaca kitab suci adalah dialog yang tak pernah selesai antara manusia dan Tuhannya. Setiap tafsir adalah jawaban sementara, dan setiap pembacaan adalah doa yang diucapkan dengan bahasa akal.


Dalam titik ini, wahyu menunjukkan keagungannya: ia memberi ruang bagi nalar, tapi tak pernah bisa dijangkau sepenuhnya oleh nalar. Ia adalah teks yang hidup di antara kata dan keheningan.


Maka, hermeneutika bukan ancaman bagi kesucian, tetapi jembatan untuk memahaminya dengan kedalaman baru—bahwa kitab suci bisa dibaca dengan cinta dan logika sekaligus.


Di akhir perjalanan ini, kita kembali ke tempat semula: pada kalimat pembuka yang sederhana, Bismillahirrahmanirrahim. Kalimat yang menyatukan dua dunia—akal dan rasa, teks dan laku, Tuhan dan manusia.


Keunikan kitab suci bukan hanya pada isinya, tapi pada cara ia hidup di tengah manusia. Ia membentuk tradisi, mengatur perilaku, memberi arah, dan tetap membuka ruang bagi perbedaan tafsir.


Ia bisa menjadi kitab hukum di tangan seorang ulama, menjadi sumber puisi di tangan penyair, menjadi bahan renungan di ruang sunyi seorang sufi. Tapi di semua tangan itu, ia tetap kitab yang sama: cahaya yang tak pernah padam.


Mungkin karena itu, kitab suci tak pernah selesai dibaca. Ia adalah teks yang selalu baru, karena manusia yang membacanya selalu berubah.


Dan setiap kali kita mengucap Bismillahirrahmanirrahim, sesungguhnya kita sedang mengulang kisah yang sama sejak awal zaman: manusia memulai segalanya dengan nama Tuhan, agar hidupnya tak tersesat di antara huruf dan waktu.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now