Opini: Syamsul
Kurniawan
Hujan kembali turun di Pontianak sore itu. Pelan, tapi pasti, seperti
hendak menegaskan kehadirannya yang lama ditunggu. Suaranya mengetuk genting
dan jendela, mengirim aroma tanah basah ke ruang kerja kecil tempat aku
menulis. Hujan di sini selalu punya kebiasaan menenangkan, bahkan saat kabar di
luar sedang bising.
Beberapa hari terakhir, jagat digital kembali ramai. Kali ini bukan
karena urusan politik atau artis, melainkan pesantren. Sebuah tayangan televisi
menampilkan potongan kisah yang dianggap melecehkan marwah kiai—dan gelombang
protes pun bergulir. Santri turun ke jalan. Mereka membawa poster, bersarung,
berpeci, dan membawa satu pesan sederhana: jangan main-main dengan martabat
pesantren.
Bagi sebagian orang kota, pemandangan itu mungkin terasa janggal. Apa
urusannya lembaga tua yang mengajarkan kitab kuning dengan dunia media modern
yang hidup dari rating dan sensasi? Tapi justru di sana letak persoalannya.
Pesantren, yang selama ini menjadi rumah moral bangsa, kini merasa
dipertontonkan di panggung yang tak lagi tahu malu.
Reaksi publik pun terbagi. Ada yang menilai aksi santri itu sebagai
bentuk keberanian moral untuk menjaga kehormatan ulama. Ada pula yang
sinis—menganggapnya berlebihan, bahkan ditunggangi kepentingan politik. Tapi
apakah kita masih punya kepekaan untuk membedakan antara cinta dan kemarahan,
antara pembelaan dan manipulasi?
Emile Durkheim (1895) pernah berkata bahwa solidaritas adalah napas
masyarakat. Dalam komunitas tradisional, ia tumbuh dari kesamaan
keyakinan—solidaritas mekanik. Itulah yang kini hidup di tubuh pesantren: rasa
persaudaraan yang menembus jarak geografis. Ketika satu kiai disakiti, seluruh
jaringan santri di berbagai kota seakan tersentak bersama.
Mereka tak perlu perintah. Tak ada instruksi tertulis. Yang bekerja
adalah ingatan kolektif—tentang siapa mereka, dari mana mereka datang, dan
untuk apa mereka belajar. Dalam kesamaan doa dan cara duduk di majelis,
tersimpan sistem sosial yang kokoh, yang barangkali tak lagi dipahami oleh
generasi yang tumbuh dengan notifikasi.
Namun solidaritas itu kini berhadapan dengan dunia baru: dunia citra.
Dunia yang meminjam wajah pesantren, tapi kehilangan ruhnya. Tayangan yang
memicu aksi itu hanyalah potongan kecil dari realitas yang lebih besar—realitas
di mana tradisi disunting menjadi tontonan, dan marwah dijadikan komoditas.
Jean Baudrillard (1994) pernah menyebut, kita hidup dalam zaman
simulakra—zaman ketika tiruan lebih dipercaya daripada yang asli. Di layar
televisi, pesantren muncul bukan sebagai lembaga ilmu, melainkan sebagai latar
eksotik, tempat konflik dikemas agar menarik perhatian penonton. Kiai
disimulasikan: ditampilkan tanpa konteks, dihidupkan ulang sebagai karakter
dramatik yang bisa dijual.
Dalam dunia semacam itu, keaslian menjadi kabur. Pesantren yang di layar
hanyalah bayangan pesantren yang sebenarnya—tempat di mana kesabaran tumbuh
dari kesederhanaan, tempat akal dan akhlak disatukan. Hiperrealitas bekerja
senyap: publik merasa mengenal pesantren, padahal yang mereka tahu hanyalah
efek pencahayaan dan potongan editan.
Maka tak heran bila para santri merasa perlu bicara. Mereka tak sedang
marah karena sensasi, tapi karena simbol-simbol suci mereka dipermainkan oleh
algoritma. Di balik teriakan “bela kiai”, ada kesadaran yang lebih dalam:
mempertahankan batas antara yang sakral dan yang profan.
Namun, di tengah gelombang emosi itu, satu hal perlu diingat: marwah
tidak bisa ditegakkan dengan amarah. Pesantren mengajarkan adab sebelum ilmu,
dan adab itu tidak boleh hilang bahkan saat hati sedang terluka.
Di Mana
Marwah Pesantren?
Pertanyaan itu menggantung di udara: di mana sebenarnya marwah pesantren
kini disiarkan? Di layar kaca, di linimasa media sosial, atau di ruang sunyi
tempat santri menyalin kitab kuning?
Max Weber (1930) memberi kita kunci untuk memahaminya melalui konsep
kepemimpinan kharismatik. Kiai, bagi para santri, bukan sekadar guru. Ia adalah
figur transenden, yang kewibawaannya lahir bukan dari jabatan atau struktur,
tapi dari pancaran pribadi—dari kesalehan, keteladanan, dan ilmu yang dihidupi.
Namun, begitu kharisma itu dibawa ke ruang digital, ia kehilangan
gravitasi spiritualnya. Di tangan media, kiai berubah menjadi “tokoh”, bukan
lagi “teladan”. Wajahnya direproduksi tanpa ruh, suaranya dikutip tanpa
konteks. Kharisma yang mestinya menundukkan hati, kini dipakai untuk mengundang
komentar.
Weber menulis bahwa kepemimpinan kharismatik hanya bertahan selama
keajaiban moralnya diakui. Begitu keajaiban itu direduksi menjadi citra,
kekuatan moral berubah menjadi tontonan. Kiai bukan lagi sumber bimbingan,
melainkan subjek konten.
Kita bisa menyalahkan media, tapi jangan lupa: publiklah yang memberi
panggung. Kita menonton, membagikan, berkomentar, dan dengan itu memberi energi
bagi mesin yang sama yang mengaburkan makna. Baudrillard akan berkata: yang
kita saksikan bukan lagi pesantren, melainkan cerminan dari hasrat kolektif
kita sendiri—hasrat untuk menonton yang suci dari jarak aman.
Solidaritas para santri, dalam hal ini, menjadi bentuk resistensi
terhadap hiperrealitas. Mereka ingin merebut kembali makna pesantren dari
tangan algoritma. Mereka ingin mengingatkan bahwa kiai bukan figur untuk
diolah, melainkan guru yang mesti dihormati.
Namun perjuangan itu harus tetap berwajah lembut. Karena pesantren bukan
lahir dari konflik, tapi dari kesabaran. Para santri yang turun ke jalan perlu
diingatkan bahwa suara keras akan kehilangan makna bila tidak dibingkai oleh
kebijaksanaan.
Durkheim (1895) barangkali tak pernah membayangkan hal ini: bahwa
solidaritas yang berakar pada nilai bersama tetap berdenyut, bahkan di abad
ketika nilai seolah kehilangan gema. Namun jauh sebelum itu, Weber (1930) telah
mengingatkan — tindakan sosial hanya menemukan maknanya ketika digerakkan oleh
rasionalitas nilai, bukan oleh luapan emosi yang lekas padam.
Dalam konteks itu, aksi bela pesantren menjadi ujian moral bagi ruang
publik kita. Apakah masih ada ruang bagi ekspresi yang beradab? Apakah kritik
masih bisa disampaikan tanpa harus menghancurkan?
Negara perlu belajar dari cara santri menuntut dengan doa, bukan dengan
amarah. Media perlu belajar dari cara kiai mengajarkan kebijaksanaan tanpa
panggung. Dan publik perlu belajar menonton dengan hati, bukan sekadar dengan
jempol.
Sebab jika tidak, semua ini hanya akan menjadi siklus baru dari
kebisingan. Pesantren akan terus disalahpahami, kiai akan terus disimulasikan,
dan solidaritas yang lahir dari cinta akan redup di tengah kebisingan komentar.
Barangkali, yang kita butuhkan hari ini bukan lagi debat soal siapa yang
benar, tapi upaya menenangkan diri. Agar pesantren tetap menjadi sumber
kesejukan, bukan hanya sumber berita.
Hujan di luar masih turun. Suaranya seperti nasihat lama yang diulang
kembali: jangan tergesa-gesa menilai, jangan cepat tersinggung, dan jangan
biarkan yang suci kehilangan tempatnya di hati.
Malam semakin larut. Di kejauhan, suara santri melantunkan shalawat dari
surau kecil. Lembut dan jernih, menembus bising dunia maya yang sibuk menafsirkan
segalanya. Dalam gema itu, aku sadar—bahwa di tengah hiperrealitas yang menipu,
masih ada yang tetap nyata: kesetiaan pada ilmu, dan cinta pada guru.
Barangkali, di sanalah letak pesan yang paling penting: kiai tidak
memerlukan pembelaan di layar, ia hanya memerlukan kita untuk menjaga adab di
dunia nyata. Namun bila santri berdiri membela kiainya, itu semata wujud kasih
dan takzim kepada guru yang menuntunnya. Tidak ada yang keliru di situ, bukan?***


