Iklan

Ketika Kiai Disimulasikan

syamsul kurniawan
Wednesday, October 22, 2025
Last Updated 2025-10-23T00:22:43Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Opini: Syamsul Kurniawan

 

Hujan kembali turun di Pontianak sore itu. Pelan, tapi pasti, seperti hendak menegaskan kehadirannya yang lama ditunggu. Suaranya mengetuk genting dan jendela, mengirim aroma tanah basah ke ruang kerja kecil tempat aku menulis. Hujan di sini selalu punya kebiasaan menenangkan, bahkan saat kabar di luar sedang bising.

 

Beberapa hari terakhir, jagat digital kembali ramai. Kali ini bukan karena urusan politik atau artis, melainkan pesantren. Sebuah tayangan televisi menampilkan potongan kisah yang dianggap melecehkan marwah kiai—dan gelombang protes pun bergulir. Santri turun ke jalan. Mereka membawa poster, bersarung, berpeci, dan membawa satu pesan sederhana: jangan main-main dengan martabat pesantren.

 

Bagi sebagian orang kota, pemandangan itu mungkin terasa janggal. Apa urusannya lembaga tua yang mengajarkan kitab kuning dengan dunia media modern yang hidup dari rating dan sensasi? Tapi justru di sana letak persoalannya. Pesantren, yang selama ini menjadi rumah moral bangsa, kini merasa dipertontonkan di panggung yang tak lagi tahu malu.

 

Reaksi publik pun terbagi. Ada yang menilai aksi santri itu sebagai bentuk keberanian moral untuk menjaga kehormatan ulama. Ada pula yang sinis—menganggapnya berlebihan, bahkan ditunggangi kepentingan politik. Tapi apakah kita masih punya kepekaan untuk membedakan antara cinta dan kemarahan, antara pembelaan dan manipulasi?

 

Emile Durkheim (1895) pernah berkata bahwa solidaritas adalah napas masyarakat. Dalam komunitas tradisional, ia tumbuh dari kesamaan keyakinan—solidaritas mekanik. Itulah yang kini hidup di tubuh pesantren: rasa persaudaraan yang menembus jarak geografis. Ketika satu kiai disakiti, seluruh jaringan santri di berbagai kota seakan tersentak bersama.

 

Mereka tak perlu perintah. Tak ada instruksi tertulis. Yang bekerja adalah ingatan kolektif—tentang siapa mereka, dari mana mereka datang, dan untuk apa mereka belajar. Dalam kesamaan doa dan cara duduk di majelis, tersimpan sistem sosial yang kokoh, yang barangkali tak lagi dipahami oleh generasi yang tumbuh dengan notifikasi.

 

Namun solidaritas itu kini berhadapan dengan dunia baru: dunia citra. Dunia yang meminjam wajah pesantren, tapi kehilangan ruhnya. Tayangan yang memicu aksi itu hanyalah potongan kecil dari realitas yang lebih besar—realitas di mana tradisi disunting menjadi tontonan, dan marwah dijadikan komoditas.

 

Jean Baudrillard (1994) pernah menyebut, kita hidup dalam zaman simulakra—zaman ketika tiruan lebih dipercaya daripada yang asli. Di layar televisi, pesantren muncul bukan sebagai lembaga ilmu, melainkan sebagai latar eksotik, tempat konflik dikemas agar menarik perhatian penonton. Kiai disimulasikan: ditampilkan tanpa konteks, dihidupkan ulang sebagai karakter dramatik yang bisa dijual.

 

Dalam dunia semacam itu, keaslian menjadi kabur. Pesantren yang di layar hanyalah bayangan pesantren yang sebenarnya—tempat di mana kesabaran tumbuh dari kesederhanaan, tempat akal dan akhlak disatukan. Hiperrealitas bekerja senyap: publik merasa mengenal pesantren, padahal yang mereka tahu hanyalah efek pencahayaan dan potongan editan.

 

Maka tak heran bila para santri merasa perlu bicara. Mereka tak sedang marah karena sensasi, tapi karena simbol-simbol suci mereka dipermainkan oleh algoritma. Di balik teriakan “bela kiai”, ada kesadaran yang lebih dalam: mempertahankan batas antara yang sakral dan yang profan.

 

Namun, di tengah gelombang emosi itu, satu hal perlu diingat: marwah tidak bisa ditegakkan dengan amarah. Pesantren mengajarkan adab sebelum ilmu, dan adab itu tidak boleh hilang bahkan saat hati sedang terluka.

 

Di Mana Marwah Pesantren?

 

Pertanyaan itu menggantung di udara: di mana sebenarnya marwah pesantren kini disiarkan? Di layar kaca, di linimasa media sosial, atau di ruang sunyi tempat santri menyalin kitab kuning?

 

Max Weber (1930) memberi kita kunci untuk memahaminya melalui konsep kepemimpinan kharismatik. Kiai, bagi para santri, bukan sekadar guru. Ia adalah figur transenden, yang kewibawaannya lahir bukan dari jabatan atau struktur, tapi dari pancaran pribadi—dari kesalehan, keteladanan, dan ilmu yang dihidupi.

 

Namun, begitu kharisma itu dibawa ke ruang digital, ia kehilangan gravitasi spiritualnya. Di tangan media, kiai berubah menjadi “tokoh”, bukan lagi “teladan”. Wajahnya direproduksi tanpa ruh, suaranya dikutip tanpa konteks. Kharisma yang mestinya menundukkan hati, kini dipakai untuk mengundang komentar.

 

Weber menulis bahwa kepemimpinan kharismatik hanya bertahan selama keajaiban moralnya diakui. Begitu keajaiban itu direduksi menjadi citra, kekuatan moral berubah menjadi tontonan. Kiai bukan lagi sumber bimbingan, melainkan subjek konten.

 

Kita bisa menyalahkan media, tapi jangan lupa: publiklah yang memberi panggung. Kita menonton, membagikan, berkomentar, dan dengan itu memberi energi bagi mesin yang sama yang mengaburkan makna. Baudrillard akan berkata: yang kita saksikan bukan lagi pesantren, melainkan cerminan dari hasrat kolektif kita sendiri—hasrat untuk menonton yang suci dari jarak aman.

 

Solidaritas para santri, dalam hal ini, menjadi bentuk resistensi terhadap hiperrealitas. Mereka ingin merebut kembali makna pesantren dari tangan algoritma. Mereka ingin mengingatkan bahwa kiai bukan figur untuk diolah, melainkan guru yang mesti dihormati.

 

Namun perjuangan itu harus tetap berwajah lembut. Karena pesantren bukan lahir dari konflik, tapi dari kesabaran. Para santri yang turun ke jalan perlu diingatkan bahwa suara keras akan kehilangan makna bila tidak dibingkai oleh kebijaksanaan.

 

Durkheim (1895) barangkali tak pernah membayangkan hal ini: bahwa solidaritas yang berakar pada nilai bersama tetap berdenyut, bahkan di abad ketika nilai seolah kehilangan gema. Namun jauh sebelum itu, Weber (1930) telah mengingatkan — tindakan sosial hanya menemukan maknanya ketika digerakkan oleh rasionalitas nilai, bukan oleh luapan emosi yang lekas padam.

Dalam konteks itu, aksi bela pesantren menjadi ujian moral bagi ruang publik kita. Apakah masih ada ruang bagi ekspresi yang beradab? Apakah kritik masih bisa disampaikan tanpa harus menghancurkan?

 

Negara perlu belajar dari cara santri menuntut dengan doa, bukan dengan amarah. Media perlu belajar dari cara kiai mengajarkan kebijaksanaan tanpa panggung. Dan publik perlu belajar menonton dengan hati, bukan sekadar dengan jempol.

 

Sebab jika tidak, semua ini hanya akan menjadi siklus baru dari kebisingan. Pesantren akan terus disalahpahami, kiai akan terus disimulasikan, dan solidaritas yang lahir dari cinta akan redup di tengah kebisingan komentar.

 

Barangkali, yang kita butuhkan hari ini bukan lagi debat soal siapa yang benar, tapi upaya menenangkan diri. Agar pesantren tetap menjadi sumber kesejukan, bukan hanya sumber berita.

 

Hujan di luar masih turun. Suaranya seperti nasihat lama yang diulang kembali: jangan tergesa-gesa menilai, jangan cepat tersinggung, dan jangan biarkan yang suci kehilangan tempatnya di hati.

 

Malam semakin larut. Di kejauhan, suara santri melantunkan shalawat dari surau kecil. Lembut dan jernih, menembus bising dunia maya yang sibuk menafsirkan segalanya. Dalam gema itu, aku sadar—bahwa di tengah hiperrealitas yang menipu, masih ada yang tetap nyata: kesetiaan pada ilmu, dan cinta pada guru.

 

Barangkali, di sanalah letak pesan yang paling penting: kiai tidak memerlukan pembelaan di layar, ia hanya memerlukan kita untuk menjaga adab di dunia nyata. Namun bila santri berdiri membela kiainya, itu semata wujud kasih dan takzim kepada guru yang menuntunnya. Tidak ada yang keliru di situ, bukan?***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now