Iklan

Tubuh Pengetahuan dan Bayangan Masa Depan PAI

syamsul kurniawan
Friday, October 31, 2025
Last Updated 2025-11-01T03:04:36Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 



 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Langit Ciputat pagi itu mendung. Sisa hujan malam sebelumnya menggantung di udara seperti kalimat yang belum selesai diucapkan. Tapi di aula Adia Convention Hotel, suasananya justru berbeda: suara orang berbicara, membuka laptop, mencatat, dan sesekali tertawa kecil.


Hari itu, Kamis, 30 Oktober 2025, Kementerian Agama RI bersama Perkumpulan Program Studi Pendidikan Agama Islam (PP PAI) Indonesia menggelar uji publik CPL–BoK Pendidikan Agama Islam Indonesia 2025. Sebuah peristiwa akademik yang mungkin tampak rutin, namun sesungguhnya menandai babak baru dalam cara kita memandang pendidikan agama.


Di panggung depan, terpampang tulisan besar: “Menindaklanjuti Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025.” Kalimat yang kering administratif itu mendadak berdenyut makna saat ditafsirkan oleh para akademisi yang datang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.


Sebagian hadir langsung. Sebagian lain menyimak dari layar kaca. Dunia akademik kini memang hidup di dua ruang sekaligus: nyata dan maya. Yang satu bersuara, yang lain bergetar dalam sinyal.


Saya duduk di barisan tengah. Di depan, seorang narasumber berbicara dengan nada yang tenang tapi tegas: tentang pentingnya penyelarasan Capaian Pembelajaran Lulusan dengan arah kebijakan nasional berbasis integrasi ilmu, Islam, dan kemanusiaan.


Tiga kata itu—ilmu, Islam, kemanusiaan—berulang disebut, seolah menjadi mantra bagi masa depan pendidikan Islam. Tapi, seperti semua mantra, maknanya sering kabur justru karena terlalu sering diucapkan.


Saya teringat kampus lama saya di Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, tempat istilah integrasi-interkoneksi pernah menjadi nafas intelektual. Di sana, gagasan Prof. M. Amin Abdullah tentang dialog ilmu dan agama diajarkan bukan sebagai dogma, melainkan sebagai cara berpikir.


Kini, setidaknya 20 tahunan setelahnya, istilah itu kembali terdengar di Ciputat. Tapi konteksnya berbeda. Dunia telah berubah. Pendidikan Islam sedang mencari bentuk baru untuk tetap relevan di tengah derasnya arus digital dan perubahan sosial yang tak berhenti.


Uji publik itu bukan sekadar forum kurikulum. Ia adalah cermin untuk menatap arah. Ke mana Prodi PAI akan melangkah setelah ini?


Dalam forum itu, istilah Body of Knowledge (BoK) menjadi pusat perhatian. BoK bukan sekadar kumpulan teori. Ia adalah tubuh pengetahuan—struktur yang menampung konsep, nilai, metode, keterampilan, dan teknologi yang menopang profesionalisme sebuah disiplin.


BoK adalah kompas, sekaligus fondasi. Ia menjaga agar profesi tidak kehilangan arah. Tanpa itu, setiap langkah mudah tersesat dalam kabut rutinitas.


Prof. Eva Latifah, Ketua Umum PP PAI Indonesia, menyebut BoK sebagai “fondasi intelektual” yang menghidupkan arah epistemologis PAI. “Bukan hanya mengajarkan agama,” ujarnya, “tapi menghidupkan nilai-nilai Islam dalam konteks kemanusiaan dan digitalitas.”


Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di baliknya ada pergulatan besar: bagaimana pendidikan agama Islam bisa hadir di dunia yang kini diatur oleh algoritma, bukan lagi oleh kitab semata.


Dalam sesi diskusi, saya mengajukan pertanyaan: di mana posisi kearifan lokal dalam rancangan BoK nasional ini? Sebab, di negeri seluas Indonesia, setiap daerah punya warna Islamnya sendiri—dari yang lembut di pesisir hingga yang kental di pedalaman.


Prof. Eva menjawab dengan nada mantap. “BoK PAI Indonesia tidak kaku,” katanya. “Ada ruang fleksibilitas hingga tujuh puluh persen yang bisa disesuaikan dengan konteks lokal kampus masing-masing.”


Jawaban itu menenangkan, tapi juga menggugah: jika BoK bersifat lentur, maka tanggung jawab intelektual tiap kampus menjadi lebih besar. Lentur bukan berarti bebas; ia justru menuntut kepekaan untuk menafsir konteks tanpa kehilangan arah epistemik.

 

Ada Asap Ada Api


Setiap kali kita membicarakan reformasi kurikulum, selalu ada suara sinis di luar sana. Katanya, Prodi PAI tak lagi relevan di era kecerdasan buatan. Siapa yang masih butuh guru agama ketika mesin bisa menjelaskan tafsir dengan lebih cepat dan lengkap?


Tapi dunia manusia tak hanya tentang pengetahuan. Ia juga tentang makna. Dan selama manusia mencari makna, pendidikan agama tak akan mati. Namun begitu, ketahanan eksistensial bukan alasan untuk berpuas diri. Diminati tidak selalu berarti relevan.


Pierre Bourdieu (1977) pernah menulis bahwa habitus adalah struktur sosial yang membentuk tindakan tanpa kita sadari. Dalam Prodi PAI, habitus itu sering tampil sebagai kepatuhan berlebihan pada tradisi—mahasiswa diajarkan untuk taat, bukan untuk bertanya. Padahal, guru PAI bukan hanya pengajar dogma. Ia adalah penjaga nurani publik, mediator makna, penerjemah nilai.


Jika habitus itu tidak digugat, maka BoK sehebat apa pun hanya akan menjadi tumpukan dokumen akademik. Ilmu yang tidak hidup hanyalah catatan, bukan cahaya. Karena itu, merancang BoK berarti juga merancang ulang habitus: membentuk disposisi baru yang membuat berpikir kritis tidak dianggap membangkang, dan bertanya tidak dianggap durhaka.


BoK PAI masa depan mesti memadukan struktur dan agensi. Struktur memberi arah; agensi memberi napas. Di antara keduanya, lahirlah pendidik yang tidak hanya tahu apa yang benar, tapi juga peka terhadap bagaimana kebenaran itu dipahami oleh generasinya. Di sinilah letak pentingnya modal sosial: kemampuan untuk menjembatani ruang digital dengan nilai-nilai Islam yang kontekstual dan humanis.


Sebab, mahasiswa hari ini bukan lagi murid seperti dulu. Mereka lahir di dunia layar. Mereka belajar lewat notifikasi, bukan catatan panjang. Marc Prensky (2001) menyebut mereka digital natives—anak-anak yang tumbuh dengan bahasa teknologi, berbeda secara epistemologis dari para dosennya yang masih digital immigrants.


Bagi mereka, otoritas bukan lagi gelar, tapi relevansi. Mereka mendengar bukan karena siapa yang bicara, tapi karena apa yang disampaikan terasa dekat dengan hidup mereka. Maka, metode kuliah konvensional kini terasa seperti radio di tengah dunia streaming: masih terdengar, tapi tak lagi benar-benar didengar.


Jika PAI tak masuk ke ruang digital itu, ia akan kehilangan generasi penerusnya. Sebab, bagi generasi baru, dunia maya dan dunia nyata bukan dua hal yang terpisah; keduanya adalah satu ekosistem belajar.


Di titik inilah, BoK bukan lagi sekadar dokumen akademik. Ia menjadi peta evolusi—cara baru memahami bagaimana nilai Islam berinteraksi dengan algoritma, bagaimana iman berjumpa dengan informasi. BoK adalah “napas akademik”. Tanpanya, ilmu hanya berjalan di tempat. Dengan BoK, pendidikan agama tidak hanya mengulang masa lalu dalam bahasa baru, tapi menulis masa depan dengan kesadaran baru.


Uji publik itu berakhir dengan foto bersama—senyum, kilatan lampu, lalu keheningan. Tapi di kepala saya, pertemuan itu belum selesai.

 

Mungkin karena setiap gagasan besar selalu meninggalkan residu kegelisahan. BoK hanyalah alat; yang menentukan adalah siapa yang menghidupkannya. Dan pada akhirnya, pendidikan agama Islam selalu kembali ke satu hal: mengajarkan cara menjadi manusia di tengah dunia yang perlahan kehilangan kemanusiaannya.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now