Oleh: Syamsul Kurniawan
Langit Ciputat pagi itu mendung. Sisa hujan malam sebelumnya menggantung di
udara seperti kalimat yang belum selesai diucapkan. Tapi di aula Adia
Convention Hotel, suasananya justru berbeda: suara orang berbicara, membuka
laptop, mencatat, dan sesekali tertawa kecil.
Hari itu, Kamis, 30 Oktober 2025, Kementerian Agama RI bersama Perkumpulan
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PP PAI) Indonesia menggelar uji publik CPL–BoK
Pendidikan Agama Islam Indonesia 2025. Sebuah peristiwa akademik yang
mungkin tampak rutin, namun sesungguhnya menandai babak baru dalam cara kita
memandang pendidikan agama.
Di panggung depan, terpampang tulisan besar: “Menindaklanjuti
Permendiktisaintek Nomor 39 Tahun 2025.” Kalimat yang kering administratif
itu mendadak berdenyut makna saat ditafsirkan oleh para akademisi yang datang
dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Sebagian hadir langsung. Sebagian lain menyimak dari layar kaca. Dunia akademik
kini memang hidup di dua ruang sekaligus: nyata dan maya. Yang satu bersuara,
yang lain bergetar dalam sinyal.
Saya duduk di barisan tengah. Di depan, seorang narasumber berbicara dengan
nada yang tenang tapi tegas: tentang pentingnya penyelarasan Capaian
Pembelajaran Lulusan dengan arah kebijakan nasional berbasis integrasi
ilmu, Islam, dan kemanusiaan.
Tiga kata itu—ilmu, Islam, kemanusiaan—berulang disebut, seolah menjadi mantra
bagi masa depan pendidikan Islam. Tapi, seperti semua mantra, maknanya sering
kabur justru karena terlalu sering diucapkan.
Saya teringat kampus lama saya di Yogyakarta, UIN Sunan Kalijaga, tempat
istilah integrasi-interkoneksi pernah menjadi nafas intelektual. Di
sana, gagasan Prof. M. Amin Abdullah tentang dialog ilmu dan agama diajarkan
bukan sebagai dogma, melainkan sebagai cara berpikir.
Kini, setidaknya 20 tahunan setelahnya, istilah itu kembali terdengar di
Ciputat. Tapi konteksnya berbeda. Dunia telah berubah. Pendidikan Islam sedang
mencari bentuk baru untuk tetap relevan di tengah derasnya arus digital dan
perubahan sosial yang tak berhenti.
Uji publik itu bukan sekadar forum kurikulum. Ia adalah cermin untuk menatap
arah. Ke mana Prodi PAI akan melangkah setelah ini?
Dalam forum itu, istilah Body of Knowledge (BoK) menjadi pusat
perhatian. BoK bukan sekadar kumpulan teori. Ia adalah tubuh
pengetahuan—struktur yang menampung konsep, nilai, metode, keterampilan, dan
teknologi yang menopang profesionalisme sebuah disiplin.
BoK adalah kompas, sekaligus fondasi. Ia menjaga agar profesi tidak kehilangan
arah. Tanpa itu, setiap langkah mudah tersesat dalam kabut rutinitas.
Prof. Eva Latifah, Ketua Umum PP PAI Indonesia, menyebut BoK sebagai “fondasi
intelektual” yang menghidupkan arah epistemologis PAI. “Bukan hanya mengajarkan
agama,” ujarnya, “tapi menghidupkan nilai-nilai Islam dalam konteks kemanusiaan
dan digitalitas.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi di baliknya ada pergulatan besar:
bagaimana pendidikan agama Islam bisa hadir di dunia yang kini diatur oleh
algoritma, bukan lagi oleh kitab semata.
Dalam sesi diskusi, saya mengajukan pertanyaan: di mana posisi kearifan lokal
dalam rancangan BoK nasional ini? Sebab, di negeri seluas Indonesia, setiap
daerah punya warna Islamnya sendiri—dari yang lembut di pesisir hingga yang
kental di pedalaman.
Prof. Eva menjawab dengan nada mantap. “BoK PAI Indonesia tidak kaku,” katanya.
“Ada ruang fleksibilitas hingga tujuh puluh persen yang bisa disesuaikan dengan
konteks lokal kampus masing-masing.”
Jawaban itu menenangkan, tapi juga menggugah: jika BoK bersifat lentur, maka
tanggung jawab intelektual tiap kampus menjadi lebih besar. Lentur bukan
berarti bebas; ia justru menuntut kepekaan untuk menafsir konteks tanpa
kehilangan arah epistemik.
Ada Asap Ada Api
Setiap kali kita membicarakan reformasi kurikulum, selalu ada suara sinis di
luar sana. Katanya, Prodi PAI tak lagi relevan di era kecerdasan buatan. Siapa
yang masih butuh guru agama ketika mesin bisa menjelaskan tafsir dengan lebih
cepat dan lengkap?
Tapi dunia manusia tak hanya tentang pengetahuan. Ia juga tentang makna. Dan
selama manusia mencari makna, pendidikan agama tak akan mati. Namun begitu,
ketahanan eksistensial bukan alasan untuk berpuas diri. Diminati tidak selalu
berarti relevan.
Pierre Bourdieu (1977) pernah menulis bahwa habitus adalah struktur
sosial yang membentuk tindakan tanpa kita sadari. Dalam Prodi PAI, habitus itu
sering tampil sebagai kepatuhan berlebihan pada tradisi—mahasiswa diajarkan
untuk taat, bukan untuk bertanya. Padahal, guru PAI bukan hanya pengajar dogma.
Ia adalah penjaga nurani publik, mediator makna, penerjemah nilai.
Jika habitus itu tidak digugat, maka BoK sehebat apa pun hanya akan menjadi
tumpukan dokumen akademik. Ilmu yang tidak hidup hanyalah catatan, bukan
cahaya. Karena itu, merancang BoK berarti juga merancang ulang habitus:
membentuk disposisi baru yang membuat berpikir kritis tidak dianggap
membangkang, dan bertanya tidak dianggap durhaka.
BoK PAI masa depan mesti memadukan struktur dan agensi. Struktur memberi arah;
agensi memberi napas. Di antara keduanya, lahirlah pendidik yang tidak hanya
tahu apa yang benar, tapi juga peka terhadap bagaimana kebenaran itu dipahami
oleh generasinya. Di sinilah letak pentingnya modal sosial: kemampuan untuk
menjembatani ruang digital dengan nilai-nilai Islam yang kontekstual dan
humanis.
Sebab, mahasiswa hari ini bukan lagi murid seperti dulu. Mereka lahir di dunia
layar. Mereka belajar lewat notifikasi, bukan catatan panjang. Marc Prensky (2001)
menyebut mereka digital natives—anak-anak yang tumbuh dengan bahasa
teknologi, berbeda secara epistemologis dari para dosennya yang masih digital
immigrants.
Bagi mereka, otoritas bukan lagi gelar, tapi relevansi. Mereka mendengar bukan
karena siapa yang bicara, tapi karena apa yang disampaikan terasa dekat dengan
hidup mereka. Maka, metode kuliah konvensional kini terasa seperti radio di
tengah dunia streaming: masih terdengar, tapi tak lagi benar-benar
didengar.
Jika PAI tak masuk ke ruang digital itu, ia akan kehilangan generasi
penerusnya. Sebab, bagi generasi baru, dunia maya dan dunia nyata bukan dua hal
yang terpisah; keduanya adalah satu ekosistem belajar.
Di titik inilah, BoK bukan lagi sekadar dokumen akademik. Ia menjadi peta
evolusi—cara baru memahami bagaimana nilai Islam berinteraksi dengan algoritma,
bagaimana iman berjumpa dengan informasi. BoK adalah “napas akademik”.
Tanpanya, ilmu hanya berjalan di tempat. Dengan BoK, pendidikan agama tidak
hanya mengulang masa lalu dalam bahasa baru, tapi menulis masa depan dengan
kesadaran baru.
Uji publik itu berakhir dengan foto bersama—senyum, kilatan lampu, lalu
keheningan. Tapi di kepala saya, pertemuan itu belum selesai.
Mungkin karena setiap gagasan besar selalu meninggalkan
residu kegelisahan. BoK hanyalah alat; yang menentukan adalah siapa yang
menghidupkannya. Dan pada akhirnya, pendidikan agama Islam selalu kembali ke
satu hal: mengajarkan cara menjadi manusia di tengah dunia yang perlahan
kehilangan kemanusiaannya.***


