Iklan

Dekolonialisasi Aksara Melayu

syamsul kurniawan
Sunday, October 26, 2025
Last Updated 2025-10-27T05:09:13Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


 

Oleh: Syamsul Kurniawan


Kita hidup di dunia yang ditulis dengan huruf Latin. Di papan nama, akta lahir, hingga tanda tangan digital, semua tercetak dalam alfabet yang tak lahir dari tanah ini. Ia datang bersama kapal dagang, senapan panjang, dan para penginjil—membawa tiga kata yang mengubah sejarah: gold, glory, gospel.


Sebelum huruf itu menancap dalam sistem pendidikan dan administrasi, orang Melayu sudah menulis — dengan tangannya sendiri, dengan aksara yang lahir dari dunia yang ia pahami. Di batu, di kulit kayu, di lontar, di perahu, dan di dinding surau.


Aksara bagi orang Melayu bukan sekadar alat untuk menyampaikan maksud; ia adalah sarana untuk menanam pengetahuan, menyambung ingatan, dan mematri legitimasi. Sebelum Islam datang, berbagai sistem tulisan seperti Kawi, Rencong, atau Pallava hidup dalam ranah-ranah yang beragam, menandai hubungan dagang, agama, dan kekuasaan.


Setiap aksara adalah wajah dari peradaban yang menulisnya. Ia membawa logika, ritme, dan cara berpikir. Begitu pula aksara yang digunakan orang Melayu: refleksi dari dunia yang cair, pelaut, dan terbuka terhadap pengaruh luar tanpa kehilangan identitasnya.


Ketika Islam memasuki Nusantara, aksara Arab dibawa bersama kata-kata suci dan doa. Namun, proses ini bukan penyeragaman. Orang Melayu tidak menelan begitu saja huruf Arab sebagaimana datangnya. Ia disesuaikan, diubah bunyinya, diadaptasi agar sesuai dengan fonem lokal.


Lahir kemudian sistem yang kita kenal sebagai Aksara Arab Melayu, atau Jawi di Semenanjung, dan Pegon di tanah Jawa serta Madura. Huruf-huruf itu disusun ulang menjadi jembatan antara dunia Arab dan dunia Melayu — antara wahyu dan percakapan harian.


Proses adaptasi itu bukan teknis linguistik semata, tetapi peristiwa budaya. Ia menandai pertemuan dua horizon makna: Islam sebagai agama transnasional, dan Melayu sebagai kosmos sosial-lokal yang punya cita rasa sendiri.


Melalui aksara Arab Melayu, ajaran agama Islam menembus rumah-rumah Melayu. Fikih, tasawuf, tafsir, hingga hikayat, semua ditulis dengan medium yang akrab di tangan ulama dan rakyat. Aksara itu bukan sekadar tulisan; ia adalah struktur pengetahuan.


Tidak sedikit kitab yang membahas pendidikan keimanan, jasmani, akhlak, dan mental, ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab. Melalui tulisan itulah, ilmu menjadi bagian dari kehidupan — bukan monopoli para ulama, tetapi milik jamaah yang mau membaca.


Lebih dari itu, aksara Arab Melayu juga menjadi alat politik. Raja-raja Melayu menulis surat, mengirim pesan diplomatik, menetapkan hukum, dan meneguhkan kedaulatan melalui huruf ini. Tulisan menjadi instrumen legitimasi, dan huruf menjadi lambang kekuasaan.


Dengan begitu, aksara Arab Melayu tidak sekadar hidup di wilayah agama, tapi juga di ruang publik: ia menjadi medium komunikasi antara penguasa dan rakyat, antara ulama dan murid, antara guru dan masyarakat.


Jika kita meminjam kerangka Jurgen Habermas (1991), ruang publik terbentuk ketika ada pertukaran argumentasi secara rasional dan setara. Dalam konteks Melayu-Islam klasik, aksara Jawi adalah salah satu fondasinya — alat untuk menyalurkan wacana yang membentuk opini dan norma sosial.


Tapi sejarah kemudian bergeser. Kolonialisme datang membawa alfabet baru, bersama sistem sekolah baru. Huruf Latin disebarkan melalui pendidikan kolonial, menggantikan Jawi yang dianggap tidak “ilmiah” dan tidak “modern”.


Pergantian huruf ini bukan sekadar pergantian simbol; ia adalah pengambilalihan ruang publik. Huruf Latin membawa serta nilai-nilai epistemologis Eropa — rasionalitas yang dikonstruksi secara hierarkis, dengan pusat kebenaran di luar diri orang Melayu.


Habermas berbicara tentang distorsi komunikasi, yaitu ketika wacana publik dimanipulasi oleh kekuasaan. Dalam konteks kolonialisme, distorsi itu dilakukan melalui alfabet: siapa yang menguasai huruf, menguasai pengetahuan; siapa yang menguasai pengetahuan, menguasai legitimasi.


Kolonialisme menata ulang siapa yang boleh menulis dan dibaca. Di sekolah, anak-anak Melayu dipaksa belajar Latin; sementara naskah-naskah Jawi perlahan ditinggalkan, dianggap “tradisional”, “kurang ilmiah”, dan “tidak ekonomis”.


Dampaknya terasa sampai hari ini. Orang Melayu modern jarang bisa membaca teks nenek moyangnya. Huruf Jawi kini menjadi eksotika di museum dan ornamen masjid.


Padahal, di abad ke-18 hingga awal abad ke-20, huruf Jawi digunakan untuk surat kabar, risalah politik, hingga pamflet perlawanan. Ia menjadi media perlawanan simbolik terhadap kolonialisme — medium yang tidak sepenuhnya bisa disusupi oleh aparat Belanda.


Melalui huruf Jawi, para ulama dan penulis Melayu membangun jaringan komunikasi lintas wilayah: dari Riau, Pontianak, Palembang, hingga Pattani. Inilah bentuk ruang publik alternatif yang memelihara kesadaran kolektif di tengah represi kolonial.


Namun setelah kemerdekaan, negeri ini tetap melanjutkan paradigma kolonial dalam hal alfabet. Huruf Latin menjadi satu-satunya standar resmi pendidikan dan administrasi. Aksara lokal, termasuk Jawi, dibiarkan layu — tanpa perlindungan struktural.


Di sinilah dekolonialisasi belum selesai. Kita merdeka secara politik, tapi masih bergantung secara simbolik pada sistem pengetahuan kolonial. Kebebasan yang setengah matang: merdeka tanpa alfabet sendiri.


Padahal, dalam kerangka dekolonialisasi budaya, bahasa dan aksara adalah alat untuk mengembalikan kedaulatan berpikir. Membaca kembali Jawi berarti menegaskan kembali siapa kita dalam sistem tanda yang kita pilih sendiri.


Dekolonisasi, sebagaimana dirumuskan PBB, bukan sekadar penghapusan penjajahan teritorial, tapi hak menentukan diri. Dalam hal ini, menentukan cara menulis, cara mengingat, dan cara berpikir adalah bagian dari hak tersebut.


Sebab itu, perbincangan tentang Jawi bukan nostalgia. Ia adalah wacana tentang self-determination — bagaimana bangsa menentukan sendiri perangkat simboliknya untuk berpikir dan berkomunikasi.


Namun di tengah geliat simbolik itu, kita harus jujur:

 

Jauh Panggang dari Api


Kerap kita dengar jargon pelestarian budaya. Pemerintah daerah mendirikan tugu aksara, membuat baliho bertuliskan Jawi, bahkan lomba menulis nama dengan huruf Arab Melayu. Tapi semua itu berhenti di tataran simbol.


Tidak ada kurikulum formal yang mengajarkan Jawi secara berkelanjutan. Tidak ada buku pelajaran modern yang ditulis dalam aksara itu. Tidak ada penerbit besar yang mau mengambil risiko menerbitkan teks Jawi dengan pembaca yang terbatas.


Ruang publik kita penuh deklarasi, tapi miskin implementasi. Inilah kolonisasi dunia-hidup — ketika sistem administratif dan pasar menguasai ruang komunikasi sehari-hari, menggantikan dialog yang seharusnya hidup di masyarakat.


Kita terlalu sibuk menjaga simbol identitas, tapi lupa menjaga sarana berpikirnya. Aksara Jawi dijadikan ornamen, bukan instrumen. Hasilnya: kebanggaan tanpa pemahaman.


Dekolonialisasi yang sejati menuntut perubahan struktural. Aksara Jawi harus masuk ke sistem pendidikan dasar, menjadi bahan ajar muatan lokal, atau minimal bagian dari literasi sejarah.

 

Selain pendidikan, revitalisasi Jawi juga butuh ekosistem: pelatihan guru, penerjemahan naskah klasik, dan digitalisasi arsip. Tanpa itu, wacana pelestarian hanya menjadi ritual tahunan tanpa substansi.


Kita tidak sedang bicara tentang mengganti huruf Latin. Ini bukan soal menolak modernitas, melainkan memperluasnya. Modernitas yang tidak mematikan lokalitas, melainkan mengakui pluralitas alfabetik sebagai sumber daya pengetahuan.


Negara seperti Malaysia dan Brunei telah memasukkan Jawi dalam sistem resminya. Mereka tidak menjadi kurang modern karena itu. Mereka justru menunjukkan bahwa kemajuan tidak identik dengan penyeragaman simbol.


Di Indonesia, langkah itu masih jauh. Tapi jalan menuju sana harus dimulai: dari ruang diskusi, dari universitas, dari masyarakat yang sadar bahwa huruf bukan sekadar bentuk, tetapi politik makna.


Sebab dekolonialisasi aksara Melayu adalah kerja panjang — bukan sekadar nostalgia, tapi upaya merebut kembali ruang berpikir yang pernah direbut. Sebab, tanpa huruf yang kita pahami sebagai milik sendiri, kita hanya membaca dunia dengan lidah orang lain.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now