Oleh:
Syamsul Kurniawan
Kita hidup di dunia yang ditulis dengan huruf Latin. Di papan nama, akta lahir,
hingga tanda tangan digital, semua tercetak dalam alfabet yang tak lahir dari
tanah ini. Ia datang bersama kapal dagang, senapan panjang, dan para
penginjil—membawa tiga kata yang mengubah sejarah: gold, glory, gospel.
Sebelum huruf itu menancap dalam sistem pendidikan dan administrasi, orang
Melayu sudah menulis — dengan tangannya sendiri, dengan aksara yang lahir dari
dunia yang ia pahami. Di batu, di kulit kayu, di lontar, di perahu, dan di
dinding surau.
Aksara bagi orang Melayu bukan sekadar alat untuk menyampaikan maksud; ia
adalah sarana untuk menanam pengetahuan, menyambung ingatan, dan mematri
legitimasi. Sebelum Islam datang, berbagai sistem tulisan seperti Kawi, Rencong,
atau Pallava hidup dalam ranah-ranah yang beragam, menandai hubungan dagang,
agama, dan kekuasaan.
Setiap aksara adalah wajah dari peradaban yang menulisnya. Ia membawa logika,
ritme, dan cara berpikir. Begitu pula aksara yang digunakan orang Melayu:
refleksi dari dunia yang cair, pelaut, dan terbuka terhadap pengaruh luar tanpa
kehilangan identitasnya.
Ketika Islam memasuki Nusantara, aksara Arab dibawa bersama kata-kata suci dan
doa. Namun, proses ini bukan penyeragaman. Orang Melayu tidak menelan begitu
saja huruf Arab sebagaimana datangnya. Ia disesuaikan, diubah bunyinya,
diadaptasi agar sesuai dengan fonem lokal.
Lahir kemudian sistem yang kita kenal sebagai Aksara Arab Melayu, atau Jawi di
Semenanjung, dan Pegon di tanah Jawa serta Madura. Huruf-huruf itu disusun
ulang menjadi jembatan antara dunia Arab dan dunia Melayu — antara wahyu dan
percakapan harian.
Proses adaptasi itu bukan teknis linguistik semata, tetapi peristiwa budaya. Ia
menandai pertemuan dua horizon makna: Islam sebagai agama transnasional, dan
Melayu sebagai kosmos sosial-lokal yang punya cita rasa sendiri.
Melalui aksara Arab Melayu, ajaran agama Islam menembus rumah-rumah Melayu.
Fikih, tasawuf, tafsir, hingga hikayat, semua ditulis dengan medium yang akrab
di tangan ulama dan rakyat. Aksara itu bukan sekadar tulisan; ia adalah
struktur pengetahuan.
Tidak sedikit kitab yang membahas pendidikan keimanan, jasmani, akhlak, dan
mental, ditulis dalam bahasa Melayu beraksara Arab. Melalui tulisan itulah,
ilmu menjadi bagian dari kehidupan — bukan monopoli para ulama, tetapi milik
jamaah yang mau membaca.
Lebih dari itu, aksara Arab Melayu juga menjadi alat politik. Raja-raja Melayu
menulis surat, mengirim pesan diplomatik, menetapkan hukum, dan meneguhkan
kedaulatan melalui huruf ini. Tulisan menjadi instrumen legitimasi, dan huruf
menjadi lambang kekuasaan.
Dengan begitu, aksara Arab Melayu tidak sekadar hidup di wilayah agama, tapi
juga di ruang publik: ia menjadi medium komunikasi antara penguasa dan rakyat,
antara ulama dan murid, antara guru dan masyarakat.
Jika kita meminjam kerangka Jurgen Habermas (1991), ruang publik terbentuk
ketika ada pertukaran argumentasi secara rasional dan setara. Dalam konteks
Melayu-Islam klasik, aksara Jawi adalah salah satu fondasinya — alat untuk
menyalurkan wacana yang membentuk opini dan norma sosial.
Tapi sejarah kemudian bergeser. Kolonialisme datang membawa alfabet baru,
bersama sistem sekolah baru. Huruf Latin disebarkan melalui pendidikan
kolonial, menggantikan Jawi yang dianggap tidak “ilmiah” dan tidak “modern”.
Pergantian huruf ini bukan sekadar pergantian simbol; ia adalah pengambilalihan
ruang publik. Huruf Latin membawa serta nilai-nilai epistemologis Eropa —
rasionalitas yang dikonstruksi secara hierarkis, dengan pusat kebenaran di luar
diri orang Melayu.
Habermas berbicara tentang distorsi komunikasi, yaitu ketika wacana publik
dimanipulasi oleh kekuasaan. Dalam konteks kolonialisme, distorsi itu dilakukan
melalui alfabet: siapa yang menguasai huruf, menguasai pengetahuan; siapa yang
menguasai pengetahuan, menguasai legitimasi.
Kolonialisme menata ulang siapa yang boleh menulis dan dibaca. Di sekolah,
anak-anak Melayu dipaksa belajar Latin; sementara naskah-naskah Jawi perlahan
ditinggalkan, dianggap “tradisional”, “kurang ilmiah”, dan “tidak ekonomis”.
Dampaknya terasa sampai hari ini. Orang Melayu modern jarang bisa membaca teks
nenek moyangnya. Huruf Jawi kini menjadi eksotika di museum dan ornamen masjid.
Padahal, di abad ke-18 hingga awal abad ke-20, huruf Jawi digunakan untuk surat
kabar, risalah politik, hingga pamflet perlawanan. Ia menjadi media perlawanan
simbolik terhadap kolonialisme — medium yang tidak sepenuhnya bisa disusupi
oleh aparat Belanda.
Melalui huruf Jawi, para ulama dan penulis Melayu membangun jaringan komunikasi
lintas wilayah: dari Riau, Pontianak, Palembang, hingga Pattani. Inilah bentuk ruang
publik alternatif yang memelihara kesadaran kolektif di tengah represi
kolonial.
Namun setelah kemerdekaan, negeri ini tetap melanjutkan paradigma kolonial
dalam hal alfabet. Huruf Latin menjadi satu-satunya standar resmi pendidikan
dan administrasi. Aksara lokal, termasuk Jawi, dibiarkan layu — tanpa
perlindungan struktural.
Di sinilah dekolonialisasi belum selesai. Kita merdeka secara politik, tapi
masih bergantung secara simbolik pada sistem pengetahuan kolonial. Kebebasan
yang setengah matang: merdeka tanpa alfabet sendiri.
Padahal, dalam kerangka dekolonialisasi budaya, bahasa dan aksara adalah alat
untuk mengembalikan kedaulatan berpikir. Membaca kembali Jawi berarti
menegaskan kembali siapa kita dalam sistem tanda yang kita pilih sendiri.
Dekolonisasi, sebagaimana dirumuskan PBB, bukan sekadar penghapusan penjajahan
teritorial, tapi hak menentukan diri. Dalam hal ini, menentukan cara menulis,
cara mengingat, dan cara berpikir adalah bagian dari hak tersebut.
Sebab itu, perbincangan tentang Jawi bukan nostalgia. Ia adalah wacana tentang self-determination
— bagaimana bangsa menentukan sendiri perangkat simboliknya untuk berpikir dan
berkomunikasi.
Namun di tengah geliat simbolik itu, kita harus jujur:
Jauh
Panggang dari Api
Kerap kita dengar jargon pelestarian budaya. Pemerintah daerah mendirikan tugu
aksara, membuat baliho bertuliskan Jawi, bahkan lomba menulis nama dengan huruf
Arab Melayu. Tapi semua itu berhenti di tataran simbol.
Tidak ada kurikulum formal yang mengajarkan Jawi secara berkelanjutan. Tidak
ada buku pelajaran modern yang ditulis dalam aksara itu. Tidak ada penerbit
besar yang mau mengambil risiko menerbitkan teks Jawi dengan pembaca yang
terbatas.
Ruang publik kita penuh deklarasi, tapi miskin implementasi. Inilah kolonisasi
dunia-hidup — ketika sistem administratif dan pasar menguasai ruang komunikasi
sehari-hari, menggantikan dialog yang seharusnya hidup di masyarakat.
Kita terlalu sibuk menjaga simbol identitas, tapi lupa menjaga sarana
berpikirnya. Aksara Jawi dijadikan ornamen, bukan instrumen. Hasilnya:
kebanggaan tanpa pemahaman.
Dekolonialisasi yang sejati menuntut perubahan struktural. Aksara Jawi harus
masuk ke sistem pendidikan dasar, menjadi bahan ajar muatan lokal, atau minimal
bagian dari literasi sejarah.
Selain
pendidikan, revitalisasi Jawi juga butuh ekosistem: pelatihan guru,
penerjemahan naskah klasik, dan digitalisasi arsip. Tanpa itu, wacana
pelestarian hanya menjadi ritual tahunan tanpa substansi.
Kita tidak sedang bicara tentang mengganti huruf Latin. Ini bukan soal menolak
modernitas, melainkan memperluasnya. Modernitas yang tidak mematikan lokalitas,
melainkan mengakui pluralitas alfabetik sebagai sumber daya pengetahuan.
Negara seperti Malaysia dan Brunei telah memasukkan Jawi dalam sistem resminya.
Mereka tidak menjadi kurang modern karena itu. Mereka justru menunjukkan bahwa
kemajuan tidak identik dengan penyeragaman simbol.
Di Indonesia, langkah itu masih jauh. Tapi jalan menuju sana harus dimulai:
dari ruang diskusi, dari universitas, dari masyarakat yang sadar bahwa huruf
bukan sekadar bentuk, tetapi politik makna.
Sebab dekolonialisasi aksara Melayu adalah kerja panjang — bukan sekadar
nostalgia, tapi upaya merebut kembali ruang berpikir yang pernah direbut.
Sebab, tanpa huruf yang kita pahami sebagai milik sendiri, kita hanya membaca
dunia dengan lidah orang lain.***


