Oleh: Syamsul Kurniawan
Yang paling menyakitkan dari korupsi di negeri ini bukan hanya karena
uang negara dicuri, tetapi karena siapa pelakunya. Ia bukan orang yang tak
bersekolah. Ia bergelar tinggi—sarjana, doktor, bahkan profesor. Ia tahu hukum,
tahu moral, dan tahu bahwa uang publik bukan miliknya. Namun, tangannya tetap
tergoda.
Orang-orang seperti ini pernah berdiri di podium kampus, menerima
piagam cum laude, disambut tepuk tangan. Ia menjadi simbol keberhasilan
pendidikan. Tapi bertahun kemudian, wajahnya muncul di layar televisi, diapit
petugas berseragam oranye. Paradoks ini menampar akal sehat: mengapa orang
berpendidikan tinggi justru bisa korup? Bukankah pendidikan seharusnya
menajamkan nurani dan menumbuhkan rasa malu untuk berbuat culas?
Namun kenyataannya, korupsi justru banyak dilakukan oleh mereka yang
paling paham caranya mengelak. Mereka yang fasih berpidato tentang etika, tapi
lihai memanipulasi sistem. Mereka yang mengajarkan integritas, tapi hidup dari
kompromi.
Barangkali pendidikan di negeri ini terlalu sibuk mencetak kepintaran,
dan lupa menanamkan kebijaksanaan.
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu (1977), memberi kita kacamata untuk
membaca gejala ini melalui konsep habitus—pola pikir dan kebiasaan
sosial yang tertanam sejak kecil dan membentuk cara seseorang bereaksi terhadap
dunia. Habitus bekerja diam-diam, di bawah sadar. Ia menentukan perilaku tanpa
perlu pertimbangan rasional panjang.
Dalam masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan, habitus bisa
menanamkan logika sederhana: “semua orang juga begitu.” Maka
ketika seseorang berpendidikan tinggi, masuk birokrasi, lalu naik
jabatan—habitus lama tak serta-merta hilang. Ia hanya bertransformasi.
Korupsi tak lagi dilakukan secara kasar, tapi lewat mekanisme yang
tampak sah: tanda tangan, proposal, revisi anggaran. Pendidikan memberi
kecerdasan teknis untuk menutupi jejak, bukan untuk menolak godaan.
Di titik inilah pendidikan sering gagal. Ia mengajarkan teori moral,
tapi tak pernah menyentuh lapisan paling dalam dari kebiasaan sosial yang telah
lama terbentuk. Seseorang bisa sangat pandai berbicara tentang integritas, tapi
di saat yang sama tak merasa bersalah memotong dana bantuan.
Yang bekerja bukan pikirannya, tapi habitus yang sudah terbentuk
bertahun-tahun sebelumnya.
Reproduksi Sosial Korupsi
Bourdieu (1977) menyebut ini sebagai reproduksi sosial—nilai dan
perilaku diwariskan lintas generasi tanpa disadari. Dalam sistem yang permisif,
anak-anak melihat bahwa yang dihormati bukan orang jujur, tapi orang yang
“pintar mencari celah.”
Dan ketika mereka tumbuh besar, bersekolah tinggi, lalu berkarier,
mereka hanya melanjutkan kebiasaan yang sudah dianggap wajar. Pendidikan tidak
memutus rantai itu; ia justru memberi legitimasi baru dalam bentuk status
sosial dan akses kekuasaan.
Orang berpendidikan punya modal sosial: jaringan, kedekatan, dan bahasa
yang meyakinkan. Dengan itu, mereka tidak sekadar mencuri, tetapi menciptakan
sistem yang membuat pencurian tampak legal. Korupsi menjadi “terstruktur dan
elegan.” Tak ada lagi amplop di bawah meja; semuanya dilakukan lewat mekanisme
formal yang rapi.
Ironisnya, banyak di antara mereka tidak merasa bersalah. Mereka
beranggapan hanya menjalankan “aturan main” yang sudah umum.
Habitus membuat seseorang mampu berbuat jahat tanpa merasa jahat. Ia
menyesuaikan diri dengan sistem yang memang sudah rusak.
Anomie: Ketika Norma Mati
Émile Durkheim (1893), pendahulu Bourdieu, menyebut kondisi seperti ini
sebagai anomie—keadaan ketika masyarakat kehilangan arah moral. Dalam
masyarakat anomik, hukum kehilangan wibawa, norma sosial melemah, dan hasrat
individu tak lagi dibatasi.
Manusia cerdas tanpa kendali moral menjadi berbahaya. Pengetahuannya
memberi cara, tapi bukan arah. Ia tahu jalan tercepat untuk kaya, tapi tak
peduli apakah jalan itu benar. Durkheim menyebut anomie sebagai “penyakit dari
keinginan tanpa batas.”
Kita hidup di zaman di mana hasrat menjadi penguasa baru. Orang tidak
lagi ingin hidup cukup, tapi ingin terlihat lebih dari yang lain. Maka
pendidikan pun bergeser orientasi—bukan lagi alat pemerdekaan, tapi tangga
menuju gengsi sosial.
Dalam suasana seperti itu, korupsi bukan lagi penyimpangan moral,
melainkan konsekuensi logis dari masyarakat yang kehilangan nilai batas.
Bourdieu dan Durkheim mungkin berasal dari abad berbeda, tetapi
keduanya sepakat: manusia tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan, tetapi oleh
lingkungan sosial yang melingkupinya. Ketika habitus koruptif bertemu dengan
masyarakat yang anomik, lahirlah cendekiawan yang kehilangan arah moral—cerdas
tapi culas, pandai tapi tanpa nurani.
Maka pertanyaannya bukan lagi “mengapa orang bodoh mencuri,” tapi
“mengapa orang pandai tidak malu melakukannya.” Barangkali karena pendidikan
tinggi tak otomatis melahirkan hati yang tinggi. Sebab yang membentuk nurani
bukan gelar, tapi kebiasaan berbuat benar—dan itu, sayangnya, tidak diajarkan
di ruang kuliah mana pun.***


