Iklan

Mengapa Orang Berpendidikan Tinggi Justru Peluang Korupnya Besar?

syamsul kurniawan
Sunday, November 9, 2025
Last Updated 2025-11-10T07:15:06Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Yang paling menyakitkan dari korupsi di negeri ini bukan hanya karena uang negara dicuri, tetapi karena siapa pelakunya. Ia bukan orang yang tak bersekolah. Ia bergelar tinggi—sarjana, doktor, bahkan profesor. Ia tahu hukum, tahu moral, dan tahu bahwa uang publik bukan miliknya. Namun, tangannya tetap tergoda.

 

Orang-orang seperti ini pernah berdiri di podium kampus, menerima piagam cum laude, disambut tepuk tangan. Ia menjadi simbol keberhasilan pendidikan. Tapi bertahun kemudian, wajahnya muncul di layar televisi, diapit petugas berseragam oranye. Paradoks ini menampar akal sehat: mengapa orang berpendidikan tinggi justru bisa korup? Bukankah pendidikan seharusnya menajamkan nurani dan menumbuhkan rasa malu untuk berbuat culas?

 

Namun kenyataannya, korupsi justru banyak dilakukan oleh mereka yang paling paham caranya mengelak. Mereka yang fasih berpidato tentang etika, tapi lihai memanipulasi sistem. Mereka yang mengajarkan integritas, tapi hidup dari kompromi.

 

Barangkali pendidikan di negeri ini terlalu sibuk mencetak kepintaran, dan lupa menanamkan kebijaksanaan.

 

Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu (1977), memberi kita kacamata untuk membaca gejala ini melalui konsep habitus—pola pikir dan kebiasaan sosial yang tertanam sejak kecil dan membentuk cara seseorang bereaksi terhadap dunia. Habitus bekerja diam-diam, di bawah sadar. Ia menentukan perilaku tanpa perlu pertimbangan rasional panjang.

 

Dalam masyarakat yang permisif terhadap penyimpangan, habitus bisa menanamkan logika sederhana: semua orang juga begitu.” Maka ketika seseorang berpendidikan tinggi, masuk birokrasi, lalu naik jabatan—habitus lama tak serta-merta hilang. Ia hanya bertransformasi.

 

Korupsi tak lagi dilakukan secara kasar, tapi lewat mekanisme yang tampak sah: tanda tangan, proposal, revisi anggaran. Pendidikan memberi kecerdasan teknis untuk menutupi jejak, bukan untuk menolak godaan.

 

Di titik inilah pendidikan sering gagal. Ia mengajarkan teori moral, tapi tak pernah menyentuh lapisan paling dalam dari kebiasaan sosial yang telah lama terbentuk. Seseorang bisa sangat pandai berbicara tentang integritas, tapi di saat yang sama tak merasa bersalah memotong dana bantuan.

Yang bekerja bukan pikirannya, tapi habitus yang sudah terbentuk bertahun-tahun sebelumnya.

 

Reproduksi Sosial Korupsi

 

Bourdieu (1977) menyebut ini sebagai reproduksi sosial—nilai dan perilaku diwariskan lintas generasi tanpa disadari. Dalam sistem yang permisif, anak-anak melihat bahwa yang dihormati bukan orang jujur, tapi orang yang “pintar mencari celah.”

 

Dan ketika mereka tumbuh besar, bersekolah tinggi, lalu berkarier, mereka hanya melanjutkan kebiasaan yang sudah dianggap wajar. Pendidikan tidak memutus rantai itu; ia justru memberi legitimasi baru dalam bentuk status sosial dan akses kekuasaan.

 

Orang berpendidikan punya modal sosial: jaringan, kedekatan, dan bahasa yang meyakinkan. Dengan itu, mereka tidak sekadar mencuri, tetapi menciptakan sistem yang membuat pencurian tampak legal. Korupsi menjadi “terstruktur dan elegan.” Tak ada lagi amplop di bawah meja; semuanya dilakukan lewat mekanisme formal yang rapi.

 

Ironisnya, banyak di antara mereka tidak merasa bersalah. Mereka beranggapan hanya menjalankan “aturan main” yang sudah umum.

 

Habitus membuat seseorang mampu berbuat jahat tanpa merasa jahat. Ia menyesuaikan diri dengan sistem yang memang sudah rusak.

 

Anomie: Ketika Norma Mati

 

Émile Durkheim (1893), pendahulu Bourdieu, menyebut kondisi seperti ini sebagai anomie—keadaan ketika masyarakat kehilangan arah moral. Dalam masyarakat anomik, hukum kehilangan wibawa, norma sosial melemah, dan hasrat individu tak lagi dibatasi.

 

Manusia cerdas tanpa kendali moral menjadi berbahaya. Pengetahuannya memberi cara, tapi bukan arah. Ia tahu jalan tercepat untuk kaya, tapi tak peduli apakah jalan itu benar. Durkheim menyebut anomie sebagai “penyakit dari keinginan tanpa batas.”

 

Kita hidup di zaman di mana hasrat menjadi penguasa baru. Orang tidak lagi ingin hidup cukup, tapi ingin terlihat lebih dari yang lain. Maka pendidikan pun bergeser orientasi—bukan lagi alat pemerdekaan, tapi tangga menuju gengsi sosial.

Dalam suasana seperti itu, korupsi bukan lagi penyimpangan moral, melainkan konsekuensi logis dari masyarakat yang kehilangan nilai batas.

 

Bourdieu dan Durkheim mungkin berasal dari abad berbeda, tetapi keduanya sepakat: manusia tidak hanya dibentuk oleh pengetahuan, tetapi oleh lingkungan sosial yang melingkupinya. Ketika habitus koruptif bertemu dengan masyarakat yang anomik, lahirlah cendekiawan yang kehilangan arah moral—cerdas tapi culas, pandai tapi tanpa nurani.

 

Maka pertanyaannya bukan lagi “mengapa orang bodoh mencuri,” tapi “mengapa orang pandai tidak malu melakukannya.” Barangkali karena pendidikan tinggi tak otomatis melahirkan hati yang tinggi. Sebab yang membentuk nurani bukan gelar, tapi kebiasaan berbuat benar—dan itu, sayangnya, tidak diajarkan di ruang kuliah mana pun.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now