Oleh: Syamsul Kurniawan
KISAH Raja Midas bermula dari sebuah
kebaikan kecil yang disalahartikan sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan
tanpa batas. Setelah menolong Silenus, ia diberi kesempatan memilih hadiah apa
pun dari Dionysus. Midas tidak meminta kebijaksanaan, bukan pula ketenangan
hidup—ia meminta kemampuan mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas.
Pada awalnya, ia bangga dengan
“anugerah” itu. Meja berubah menjadi emas, bunga menjadi emas, dan dinding
menjadi emas. Ia berpikir dirinya menjadi makhluk paling hebat di dunia, seakan
dunia tak akan pernah menolak keinginannya.
Namun dalam hitungan jam, kebanggaan
itu membusuk menjadi ketakutan. Makanan yang ingin ia lahap berubah menjadi
logam dingin; minuman yang hendak ia teguk menjadi benda mati. Kemampuannya
justru membuat hidupnya sendiri tak lagi dapat ia nikmati.
Puncak tragedi itu tiba saat
Marigold, putrinya, berlari memeluknya. Sentuhan kasih itu berubah menjadi
patung emas—bukt bahwa keserakahan tidak pernah hanya melukai pelakunya; ia
menghancurkan yang paling dicintai.
Dalam keputusasaan, Midas memohon
agar kutukan itu dicabut. Dionysus memerintahkannya mandi di sungai Pactolus.
Ketika ia mencuci tangannya, kekuatan itu lenyap, dan Marigold pun kembali
pulih. Midas akhirnya memahami bahwa keinginan tanpa batas bukanlah
anugerah—melainkan kerusakan yang ia ciptakan sendiri.
Kisah Midas bukan sekadar dongeng
moral. Ia adalah ilustrasi klasik tentang bagaimana keserakahan menciptakan
kehancuran yang kemudian kita keluhkan sebagai nasib buruk. Dan jika kita
jujur, pola itu sama persis dengan hubungan manusia dan alam hari ini.
***
Di Sumatera, air kembali mengambil
ruang yang dulu kita kuasai tanpa rasa hormat. Sungai meluap seperti tubuh
raksasa yang menolak dipasung, membawa tanah, pepohonan, dan serpihan hidup
yang hanyut ke tempat-tempat yang bahkan tak pernah kita bayangkan.
Bencana ini bukan hanya statistik.
Ada 174 jiwa yang hilang, ribuan keluarga yang meninggalkan rumah dalam keadaan
panik, dan kerusakan yang belum sepenuhnya kita pahami karena banyak wilayah
masih terputus.
Betapapun kita ingin menyebutnya
“musibah alam”, kenyataannya jauh lebih telanjang: kita telah lama berjalan
seperti Midas, merayakan kemampuan menebang, mengeruk, dan mengubah bentang
alam menjadi komoditas—lalu terkejut ketika semuanya berubah menjadi bencana.
Alam jarang menyerang tiba-tiba. Ia
mencatat setiap keputusan yang kita ambil: bukit yang digunduli, sungai yang
disempitkan, daerah resapan yang diganti beton, hingga izin-izin yang
dibubuhkan tanpa kesadaran ekologis.
QS. Ar-Rum:41 menyatakan kerusakan
di darat dan laut muncul akibat ulah manusia. Ayat itu bukan peringatan
abstrak; ia fit dengan lanskap Sumatera hari ini.
Hutan-hutan menyusut seperti
lembaran peta yang terkoyak. Tanah yang kehilangan akar kehilangan tubuhnya
sendiri. Dan ketika hujan mengetuk terlalu keras, ia runtuh tanpa daya.
Banjir dan longsor bukan gejala alam
semata. Ia adalah arsip luka, catatan panjang dari keserakahan manusia
yang menganggap alam sebagai sesuatu yang dapat disentuh tanpa batas—mirip
tangan Midas yang mengira dirinya tak tersentuh akibat.
Kita memang tidak mengubah pohon
menjadi emas. Tapi kita mengubah hutan menjadi komoditas ekonomi, mengubah
sungai menjadi jalur industri, dan mengubah bukit menjadi angka dalam neraca
produksi.
Dan seperti Midas yang tidak bisa
lagi makan atau memeluk putrinya, kita mulai kehilangan hal-hal paling
mendasar: air bersih, tanah yang stabil, udara yang sehat, dan ruang aman untuk
hidup.
***
Untuk memahami tragedi ekologis ini,
kita perlu membedah struktur kuasa yang melandasinya. Foucault mengingatkan
bahwa kekuasaan tidak beroperasi dalam bentuk besar saja; ia bekerja lewat
kebiasaan, regulasi, dan norma yang kelihatan wajar.
Di dunia modern, eksploitasi
dianggap “rasional”. Pembukaan lahan dianggap “kebutuhan”. Sungai disempitkan
demi “kepentingan bersama”. Begitulah kuasa membentuk cara berpikir kita.
Kita dipaksa menerima kerusakan
sebagai harga pembangunan. Kita dipaksa percaya bahwa modernitas mensyaratkan
pengorbanan ekologis. Dan lama-kelamaan, kita kehilangan kemampuan
mempertanyakan.
Dalam banyak kasus, pengawasan
lingkungan lebih mirip formalitas daripada proteksi. Aturan ada, tapi giginya
tumpul.
Sementara itu, Seyyed Hossein Nasr
(1997) mengajak kita menengok ke dalam diri. Menurutnya, krisis ekologis adalah
krisis spiritual: manusia memisahkan dirinya dari alam, lalu menganggap alam
hanya memiliki nilai ekonomi.
Ketika alam kehilangan
kesakralannya, ia kehilangan perlindungan moral. Di titik itulah keserakahan
berkembang tanpa batas, seperti permintaan Midas.
Banjir Sumatera menegaskan bahwa
kita telah jauh melampaui batas itu. Kita tidak hanya merusak alam; kita juga
merusak hubungan kita dengannya.
Kerusakan ekologis adalah refleksi
kerusakan nilai. Ketika bukit runtuh, kita sedang menyaksikan runtuhnya
keseimbangan yang dulu dijaga dengan kesabaran berabad-abad oleh alam dan
kultur lokal.
Di sinilah perspektif dekolonial
masuk, memberi lapisan pemahaman yang lebih dalam. Kolonialisme tidak hanya
menguasai wilayah; ia menanamkan cara berpikir: bahwa tanah adalah sumber daya,
bukan ruang hidup.
Pola pikir itu diteruskan dalam
kebijakan modern—pembangunan yang meniru logika ekstraksi kolonial tanpa
mempertimbangkan kapasitas ekologis.
Dekolonisasi mengajak kita mengambil
kembali cara pandang yang menghormati tanah, air, dan hutan sebagai entitas
hidup, bukan alat produksi.
Dalam banyak budaya lokal, sungai
adalah nadi kehidupan, bukan saluran ekonomi. Hutan adalah penjaga, bukan aset.
Tapi kita sudah jauh dari cara pandang itu.
Ketika manusia melupakan nilai asal,
bencana menjadi bahasa terakhir alam untuk mengingatkan.
Banjir dan longsor hari ini bukan
“kutukan alam”—mereka adalah refleksi dari kutukan yang kita ciptakan sendiri,
seperti tangan Midas yang akhirnya menghancurkan dunia yang ia cintai.
Kita menukar keselamatan ekologis
dengan keuntungan sesaat, lalu menanggung akibat jangka panjang yang sulit
dibalikkan.
Dekolonisasi menuntut kita
membebaskan diri dari cara pikir yang menjadikan alam alat. Ia mendorong kita
kembali membangun hubungan etis: bukan untuk melarang pembangunan, tetapi
memastikan pembangunan tidak menghancurkan fondasi kehidupan.
Indonesia membutuhkan paradigma
baru—pembangunan yang memperhitungkan daya dukung ekologis, bukan sekadar
grafik pertumbuhan.
Alam bekerja dengan hukum tetap. Ia
tidak marah, tidak balas dendam. Ia hanya bereaksi sesuai logika yang kita
abaikan.
Tragedi ekologis adalah konsekuensi
natural dari ketidakseimbangan, sama seperti tragedi Midas adalah konsekuensi
dari keserakahannya.
Banjir Sumatera adalah arsip luka, sekaligus undangan untuk mencabut kutukan modernitas ekstraktif. Sama seperti Midas yang akhirnya mencuci tangannya di sungai Pactolus, kita pun harus membersihkan cara pandang kita—sebelum bencana menjadi bahasa terakhir yang tersisa.***


