Iklan

Banjir sebagai Arsip Luka: Membaca Ulang Kuasa, Alam, dan Kolonialitas

syamsul kurniawan
Friday, November 28, 2025
Last Updated 2025-11-29T02:52:00Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

KISAH Raja Midas bermula dari sebuah kebaikan kecil yang disalahartikan sebagai peluang untuk memperoleh keuntungan tanpa batas. Setelah menolong Silenus, ia diberi kesempatan memilih hadiah apa pun dari Dionysus. Midas tidak meminta kebijaksanaan, bukan pula ketenangan hidup—ia meminta kemampuan mengubah apa pun yang disentuhnya menjadi emas.

 

Pada awalnya, ia bangga dengan “anugerah” itu. Meja berubah menjadi emas, bunga menjadi emas, dan dinding menjadi emas. Ia berpikir dirinya menjadi makhluk paling hebat di dunia, seakan dunia tak akan pernah menolak keinginannya.

 

Namun dalam hitungan jam, kebanggaan itu membusuk menjadi ketakutan. Makanan yang ingin ia lahap berubah menjadi logam dingin; minuman yang hendak ia teguk menjadi benda mati. Kemampuannya justru membuat hidupnya sendiri tak lagi dapat ia nikmati.

 

Puncak tragedi itu tiba saat Marigold, putrinya, berlari memeluknya. Sentuhan kasih itu berubah menjadi patung emas—bukt bahwa keserakahan tidak pernah hanya melukai pelakunya; ia menghancurkan yang paling dicintai.

 

Dalam keputusasaan, Midas memohon agar kutukan itu dicabut. Dionysus memerintahkannya mandi di sungai Pactolus. Ketika ia mencuci tangannya, kekuatan itu lenyap, dan Marigold pun kembali pulih. Midas akhirnya memahami bahwa keinginan tanpa batas bukanlah anugerah—melainkan kerusakan yang ia ciptakan sendiri.

 

Kisah Midas bukan sekadar dongeng moral. Ia adalah ilustrasi klasik tentang bagaimana keserakahan menciptakan kehancuran yang kemudian kita keluhkan sebagai nasib buruk. Dan jika kita jujur, pola itu sama persis dengan hubungan manusia dan alam hari ini.

 

***

Di Sumatera, air kembali mengambil ruang yang dulu kita kuasai tanpa rasa hormat. Sungai meluap seperti tubuh raksasa yang menolak dipasung, membawa tanah, pepohonan, dan serpihan hidup yang hanyut ke tempat-tempat yang bahkan tak pernah kita bayangkan.

 

Bencana ini bukan hanya statistik. Ada 174 jiwa yang hilang, ribuan keluarga yang meninggalkan rumah dalam keadaan panik, dan kerusakan yang belum sepenuhnya kita pahami karena banyak wilayah masih terputus.

 

Betapapun kita ingin menyebutnya “musibah alam”, kenyataannya jauh lebih telanjang: kita telah lama berjalan seperti Midas, merayakan kemampuan menebang, mengeruk, dan mengubah bentang alam menjadi komoditas—lalu terkejut ketika semuanya berubah menjadi bencana.

 

Alam jarang menyerang tiba-tiba. Ia mencatat setiap keputusan yang kita ambil: bukit yang digunduli, sungai yang disempitkan, daerah resapan yang diganti beton, hingga izin-izin yang dibubuhkan tanpa kesadaran ekologis.

 

QS. Ar-Rum:41 menyatakan kerusakan di darat dan laut muncul akibat ulah manusia. Ayat itu bukan peringatan abstrak; ia fit dengan lanskap Sumatera hari ini.

 

Hutan-hutan menyusut seperti lembaran peta yang terkoyak. Tanah yang kehilangan akar kehilangan tubuhnya sendiri. Dan ketika hujan mengetuk terlalu keras, ia runtuh tanpa daya.

 

Banjir dan longsor bukan gejala alam semata. Ia adalah arsip luka, catatan panjang dari keserakahan manusia yang menganggap alam sebagai sesuatu yang dapat disentuh tanpa batas—mirip tangan Midas yang mengira dirinya tak tersentuh akibat.

 

Kita memang tidak mengubah pohon menjadi emas. Tapi kita mengubah hutan menjadi komoditas ekonomi, mengubah sungai menjadi jalur industri, dan mengubah bukit menjadi angka dalam neraca produksi.

 

Dan seperti Midas yang tidak bisa lagi makan atau memeluk putrinya, kita mulai kehilangan hal-hal paling mendasar: air bersih, tanah yang stabil, udara yang sehat, dan ruang aman untuk hidup.

 

***

Untuk memahami tragedi ekologis ini, kita perlu membedah struktur kuasa yang melandasinya. Foucault mengingatkan bahwa kekuasaan tidak beroperasi dalam bentuk besar saja; ia bekerja lewat kebiasaan, regulasi, dan norma yang kelihatan wajar.

 

Di dunia modern, eksploitasi dianggap “rasional”. Pembukaan lahan dianggap “kebutuhan”. Sungai disempitkan demi “kepentingan bersama”. Begitulah kuasa membentuk cara berpikir kita.

 

Kita dipaksa menerima kerusakan sebagai harga pembangunan. Kita dipaksa percaya bahwa modernitas mensyaratkan pengorbanan ekologis. Dan lama-kelamaan, kita kehilangan kemampuan mempertanyakan.

 

Dalam banyak kasus, pengawasan lingkungan lebih mirip formalitas daripada proteksi. Aturan ada, tapi giginya tumpul.

 

Sementara itu, Seyyed Hossein Nasr (1997) mengajak kita menengok ke dalam diri. Menurutnya, krisis ekologis adalah krisis spiritual: manusia memisahkan dirinya dari alam, lalu menganggap alam hanya memiliki nilai ekonomi.

 

Ketika alam kehilangan kesakralannya, ia kehilangan perlindungan moral. Di titik itulah keserakahan berkembang tanpa batas, seperti permintaan Midas.

 

Banjir Sumatera menegaskan bahwa kita telah jauh melampaui batas itu. Kita tidak hanya merusak alam; kita juga merusak hubungan kita dengannya.

 

Kerusakan ekologis adalah refleksi kerusakan nilai. Ketika bukit runtuh, kita sedang menyaksikan runtuhnya keseimbangan yang dulu dijaga dengan kesabaran berabad-abad oleh alam dan kultur lokal.

 

Di sinilah perspektif dekolonial masuk, memberi lapisan pemahaman yang lebih dalam. Kolonialisme tidak hanya menguasai wilayah; ia menanamkan cara berpikir: bahwa tanah adalah sumber daya, bukan ruang hidup.

 

Pola pikir itu diteruskan dalam kebijakan modern—pembangunan yang meniru logika ekstraksi kolonial tanpa mempertimbangkan kapasitas ekologis.

 

Dekolonisasi mengajak kita mengambil kembali cara pandang yang menghormati tanah, air, dan hutan sebagai entitas hidup, bukan alat produksi.

 

Dalam banyak budaya lokal, sungai adalah nadi kehidupan, bukan saluran ekonomi. Hutan adalah penjaga, bukan aset. Tapi kita sudah jauh dari cara pandang itu.

 

Ketika manusia melupakan nilai asal, bencana menjadi bahasa terakhir alam untuk mengingatkan.

 

Banjir dan longsor hari ini bukan “kutukan alam”—mereka adalah refleksi dari kutukan yang kita ciptakan sendiri, seperti tangan Midas yang akhirnya menghancurkan dunia yang ia cintai.

 

Kita menukar keselamatan ekologis dengan keuntungan sesaat, lalu menanggung akibat jangka panjang yang sulit dibalikkan.

 

Dekolonisasi menuntut kita membebaskan diri dari cara pikir yang menjadikan alam alat. Ia mendorong kita kembali membangun hubungan etis: bukan untuk melarang pembangunan, tetapi memastikan pembangunan tidak menghancurkan fondasi kehidupan.

 

Indonesia membutuhkan paradigma baru—pembangunan yang memperhitungkan daya dukung ekologis, bukan sekadar grafik pertumbuhan.

 

Alam bekerja dengan hukum tetap. Ia tidak marah, tidak balas dendam. Ia hanya bereaksi sesuai logika yang kita abaikan.

 

Tragedi ekologis adalah konsekuensi natural dari ketidakseimbangan, sama seperti tragedi Midas adalah konsekuensi dari keserakahannya.

 

Banjir Sumatera adalah arsip luka, sekaligus undangan untuk mencabut kutukan modernitas ekstraktif. Sama seperti Midas yang akhirnya mencuci tangannya di sungai Pactolus, kita pun harus membersihkan cara pandang kita—sebelum bencana menjadi bahasa terakhir yang tersisa.*** 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now