Iklan

Jadi Narsum dalam Webinar Nasional PP-PAI Indonesia: Syamsul Kurniawan Sampaikan Akar Kekerasan Perempuan di Ranah Pendidikan Bisa Ditelusuri

syamsul kurniawan
Wednesday, November 26, 2025
Last Updated 2025-11-27T01:27:13Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 


Dalam ruang Zoom pada 26 November 2025—di mana puluhan kotak wajah tersusun seperti mozaik digital—Dr. Syamsul Kurniawan, M.S.I tampil sebagai poros perhatian. Ia hadir mewakili IAIN Pontianak sekaligus Dewan Pendidikan Kalimantan Barat dalam Webinar Nasional PP-PAI Indonesia, sebuah forum yang mempertemukan pengurus dan anggota Perkumpulan Prodi Pendidikan Agama Islam Indonesia dari berbagai penjuru.

 

Dua narasumber lain—Dr. Hj. Fihris, M.Ag (UIN Walisongo) dan Dr. Hj. Yuliharti, M.Ag (UIN Sultan Syarif Kasim)—juga hadir. Namun sejak awal, arah diskusi mengkristal pada paparan Syamsul tentang kekerasan terhadap perempuan yang terus berulang di dunia pendidikan.

 

Syamsul membuka dengan kalimat yang membuat peserta hening. “Dunia pendidikan tampak tenang, tetapi justru menyimpan kegaduhan yang lebih dalam,” katanya. Peristiwa kekerasan yang muncul ke publik, menurutnya, hanyalah lapisan paling tipis dari persoalan besar yang tersembunyi.

 

Ia menyebut serangkaian kasus yang akrab di telinga: guru melecehkan murid, senior membungkam mahasiswi, hingga dosen yang menjadikan nilai sebagai ancaman. “Kita terkejut sebentar, lalu melanjutkan hidup. Padahal yang kita lihat hanya puncak gunung es,” ujarnya.

 

Dari cara ia membentangkan gagasan, tampak jelas bahwa Syamsul tidak sekadar mengurai fakta. Ia sedang menelusuri akar—membongkar pola, struktur, dan lapisan mentalitas yang selama ini membiarkan kekerasan terhadap perempuan tumbuh tanpa perlawanan berarti.

 

Peserta mengikuti dengan penuh perhatian. Kolom chat bergerak, kamera-kamera menyala—suasana yang menunjukkan bahwa isu ini menyentuh pengalaman banyak kampus. “Kekerasan tidak pernah hadir sebagai kejutan. Ia adalah reproduksi dari struktur yang timpang,” tegasnya.

 

Ia lalu membawa audiens turun ke lapisan yang jarang dibicarakan: model mental. Baginya, inilah akar kekerasan. “Kita dibesarkan dengan anggapan bahwa perempuan harus patuh, harus menjaga nama baik, tidak boleh menolak otoritas laki-laki. Model mental ini masuk ke kelas tanpa perlu mengetuk pintu.”

 

Syamsul menyebut bagaimana mentalitas itu hadir dalam bentuk sangat halus: candaan, panggilan, instruksi. Dari hal-hal kecil itu, ruang belajar berubah menjadi ruang kendali.

 

“Kekerasan tidak selalu berupa tangan yang menampar,” katanya. “Kadang ia hanya berupa tatapan atau iming-iming nilai yang memaksa perempuan tunduk.” Peserta mengangguk, beberapa menuliskan catatan ala kilat di chat.

 

Dalam penjelasannya, Syamsul kembali ke metafora gunung es. Model mental membentuk struktur, struktur melahirkan pola, pola memunculkan peristiwa. “Kita sibuk marah pada peristiwa, tetapi lupa membongkar fondasi yang menghidupinya.”

 

Antusiasme peserta meningkat ketika sesi tanya jawab dibuka. Pertanyaan mengalir, kebanyakan tentang kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi yang mengendap, hilang tak berbekas, dan tenggelam oleh waktu. “Mengapa kasus selalu berhenti di tengah jalan?” tanya seorang peserta.

 

Menjawab itu, Syamsul berbicara lugas: “Karena struktur kuasa di lembaga pendidikan belum berpihak pada korban. Pelaku punya posisi, jaringan, dan kepentingan institusi di belakangnya. Korban tidak.”

 

Ia kemudian membawa peserta pada kerangka Pierre Bourdieu—habitus, modal sosial, dan modal budaya—untuk menjelaskan mengapa pelaku lebih sering lolos. “Habitus patriarkal menempatkan perempuan dalam posisi rendah. Modal sosial pelaku membuat institusi melindungi mereka. Modal budaya membuat suara pelaku lebih dipercaya daripada korban.”

 

Di titik ini, suasana webinar terasa berubah. Diskusi tidak lagi semata akademis. Ia menjadi cermin yang memperlihatkan wajah lembaga pendidikan yang selama ini enggan diakui: lembaga yang kadang lebih mencintai reputasinya daripada keadilan.

 

“Diam adalah pupuk bagi kekerasan,” kata Syamsul, kalimat yang seketika memenuhi ulang kolom chat. Seolah peserta menemukan kata untuk menjelaskan pengalaman mereka sendiri.

 

Ia menegaskan bahwa perubahan tidak bisa mengandalkan imbauan moral semata. “Habitus baru harus ditanam. Etika kuasa harus diajarkan. Mekanisme pelaporan harus aman. Tanpa itu, pola kekerasan hanya berganti wajah, bukan hilang.”

 

Syamsul menyebut perlunya distribusi ulang modal sosial bagi perempuan: kanal aman, jaringan dukungan, dan otoritas untuk bersuara. “Korban tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh sistem yang adil.”

 

Beberapa peserta menanggapi dengan pengalaman kampus masing-masing, tetapi diskusi kembali diarahkan ke inti: dunia pendidikan sedang sakit oleh budaya yang lebih tua darinya. Dan tugas pendidikan bukan hanya mengajar, tetapi memutus transmisi kekerasan.

 

Pada bagian akhir, Syamsul menutup dengan kalimat yang dielu-elukan peserta sebagai “paling menampar”: “Ketika kita membalik gunung es, kita bukan hanya melihat kekerasan. Kita melihat diri kita sendiri.”

 

Webinar pun berakhir, namun gema diskusinya tidak. Di layar-layar yang saling terputus oleh jarak, para peserta tahu bahwa hari itu mereka tidak hanya mendengar ceramah. Mereka dipaksa menatap kenyataan: kekerasan terhadap perempuan di dunia pendidikan tidak akan berhenti jika institusi terus takut membongkar diri.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now