Dua narasumber lain—Dr. Hj. Fihris, M.Ag (UIN Walisongo) dan
Dr. Hj. Yuliharti, M.Ag (UIN Sultan Syarif Kasim)—juga hadir. Namun sejak awal,
arah diskusi mengkristal pada paparan Syamsul tentang kekerasan terhadap
perempuan yang terus berulang di dunia pendidikan.
Syamsul membuka dengan kalimat yang membuat peserta hening.
“Dunia pendidikan tampak tenang, tetapi justru menyimpan kegaduhan yang lebih
dalam,” katanya. Peristiwa kekerasan yang muncul ke publik, menurutnya,
hanyalah lapisan paling tipis dari persoalan besar yang tersembunyi.
Ia menyebut serangkaian kasus yang akrab di telinga: guru
melecehkan murid, senior membungkam mahasiswi, hingga dosen yang menjadikan
nilai sebagai ancaman. “Kita terkejut sebentar, lalu melanjutkan hidup. Padahal
yang kita lihat hanya puncak gunung es,” ujarnya.
Dari cara ia membentangkan gagasan, tampak jelas bahwa
Syamsul tidak sekadar mengurai fakta. Ia sedang menelusuri akar—membongkar
pola, struktur, dan lapisan mentalitas yang selama ini membiarkan kekerasan
terhadap perempuan tumbuh tanpa perlawanan berarti.
Peserta mengikuti dengan penuh perhatian. Kolom chat
bergerak, kamera-kamera menyala—suasana yang menunjukkan bahwa isu ini
menyentuh pengalaman banyak kampus. “Kekerasan tidak pernah hadir sebagai
kejutan. Ia adalah reproduksi dari struktur yang timpang,” tegasnya.
Ia lalu membawa audiens turun ke lapisan yang jarang
dibicarakan: model mental. Baginya, inilah akar kekerasan. “Kita dibesarkan
dengan anggapan bahwa perempuan harus patuh, harus menjaga nama baik, tidak
boleh menolak otoritas laki-laki. Model mental ini masuk ke kelas tanpa perlu
mengetuk pintu.”
Syamsul menyebut bagaimana mentalitas itu hadir dalam bentuk
sangat halus: candaan, panggilan, instruksi. Dari hal-hal kecil itu, ruang
belajar berubah menjadi ruang kendali.
“Kekerasan tidak selalu berupa tangan yang menampar,”
katanya. “Kadang ia hanya berupa tatapan atau iming-iming nilai yang memaksa
perempuan tunduk.” Peserta mengangguk, beberapa menuliskan catatan ala kilat di
chat.
Dalam penjelasannya, Syamsul kembali ke metafora gunung es.
Model mental membentuk struktur, struktur melahirkan pola, pola memunculkan
peristiwa. “Kita sibuk marah pada peristiwa, tetapi lupa membongkar fondasi
yang menghidupinya.”
Antusiasme peserta meningkat ketika sesi tanya jawab dibuka.
Pertanyaan mengalir, kebanyakan tentang kasus kekerasan seksual di perguruan
tinggi yang mengendap, hilang tak berbekas, dan tenggelam oleh waktu. “Mengapa
kasus selalu berhenti di tengah jalan?” tanya seorang peserta.
Menjawab itu, Syamsul berbicara lugas: “Karena struktur
kuasa di lembaga pendidikan belum berpihak pada korban. Pelaku punya posisi,
jaringan, dan kepentingan institusi di belakangnya. Korban tidak.”
Ia kemudian membawa peserta pada kerangka Pierre
Bourdieu—habitus, modal sosial, dan modal budaya—untuk menjelaskan mengapa
pelaku lebih sering lolos. “Habitus patriarkal menempatkan perempuan dalam
posisi rendah. Modal sosial pelaku membuat institusi melindungi mereka. Modal
budaya membuat suara pelaku lebih dipercaya daripada korban.”
Di titik ini, suasana webinar terasa berubah. Diskusi tidak
lagi semata akademis. Ia menjadi cermin yang memperlihatkan wajah lembaga
pendidikan yang selama ini enggan diakui: lembaga yang kadang lebih mencintai
reputasinya daripada keadilan.
“Diam adalah pupuk bagi kekerasan,” kata Syamsul, kalimat
yang seketika memenuhi ulang kolom chat. Seolah peserta menemukan kata untuk
menjelaskan pengalaman mereka sendiri.
Ia menegaskan bahwa perubahan tidak bisa mengandalkan
imbauan moral semata. “Habitus baru harus ditanam. Etika kuasa harus diajarkan.
Mekanisme pelaporan harus aman. Tanpa itu, pola kekerasan hanya berganti wajah,
bukan hilang.”
Syamsul menyebut perlunya distribusi ulang modal sosial bagi
perempuan: kanal aman, jaringan dukungan, dan otoritas untuk bersuara. “Korban
tidak butuh belas kasihan. Mereka butuh sistem yang adil.”
Beberapa peserta menanggapi dengan pengalaman kampus
masing-masing, tetapi diskusi kembali diarahkan ke inti: dunia pendidikan
sedang sakit oleh budaya yang lebih tua darinya. Dan tugas pendidikan bukan
hanya mengajar, tetapi memutus transmisi kekerasan.
Pada bagian akhir, Syamsul menutup dengan kalimat yang
dielu-elukan peserta sebagai “paling menampar”: “Ketika kita membalik gunung
es, kita bukan hanya melihat kekerasan. Kita melihat diri kita sendiri.”
Webinar pun berakhir, namun gema diskusinya tidak. Di
layar-layar yang saling terputus oleh jarak, para peserta tahu bahwa hari itu
mereka tidak hanya mendengar ceramah. Mereka dipaksa menatap kenyataan:
kekerasan terhadap perempuan di dunia pendidikan tidak akan berhenti jika
institusi terus takut membongkar diri.***


