Oleh: Syamsul Kurniawan
Ada kalanya sebuah institusi yang tampak tenang justru
menyimpan kegaduhan yang lebih dalam. Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi
ruang aman bagi tumbuhnya nalar dan martabat, justru kerap menjadi panggung
kekerasan terhadap perempuan. Bukan karena pendidikan rusak, tetapi karena ada
yang tidak beres dalam struktur yang menopangnya.
Kita sering disodori peristiwa—seorang siswi dilecehkan
gurunya, seorang mahasiswi dirundung senior, seorang dosen mengancam mahasiswa
perempuan dengan nilai. Orang terkejut, marah sebentar, lalu reda. Yang
mengambang ke permukaan hanyalah puncak gunung es.
Peristiwa itu sendiri tampak jelas: tindakan fisik, verbal,
atau seksual yang menimpa perempuan. Publik melihatnya sebagai insiden, semacam
kecelakaan moral yang terjadi tiba-tiba.
Namun gunung es mengajarkan: peristiwa hanyalah yang
terlihat. Ada volume besar yang tersembunyi, satu dunia gelap yang menopang apa
yang muncul di permukaan.
Jika kita mundur sedikit ke belakang, kita melihat pola:
laporan kekerasan di sekolah dan kampus muncul berulang, dengan pelaku yang
mirip, dengan keberanian korban yang sering dipatahkan, dengan institusi yang
defensif seolah reputasi lebih penting daripada keselamatan manusia.
Pola itu menunjukkan bahwa kekerasan bukan kebetulan. Ia
reproduksi, ia berulang, ia terpola dalam ritme yang sayangnya sudah akrab.
Pola ini memberi isyarat bahwa ada struktur yang bekerja.
Bukan struktur gedung, tetapi struktur sosial: relasi kuasa yang timpang antara
guru dan murid, senior dan junior, dosen dan mahasiswa, lelaki dan perempuan.
Struktur itulah yang membuat sebagian orang merasa memiliki
hak atas tubuh dan kepatutan perempuan. Struktur yang memanjakan para pelaku,
dan membungkam korban dengan dalih kedisiplinan, hierarki, atau “nama baik
institusi”.
Dalam struktur seperti ini, pendidikan tidak lagi menjadi
ruang pemberdayaan. Ia menjadi arena hegemoni. Di sana perempuan sering kali
bukan subjek, tetapi objek.
Lalu kita turun lebih dalam lagi, ke lapisan model
mental—lapisan paling sunyi, tapi paling menentukan. Di sinilah kekerasan
perempuan menemukan akarnya.
Model mental adalah asumsi, keyakinan, warisan budaya yang
tidak disadari, yang membentuk cara orang memandang perempuan. Bahwa perempuan
harus sopan. Bahwa perempuan tidak boleh menolak. Bahwa suara perempuan tidak
valid jika berhadapan dengan otoritas laki-laki.
Model mental ini meresap ke ruang-ruang kelas dan lorong
kampus tanpa pengumuman. Ia menjadi cara orang bercanda, cara orang memanggil,
cara orang memberi instruksi. Perempuan kemudian hidup dalam sistem yang
menormalkan pengabaian terhadap mereka.
Gunung es bekerja pelan: model mental memengaruhi struktur,
struktur memengaruhi pola, pola memunculkan peristiwa. Dan kita marah pada
peristiwa, namun lupa membongkar fondasi yang menghidupinya.
Kita melihat sekolah sebagai tempat belajar, tetapi lupa
bahwa sekolah juga cermin masyarakat. Apa yang dianggap wajar di rumah, dibawa
ke kelas. Apa yang dipelajari dari lingkungan, direproduksi dalam interaksi
akademik.
Dalam banyak kasus, dunia pendidikan hanya memperhalus cara
kekerasan bekerja. Ia tidak selalu berupa tamparan; kadang hanya kalimat,
tatapan, atau iming-iming nilai yang mengunci perempuan dalam ketidakberdayaan.
Kita memahami bahwa kekerasan bukan hanya tindakan, tetapi
juga kebiasaan yang dibiarkan. Diam adalah pupuk bagi kekerasan. Represi
institusi adalah airnya. Budaya yang permisif adalah mataharinya.
Dan ketika kekerasan berbuah, publik hanya melihat buah itu,
bukan damar yang meresap dari akar.
Mengapa perempuan? Karena model mental kita terlalu lama
menempatkan perempuan sebagai mereka yang “layak diawasi”, “layak dinasihati”,
“layak dikendalikan”. Di ranah pendidikan, asumsi ini diterjemahkan menjadi
relasi kuasa yang lebih berat sebelah.
Guru atau dosen merasa berhak menilai bukan hanya akademik,
tapi moralitas. Senior merasa berhak “membina” junior perempuan. Institusi
merasa berhak memutuskan mana korban yang “cukup layak didengar”.
Hilang sudah batas antara pendidikan dan dominasi. Yang
tersisa adalah warisan feodal yang kita bawa ke abad modern tanpa banyak
dipertanyakan.
Untuk memahami kekerasan di pendidikan, kita harus melihat
bahwa pendidikan sendiri sedang sakit. Ia sakit oleh kultur yang lebih tua dari
sekolah itu sendiri: kultur patriarki.
Patriarki tidak selalu hadir dalam bentuk teriakan. Ia
kadang hadir dalam keheningan: ketika laporan korban tidak ditindak, ketika
pelaku malah diberi ruang, ketika sistem lebih peduli pada reputasi ketimbang
penyembuhan.
Perempuan sering kali harus menghadapi pertanyaan, bukan
perlindungan: “Kenapa kamu ada di ruangan itu?”, “Kenapa tidak berteriak?”,
“Apa kamu tidak salah mengerti?” Kalimat-kalimat ini bukan pertanyaan; ini
pengadilan.
Dan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, justru menambah
luka.
Agar kekerasan berhenti, kita tidak cukup hanya menghukum
pelaku. Itu perlu, tetapi tidak cukup. Kita harus memeriksa pola yang membuat
pelaku merasa aman.
Kita harus membongkar struktur yang membuat perempuan merasa
tidak punya suara.
Kita harus mengubah model mental yang membuat kekerasan
tampak masuk akal bagi sebagian orang.
Model mental tidak berubah dengan poster kampanye. Ia
berubah melalui pendidikan kritis, percakapan yang tidak disensor, dan
keberanian institusi untuk tidak memihak pelaku hanya karena statusnya lebih
tinggi.
Pendidikan harus berani menolak warisan budaya yang melukai.
Pendidikan harus memutus transmisi kekerasan dari generasi ke generasi.
Artinya, kita perlu menanamkan etika seksual, etika kuasa,
dan etika kemanusiaan dalam kurikulum. Bukan sebagai penyuluhan sebulan sekali,
tetapi sebagai nafas dari seluruh proses belajar.
Perempuan tidak butuh perlindungan dalam arti paternalistik;
mereka butuh sistem yang adil. Sistem yang berpihak pada kebenaran, bukan pada
hierarki.
Ketika gunung es dibalik, ketika kita memperlihatkan seluruh
bentuknya, kita tidak hanya menatap kekerasan—kita menatap diri kita sendiri.
Karena kekerasan terhadap perempuan di pendidikan adalah
cermin dari masyarakat yang belum selesai belajar.
Dan mungkin, pendidikan baru mulai menjalankan fungsinya
ketika ia berani menantang dirinya sendiri.
Pertanyaan itu kembali pada kita: maukah kita mencairkan
gunung es itu, atau kita biarkan ia terus tumbuh dalam dingin yang membisu?
Bagaimana Memperbaikinya?
Bourdieu (1977) menawarkan cara melihat dunia sosial seperti
medan kekuatan, bukan kumpulan individu yang berdiri sendiri. Dalam konteks
kekerasan perempuan di pendidikan, pendekatan ini membantu membongkar apa yang
tidak kasatmata.
Habitus adalah pola pikir dan kebiasaan yang
terinternalisasi. Ia bukan aturan tertulis, tapi bentuk “cara hidup” yang
terbawa ke mana-mana, termasuk sekolah dan kampus.
Kekerasan terhadap perempuan bertahan lama karena habitus
masyarakat memperlakukan perempuan sebagai pihak yang seharusnya patuh, menjaga
nama baik, dan menghindari konflik.
Habitus ini tidak tercipta dalam satu hari; ia diwariskan
oleh keluarga, lingkungan, dan budaya. Sistem pendidikan kemudian
mengukuhkannya, kadang tanpa sadar.
Dalam kerangka gunung es, habitus adalah lapisan terdalam:
model mental yang menggerakkan struktur sosial.
Bourdieu (1977) juga berbicara tentang modal
sosial—jaringan, relasi, dan kepercayaan. Pelaku kekerasan sering memiliki
modal sosial yang besar: posisi mereka dihormati, jaringan mereka luas.
Modal sosial inilah yang membuat pelaku lebih mudah lolos.
Institusi melindungi mereka karena mereka “penting”, “dibutuhkan”, atau
“berpengaruh”.
Sementara korban, terutama perempuan muda, sering datang
dengan modal sosial minim: tidak punya posisi, tidak punya jaringan, tidak
punya akses ke otoritas.
Ketimpangan modal sosial memperkuat struktur gunung es:
pelaku berada di atas, korban di bawah.
Habitus juga menentukan bagaimana seseorang memanfaatkan
modal sosialnya. Pelaku yang dibesarkan dalam struktur patriarki merasa relasi
kuasa adalah hak alamiah.
Sementara korban dibesarkan dalam habitus kepatuhan, membuat
mereka ragu melawan, bahkan saat disakiti.
Di sinilah reproduksi sosial bekerja: kekerasan tidak hanya
terjadi, tetapi diwariskan sebagai pola antar generasi.
Pendidikan, yang seharusnya memutus reproduksi itu, justru
sering memperkuatnya karena habitus para pengelolanya tidak pernah dikritisi.
Bourdieu (1977) menjelaskan bahwa modal sosial dapat
bersifat eksklusif. Di kampus, kelompok senior atau dosen menjadi entitas
tersendiri dengan solidaritas kuat, sering kali menutup diri dari kritik luar.
Korban dihadapkan pada dinding yang tidak terlihat: bukan
hanya orang per orang, tapi jaringan yang solid.
Bourdieu (1977) juga menunjukkan bagaimana modal
budaya—pengetahuan, gelar, status akademik—menjadi alat kekuasaan. Pelaku
dengan status akademik tinggi lebih dipercaya dibanding mahasiswa perempuan
yang dianggap “tidak berpengalaman”.
Inilah sebabnya banyak korban kalah narasi sebelum kasusnya
dimulai.
Habitus institusi membuat mereka memprioritaskan reputasi,
bukan keadilan. Mereka diajari untuk menjaga nama baik lembaga; bukan menjaga
keselamatan manusia.
Maka tidak heran jika korban sering diminta diam, sementara
pelaku diminta “berhati-hati ke depan”.
Untuk memperbaiki ini, kita harus menumbuhkan habitus baru:
habitus keberanian, transparansi, dan etika kuasa.
Habitus baru ini harus ditanam dalam struktur, bukan sekadar
imbauan moral. Ia harus muncul dalam SOP, mekanisme pelaporan, dan budaya
organisasi.
Modal sosial juga perlu didistribusikan ulang: perempuan
harus diberi kanal aman, jaringan dukungan, dan otoritas yang cukup untuk
bersuara.
Ketika habitus dan modal sosial berubah, pola akan berubah.
Ketika pola berubah, peristiwa pun berubah.
Itulah cara gunung es dicairkan: bukan dengan memukul
puncaknya, tetapi mengubah suhu di seluruh permukaan air.
Dan perubahan itu harus dimulai dari keberanian pendidikan
untuk mengoreksi dirinya sendiri—karena hanya pendidikan yang benar-benar
kritislah yang dapat menciptakan masyarakat yang benar-benar manusiawi.***


