Iklan

Mengapa Kekerasan Perempuan Terjadi di Ranah Pendidikan?

syamsul kurniawan
Wednesday, November 26, 2025
Last Updated 2025-11-27T01:24:34Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates

 



Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Ada kalanya sebuah institusi yang tampak tenang justru menyimpan kegaduhan yang lebih dalam. Dunia pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang aman bagi tumbuhnya nalar dan martabat, justru kerap menjadi panggung kekerasan terhadap perempuan. Bukan karena pendidikan rusak, tetapi karena ada yang tidak beres dalam struktur yang menopangnya.

 

Kita sering disodori peristiwa—seorang siswi dilecehkan gurunya, seorang mahasiswi dirundung senior, seorang dosen mengancam mahasiswa perempuan dengan nilai. Orang terkejut, marah sebentar, lalu reda. Yang mengambang ke permukaan hanyalah puncak gunung es.

 

Peristiwa itu sendiri tampak jelas: tindakan fisik, verbal, atau seksual yang menimpa perempuan. Publik melihatnya sebagai insiden, semacam kecelakaan moral yang terjadi tiba-tiba.

 

Namun gunung es mengajarkan: peristiwa hanyalah yang terlihat. Ada volume besar yang tersembunyi, satu dunia gelap yang menopang apa yang muncul di permukaan.

 

Jika kita mundur sedikit ke belakang, kita melihat pola: laporan kekerasan di sekolah dan kampus muncul berulang, dengan pelaku yang mirip, dengan keberanian korban yang sering dipatahkan, dengan institusi yang defensif seolah reputasi lebih penting daripada keselamatan manusia.

 

Pola itu menunjukkan bahwa kekerasan bukan kebetulan. Ia reproduksi, ia berulang, ia terpola dalam ritme yang sayangnya sudah akrab.

 

Pola ini memberi isyarat bahwa ada struktur yang bekerja. Bukan struktur gedung, tetapi struktur sosial: relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid, senior dan junior, dosen dan mahasiswa, lelaki dan perempuan.

 

Struktur itulah yang membuat sebagian orang merasa memiliki hak atas tubuh dan kepatutan perempuan. Struktur yang memanjakan para pelaku, dan membungkam korban dengan dalih kedisiplinan, hierarki, atau “nama baik institusi”.

 

Dalam struktur seperti ini, pendidikan tidak lagi menjadi ruang pemberdayaan. Ia menjadi arena hegemoni. Di sana perempuan sering kali bukan subjek, tetapi objek.

 

Lalu kita turun lebih dalam lagi, ke lapisan model mental—lapisan paling sunyi, tapi paling menentukan. Di sinilah kekerasan perempuan menemukan akarnya.

 

Model mental adalah asumsi, keyakinan, warisan budaya yang tidak disadari, yang membentuk cara orang memandang perempuan. Bahwa perempuan harus sopan. Bahwa perempuan tidak boleh menolak. Bahwa suara perempuan tidak valid jika berhadapan dengan otoritas laki-laki.

 

Model mental ini meresap ke ruang-ruang kelas dan lorong kampus tanpa pengumuman. Ia menjadi cara orang bercanda, cara orang memanggil, cara orang memberi instruksi. Perempuan kemudian hidup dalam sistem yang menormalkan pengabaian terhadap mereka.

 

Gunung es bekerja pelan: model mental memengaruhi struktur, struktur memengaruhi pola, pola memunculkan peristiwa. Dan kita marah pada peristiwa, namun lupa membongkar fondasi yang menghidupinya.

 

Kita melihat sekolah sebagai tempat belajar, tetapi lupa bahwa sekolah juga cermin masyarakat. Apa yang dianggap wajar di rumah, dibawa ke kelas. Apa yang dipelajari dari lingkungan, direproduksi dalam interaksi akademik.

 

Dalam banyak kasus, dunia pendidikan hanya memperhalus cara kekerasan bekerja. Ia tidak selalu berupa tamparan; kadang hanya kalimat, tatapan, atau iming-iming nilai yang mengunci perempuan dalam ketidakberdayaan.

 

Kita memahami bahwa kekerasan bukan hanya tindakan, tetapi juga kebiasaan yang dibiarkan. Diam adalah pupuk bagi kekerasan. Represi institusi adalah airnya. Budaya yang permisif adalah mataharinya.

 

Dan ketika kekerasan berbuah, publik hanya melihat buah itu, bukan damar yang meresap dari akar.

 

Mengapa perempuan? Karena model mental kita terlalu lama menempatkan perempuan sebagai mereka yang “layak diawasi”, “layak dinasihati”, “layak dikendalikan”. Di ranah pendidikan, asumsi ini diterjemahkan menjadi relasi kuasa yang lebih berat sebelah.

 

Guru atau dosen merasa berhak menilai bukan hanya akademik, tapi moralitas. Senior merasa berhak “membina” junior perempuan. Institusi merasa berhak memutuskan mana korban yang “cukup layak didengar”.

 

Hilang sudah batas antara pendidikan dan dominasi. Yang tersisa adalah warisan feodal yang kita bawa ke abad modern tanpa banyak dipertanyakan.

 

Untuk memahami kekerasan di pendidikan, kita harus melihat bahwa pendidikan sendiri sedang sakit. Ia sakit oleh kultur yang lebih tua dari sekolah itu sendiri: kultur patriarki.

 

Patriarki tidak selalu hadir dalam bentuk teriakan. Ia kadang hadir dalam keheningan: ketika laporan korban tidak ditindak, ketika pelaku malah diberi ruang, ketika sistem lebih peduli pada reputasi ketimbang penyembuhan.

 

Perempuan sering kali harus menghadapi pertanyaan, bukan perlindungan: “Kenapa kamu ada di ruangan itu?”, “Kenapa tidak berteriak?”, “Apa kamu tidak salah mengerti?” Kalimat-kalimat ini bukan pertanyaan; ini pengadilan.

 

Dan pendidikan yang seharusnya mencerdaskan, justru menambah luka.

 

Agar kekerasan berhenti, kita tidak cukup hanya menghukum pelaku. Itu perlu, tetapi tidak cukup. Kita harus memeriksa pola yang membuat pelaku merasa aman.

 

Kita harus membongkar struktur yang membuat perempuan merasa tidak punya suara.

 

Kita harus mengubah model mental yang membuat kekerasan tampak masuk akal bagi sebagian orang.

 

Model mental tidak berubah dengan poster kampanye. Ia berubah melalui pendidikan kritis, percakapan yang tidak disensor, dan keberanian institusi untuk tidak memihak pelaku hanya karena statusnya lebih tinggi.

 

Pendidikan harus berani menolak warisan budaya yang melukai. Pendidikan harus memutus transmisi kekerasan dari generasi ke generasi.

 

Artinya, kita perlu menanamkan etika seksual, etika kuasa, dan etika kemanusiaan dalam kurikulum. Bukan sebagai penyuluhan sebulan sekali, tetapi sebagai nafas dari seluruh proses belajar.

 

Perempuan tidak butuh perlindungan dalam arti paternalistik; mereka butuh sistem yang adil. Sistem yang berpihak pada kebenaran, bukan pada hierarki.

 

Ketika gunung es dibalik, ketika kita memperlihatkan seluruh bentuknya, kita tidak hanya menatap kekerasan—kita menatap diri kita sendiri.

 

Karena kekerasan terhadap perempuan di pendidikan adalah cermin dari masyarakat yang belum selesai belajar.

 

Dan mungkin, pendidikan baru mulai menjalankan fungsinya ketika ia berani menantang dirinya sendiri.

 

Pertanyaan itu kembali pada kita: maukah kita mencairkan gunung es itu, atau kita biarkan ia terus tumbuh dalam dingin yang membisu?

 

Bagaimana Memperbaikinya?

 

Bourdieu (1977) menawarkan cara melihat dunia sosial seperti medan kekuatan, bukan kumpulan individu yang berdiri sendiri. Dalam konteks kekerasan perempuan di pendidikan, pendekatan ini membantu membongkar apa yang tidak kasatmata.

 

Habitus adalah pola pikir dan kebiasaan yang terinternalisasi. Ia bukan aturan tertulis, tapi bentuk “cara hidup” yang terbawa ke mana-mana, termasuk sekolah dan kampus.

 

Kekerasan terhadap perempuan bertahan lama karena habitus masyarakat memperlakukan perempuan sebagai pihak yang seharusnya patuh, menjaga nama baik, dan menghindari konflik.

 

Habitus ini tidak tercipta dalam satu hari; ia diwariskan oleh keluarga, lingkungan, dan budaya. Sistem pendidikan kemudian mengukuhkannya, kadang tanpa sadar.

 

Dalam kerangka gunung es, habitus adalah lapisan terdalam: model mental yang menggerakkan struktur sosial.

 

Bourdieu (1977) juga berbicara tentang modal sosial—jaringan, relasi, dan kepercayaan. Pelaku kekerasan sering memiliki modal sosial yang besar: posisi mereka dihormati, jaringan mereka luas.

Modal sosial inilah yang membuat pelaku lebih mudah lolos. Institusi melindungi mereka karena mereka “penting”, “dibutuhkan”, atau “berpengaruh”.

 

Sementara korban, terutama perempuan muda, sering datang dengan modal sosial minim: tidak punya posisi, tidak punya jaringan, tidak punya akses ke otoritas.

 

Ketimpangan modal sosial memperkuat struktur gunung es: pelaku berada di atas, korban di bawah.

 

Habitus juga menentukan bagaimana seseorang memanfaatkan modal sosialnya. Pelaku yang dibesarkan dalam struktur patriarki merasa relasi kuasa adalah hak alamiah.

 

Sementara korban dibesarkan dalam habitus kepatuhan, membuat mereka ragu melawan, bahkan saat disakiti.

 

Di sinilah reproduksi sosial bekerja: kekerasan tidak hanya terjadi, tetapi diwariskan sebagai pola antar generasi.

 

Pendidikan, yang seharusnya memutus reproduksi itu, justru sering memperkuatnya karena habitus para pengelolanya tidak pernah dikritisi.

 

Bourdieu (1977) menjelaskan bahwa modal sosial dapat bersifat eksklusif. Di kampus, kelompok senior atau dosen menjadi entitas tersendiri dengan solidaritas kuat, sering kali menutup diri dari kritik luar.

 

Korban dihadapkan pada dinding yang tidak terlihat: bukan hanya orang per orang, tapi jaringan yang solid.

 

Bourdieu (1977) juga menunjukkan bagaimana modal budaya—pengetahuan, gelar, status akademik—menjadi alat kekuasaan. Pelaku dengan status akademik tinggi lebih dipercaya dibanding mahasiswa perempuan yang dianggap “tidak berpengalaman”.

 

Inilah sebabnya banyak korban kalah narasi sebelum kasusnya dimulai.

 

Habitus institusi membuat mereka memprioritaskan reputasi, bukan keadilan. Mereka diajari untuk menjaga nama baik lembaga; bukan menjaga keselamatan manusia.

 

Maka tidak heran jika korban sering diminta diam, sementara pelaku diminta “berhati-hati ke depan”.

 

Untuk memperbaiki ini, kita harus menumbuhkan habitus baru: habitus keberanian, transparansi, dan etika kuasa.

 

Habitus baru ini harus ditanam dalam struktur, bukan sekadar imbauan moral. Ia harus muncul dalam SOP, mekanisme pelaporan, dan budaya organisasi.

 

Modal sosial juga perlu didistribusikan ulang: perempuan harus diberi kanal aman, jaringan dukungan, dan otoritas yang cukup untuk bersuara.

 

Ketika habitus dan modal sosial berubah, pola akan berubah. Ketika pola berubah, peristiwa pun berubah.

 

Itulah cara gunung es dicairkan: bukan dengan memukul puncaknya, tetapi mengubah suhu di seluruh permukaan air.

 

Dan perubahan itu harus dimulai dari keberanian pendidikan untuk mengoreksi dirinya sendiri—karena hanya pendidikan yang benar-benar kritislah yang dapat menciptakan masyarakat yang benar-benar manusiawi.***

 

 

 

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now