Iklan

Kesopanan: Antara Ritme dan Selera

syamsul kurniawan
Monday, November 24, 2025
Last Updated 2025-11-24T08:48:17Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Ada suatu sore di bandara ketika saya keluar dari pintu kedatangan dan melihat deretan sopir taksi berdiri seperti paduan suara yang tak pernah benar-benar diam. Mereka menyapa dalam nada yang khas—kadang terlalu ramah, kadang sekadar cukup. Senyum dipoles, kata-kata dirapikan, sapaan dilatih. Kita tahu itu bukan keramahan murni; itu bagian dari pekerjaan. Namun justru itulah yang kita sebut sopan.

 

Di balik sapaan yang tampak ringan, ada ritme yang mengatur perjumpaan singkat itu. Sopir menawarkan jasa, kita menjawab dengan anggukan atau gelengan, dan jika cocok, sopan santun itu berakhir dalam transaksi. Pertukaran yang jujur dalam kepalsuannya: kesopanan sebagai modal, layanan sebagai komoditas, dan pembayaran sebagai penutup.

 

Kesopanan di sini bukan perkara moral. Ia adalah strategi kerja—disposisi yang dibentuk oleh habitus. Medan sosial bandara menuntut mereka bergerak dalam pola tertentu: menawarkan tanpa memaksa, hadir tanpa mengancam. Bourdieu mungkin akan bilang bahwa mereka tidak sedang berpura-pura; mereka sedang menjalankan peran yang dibentuk struktur sosial tempat mereka bertahan hidup.

 

Penumpang pun membawa ritmenya sendiri. Ada yang membalas senyum, ada yang pura-pura sibuk, ada yang menutup percakapan dengan kalimat singkat. Dalam setiap respons, habitus bekerja: selera kita terhadap bagaimana ingin diperlakukan menentukan cara kita menjawab.

 

Di banyak kota, sopir taksi tahu membaca kelas sosial dari penampilan. Nada bicara pada orang yang terlihat rapi berbeda dengan nada pada penumpang yang tampak kebingungan. Tatapan, gestur, jarak tubuh—all itu diatur oleh habitus. Kesopanan pun berjalan dalam ritme sosial yang tidak pernah netral.

 

Hal yang sama terlihat pada tukang parkir. Mereka bekerja dalam ruang publik yang “abu-abu”, tetapi bergerak dalam pola yang rapi: memberi kode tangan, meniup peluit, mengatur posisi kendaraan, menciptakan rasa aman yang dianggap cukup oleh pengguna jalan. Ritme mereka berbeda dari sopir taksi: gestur lebih penting daripada kata, simpati lebih penting daripada tarif.

 

Ada yang merasa mereka membantu, ada yang merasa mereka mengganggu. Kita jarang bertanya dari mana lahir pola tubuh itu. Jawabannya sama: jam kerja panjang, pengalaman sosial, dan habitus yang tumbuh dalam arena parkir dengan hierarki dan modal simboliknya sendiri.

Kedua dunia itu—taksi bandara dan parkir jalanan—berjalan dengan logika yang sama: kesopanan adalah kerja. Dan kerja selalu mengikuti struktur yang membentuknya.

 

Kita sering mengira kesopanan adalah soal kepribadian. Padahal ia lebih mirip bahasa sosial. Ada kesopanan kantor, kesopanan warung kopi, kesopanan jalanan, kesopanan grup WhatsApp keluarga. Setiap arena punya ritmenya sendiri, dan kita bergerak mengikuti musik yang tidak selalu kita sadari.

Dalam ruang publik, ritme-ritme itu saling berpapasan. Kadang harmonis, sering kali bertabrakan.

 

Sopir dianggap agresif, tukang parkir dianggap memaksa—padahal yang tidak cocok hanyalah ritme kita yang dibentuk selera kelas menengah, berhadapan dengan ritme kelas pekerja yang hidup dari kedekatan fisik.

 

 

Di titik itu, kita sering melompat pada penilaian moral: ramah dianggap palsu, sopan dianggap dibuat-buat. Namun penilaian itu sendiri adalah selera yang dikonstruksi posisi sosial. Selera selalu membawa kepentingan simbolik.

 

Soal Selera

 

Kesopanan, seperti selera, adalah arena pertarungan kecil. Ada yang nyaman dengan sapaan hangat, ada yang lebih suka jarak. Ada yang memuji keramahan tertentu, ada yang merasa tertekan oleh keramahan itu. Ritme yang sama menghasilkan pengalaman berbeda karena habitus yang berbeda.

 

Kita pun tidak pernah netral. Cara kita memandang sopir taksi, menilai tukang parkir, atau merespons sapaan adalah cara menegaskan posisi kita. Selera terhadap kesopanan menjadi alat untuk menjaga jarak, mendekat, atau mempertahankan hierarki halus dalam interaksi sosial.

 

Kesopanan kelas menengah cenderung menekankan jarak: bicara secukupnya, tidak terlalu dekat, tidak terlalu memaksa. Itu dianggap “sopan”. Tapi itu hanya selera yang kebetulan dominan. Kesopanan kelas pekerja berjalan dalam kedekatan: spontan, cepat, langsung. Bagi sebagian orang, itu terasa agresif. Bagi mereka, itu ritme yang wajar.

 

Ketegangan antara dua selera ini selalu mengandung unsur kekuasaan simbolik: yang satu dianggap elegan, yang lain dianggap tidak tahu aturan. Padahal yang sedang berbicara adalah perbedaan kelas, bukan moral.

 

Ritme kesopanan menunjukkan bagaimana modal simbolik bekerja. Senyum adalah modal. Sapaan ramah adalah modal. Peluit yang dibunyikan yakin adalah modal. Semua itu membentuk persepsi tentang siapa yang berhak mengatur ruang.

 

Kesopanan bukan sifat bawaan; ia adalah kompetensi sosial yang tertanam dalam tubuh melalui sejarah sosial. Karena itu, kita keliru kalau menyebut kesopanan orang lain sebagai pilihan pribadi. Ia lebih mirip musik lama yang otomatis dimainkan tubuh.

 

Setiap kali kita menilai sopan santun orang lain, kita sebenarnya sedang membandingkannya dengan musik sosial yang kita kuasai. Jika musiknya cocok, kita sebut ramah. Kalau tidak, kita sebut ganggu.

 

Ruang publik memperlihatkan ini paling jelas. Ketika gaya tutur kota bertemu gaya tutur desa, ketika formalitas bertemu spontanitas, ketika kelas menengah bertemu pekerja informal—yang terjadi hanyalah perbedaan ritme.

 

Sopir taksi tahu ritme bandara: menawarkan tanpa intimidasi. Tukang parkir tahu ritme jalanan: gestur yang tegas, kehadiran yang meyakinkan. Semua itu adalah taktik bertahan hidup yang mengikuti aturan arena masing-masing.

 

Kesopanan, dalam pengertian ini, adalah struktur sosial paling halus. Ia mengatur cara kita membaca dunia dan cara dunia membaca kita. Ia tidak pernah universal. Ia hidup sejauh kita mampu membaca musik sosial di sekitar kita.

 

Ritme kesopanan menunjukkan asal-usul kita. Ia memperlihatkan kelas, pengalaman, dan habitus yang membentuk tubuh kita. Dan karena ritmenya berbeda-beda, kesopanan tidak pernah mutlak.

Pada akhirnya, kesopanan bukan soal baik-buruk. Ia adalah kemampuan menavigasi dunia yang penuh perbedaan. Ia mengajarkan kita mendengar ritme orang lain sebelum meyakini bahwa ritme kitalah yang paling tepat.

 

Itu sebabnya kesopanan selalu berada antara ritme dan selera. Di ruang itulah manusia belajar hidup berdampingan.***

 

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now