Oleh: Syamsul
Kurniawan
Ada suatu sore
di bandara ketika saya keluar dari pintu kedatangan dan melihat deretan sopir
taksi berdiri seperti paduan suara yang tak pernah benar-benar diam. Mereka
menyapa dalam nada yang khas—kadang terlalu ramah, kadang sekadar cukup. Senyum
dipoles, kata-kata dirapikan, sapaan dilatih. Kita tahu itu bukan keramahan
murni; itu bagian dari pekerjaan. Namun justru itulah yang kita sebut sopan.
Di balik sapaan
yang tampak ringan, ada ritme yang mengatur perjumpaan singkat itu. Sopir
menawarkan jasa, kita menjawab dengan anggukan atau gelengan, dan jika cocok,
sopan santun itu berakhir dalam transaksi. Pertukaran yang jujur dalam
kepalsuannya: kesopanan sebagai modal, layanan sebagai komoditas, dan
pembayaran sebagai penutup.
Kesopanan di
sini bukan perkara moral. Ia adalah strategi kerja—disposisi yang dibentuk oleh
habitus. Medan sosial bandara menuntut mereka bergerak dalam pola tertentu:
menawarkan tanpa memaksa, hadir tanpa mengancam. Bourdieu mungkin akan bilang
bahwa mereka tidak sedang berpura-pura; mereka sedang menjalankan peran yang
dibentuk struktur sosial tempat mereka bertahan hidup.
Penumpang pun
membawa ritmenya sendiri. Ada yang membalas senyum, ada yang pura-pura sibuk,
ada yang menutup percakapan dengan kalimat singkat. Dalam setiap respons,
habitus bekerja: selera kita terhadap bagaimana ingin diperlakukan menentukan
cara kita menjawab.
Di banyak kota,
sopir taksi tahu membaca kelas sosial dari penampilan. Nada bicara pada orang
yang terlihat rapi berbeda dengan nada pada penumpang yang tampak kebingungan.
Tatapan, gestur, jarak tubuh—all itu diatur oleh habitus. Kesopanan pun
berjalan dalam ritme sosial yang tidak pernah netral.
Hal yang sama
terlihat pada tukang parkir. Mereka bekerja dalam ruang publik yang “abu-abu”,
tetapi bergerak dalam pola yang rapi: memberi kode tangan, meniup peluit,
mengatur posisi kendaraan, menciptakan rasa aman yang dianggap cukup oleh
pengguna jalan. Ritme mereka berbeda dari sopir taksi: gestur lebih penting
daripada kata, simpati lebih penting daripada tarif.
Ada yang merasa
mereka membantu, ada yang merasa mereka mengganggu. Kita jarang bertanya dari
mana lahir pola tubuh itu. Jawabannya sama: jam kerja panjang, pengalaman
sosial, dan habitus yang tumbuh dalam arena parkir dengan hierarki dan modal
simboliknya sendiri.
Kedua dunia
itu—taksi bandara dan parkir jalanan—berjalan dengan logika yang sama:
kesopanan adalah kerja. Dan kerja selalu mengikuti struktur yang membentuknya.
Kita sering
mengira kesopanan adalah soal kepribadian. Padahal ia lebih mirip bahasa
sosial. Ada kesopanan kantor, kesopanan warung kopi, kesopanan jalanan,
kesopanan grup WhatsApp keluarga. Setiap arena punya ritmenya sendiri, dan kita
bergerak mengikuti musik yang tidak selalu kita sadari.
Dalam ruang
publik, ritme-ritme itu saling berpapasan. Kadang harmonis, sering kali
bertabrakan.
Sopir dianggap
agresif, tukang parkir dianggap memaksa—padahal yang tidak cocok hanyalah ritme
kita yang dibentuk selera kelas menengah, berhadapan dengan ritme kelas pekerja
yang hidup dari kedekatan fisik.
Di titik itu,
kita sering melompat pada penilaian moral: ramah dianggap palsu, sopan dianggap
dibuat-buat. Namun penilaian itu sendiri adalah selera yang dikonstruksi posisi
sosial. Selera selalu membawa kepentingan simbolik.
Soal Selera
Kesopanan,
seperti selera, adalah arena pertarungan kecil. Ada yang nyaman dengan sapaan
hangat, ada yang lebih suka jarak. Ada yang memuji keramahan tertentu, ada yang
merasa tertekan oleh keramahan itu. Ritme yang sama menghasilkan pengalaman
berbeda karena habitus yang berbeda.
Kita pun tidak
pernah netral. Cara kita memandang sopir taksi, menilai tukang parkir, atau
merespons sapaan adalah cara menegaskan posisi kita. Selera terhadap kesopanan
menjadi alat untuk menjaga jarak, mendekat, atau mempertahankan hierarki halus
dalam interaksi sosial.
Kesopanan kelas
menengah cenderung menekankan jarak: bicara secukupnya, tidak terlalu dekat,
tidak terlalu memaksa. Itu dianggap “sopan”. Tapi itu hanya selera yang
kebetulan dominan. Kesopanan kelas pekerja berjalan dalam kedekatan: spontan,
cepat, langsung. Bagi sebagian orang, itu terasa agresif. Bagi mereka, itu
ritme yang wajar.
Ketegangan
antara dua selera ini selalu mengandung unsur kekuasaan simbolik: yang satu
dianggap elegan, yang lain dianggap tidak tahu aturan. Padahal yang sedang
berbicara adalah perbedaan kelas, bukan moral.
Ritme kesopanan
menunjukkan bagaimana modal simbolik bekerja. Senyum adalah modal. Sapaan ramah
adalah modal. Peluit yang dibunyikan yakin adalah modal. Semua itu membentuk
persepsi tentang siapa yang berhak mengatur ruang.
Kesopanan bukan
sifat bawaan; ia adalah kompetensi sosial yang tertanam dalam tubuh melalui
sejarah sosial. Karena itu, kita keliru kalau menyebut kesopanan orang lain
sebagai pilihan pribadi. Ia lebih mirip musik lama yang otomatis dimainkan
tubuh.
Setiap kali
kita menilai sopan santun orang lain, kita sebenarnya sedang membandingkannya
dengan musik sosial yang kita kuasai. Jika musiknya cocok, kita sebut ramah.
Kalau tidak, kita sebut ganggu.
Ruang publik
memperlihatkan ini paling jelas. Ketika gaya tutur kota bertemu gaya tutur
desa, ketika formalitas bertemu spontanitas, ketika kelas menengah bertemu
pekerja informal—yang terjadi hanyalah perbedaan ritme.
Sopir taksi
tahu ritme bandara: menawarkan tanpa intimidasi. Tukang parkir tahu ritme
jalanan: gestur yang tegas, kehadiran yang meyakinkan. Semua itu adalah taktik
bertahan hidup yang mengikuti aturan arena masing-masing.
Kesopanan,
dalam pengertian ini, adalah struktur sosial paling halus. Ia mengatur cara
kita membaca dunia dan cara dunia membaca kita. Ia tidak pernah universal. Ia
hidup sejauh kita mampu membaca musik sosial di sekitar kita.
Ritme kesopanan
menunjukkan asal-usul kita. Ia memperlihatkan kelas, pengalaman, dan habitus
yang membentuk tubuh kita. Dan karena ritmenya berbeda-beda, kesopanan tidak
pernah mutlak.
Pada akhirnya,
kesopanan bukan soal baik-buruk. Ia adalah kemampuan menavigasi dunia yang
penuh perbedaan. Ia mengajarkan kita mendengar ritme orang lain sebelum
meyakini bahwa ritme kitalah yang paling tepat.
Itu sebabnya
kesopanan selalu berada antara ritme dan selera. Di ruang itulah manusia
belajar hidup berdampingan.***


