Iklan

Ketika Penutur Pantun Kian Langka: Sebuah Renungan untuk Hari Guru

syamsul kurniawan
Monday, November 17, 2025
Last Updated 2025-11-27T01:24:47Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates


 

 

Oleh: Syamsul Kurniawan

 

Ada saat-saat tertentu ketika sebuah tradisi tidak mati dengan gaduh, melainkan meredup perlahan seperti pelita kehabisan minyak. Pantun, bagi banyak komunitas Melayu, meredup dengan cara yang sunyi seperti itu.

 

Di kampung-kampung dulu, kata-kata berirama itu bukan sekadar hiburan, melainkan cara berhubungan. Hampir setiap percakapan adalah ruang bagi kecerdasan berbahasa, sejenis panggung kecil tempat manusia belajar menata perasaan.

 

Kini, ruang itu hilang. Yang tersisa hanya gema samar—jejak dari sesuatu yang pernah menjadi napas keseharian. Orang mungkin masih mengingat bentuknya, tapi tidak lagi menuturkannya.

 

Ketika seorang kawan bercerita tentang masa kecil yang diwarnai balas pantun, yang mengalir lebih cepat dari jari mengetik pesan, ada nada getir dalam suaranya: semacam rindu pada dunia yang tak kembali.

 

Tradisi lisan seperti pantun tidak pernah berdiri sebagai teks. Ia hidup sebagai kejadian: suara yang melompat dari mulut ke mulut. Hilangnya suara berarti hilangnya kehidupan itu sendiri.

 

UNESCO memang telah mengabadikan pantun sebagai warisan dunia. Namun pengakuan, seperti monumen, sering kali hanya memuliakan sesuatu yang sedang ditinggalkan.

 

Sebuah tradisi tak bisa bertahan hanya dengan pengakuan. Ia memerlukan penutur—manusia yang terus mengulanginya dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa itu, ia akan menjadi kabar yang dingin, terpajang tanpa denyut.

 

Jauh Panggang dari Api

 

Di tengah arus modern, pantun kehilangan medan sosialnya. Orang hidup dalam gelembung kecil, ditemani layar, bukan percakapan. Yang dahulu merupakan modal sosial kini menjadi artefak.

 

Bourdieu (1977) pernah mengingatkan: habitus terbentuk dari pengulangan. Bila tidak diulang, ia mati. Begitu pula pantun, yang kini tidak lagi menjadi kebiasaan, hanya pengetahuan.

 

Pengetahuan yang tidak dipraktikkan, cepat atau lambat, kehilangan tubuhnya. Ia menjadi hafalan semata—kering, tidak bernyawa.

 

Hilangnya penutur pantun bukan hanya hilangnya kemampuan berima, melainkan hilangnya cara berpikir yang halus. Pantun mengajarkan jarak, kesantunan, dan metafora. Kehilangannya berarti hilangnya etika yang dulu mengikat percakapan.

 

Di masa lalu, pantun menjadi media pendidikan yang rendah hati: guru menasihati tanpa menggurui, orang tua mengingatkan tanpa memarahi. Kata-kata menjadi jembatan, bukan tembok.

 

Di ruang modern, jembatan itu runtuh. Kini orang lebih cepat tersinggung daripada memikirkan makna, lebih cepat bereaksi sebelum menimbang kata.

 

Parsons menyebut empat fungsi agar sistem bertahan. Pantun tampaknya gagal menyesuaikan diri: tidak teradaptasi, tidak menjadi alat pencapaian tujuan, tidak terintegrasi, dan tidak dirawat dalam pola laten masyarakat.

 

Kegagalan itu bukan karena pantun tidak relevan, melainkan karena kita berhenti memberinya ruang. Tradisi mati bukan karena tua, tapi karena tak lagi dianggap berguna.

 

Padahal pantun adalah seni mengikat kata dengan rasa. Ia mengajarkan bahwa bahasa tak hanya menyampaikan pesan, tetapi memperhalus hubungan.

 

Jika dunia hari ini keras, mungkin karena kita lupa bagaimana berbicara dengan lembut. Pantun pernah menjadi obatnya.

 

Maka menjelang Hari Guru, ada baiknya kita bertanya: mengapa penutur pantun semakin sedikit? Dan apakah hilangnya pantun juga berarti hilangnya sebagian jiwa pendidikan kita?

 

Guru, sejatinya, adalah penutur. Mereka mengajarkan dengan kata-kata yang membawa nilai, bukan sekadar informasi. Pantun adalah bentuk luhur untuk itu.

 

Dalam banyak komunitas Melayu, guru disegani bukan hanya karena ilmu, tetapi karena tutur. Pantun adalah bagian dari itu: warisan yang menyeimbangkan logika dan rasa.

 

Jika generasi muda hari ini lebih mengenal caption daripada sampiran, itu mungkin karena sekolah tidak lagi menjadi ruang bagi tradisi lisan untuk bernafas.

 

Kita mempelajari pantun, tetapi tidak menuturkannya. Kita mengetahui bentuknya, tapi tidak menggunakannya. Dan di situlah tradisi kehilangan hidupnya.

 

Padahal bila kelas dibuka dengan pantun dan ditutup dengan balasan, mungkin anak-anak akan memandang bahasa dengan cara yang lain: tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai keindahan yang perlu dirawat.

 

Pantun mengajarkan kedisiplinan berpikir. Empat baris, rima yang tegas, suku kata yang terukur—semua itu membentuk ketelitian. Dan ketelitian adalah bagian dari kecerdasan.

 

Tetapi yang tak kalah penting: pantun mengajarkan kesantunan. Ia memberi jarak yang sopan, cara halus untuk menyampaikan yang sulit tanpa melukai.

 

Kita kehilangan itu ketika kita kehilangan penuturnya. Yang hilang bukan hanya bentuk, melainkan kebiasaan untuk berbicara dengan hati.

 

Jika sekolah bersedia menjadi ruang reproduksi habitus berpantun, seperti kata Bourdieu, maka tradisi ini bisa hidup lagi. Tidak sebagai beban kurikulum, tetapi sebagai laku sehari-hari.

 

Pemerintah dapat menjadi penghubung: membangun komunitas, sanggar, dan ruang kreatif yang memberi kesempatan bagi pantun bernapas di era baru.

 

Dunia digital bukan ancaman. Ia adalah panggung baru. Pantun bisa hidup di sana, bila ada yang menuturkannya dengan cara yang tepat.

 

Pantun tidak perlu dipertahankan sebagai peninggalan museum. Ia perlu dipakai: di panggung, di layar, di ruang publik, di ruang belajar.

 

Sebab tradisi lisan hanya hidup dalam suara—bukan dalam arsip, bukan dalam piagam pengakuan internasional.

 

UNESCO mungkin telah menyatakan pantun sebagai warisan, tetapi hidup-matinya tetap bergantung pada manusia yang mengucapkannya.

 

Jika penuturnya mati, pantun akan menjadi prasasti kosong. Namun jika penuturnya hidup, pantun akan tumbuh bersama zaman, sebagaimana ia bertahan ratusan tahun.

 

Hari Guru memberi kita alasan untuk merenungkan itu semua: bahwa mendidik bukan sekadar mengajar, melainkan menata kata agar menata jiwa.

 

Mungkin suatu hari nanti, ketika anak-anak kembali berbalas pantun—di halaman sekolah atau di layar ponsel—kita akan tahu bahwa bangsa ini belum kehilangan dirinya. Sebab pantun, pada akhirnya, adalah cara kita berbicara dengan hati.***

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Trending Now