Oleh: Syamsul Kurniawan
Ada saat-saat tertentu ketika sebuah tradisi tidak mati
dengan gaduh, melainkan meredup perlahan seperti pelita kehabisan minyak.
Pantun, bagi banyak komunitas Melayu, meredup dengan cara yang sunyi seperti
itu.
Di kampung-kampung dulu, kata-kata berirama itu bukan
sekadar hiburan, melainkan cara berhubungan. Hampir setiap percakapan adalah
ruang bagi kecerdasan berbahasa, sejenis panggung kecil tempat manusia belajar
menata perasaan.
Kini, ruang itu hilang. Yang tersisa hanya gema samar—jejak
dari sesuatu yang pernah menjadi napas keseharian. Orang mungkin masih
mengingat bentuknya, tapi tidak lagi menuturkannya.
Ketika seorang kawan bercerita tentang masa kecil yang
diwarnai balas pantun, yang mengalir lebih cepat dari jari mengetik pesan, ada
nada getir dalam suaranya: semacam rindu pada dunia yang tak kembali.
Tradisi lisan seperti pantun tidak pernah berdiri sebagai
teks. Ia hidup sebagai kejadian: suara yang melompat dari mulut ke mulut.
Hilangnya suara berarti hilangnya kehidupan itu sendiri.
UNESCO memang telah mengabadikan pantun sebagai warisan
dunia. Namun pengakuan, seperti monumen, sering kali hanya memuliakan sesuatu
yang sedang ditinggalkan.
Sebuah tradisi tak bisa bertahan hanya dengan pengakuan. Ia
memerlukan penutur—manusia yang terus mengulanginya dalam kehidupan
sehari-hari. Tanpa itu, ia akan menjadi kabar yang dingin, terpajang tanpa
denyut.
Jauh Panggang dari Api
Di tengah arus modern, pantun kehilangan medan sosialnya.
Orang hidup dalam gelembung kecil, ditemani layar, bukan percakapan. Yang
dahulu merupakan modal sosial kini menjadi artefak.
Bourdieu (1977) pernah mengingatkan: habitus terbentuk dari
pengulangan. Bila tidak diulang, ia mati. Begitu pula pantun, yang kini tidak
lagi menjadi kebiasaan, hanya pengetahuan.
Pengetahuan yang tidak dipraktikkan, cepat atau lambat,
kehilangan tubuhnya. Ia menjadi hafalan semata—kering, tidak bernyawa.
Hilangnya penutur pantun bukan hanya hilangnya kemampuan
berima, melainkan hilangnya cara berpikir yang halus. Pantun mengajarkan jarak,
kesantunan, dan metafora. Kehilangannya berarti hilangnya etika yang dulu
mengikat percakapan.
Di masa lalu, pantun menjadi media pendidikan yang rendah
hati: guru menasihati tanpa menggurui, orang tua mengingatkan tanpa memarahi.
Kata-kata menjadi jembatan, bukan tembok.
Di ruang modern, jembatan itu runtuh. Kini orang lebih cepat
tersinggung daripada memikirkan makna, lebih cepat bereaksi sebelum menimbang
kata.
Parsons menyebut empat fungsi agar sistem bertahan. Pantun
tampaknya gagal menyesuaikan diri: tidak teradaptasi, tidak menjadi alat
pencapaian tujuan, tidak terintegrasi, dan tidak dirawat dalam pola laten
masyarakat.
Kegagalan itu bukan karena pantun tidak relevan, melainkan
karena kita berhenti memberinya ruang. Tradisi mati bukan karena tua, tapi
karena tak lagi dianggap berguna.
Padahal pantun adalah seni mengikat kata dengan rasa. Ia
mengajarkan bahwa bahasa tak hanya menyampaikan pesan, tetapi memperhalus
hubungan.
Jika dunia hari ini keras, mungkin karena kita lupa
bagaimana berbicara dengan lembut. Pantun pernah menjadi obatnya.
Maka menjelang Hari Guru, ada baiknya kita bertanya: mengapa
penutur pantun semakin sedikit? Dan apakah hilangnya pantun juga berarti
hilangnya sebagian jiwa pendidikan kita?
Guru, sejatinya, adalah penutur. Mereka mengajarkan dengan
kata-kata yang membawa nilai, bukan sekadar informasi. Pantun adalah bentuk
luhur untuk itu.
Dalam banyak komunitas Melayu, guru disegani bukan hanya
karena ilmu, tetapi karena tutur. Pantun adalah bagian dari itu: warisan yang
menyeimbangkan logika dan rasa.
Jika generasi muda hari ini lebih mengenal caption daripada
sampiran, itu mungkin karena sekolah tidak lagi menjadi ruang bagi tradisi
lisan untuk bernafas.
Kita mempelajari pantun, tetapi tidak menuturkannya. Kita
mengetahui bentuknya, tapi tidak menggunakannya. Dan di situlah tradisi
kehilangan hidupnya.
Padahal bila kelas dibuka dengan pantun dan ditutup dengan
balasan, mungkin anak-anak akan memandang bahasa dengan cara yang lain: tidak
hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sebagai keindahan yang perlu dirawat.
Pantun mengajarkan kedisiplinan berpikir. Empat baris, rima
yang tegas, suku kata yang terukur—semua itu membentuk ketelitian. Dan
ketelitian adalah bagian dari kecerdasan.
Tetapi yang tak kalah penting: pantun mengajarkan
kesantunan. Ia memberi jarak yang sopan, cara halus untuk menyampaikan yang
sulit tanpa melukai.
Kita kehilangan itu ketika kita kehilangan penuturnya. Yang
hilang bukan hanya bentuk, melainkan kebiasaan untuk berbicara dengan hati.
Jika sekolah bersedia menjadi ruang reproduksi habitus
berpantun, seperti kata Bourdieu, maka tradisi ini bisa hidup lagi. Tidak
sebagai beban kurikulum, tetapi sebagai laku sehari-hari.
Pemerintah dapat menjadi penghubung: membangun komunitas,
sanggar, dan ruang kreatif yang memberi kesempatan bagi pantun bernapas di era
baru.
Dunia digital bukan ancaman. Ia adalah panggung baru. Pantun
bisa hidup di sana, bila ada yang menuturkannya dengan cara yang tepat.
Pantun tidak perlu dipertahankan sebagai peninggalan museum.
Ia perlu dipakai: di panggung, di layar, di ruang publik, di ruang belajar.
Sebab tradisi lisan hanya hidup dalam suara—bukan dalam
arsip, bukan dalam piagam pengakuan internasional.
UNESCO mungkin telah menyatakan pantun sebagai warisan,
tetapi hidup-matinya tetap bergantung pada manusia yang mengucapkannya.
Jika penuturnya mati, pantun akan menjadi prasasti kosong.
Namun jika penuturnya hidup, pantun akan tumbuh bersama zaman, sebagaimana ia
bertahan ratusan tahun.
Hari Guru memberi kita alasan untuk merenungkan itu semua:
bahwa mendidik bukan sekadar mengajar, melainkan menata kata agar menata jiwa.
Mungkin suatu hari nanti, ketika anak-anak kembali berbalas
pantun—di halaman sekolah atau di layar ponsel—kita akan tahu bahwa bangsa ini
belum kehilangan dirinya. Sebab pantun, pada akhirnya, adalah cara kita
berbicara dengan hati.***


