![]() |
| Rapat Dewan Pendidikan Kalbar, 25 November 2025 (Sumber: Dokumentasi Dewan Pendidikan Kalbar) |
Pontianak – Cuaca siang itu masih menyisakan sisa kesejukan. Hujan deras yang turun sebelumnya membuat kota terasa lebih tenang, seolah memberi ruang bagi langkah-langkah yang hendak mulai disusun. Di kampus UPGRI tempat rapat digelar, hawa sejuk dari pendingin ruangan menjadi latar yang kontras dengan percakapan hangat para anggota Dewan Pendidikan Kalbar.
Di atas meja,
kotak nasi berisi menu khas Melayu Pontianak tersaji bersama potongan buah
segar. Hidangan sederhana itu menjadi teman percakapan yang mengalir bebas
tentang satu hal besar: bagaimana menaikkan mutu pendidikan dan IPM Kalimantan
Barat dalam lima tahun ke depan.
Syamsul
Kurniawan, salah satu anggota Dewan Pendidikan Kalbar, hadir mengikuti rapat
pleno perdana ini. Rapat yang difasilitasi secara langsung oleh UPGRI dengan
dukungan penuh Rektor UPGRI, Muhamad Firdaus, S.Pd., M.Pd., yang sejak awal
membuka ruang kolaborasi bagi dewan.
Dewan
Pendidikan Kalbar sendiri telah menjalin jejaring dengan berbagai perguruan
tinggi. Selain UPGRI, ada Universitas Tanjungpura, IAIN Pontianak, Universitas
Muhammadiyah Pontianak, STIKES Yarsi, dan sejumlah institusi lain. Semuanya
berbagi anggapan yang sama: kemajuan pendidikan hanya mungkin dicapai lewat
kerja sama lintas lembaga.
Pada Selasa,
25 November 2025 itu, sebanyak 11 dari 13 anggota hadir. Dua anggota lainnya
berhalangan karena sakit. Syamsul duduk bersama para anggota lain, mencatat,
menimbang, sekaligus menyampaikan pandangan dalam rapat yang berlangsung penuh
keseriusan namun tetap cair.
Rapat dibuka
oleh Ketua Dewan Pendidikan Kalbar, Prof. Dr. Martono, M.Pd., yang menegaskan
bahwa dewan harus memperkuat koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota
se-Kalbar. Tidak hanya dengan wali kota atau bupati, tetapi juga DPRD, dinas
pendidikan, dan jajaran terkait lainnya.
Koordinasi
itu, jelas Martono, menjadi fondasi bagi visi-misi Dewan Pendidikan Kalbar
periode 2025–2030. Dewan harus hadir sebagai pemberi pertimbangan, pendukung,
pengontrol, sekaligus mediator yang menghubungkan kepentingan pemerintah daerah
dengan masyarakat.
Dalam rapat
tersebut, peningkatan IPM dipatok sebagai program prioritas lima tahun ke
depan. Evaluasi dilakukan secara berkala melalui rapat rutin, memastikan setiap
langkah pengembangan benar-benar terukur.
“Kalbar punya
cukup banyak ahli yang mampu membaca data dan merumuskan langkah,” demikian
salah satu pokok diskusi yang juga ikut ditekankan Syamsul.
Rapat juga
membuka kembali catatan program periode sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara
terbuka—apa yang belum tercapai, apa yang terhambat, dan apa yang perlu
diperbaiki. Dari sana, dewan menyusun perbaikan agar program baru dapat
berjalan lebih matang.
Salah satu isu
yang dianggap penting adalah kebutuhan kanal pengaduan masyarakat. Syamsul ikut
mendukung gagasan agar Dewan Pendidikan Kalbar menyediakan rubrik pengaduan di
situs resmi. Kanal ini dinilai penting agar persoalan pendidikan di lapangan
tidak tenggelam di tengah jalur birokrasi yang panjang.
Rubrik itu
diharapkan mampu menjadi pintu masuk aspirasi publik, sekaligus sumber data
bagi dewan untuk memetakan masalah secara nyata.
Rapat juga
sepakat bahwa forum-forum tematik perlu dibentuk. Forum ini akan membahas akar
rendahnya IPM Kalbar dan melibatkan akademisi, pemerintah, penggiat pendidikan,
hingga masyarakat umum.
Lewat forum
tersebut, dewan berharap lahir analisis yang jernih dan langkah kebijakan yang
bisa dipertanggungjawabkan.
Syamsul dalam
rapat tersebut turut menyoroti pentingnya pendekatan partisipatif. Menurutnya,
pendidikan tidak bisa direduksi menjadi urusan administrasi semata; ia adalah
kerja budaya yang perlu melibatkan banyak suara.
Diskusi
berlangsung lama, tetapi alurnya terjaga. Setiap anggota, termasuk Syamsul,
menyadari bahwa lima tahun masa bakti bukan waktu yang panjang, namun cukup
untuk menancapkan arah perubahan.
Menjelang
sore, kesimpulan rapat dirumuskan. Catatan-catatan awal program, evaluasi masa
lalu, dan rencana membangun berbagai kanal partisipasi publik menjadi bagian
dari rangkuman yang dibawa pulang oleh setiap anggota.
Syamsul
menutup hari itu dengan kesadaran yang sama seperti rekan-rekannya: pendidikan
di Kalbar memerlukan kerja keras, kesabaran, dan kolaborasi luas. Namun rapat
perdana ini sudah meletakkan batu pertama.
Di luar
ruangan, Pontianak mulai menghangat kembali. Di dalam kepala para anggota
dewan—termasuk Syamsul—rencana kerja lima tahun ke depan sudah mulai dirangkai
satu per satu.***


